• Tidak ada hasil yang ditemukan

KHI sebagai Fiqh Indonesia?: Problem Hibriditas

BAB IV ANALISIS KHI DALAM PERSPEKTIF TEORI

B. Kritik Kolonial atas Kompilasi Hukum Islam

2. KHI sebagai Fiqh Indonesia?: Problem Hibriditas

Dari abstraksi lalu telah disebut bahwa KHI menampilkan ciri pembeda dari minoritas serta adanya dominasi penafsiran elit Islam dalam hukum Islam. Namun untuk menyebut proses dominasi itu terjadi secara keseluruhan tentu tidaklah tepat. Akar-akar dominasi dan hegemoni tidak dapat melepaskan diri dari watak ambivalensi sebagaimana paradigma yang dipakai oleh Homi Bhaba. Proses pertemuan antarsistem hukum ataupun proses kodifikasi hukum Islam melalui KHI tidak dapat lepas dari dialektika antara masyarakat dan negara serta mazhab-mazhab yang ada di Indonesia.

Ambivalensi yang pertama merupakan langkah kodifikasi hukum Islam dalam KHI itu sendiri. Sebagaimana diketahui, karakter dasar hukum Islam dalam pengertian fiqh adalah “dinamis”. Regulasi yang dilakukan dalam KHI dengan demikian menghentikan watak itu. Kodifikasi hukum Islam dalam hal ini merubah karakter dasarnya dari multi-interpretatif menjadi hukum yang mono interpretasi karena telah disesuaikan dengan semua aturan negara. Dengan menempatkan hukum Islam berada di tangan negara, kekuasaan tradisional dan proses yang berhubungan dengan hukum dibuat mengikuti pola positivisme modern, dimana hukum dibuat dan diproses berdasarkan aturan-aturan penguasa negara.39

39

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi

Schacht sejak awal telah mewanti-wanti bahwa legislasi di dunia muslim modern akan sangat berpengaruh ketika terjadi kontak dengan Barat, terutama di negara-negara koloni.40 Pengaruh ini menjelma menjadi langkah mimikrisasi karena fiqh yang bercorak dinamis kemudian mengikuti gaya legalitas negara dengan kodifikasi yang dilakukan. Dengan kata lain, ada hibridisasi antara aturan-aturan Tuhan dalam cermin fiqh dengan legalitas negara dalam cermin regulasi. Wajah ini kemudian bertemu bentuknya salah satunya dalam Kompilasi Hukum Islam.41

Dominasi penafsiran terhadap hukum Islam sebagaimana penulis singgung dalam perumusan KHI, di sisi yang lain, juga menyimpan hibridisasi. Meskipun pada kenyataannya KHI lebih didominasi oleh kitab-kitab fiqh sunni yang kebanyakan bermazhab syafi’i42, tetapi dialektika lokalitas dalam KHI juga memperoleh porsi yang cukup baik sehingga proses interaksi berbagai pandangan terhadap hukum Islam terjadi meskipun masih minim. Hal ini dapat dilihat dari uraian Ahmad Rofiq sebagaimana telah penulis ulas pada bab III.43

40

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (terj.) Joko Supomo, “Pengantar Hukum Islam”, Jogjakarta: Islamika, 2003, hlm. 149.

41

Hingga saat ini proses mimikrisasi ini belum diterima secara menyeluruh oleh sebagian umat Islam. Terdapat pemikiran bahwa pernikahan merupakan urusan Tuhan sehingga negara tidak berhak turut campur dalam urusan tersebut. Perkawinan tidak pernah mensyaratkan sah menurut negara. Karena itulah di masyarakat seringkali terjadi pernikahan di bawah tangan.

42

Baca M.B. Hooker, “The State and Shari’a in Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (eds.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Pasir Panjang: ISEAS, 2003, hlm. 43. Mazhab Syafi’i menjadi dominan di Indonesia karena pengaruh ulama-ulama besar yang diakui kapabilitasnya terutama di pesantren-pesantren. Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897) contohnya. Al-Bantani adalah salah seorang ulama Syafi’iyah berpengaruh dan murid-muridnya merupakan ulama yang disegani di seluruh nusantara, antara lain KH. Hasyim Asy’ari Jombang (pendiri NU), KH. Khalil Bangkalan Madura, KH. Ilyas Serang Banten, dan KH Tubagus Asnawi Caringin Jawa Barat. Baca Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual

Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 109-124.

43

Pengaruh dominan mazhab Syafi’i ini sendiri setidaknya telah dimulai ketika 13 buah kitab yang dipakai rujukan bagi Pengadilan Agama di daerah Jawa dan Madura berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai tindak lanjut dari peraturan pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah di luar Jawa dan Madura, menggunakan kitab-kitab fiqh bermazhab Syafi’i.

Sebagai contoh dominasi penafsiran Syafi’iyyah dalam KHI adalah dalam hal rukun nikah. Di dalam mazhab Syafi’i rukun nikah harus memenuhi lima unsur, yaitu (1) calon suami, (2) calon istri, (3) dua orang saksi, (4) wali, dan (5) sighah.44 Di dalam KHI pasal 14 rukun nikah juga memiliki 5 peraturan yang sama, yaitu (1) calon suami, (2) calon isteri, (3) wali nikah, (4) dua orang saksi, dan (5) ijab dan kabul.45 Di luar kategori-kategori ini maka sebuah pernikahan dianggap tidak sah di depan organ negara melalui Pengadilan Agama.

Dengan peraturan ini, mazhab-mazhab lain di luar Syafi’iyah kurang memiliki ruang untuk menafsirkan hukum Islam dalam KHI. Nikah beda agama, yang selalu menjadi perdebatan sengit di kalangan ulama, susah untuk mendapatkan legitimasi karena jelas-jelas ditolak dalam pasal 44 dan 61. Dominasi ini sedari awal sebenarnya telah terlihat dalam pengambilan rujukan 38 kitab yang direkomendasikan. Dari sejumlah kitab tersebut, sebagian besar

44

Lihat Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara: Fiqh dalam

Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia,

Semarang: Aneka Ilmu, 2003, hlm. 151.

45

merupakan kitab dari golongan Syafi’iyyah, meskipun terdapat kitab dari mazhab yang lain. Untuk lebih jelasnya lihat klasifikasi berikut ini:

No. Mazhab Kitab

1. Syafi’iyyah Al-Umm oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Hashyiyyah Kifayat al-Akhyar oleh Ibrahim

ibn Muhammad al-Bajuri, Fath al-Mu’in oleh Zayn Din Malibari, Sharqawi ‘Ala

al-Tahrir dan Al-Sharqawi ‘Ala Hudud oleh Ali

ibn Hijazi ibn Ibrahim al-Sharqawi, Mughni

al-Muhtaj oleh Muhammad al-Sharbini,

Nihayat Muhtaj oleh Al-Ramli, I’anat al-Talibin oleh Sayyid Bakri al-Dimyati, Tuhfat al-Muhtaj dan Targhib al-Mushtaq oleh

Shihab al-Din Ahmad Ibn Hajar al-Haytami,

Al-Faraid oleh Shamsuri, Kanz al-Raghibin wa Sharhuhu oleh Jalal Din Muhammad

al-Mahalli, Fath al-Wahhab oleh Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Bughyat al-Murtashidin oleh Abd Rahman ibn Muhammad al-‘Alawi, Aqidah wa al-Shari’ah oleh Mahmud Shaltut, Al-Wajiz oleh Abu Hamid al-Ghazali,

Qawanin al-Shar’iyyah oleh Sayyid ‘Usman

ibn Aqil ibn Yahya, Qawanin al-Shar’iyyah oleh Sayyid ‘Abdullah ibn Sadaqah Dakhlan,

Hashiyya al-Dasuqi ‘ala al-Sharh al-Kabir

oleh Ibn ‘Arafah Dasuqi, dan Nihayat

al-Zayn oleh Muhammad ibn ‘Umar al-Nawawi.

2. Malikiyah Al-Muwatta’ oleh Malik ibn Anas, Bulghat al-Salik oleh Ahmad Ibn Muhammad al-Sawi, Al-Mudawwanat al-Kubra oleh Sahnun ibn Sa’id

Tanukhi, Kashf Qina’ ‘an Tadmin

al-Sana’ioleh Ibn Rahhal al’Ma’dani, Mawahib al-Jalil oleh Muammad ibn Muhammad

Hattab dan Fath al-Qadir oleh Muhammad ibn Ahmad al-Safati al-Zaynabi.

3. Hanafiyah Fath al-Qadir ‘Ala al-Hidayah oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahid al-Siwasi,

Hidayah Sharh Bidayat al-Mubtadi’ oleh Ali

ibn Abi Bakar al-Marghinani, Hashiyat Radd

al-Mukhtar oleh Muhammad Amin ibn ‘Umar

ibn Abidin, Bada’i Sana’i fi Tarib

al-Shara’i oleh Abu Bakar Ibn Mas’ud al-Kasani, Tabyin al-Haqa’iq oleh Mu’in al-Din ibn

Ibrahim al-Farahi dan Al-Fatawa al-Hindiyyah oleh Syaikh Nizam, dkk.

4. Hanbaliyah Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah oleh Ahmad Ibn

Taimiyyah dan Al-Mughni oleh ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah.

5. Dhahiriyah Al-Muhalla oleh Ali ibn Muhammad ibn

Hazm. 6. Muqaranat al

madzahib

Bidayat al-Mujtahid oleh Ibn Rushd, Al-Fiqh ‘Ala Madhahib Arba’ah oleh ‘Abd

al-Rahman al-Jaziri dan Fiqh al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq.

Dengan mempertimbangkan klasifikasi di atas, corak KHI sebagai cerminan fiqh berkepribadian Indonesia tentu perlu dipertimbangkan. Terlebih lagi, kitab-kitab yang menjadi rujukan sangat kental nuansa Arabismenya sehingga hukum Islam Indonesia cenderung dilihat dari kacamata masyarakat Arab (Timur Tengah). Di sisi lain, mazhab-mazhab lain di luar yang disebutkan di atas tidak memiliki peluang untuk diakomodasi hukum-hukumnya di dalam KHI, seperti Syi’ah, Ahmadiyah, atau yang lain.

Karena itulah, jauh sebelum KHI diregulasikan, Hasbi Ash-Shiddieqy pernah mengutarakan kegelisahannya tentang pelaksanaan hukum Islam oleh umat Islam di Indonesia yang cenderung melakukan dialektikanya dengan mazhab-mazhab dari Timur Tengah. Demikian cuplikan kegelisahan Ash-Shiddieqy tersebut:

“Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia. Fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagiannya adalah fiqh Hijazi, fiqh yang terbentuk atas dasar adat dan istiadat dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Mesir, yaitu fiqh yang telah terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan di Mesir, atau fiqh Hindi, yaitu fiqh yang terbentuk atas ‘urf dan adat istiadat yang berlaku di India.

Selama ini, kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan hukum fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia.

Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijazi atau fiqh Misri atau fiqh Iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”

Kegelisahan Hasbi ini tentunya masih perlu dijawab hingga saat ini karena identitas Fiqh Indonesia belum benar-benar ditemukan. KHI masih mencerminkan dominasi penafsiran mazhab mainstream yang ada di Indonesia. Namun yang sebenarnya perlu penekanan di sini adalah ketika fiqh telah dipositifkan, maka yang kemudian menjadi persoalan adalah ketertutupan pemahaman lain terhadap hukum Islam. Perdebatan mengenai keharusan saksi adalah laki-laki, nikah beda agama, perbandingan waris lelaki dan perempuan, waris beda agama, dan penafsiran hukum Islam lainnya menjadi usai karena hukum Islam telah ditafsirkan oleh negara, sang pemilik regulasi.

Dokumen terkait