• Tidak ada hasil yang ditemukan

Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu propinsi sentra produksi pangan termasuk padi. Luas baku lahan sawah sebesar 919.914 ha, terdiri atas irigasi teknis 374.156 ha, setengah teknis 131.674 ha, irigasi sederhana 104.077 ha, irigasi non-PU 104.488 ha, dan tadah hujan seluas 183.691 ha. Sebagai provinsi pelaksana program SL-PTT, pada tahun 2014, Jawa Barat mendapat penghargaan “Kinerja Pelaporan SL-PTT tahun 2008 – 2014 Terbaik” selain DI Yogyakarta dan Sumatera Selatan dari Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Pada tahun 2013, produksi padi Jawa Barat mencapai 12.083.162 ton dengan kontribusi terhadap total produksi nasional paling besar seperti pada Tabel 7. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan beserta semua Kepala Dinas Pertanian se-Jawa Barat, kontribusi Jawa Barat terhadap produksi beras nasional didorong oleh program SL-PTT.

Pemerintah daerah Jawa Barat sangat mendukung program SL-PTT yang ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD tingkat I yang relatif besar. Sebagai gambaran, alokasi dana APBD pada tahun 2015 dialokasikan sekitar Rp.12 Milyar (data sementara) untuk dua kegiatan yaitu fasilitasi pengaturan jarak tanam jajar legowo (Rp.10 Milyar) dan SL-PTT padi hibrida (Rp.2 Milyar). Disamping itu, pada tahun 2013, pemerintah daerah Provinsi Barat juga membentuk Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh) yang akan membantu pelaksanaan program pertanian termasuk SL-PTT. Pada tahun 2015, Bakorluh menyediakan dana dari APBD untuk membei apresiasi terhadap tenaga penyuluh baik yang sudah PNS maupun yang masih Tenaga Harian Lepas (THL) dalam bentuk

umroh gratis kepada penyuluh yang berprestasi atau reward dalam bentuk lainnya

kepada THL yang berprestasi. Dukungan seperti ini sangat dibutuhkan untuk mendorong peningkatan kinerja para penyuluh dan THL yang menjadi „ujung tombak‟ dalam diseminasi teknologi yang diharapkan berdampak signifikan pada peningkatan produksi dan produktivitas.

29 Tabel 7. Kontribusi Produksi Padi dan Jagung Provinsi Jawa Barat Terhadap Nasional,

Tahun 2013

Komoditas Produksi (ton) % terhad

Nasional Peringkat Nasional Jabar Nasional Padi 12.083.162 71.279.709 16,95 1 Jagung 1.101.998 18.511.853 5,95 6

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2014)

Walaupun demikian, implementasi program SL-PTT di Jawa Barat masih terdapat permasalahan yang harus dicarikan solusinya terutama oleh Kementerian Pertanian. Permasalahn SL-PTT diperoleh dari hasil diskusi dalam pertemuan evaluasi SL-PTT yang dihadiri oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Bakorluh tingkat propinsi dan enam kabupaten sentra produksi padi serta hasil diskusi dengan petani peserta proram SL-PTT di Kabupaten Cianjur. Permasalahan program SL-PTT di Provinsi Jawa Barat yang dirasakan dan dialami oleh instansi dan petani adalah: (a) Komponen SL-PTT yang terlalu banyak dan kurang efektifnya pelaksanaan LL, (b) Jumlah dan kualitas PPL terbatas serta kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Bakorluh, (c) Kinerja penyediaan benih sangat buruk (benih yang sering kurang tepat baik waktu, jumlah, maupun kualitasnya), (d) Status petani sebagai petani penggarap dan berumur tua. Selanjutnya akan diuraian dari masing-masing permasalahan dan alternatif solusinya diuraikan dibawah ini.

5.1. Komponen Teknologi dan Efektivitas Pelaksanaan LL

Jumlah komponen teknologi dalam SL-PTT dianggap terlalu banyak (13 komponen, terdiri dari 6 komponen dasar dan 7 komponen pilihan). Jenis komponen teknologi dasar yang tertera dalam Pedoman Teknis SL-PTT pada tahap awal pelaksanaanya (2008) adalah varietas unggul baru hibrida/non hibrida, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik (jerami atau kompos), pengaturan populasi tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. Komponen teknologi

30 pilihan adalah pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengaturan tanam (jajar legowo 2:1 atau 4:1), pengairan secara efektif dan efisien, penyiapan dengan landak atau gasrok, panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.

Pilihan komponen dasar dan pilihan telah mengalami perubahan seperti tertera dalam Pedoman Teknis SL-PTT Padi dan Jagung tahun 2013. Dalam pedoman tersebut tertera komponen teknologi dasar ada lima yaitu varietas moderen (VUB, PH, PTB), bibit bermutu dan sehat, pengaturan cara tanam (jajar legowo), pemupukan berimbang dan efisien menggunakan BWD dan PUTS/petak omisi/Permentan No. 40/2007 dan PHT sesuai OPT sasaran. Komponen pilihan sebanyak enam yaitu bahan organik/pupuk kandang/ameliorant, umur bibit, pengolahan tanah yang baik, pengelolaan air optimal (pengairan berselang), pupuk cair (ppc, pupuk organik, pupuk bio-hayati)/ZPT, pupuk mikro), penanganan panen dan pasca panen. Berdasarkan kedua pedoman tersebut, terdapat perubahan dalam jumlah komponen dasar dari 6 menjadi 5, dan komponen pilihan dari 7 menjadi 6 komponen. Selain perubahan jumlah komponen, juga ada perubahan jenis komponen, seperti pada pedoman awal, pengaturan tanam (jajar legowo) merupakan komponen pilihan menjadi komponen dasar pada pedoman tahun 2013.

Dalam pedoman disebutkan bahwa petani bersama penyuluh melakukan pemilihan jenis komponen dasar dan pilihan yang akan diterapkan disesuaikan dengan kebutuhan wilayah (spesifik lokasi) berdasarkan Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP). Namun kenyataannya, sebagian besar petani dan penyuluh tidak melakukan kajian tersebut baik di lahan Laboratorium Lapang (LL) maupun di non LL. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa secara inheren, sebetulnya petani sudah banyak “asam garam” dalam berusahatani padi karena mereka melakukan hal tersebut sudah dilakukan sekitar 20-30 tahun yang lalu. Berusahatani padi sebagai sumber mata pencaharian utama yang dilakukan setiap musim padi secara terus menerus, sehingga secara naluri mereka sudah mengetahui sistem budidaya padi yang menguntungkan, teknologi mana yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan.

31 Dengan memperhatikan hal tersebut, diusulkan untuk mengurangi komponen komponen teknologi dalam program SLPTT justru membingungkan petani, sementara efektifitas dari setiap komponen belum terlihat nyata di lapangan, sehingga sebagian petani memilih untuk kembali dengan pilihan teknologi seperti yang telah diterapkan selama ini. Kondisi ini juga sebagai akibat tidak efektifnya kegiatan sekolah lapang di LL dikarenakan: (a) Kegiatan LL dilakukan pada tahun yang sama dengan non LL, (b) Penerapan komponen teknologi di LL tidak dilakukan secara optimal,umumnya hanya dalam sistem pengaturan tanam (jajar legowo) dan penerapan varietas unggul baru (VUB), (c) Lahan LL umumnya milik ketua gapoktan/kelompok tani sehingga dimungkinkan lokasi lahan kurang strategis untuk dapat dilihat oleh banyak petani, (d) Terbatasnya petani peserta dalam pertemuan LL (hanya sekitar 25 orang) dan (e) Tidak adanya juklak di tingkat propinsi dan juknis di tingkat kabupaten sebagai kelanjutan dari pedoman teknis yang disusun oleh Kementerian Pertanian.teknologi, misal hanya 3-5 komponen saja yang betul-betul berpengaruh signfikan terhadap produktivitas dan dapat diterapkan secara baik di lapangan. Hasil kajian yang dilakukan oleh BPTP Jawa Barat menunjukkan komponen benih, jarak tanam legowo, dan pemupukan merupakan tiga komponen utama yang berpengaruh besar terhadap produktivitas padi.

5.2. Kualitas Penyuluhan, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan

Jumlah tenaga penyuluh lapang (PPL) PNS semakin sedikit dikarenakan tidak ada penambahan penyuluh PNS, disisi lain banyak PPL yang sudah pensiun dan menduduki jabatan strukutral, sehingga penerapan satu desa satu penyuluh belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah menambah jumlah penyuluh yang dikenal dengan Tenaga Harian Lepas (THL). Namun demikian THL ini belum dapat bekerja secara optimal dikarenakan: (a) Tidak semua THL mempunyai latar belakang di bidang pertanian, (b) Terbatasnya pelatihan pertanian untuk menambah wawasan mereka di bidang pertanian secara komprehensif, (c) Pada umumnya umur THL lebih muda dibandingkan dengan umur petani, sehingga para THL kurang percaya diri untuk melakukan kegiatan

32 penyuluhan, (d) Terbatasanya fasilitas THL dalam melaksanakan kunjungan lapang (tidak ada kendaraan dan dana perjalanan). Honor THL dari pemerintah pusat untuk 10 bulan sedangkan kekurangannya (2 bulan) dibebankan kepada pemerintah daerah. Kenyatannya tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan hal tersebut.

Peran PPL sebelum dan sesudah otonomi daerah relatif sama yaitu mendampingi petani agar mampu mengadopsi teknologi pertanian secara baik dan benar sehingga produktivitas dan produksi pertanian meningkatkan sesuai yang diharapkan. Seperti pada kasus program SL-PTT, secara konsep program ini sangat baik, namun sebagian besar petani menerapkan komponen teknologi PTT secara parsial, tidak menyeluruh dan terus menerus. Salah satu penyebab hal tersebut adalah jumlah dan kualitas PPL terbatas, padahal peran mereka adalah sangat penting, sebagai ujung tombak dalam penerapan komponen teknologi SL-PTT.

Beberapa faktor terkait dengan PPL sebagai berikut: Pertama, sejak adanya otonomi daerah, kelembagaan penyuluhan yang mewadahi PPL diserahkan kepada masing-masing daerah, sehingga keberadaan lembaga penyuluhan bervariasi antar daerah di Propinsi Jawa Barat. Eselonisasi lembaga penyuluh pertanian berbeda antar daerah yang berdampak pada perbedaan besaran alokasi dana untuk fasilitasi lembaga tersebut. Dibeberapa daerah yang kepala daerahnya tidak memiliki pemahaman yang baik tentang peran penyuluhan, kelembagaan penyuluhan yang sudah ada terancam dibubarkan dan digabung dengan Dinas Petanian atau Badan Ketahanan Pangan. Secara khusus terkait program SLPTT, alokasi dana program SL-PTT berada di Dinas Pertanian, sedangkan pengawalan dan pendampingan teknologi dilakukan oleh PPL yang berada pada koordinasi lembaga penyuluhan kabupaten. Hal ini berdampak pada kurang optimalnya implementasi program SL-PTT di lapangan baik dalam hal alokasi dana dan koordinasi antar lembaga (diistilahkan jika yang melaksanakan anak sendiri akan lebih bagus dibandingkan meminta bantuan anak orang lain); Kedua, fasilitas dan insentif untuk PPL terbatas, tidak seperti pada waktu lembaga penyuluh sebagai UPT pusat, yang berdampak pada kinerja PPL dalam melaksanakan tugasnya; Ketiga, sistem pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas PPL terbatas yang dahulu terdapat jenjang karir dan jenjang

33 tugas dalam penyuluhan seperti ada Petugas Penyuluh Spesialis (PPS) dan PPL, namun saat ini tidak ada hal tersebut termasuk untuk THL. Jika ada pelatihan untk PPL dan THL terfokus pada mekanisme pelaksanaan program termasuk

administrasinya. Kalaupun mereka mampu mengakses teknologi melalui media on

line terutama para THL, namun karena tidak ada arena mempraktekkan teknologi yang diperoleh dan kurang percaya diri maka para THL tidak mampu melaksanakan tugas secara optimal, tidak mampu mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Apalagi bekerja sebagai THL seolah-olah hanya pekerjaan transit sebelum mereka mendapat pekerjaan tetap, maka jiwa patriotik dan korsa melaksanakan tugas juga tidak tumbuh secara optimum. Disisi lain, PPL PNS yang ada sudah berumur tua, berdampak pada keengganan untuk melakukan kunjungan ke petani.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, hasil diskusi menyarankan: (1) Kelembagaan penyuluh dikembalikan dikoordinir oleh lembaga tingkat pusat (sebagai UPT Pusat).

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga penyuluh, disarankan melakukan recruitment

terhadap penyuluh baru yang berstatus PNS; (2) Peningkatan fasilitas perlengkapan PPL sesuai dengan kebutuhan yang bersifat spesifik lokasi, (3) Pelatihan melalui paket kurikulum menurut jenjang karir penyuluh perlu dihidupkan kembali; dan (4) Terkait pembinaan mental, disarankan penyuluh senior mengajak penyuluh yunior saat melakukan penyuluhan sehingga terjadi transfer ilmu, wawasan, dan teknis pelaksanaan penyuluhan langsung di lapangan.

5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih

Selama program SL-PTT petani mendapat bantuan benih melalui mekanisme Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) melalui pihak ketiga. Selama ini benih yang diterima petani tidak sesuai dengan ketentuan (enam tepat). Benih yang diterima petani tidak sesuai dengan yang diusulkan petani dalam hal varietas, kualitas, jumlah dan waktu. Berdasarkan hasil diskusi dengan para kepala dinas pertanian kabupaten se-Jawa Barat disarankan agar petani diberi hak untuk menjalankan usaha penangkaran benih. Dengan konsep kawasan berupa GP-PTT pada tahun 2015, maka

34 sebagian dari luasan LL dapat menjadi tempat penangkaran benih untuk memenuhi kebutuhan benih pada SL. Berdasarkan diskusi dengan petani dan petugas penyuluh di Kabupaten Cianjur, diketahui bahwa petani sudah terbiasa melakukan penangkaran benih bahkan mempunyai usaha di bidang benih. Namun sejak adanya program SL-PTT, petani tidak melakukan penangkaran benih dan menutup usaha penangkarannya karena tidak ada jaminan pasar dari hasil produksi benih tersebut. Dengan potensi petani yang sudah terbiasa melakukan penangkaran benih, dan pemerintah membantu dalam hal sertifikasi benih, maka petani siap memenuhi kebutuhan benih untuk program SL-PTT atau GP-PTT. Petani mengusulkan dilakukan identifikasi kebutuhan benih di setiap wilayah dan potensi produksi benih dari penangkar, dan sisa kebutuhan benih dapat dipenuhi dari pihak ketiga.

5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani

Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya adopsi teknologi oleh para petani. Beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian berdasarkan diskusi dengan para kepala Dinas Pertanian dan Kepala Bakorluh kabupaten se-Jawa Barat adalah petani bukanlah pekerja yang menjalankan usaha pertanian di lahan sawah. Sebagian besar petani bukan petani pemilik penggarap tetapi petani penggarap yang menggarap lahan untuk tanaman padi yang tergabung dalam wadah kelompok tani. Hal ini berdampak pada lemahnya mereka dalam mengadopsi komponen teknologi SL-PTT. Apalagi apabila teknologi tersebut berdampak pada peningkatan dana yang dikeluarkan oleh petani penggarap, mereka tidak akan mengadopsi teknologi tersebut.

Usia petani yang semakin menua (aging farmer) juga menjadi permasalahan yang harus diselesaikan. Disisi lain ketertarikan para pemuda untuk masuk ke dalam sektor pertanian juga sangat terbatas. Dikhawatirkan ke depan akan melemahkan sektor pertanian yang berakibat melemahnya ketahanan pangan. Oleh karena itu, pembinaan generasi muda desa untuk meneruskan usaha pertanian menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Kasus di Kabupaten Cianjur, mengidentifkasi petani muda kemudian dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan pertanian di dalam dan

35

luar negeri agar mereka menjadi entepreneur pertanian. Walaupun masih dalam

jumlah terbatas, diharapkan kegiatan ini akan mampu menarik pemuda untuk bekerja di bidang pertanian. Ke depan pembinaan petani muda harus mendapat perhatian dan dukungan yang baik dari dinas kabupaten/provinsi, bahkan Kementerian Pertanian. Program-program seperti studi banding, beasiswa pertanian, dan pemberian dana bergulir menjadi program yang diharapkan oleh para petani muda Cianjur.

5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT

Selain masalah umur petani dan status petani sebagai pemilik penggarap, faktor penyebab adopsi teknologi yang relatif rendah adalah kurangnya tenaga kerja di sawah. Kasus di Kabupaten Cianjur dengan bekembangnya industri dan mudahnya mendapatkan sepeda motor, maka petani terutama petani muda beralih pekerjaan ke buruh industri dan tukang ojek. Tanam padi di wilayah ini adalah dengan sistem borongan yang dilakukan oleh buruh wanita. Mereka bekerja sebagai buruh “tandur” sudah sejak lama, sehingga pola kebiasaan ini sulit untuk diubah. Kasus pada perubahan pengaturan tanam dari sistem tegel ke sistem jajar legowo (2:1, 4:1 dan seterusnya) yang merupakan komponen dasar program SL-PTT sulit dilakukan oleh petani. Walaupun petani sudah mendapatkan informasi mengenai kelebihan menanam padi dengan sistem tersebut, tetapi petani tidak dapat menerapkan hal tersebut karena buruh tandur tidak mau melakukannya. Oleh karena itu, disarankan penyuluhan program SL-PTT tidak hanya pada petani akan tetapi juga kepada buruh tanam termasuk buruh panen.

Selain itu, banyaknya program yang dilaksanakan oleh pemerintah dan seringnya berubahnya implementasi program juga ditengarai menjadi penyebab rendahnya adopsi teknologi. Sekretaris BP4K Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa banyaknya program dan perubahan program dari waktu ke waktu mengharuskan para penyuluh untuk menguasai banyak materi dan mengikuti perubahan paket program tersebut. Dengan waktu yang relatif hanya setahun untuk mempelajari

36 banyaknya paket program pemerintah, mengakibatkan penguasaan penyuluh terhadap materi program menjadi lemah.

Beberapa hal lain hasil diskusi terkait program peningkatan produksi padi dapat diungkap sebagai berikut:

1. Perhitungan produksi oleh BPS. Lembaga yang berwenang untuk menentukan melakukan perhitungan produksi adalah BPS, namun permasalahan dilapang adalah teknik perhitungan BPS sering kali berbeda (lebih rendah) dengan perhitungan yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan dalam teknik pengukuran pengubinan. Konsep ubinan yang dilaksanakan oleh BPS relatif tetap dari dahulu padahal dengan pola pengaturan jarak tanam seharusnya konsep ubinan menyesuaikan. Oleh karena itu, sosialisasi program SL-PTT juga dilakukan ke instansi BPS tingkap pusat dan daerah dan ada koordinasi yang baik antara BPS dengan Dinas Pertanian Kabupaten.

2. GP-PTT direncanakan mulai diterapkan tahun 2015. Pelaksana teknis di lapangan menyarakankan agar basis kawasan pada GP-PTT tidak berupa hamparan seluas 1.000 ha karena akan menyulitkan dalam koordinasnya. Tidak semua wilayah mempunyai hamparan lahan pertanian seluas tersebut, sehingga untuk 1.000 ha dimungkinkan mencakup lebih dari satu kecamatan. Pertanyaanya adalah jika demikian, siapa yang akan menjadi ketua posko dan dimana letak posko dan hal lainnya. Sebagai contoh, dengan topografi kabupaten kuningan yang beragam, maka hamparan sawah paling luas diperkirakan hanya 700-800 ha. Berkaitan dengan hal tersebut, disarankan sebaiknya basis kawasan padi adalah wilayah administrasi apakah satu kecamatan atau atu desa. Hal ini untuk memudahkan menentukan lokasi dan melakukan koordinasi dalam implementasinya.

37

Dokumen terkait