• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

A. Kinerja Karyawan

1. Definisi Kinerja

Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah job performance. Wirawan (2009) menyatakan bahwa kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Pernyataan itu senada dengan Riggio (2008) yang menyatakan bahwa kinerja merupakan salah satu keluaran kerja yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena kinerja merupakan variabel dalam organisasi yang selalu diukur sehingga mendapatkan perhatian dari organisasi tersebut. Oleh karena itu keberhasilan atau kegagalan organisasi tergantung pada kinerja setiap karyawan.

Berdasarkan dari berbagai literatur, pengertian tentang kinerja sangat beragam. Akan tetapi, dari berbagai perbedaan pengertian, dapat dikategorikan dalam dua pengertian, yaitu dalam konteks hasil dan perilaku (Sudarmanto, 2009).

a. Pada konteks hasil, Bernardin (2003) menyatakan bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang dihasilkan atas fungsi pekerjaan atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu. Dari pengertian

tersebut, Bernardin menekankan kinerja sebagai hasil, bukan karakter sifat dan perilaku. Pengertian kinerja sebagai hasil juga terkait dengan produktivitas dan efektivitas (Richard dalam Sudarmanto, 2009).

b. Pengertian kinerja yang kedua merujuk pada perilaku. Murphy (dalam Sudarmanto, 2009) menyatakan bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi tempat orang bekerja. Pengertian kinerja sebagai perilaku juga dikemukakan oleh peneliti lain. Kinerja adalah sesuatu yang secara aktual orang kerjakan dan dapat diobservasi. Dalam pengertian ini kinerja mencangkup perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi. Kinerja bukan konsekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan itu sendiri (Campbell dalam Sudarmanto, 2009).

Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja adalah keluaran dari pekerjaan yang dapat berupa hasil atau indikator perilaku kerja demi pencapaian tujuan organisasi. Maka penelitian ini menggunakan kinerja dengan pengertian yang merujuk pada indikator perilaku dan hasil yang terkait dengan efektivitas. Hal ini disebabkan karena adanya kesesuaian antara pengertian tersebut dengan dimensi skala kinerja yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Dimensi Kinerja

Dimensi kinerja merupakan aspek-aspek yang menjadi ukuran dalam menilai kinerja. Ukuran-ukuran dijadikan tolak ukur dalam menilai

kinerja untuk mengetahui apakah kinerja suatu organisasi atau individu sudah cukup baik. Ada beberapa pandangan mengenai dimensi kerja, seperti yang dijabarkan berikut ini:

Miner (1988) mengemukakan 4 dimensi yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai kinerja, yaitu:

a. Kualitas, yaitu: tingkat kesalahan, kerusakan, kecermatan. b. Kuantitas, yaitu: jumlah pekerjaan yang dihasilkan.

c. Penggunaan waktu dalam bekerja, yaitu: tingkat ketidakhadiran, keterlambatan, waktu kerja efektif atau jam kerja hilang.

d. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja.

Dari keempat dimensi kinerja tersebut, dua hal terkait dengan aspek keluaran atau hasil pekerjaan, yaitu kualitas dan kuantitas. Sedangkan dua hal terkait aspek perilaku individu yaitu penggunaan waktu dalam kerja (kepatuhan terhadap jam kerja, disiplin) dan kerja sama. Terkait dengan dimensi kualitas, Parasuraman, Zeithaml dan Berry (dalam Sudarmanto, 2009) mengemukakan ukuran kinerja dalam dimensi kualitas, sebagai berikut:

a. Kehandalan, yakni mencakup konsistensi kinerja dan kehandalan dalam pelayanan, akurat, benar dan tepat.

b. Daya tanggap, yaitu keinginan dan kesiapan para pegawai dalam menyediakan pelayanan dengan tepat waktu.

c. Kompetensi, yaitu keahlian dan pengetahuan dalam memberikan pelayanan.

d. Akses, yaitu pelayanan yang mudah diakses oleh pengguna layanan. e. Kesopanan, yaitu mencakup kesopansantunan, rasa hormat, perhatian

dan bersahabat dengan pengguna layanan.

f. Komunikasi, yaitu kemampuan menjelaskan dan menginformasikan pelayanan kepada pengguna layanan dengan baik dan dapat dipahami dengan mudah.

g. Kejujuran, yaitu mencakup kejujuran dan dapat dipercaya dalam memberikan layanan kepada pelanggan.

h. Keamanan, yaitu mencakup bebas dari bahaya, keamanan secara fisik, risiko, aman secara finansial.

i. Pengetahuan terhadap pelanggan yaitu berusaha mengetahui kebutuhan pelanggan, belajar dari persyaratan-persyaratan khusus pelanggan. j. Bukti langsung, meliputi fasilitas fisik, penampilan pegawai, peralatan,

dan perlengkapan pelayanan, fasilitas pelayan.

3. Dimensi Kinerja Pramuniaga Kasir PT. Sumber Alfaria Trijaya (SAT) Tbk Ada enam dimensi kinerja yang digunakan oleh PT. SAT untuk menilai kinerja Pramuniaga Kasir. Dimensi tersebut merupakan kumpulan teori dimensi kinerja yang disesuaikan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan oleh organisasi. Hal ini sesuai dengan pemikiran Bufford (1988) yang menyatakan bahwa efektifitas standar kinerja seharusnya dikaitkan dengan hasil yang diinginkan dari masing-masing pekerjaan (dalam Sudarmanto, 2009). Ke enam dimensi tersebut adalah:

a. Orientasi pelayanan konsumen: mendengar dan memenuhi permintaan konsumen, memperhatikan kepuasan konsumen, dan inisiatif memberikan informasi yang membantu konsumen.

b. Inovasi untuk kemajuan lebih baik: mengembangkan cara kerja yang sudah ada pada umumnya, berusaha mencari cara kerja yang lebih memudahkan, terbuka dan bersedia menerima gagasan baru yang bermanfaat.

c. Orientasi pada hasil kerja: bekerja dengan lebih baik dari sebelumnya, pantang menyerah demi pencapaian standar kinerja, berusaha keras menyelesaikan tugas dan mampu menyelesaikan masalah dengan baik. d. Kerjasama tim: mendukung penuh kebijakan tim, terlibat dalam

memperbaharui barbagai informasi yang berguna bagi tim, mau terlibat dalam setiap kerja tim, dan mau membantu rekan kerja apabila pekerjaan sendiri sudah terselesaikan.

e. Integritas dan kredibilitas pribadi: dapat dipercayai, menyampaikan informasi berdasarkan fakta dan kebenaran, menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab pribadi, dapat berempati terhadap kenyataan rekan kerja, dan menghargai kelemahan rekan kerja.

f. Kedisiplinan: sangat disiplin di dalam lingkup lingkungan kerja, mengikuti tata tertib dan prosedur kerja dan memelihara keteraturan dan ketertiban dalam bekerja.

Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa dimensi yang digunakan oleh PT. SAT memiliki beberapa kesamaan dengan teori dimensi kinerja

lainnya yaitu dimensi kualitas, kerja sama tim dari Miner (1988) dan dimensi dari Parasuraman (1985) yakni kehandalan, daya tanggap, kompetensi, kesopanan, komunikasi, kejujuran, dan pengetahuan terhadap pelanggan. Ke enam dimensi diatas lah yang akan digunakan dalam penelitian ini.

4. Evaluasi Kinerja

Wibowo (2008) menyatakan bahwa evaluasi kinerja dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap hasil kerja atau prestasi kerja yang diperoleh organisasi, tim atau individu. Menurut Wirawan (2009), tinggi rendahnya hasil evaluasi kinerja ternilai secara teori menentukan tinggi rendahnya kinerja organisasi.

Sementara itu, Riggio (2008) memandang evaluasi kinerja sebagai alat resmi untuk mengukur kinerja pegawai dibandingkan dengan standar organisasi yang telah ditetapkan. Pendapat lain mengemukakan sebagai pendekatan penilaian kinerja berdasarkan perilaku menilai atau mengukur dimensi-dimensi kompetensi yang telah ditetapkan (Grote dalam Sudarmanto, 2009).

Menurut Sudarmanto (2009), evaluasi kinerja akan menjadi sarana efektif yang diharapkan akan membawa manfaat kedua belah pihak, baik karyawan maupun organisasi. Manfaat dari evaluasi kinerja antara lain: a. Mengukur hasil dan kemajuan yang dicapai dengan membandingkan

b. Memberi umpan balik kepada karyawan, sejauh mana kinerja selama ini yang sudah dicapai apabila kurang dapat ditingkatkan.

c. Menjadi informasi yang berharga bagi pihak organisasi dalam mengambil keputusan yang bisa berupa promosi, pelatihan kompetensi yang kurang, pengembangan kompetensi yang diatas rata-rata.

Setiap organisasi memiliki karakter dan budaya masing-masing, model sistem evaluasi kinerja organisasi bisa berbeda satu sama lain. Survei yang dilakukan oleh Brien N. Smith, Jeffrey S. Hornsby, dan Roslyn Shirmeyer pada tahun 1996 terhadap 250 manager perusahaan di Negara-negara bagian barat-tengah Amerika Serikat menyatakan bahwa 33,91% menggunakan model evaluasi esai, 31,76% menggunakan model

Management by Objectives (MBO), 24,03% menggunakan Graphic Rating Scales, dan 10,30% menggunakan model lainnya (dalam Wirawan, 2009).

Model Graphic Rating Scales merupakan metode evaluasi kinerja yang menggunakan skala untuk menilai pekerja berdasarkan dimensi pekerjaannya (Riggio, 2008). Ciri dari model ini adalah dimensi kinerja karyawan dikemukakan beserta indikator-indikatornya. Dalam model ini penilai mengobservasi indikator kinerja karyawan ternilai dan memberi tanda centang (v) atau silang (x) pada skala. Keunggulan dari model ini adalah nilai kinerja setiap karyawan dapat dibandingkan dengan rata-rata nilai seluruh karyawan. Selain itu model ini mudah dipahami oleh penilai dan ternilai, serta mudah dilaksanakan (Wirawan, 2009).

Dari penjelasan yang sudah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja merupakan proses mengukur kinerja berdasarkan tolak ukur tertentu yang dinilai dan memberikan umpan balik kepada ternilai atas kinerja. Evaluasi kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan suatu model untuk mengukur kinerja yakni model Graphic Rating Scales

yang mana mengevaluasi kinerja adalah pemimpin bukan bawahan demi menghindari penilaian diri yang berlebihan atau tidak subjektif dan atas pertimbangan dari manfaat yang diperoleh dari evaluasi kinerja.

5. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Wirawan (2009), kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Faktor internal pegawai yaitu faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan psikologi. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh, misalnya: pengetahuan, keterampilan, pengalaman kerja, dan motivasi kerja.

b. Faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi kinerja pegawai. Misalnya, krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Indonesia tahun 1997 meningkatkan inflasi,

menurunkan nilai nominal upah dan gaji pegawai, dan selanjutnya menurunkan daya beli pegawai. Jika inflasi tidak diikuti dengan kenaikan upah atau gaji pegawai yang sepadan dengan tingkat inflasi, maka kinerja mereka akan menurun.

c. Faktor yang terakhir adalah faktor lingkungan internal organisasi. Dalam melaksanakan tugas, pegawai memerlukan dukungan organisasi tempat ia bekerja. Dukungan tersebut, misalnya penggunaan teknologi oleh organisasi, strategi organisasi, sistem manajemen, budaya organisasi dan kepemimpinan.

Hasil sinergi dari ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku kerja karyawan yang kemudian mempengaruhi kinerja mereka. Namun dari ketiga jenis faktor tersebut, salah satu faktor yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah faktor kepemimpinan dari lingkungan internal organisasi. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan menjadi salah satu dimensi kompetensi yang sangat menentukan kinerja (Sudarmanto, 2009).

Dokumen terkait