• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Kinerja Reproduksi Anak Betina 1. Jarak Anogenital

ditimbang untuk menyatakan rataan bobot lahir. Pada hari ke-15 dan ke-21 setelah kelahiran dilakukan penimbangan bobot badan masing-masing anak dan pengukuran jarak celah anogenital. Penimbangan bobot badan dilakukan dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance dan pengukuran celah anogenital dilakukan dengan menggunakan penggaris.

Penetapan usia pubertas pada anak betina dilakukan dengan melihat hadirnya Vaginal Opening (VO = pembukaan vagina) (Zhou et al. 2007). VO diamati sejak anak betina tersebut berusia 18 hari. Pada saat anak berusia 28 dan 42 hari dilakukan penimbangan bobot badan dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance dan kemudian dinekropsi untuk diambil ovarium, uterus, dan vaginanya. Anak betina tersebut ditidurkan dengan menggunakan eter. Organ ovarium dan uterus-vagina didapatkan dengan menggunakan peralatan bedah. Bobot basah ovarium dan uterus-vagina ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik dan dinyatakan dalam satuan gram. Diagram bagan penelitian disajikan pada Gambar 5.

Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya A. Kinerja Induk

1. Lama Kebuntingan

Lama kebuntingan dihitung sejak ditemukannya sel sperma pada preparat ulasan vagina sampai induk betina tersebut melahirkan dengan satuan hari. 2. Jumlah Anak dalam Sekali Melahirkan dan Bobot Badan Anak

Jumlah anak dalam sekali melahirkan dari setiap induk dihitung melalui jumlah total anak pada hari pertama kelahiran. Bobot anak dihitung pada hari kedua setelah partus.

B. Kinerja Reproduksi Anak Betina 1. Jarak Anogenital

Jarak anogenital pada anak didapatkan dengan mengukur jarak celah yang dibentuk oleh anus dan alat genital dalam skala sentimeter pada usia 15 dan 21 hari.

  2. Usia Pubertas

Pubertas pada tikus betina ditandai dengan hadirnya Vaginal Opening (VO). Pemeriksaan pubertas dilakukan setiap hari sejak umur anak 18 hari sampai didapatkan VO.

3. Bobot Badan, Bobot Ovarium dan Bobot Uterus-Vagina

Bobot badan, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina ditimbang pada saat anak berusia 28 dan 42 hari dan dinyatakan dalam satuan gram. Bobot badan diukur dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance. Bobot ovarium dan bobot uterus-vagina yang diukur dengan menggunakan timbangan analitik merupakan bobot basah organ. Bobot basah didapat melalui pengkuran segera setelah organ dikeluarkan dari tubuh.

Analisis Statistik

Hasil parameter yang telah diukur dinyatakan dalan rataan ± simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika melalui analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) (Steel & Torrie 1991).

25

 

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kinerja Induk

Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak yang meliputi jumlah anak dalam sekali melahirkan dan rataan bobot badan lahir anak. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan ± SD lama kebuntingan, jumlah anak lahir, dan bobot badan lahir anak

Parameter Kelompok P

K A B C Lama Kebuntingan

(Hari) 22 ± 0 22 ± 0 21.7 ± 0.6 22 ± 0 tn

Jumlah Anak dalam Sekali Melahirkan (Ekor) 7.7 ± 1.2 7.7 ± 2.1 7.7 ± 1.2 7.3 ± 0.6 tn Rataan BB Lahir Anak (Gram) 5.89 ± 0.42 a 4.71 ± 0.40 b 6.69 ± 0.69 a 6.05 ± 0.14 a 0.0046 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus; tn = tidak berbeda nyata

Lama kebuntingan pada kelompok kontrol (K) dan kelompok yang mendapatkan fitoestrogen selama awal kebuntingan (A), akhir kebuntingan (B) dan saat laktasi (C) tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Lama kebuntingan normal pada tikus Sprague Dawley adalah 21-23 hari (Hrapkiewicz & Medina 1998). Namun demikian, kelompok B terlihat memiliki lama kebuntingan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Fitoestrogen diduga dapat menginduksi terjadinya kelahiran melalui mekanismenya yang menyerupai estrogen pada tubuh. Kadar hormon estrogen secara normal akan meningkat seiring bertambahnya usia kebuntingan. Konsentrasi estradiol melonjak secara drastis setelah usia kebuntingan 12 hari hingga mencapai konsentrasi tertinggi sebesar 68.268±1.919 pg/ml pada usia

  kebuntingan 16 hari (Tuju & Manalu 1996). Peningkatan kadar estrogen selama kehamilan akan menginduksi peningkatan konsentrasi reseptor oksitosin di miometrium secara progresif sehingga dapat menyebabkan dimulainya proses kelahiran (Sherwood 2001).

Hasil pengamatan mengenai jumlah anak dalam sekali melahirkan dari seluruh kelompok tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Jumlah anak dalam sekali melahirkan tikus Sprague Dawley menurut Hrapkiewicz & Medina (1998) adalah 6-12 ekor. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah anak dalam sekali melahirkan dari seluruh kelompok menandakan bahwa pemberian fitoestrogen tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ruhlen et al. (2008) yang menyatakan bahwa jumlah anak dalam sekali melahirkan tidak dipengaruhi oleh pemberian pakan yang mengandung diet fitoestrogen rendah maupun diet fitoestrogen tinggi yang berbahan dasar kedelai.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beda nyata pada rataan bobot badan lahir anak kelompok A (p<0.05). Kelompok A juga terlihat memiliki bobot badan lahir anak yang lebih rendah bila dibandingkan baik dengan kelompok kontrol maupun kelompok B dan C. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok B dan C dalam rataan bobot badan lahir anak. Perbedaan yang nyata pada kelompok A dengan kelompok kontrol ini menunjukan bahwa pemberian fitoestrogen ekstrak tempe pada usia awal kebuntingan yaitu hari ke-2 sampai hari ke-11 (H2-H11) dapat mempengaruhi rataan bobot badan lahir anak. Usia kebuntingan 2-11 hari berada dalam rentang tahapan embrionik dan sel-sel bakal anak aktif membelah. Proses organogenesis yang terdapat dalam tahapan embrionik memiliki laju yang cepat sehingga embrio paling sensitif selama trisemester pertama (awal kebuntingan). Embrio tersebut sensitif terhadap berbagai jenis gangguan seperti radiasi dan obat-obatan yang dapat menyebabkan kecacatan saat lahir (Campbell et al. 2004). Fitoestrogen memiliki komponen berupa genestein yang berasal dari kelompok isoflavon. Genistein memiliki aktivitas yang secara poten dapat menghambat pembelahan sel melalui interaksinya dengan protein tirosin kinase (Akiyama et al. 1987). Penghambatan pembelahan sel oleh fitoestrogen pada sel-sel bakal anak

  yang berada dalam tahapan embrionik diduga menjadi penyebab rendahnya bobot badan anak yang dilahirkan pada kelompok A.

Kelompok B memiliki nilai rataan bobot badan lahir anak yang tertinggi di antara seluruh kelompok meskipun tidak memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Fitoestrogen diduga dapat mendukung pertumbuhan fetus dalam periode akhir kebuntingan melalui mekanisme kerjanya yang menyerupai estrogen. Pertumbuhan fetus secara alami akan meningkat secara eksponensial pada akhir kebuntingan. Besarnya tingkat pertumbuhan fetus tergantung terutama pada asupan nutrisi dan kemampuan fetus memanfaatkan nutrisi tersebut. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus adalah genetik (spesies, ras, jumlah anak, genotipe), lingkungan (nutrisi induk, ukuran dan aliran darah plasenta), dan hormonal fetus (Jainudeen & Hafez 2000). Fitoestrogen merupakan substansi yang mempunyai kemampuan seperti hormon estrogen. Estrogen tubuh dapat berfungsi untuk menambah proliferasi sel dan meningkatkan penimbunan lemak sehingga estrogen dapat menyebabkan terjadinya kenaikan bobot badan (Sherwood 2001). Mekanisme inilah yang diduga sebagai faktor lain yang dapat menambah bobot badan anak di akhir kebuntingan akibat pemberian fitoestrogen melalui induk. Fitoestrogen ini dapat masuk ke dalam tubuh fetus melalui plasenta induk (Todaka et al. 2005).

4.2 Kinerja Reproduksi Anak Betina

4.2.1 Jarak Celah Anogenital dan Usia Pubertas

Jarak celah anogenital dan usia pubertas yang diekspresikan melalui vaginal opening adalah parameter awal yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak tempe yang diberikan melalui induk terhadap kinerja reproduksi anak betina. Data hasil penelitian ini dicantumkan pada Tabel 7.

  Tabel 7 Rataan ± SD jarak celah anogenital dan usia vaginal opening

Parameter Kelompok P

K A B C

Jarak Celah Anogenital

Anak 15 Hari (cm) 0.62 ± 0.03

c

0.70 ± 0a 0.60 ± 0c 0.65 ± 0b 0.0001 Jarak Celah Anogenital

Anak 21 Hari (cm) 0.77 ± 0.03

b

0.88 ± 0.03a 0.85 ± 0a 0.75 ± 0b 0.0001 Usia Vaginal Opening

(Hari) 43.3 ± 0.6

c

50.7 ± 3.8b 55.7 ± 0.6a 51.0 ± 0b 0.0004 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus.

Hasil penelitian menunjukan bahwa jarak celah anogenital anak pada usia 15 dan 21 hari kelompok A memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol dan memiliki nilai terbesar di antara semua kelompok (p<0.05). Hal ini menunjukan bahwa pemberian fitoestrogen pada induk di usia awal kebuntingan (usia 2-11 hari) dapat mempengaruhi jarak celah anogenital anak betina yang dilahirkannya. Perpanjangan jarak celah anogenital pada anak tikus betina juga pernah dilaporkan dalam penelitian Casanova et al. (1999) yang memberikan 16 mg genistein dan 14 mg daidzein per 100 gram pakan pada tikus Sparague Dawley bunting dan anak yang dilahirkannya. Perpanjangan jarak celah anogenital merupakan ciri telah terjadinya efek maskulinisasi pada individu betina yang diekspresikan pada alat kelamin luar (Baskin 2000). Fitoestrogen yang diberikan selama perlakuan dapat mempengaruhi perpanjangan jarak celah anogenital melalui interaksinya dengan protein tirosin kinase (Casanova et al. 1999). Protein tirosin kinase ini akan dihambat secara poten oleh genistein, salah satu komponen fitoestrogen (Akiyama et al. 1987), sehingga faktor-faktor pertumbuhan seperti proliferasi sel yang dipengaruhi oleh protein kinase juga terhambat (Kim et al. 1998). Masa kebuntingan awal yang merupakan tahapan embrionik dan di dalamnya terdapat fase organogenesis merupakan fase kritis terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel. Staack et al. (2003) menyatakan bahwa sistem reproduksi betina berkembang dari duktus Mullerian atau para mesonefros yang terjadi selama masa organogenesis. Perkembangan sistem reproduksi betina

  ini tidak membutuhkan stimulasi hormonal. Oleh karena itu, perkembangan sistem reproduksi betina dipengaruhi oleh keberhasilan sel-sel saat sel berkembang dan berdiferensiasi. Gangguan terhadap protein kinase oleh fitoestrogen dapat menyebabkan terhambatnya proliferasi sel termasuk dalam sel-sel duktus Mullerian yang akan berkembang menjadi organ genital betina. Hal inilah yang diduga sebagai faktor penyebab terjadinya efek maskulinisasi berupa perpanjangan jarak celah anogenital yang terlihat pada tikus betina.

Efek maskulinisasi lain yang dapat terjadi pada tikus betina ditunjukan dengan terjadinya penundaan vaginal opening pada individu tersebut (Strand 1999). Data pengamatan memperlihatkan bahwa terjadinya vaginal opening pada anak betina dari seluruh kelompok perlakuan memiliki usia yang lebih lama dan memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0.05). Vaginal opening merupakan tanda dimulainya pubertas bagi tikus betina (Zhou et al. 2007). Hrapkiewicz & Medina (1998) menyatakan bahwa pubertas tikus normal terjadi pada usia 6-8 minggu. Usia vaginal opening yang lebih lama pada semua kelompok perlakuan yaitu kelompok A, B, dan C menandakan telah terjadi adanya penundaan pubertas karena pemberian ekstrak tempe. Penundaan pubertas karena pemberian fitoestrogen sejalan dengan penelitian Levy (1995) yang menunjukan bahwa pemberian genistein (sebagai salah satu bagian dari fitoestrogen) sebanyak 5.000 μg secara subkutan pada tikus Charles River CD yang bunting usia 16-20 hari dapat menyebabkan penundaan onset pubertas.

Efek maskulinisasi yang terjadi pada anak betina dalam kelompok perlakuan ditunjukan dengan adanya perpanjangan jarak celah anogenital dan penundaan usia pubertas. Efek maskulinisasi ini menunjukan bahwa fitoestrogen ekstrak tempe dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak betina meskipun fitoestrogen diberikan melalui induk bunting dan induk laktasi. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan fitoestrogen untuk dapat dipindahkan dari induk ke fetus melalui plasenta (Todaka et al. 2005) dan juga fitoestrogen dapat disekresikan melalui susu induk (Lewis et al. 2003).

  4.2.2 Bobot Badan, Bobot Ovarium, dan Bobot Uterus-Vagina

Parameter lainnya yang diamati untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak tempe yang diberikan melalui induk terhadap kinerja reproduksi anak betina adalah bobot badan, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina. Data dapat dilihat pada Tabel 8 (untuk anak usia 28 hari) dan Tabel 9 (untuk anak usia 42 hari).

Tabel 8 Rataan ± SD bobot badan anak, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina anak betina usia 28 hari

Parameter Kelompok P K A B C Bobot Badan (Gram) 24.96 ± 3.54 a 16.43 ± 0.50b 24.15 ± 1.31a 23.47± 4.15a 0.0144 Bobot Ovarium (Gram) 0.02 ± 0.01 0.01± 0.00 0.02 ± 0.00 0.01 ± 0.00 tn Bobot Uterus-Vagina (Gram) 0.03 ± 0.01 a 0.02± 0.00b 0.04± 0.00a 0.03± 0.01ab 0.0395 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus; tn = tidak berbeda nyata

   

Hasil pengamatan mengenai bobot badan anak usia 28 hari menunjukan bahwa bobot badan anak betina kelompok A memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol dan memiliki nilai terkecil di antara semua kelompok (p<0.05). Kecilnya bobot badan ini diduga disebabkan oleh bobot badan anak saat lahir yang juga kecil. Hal ini diduga karena sebagian besar nutrisi yang didapatkan oleh anak sejak lahir hingga mencapai usia 28 hari merupakan nutrisi yang berasal dari susu induk. Susu induk disekresikan pada masa laktasi yang berlangsung selama 21 hari pertama setelah partus. Pada masa laktasi anak belum mempunyai kemampuan untuk mencari makanannya sendiri. Oleh karena itu, bobot badan anak kelompok A yang sejak lahir memiliki nilai yang terkecil di antara semua kelompok tidak dapat meningkatkan bobot badan yang setara dengan kelompok lainnya yang memiliki rataan bobot lahir yang lebih besar.

Hasil penelitian menunjukan bahwa bobot ovarium pada seluruh kelompok tidak memiliki perbedaan yang nyata, sedangkan bobot uterus-vagina anak kelompok A pada usia 28 hari memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok

  kontrol (p<0.05). Bobot ovarium anak kelompok A memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol dan bobot uterus-vaginanya memiliki nilai yang terkecil di antara semua kelompok. Bobot ovarium dan bobot uterus-vagina yang kecil berkorelasi dengan rendahnya bobot badan anak kelompok A pada usia 28 hari. Usia 28 hari belum termasuk ke dalam usia pubertas yang memiliki siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus) serta siklus hormonal seperti sekresi estrogen. Belum adanya sekresi estrogen yang memadai menyebabkan proliferasi sel-sel ovarium dan uterus-vagina belum efisien.

Tabel 9 Rataan ± SD bobot badan anak, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina anak betina usia 42 hari

Parameter Kelompok P K A B C Bobot Badan (Gram) 52.91 ± 9.88 66.18 ± 4.53 57.01± 4.24 54.17 ± 13.89 tn Bobot Ovarium (Gram) 0.02± 0.00 c 0.05± 0.00a 0.04± 0.01b 0.03± 0.00b 0.0002 Bobot Uterus-Vagina (Gram) 0.06 ± 0.01 c 0.10 ± 0.01a 0.08 ± 0.01b 0.07 ± 0.00bc 0.0007 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus; tn = tidak berbeda nyata

Data penelitian menunjukan bahwa bobot badan anak usia 42 hari pada seluruh kelompok tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol. Namun demikian, kelompok A memiliki nilai bobot badan anak tertinggi di antara semua kelompok. Tingginya bobot badan ini diduga merupakan proses fisiologis tubuh anak melalui mekanisme pertumbuhan pengganti (compensatory growth). Kandungan lemak dalam tubuh dapat mempengaruhi bobot badan dan asupan pakan. Selama masa pertumbuhan pengganti, individu akan mengalami hiperfagia, peningkatan bobot badan secara cepat, dan penyimpanan cadangan energi yang banyak (Jobling & Johansen 1999). Hornick et al. (2000) menyatakan bahwa individu yang sangat kurus dan kemudian diberi pakan ad libitum akan mengalami kenaikan asupan pakan sehingga individu tersebut dapat meningkatkan deposisi lemak dalam tubuhnya saat pertumbuhan pengganti berlangsung. Hal ini sejalan dengan penelitian Clearly (1986) yang menunjukan

  bahwa tikus dapat mengalami kenaikan bobot badan pada masa pertumbuhan pengganti setelah tikus tersebut diberi pakan ad libitum. Pada usia 28 hari bobot badan anak kelompok A memiliki nilai yang terkecil dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya bobot lahir anak kelompok A dan sebagian besar nutrisi yang didapatkan berasal dari susu induk dalam masa laktasi (21 hari setelah partus). Setelah usia 21 hari atau berakhirnya masa laktasi, anak mulai bisa mencari makanan sendiri dan tidak tergantung pada induk. Oleh karena itu, anak betina kelompok A bisa mendapatkan nutrisi tambahan yang berasal dari pakan untuk menaikan bobot badan dan mencapai bobot badan tertinggi di antara seluruh kelompok. Selain itu, mendekati usia 42 hari yang merupakan usia menjelang pubertas terjadi peningkatan aktivitas Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). Peningkatan GnRH akan berdampak terhadap meningkatnya kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), dan testosteron. Kenaikan ketiga hormon tersebut berdampak terhadap meningkatnya sintesis estrogen tubuh. Adanya estrogen yang juga berfungsi untuk menambah proliferasi sel dan meningkatkan penimbunan lemak dapat menyebabkan naiknya bobot badan anak betina (Sherwood 2001).

Hasil penelitian mengenai bobot ovarium anak usia 42 hari menunjukan bahwa seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai bobot ovarium yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0.05). Bobot ovarium pada seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal yang sama juga ditunjukan pada bobot uterus-vagina yang memiliki nilai beda nyata (p<0.05) dan seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai bobot uterus-vagina yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Kadar estrogen dalam tubuh anak usia 42 hari yang merupakan usia menjelang puber mengalami peningkatan. Pada tahap awal pubertas, hormon gonadotropin (FSH dan LH) merangsang tahap awal perkembangan folikel sehingga merangsang pematangan sel folikel. Sel-sel folikel yang telah matang dapat menghasilkan estrogen. Estrogen terhadap jaringan reproduksi berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan memelihara keseluruhan saluran reproduksi betina, merangsang proliferasi sel granulosa yang menyebabkan pematangan folikel, serta merangsang pertumbuhan endomentrium dan miometrium (Sherwood 2001). Keberadaan

  estrogen ini akan meningkatkan perkembangan ovari dan uterus-vagina termasuk bobot organ-organ tersebut.

Tingginya bobot organ reproduksi anak usia 42 hari pada kelompok yang mendapat ekstrak tempe diduga sebagai akibat adanya fitoestrogen yang terkandung dalam ekstrak tempe. Fitoestrogen dapat dipindahkan dari induk ke anak melalui plasenta (Todaka et al. 2005) dan susu induk (Lewis et al. 2003). Oleh karena itu, fitoestrogen dapat berpengaruh terhadap kinerja reproduksi anak betina dalam hal bobot organ reproduksi meskipun fitoestrogen ekstrak tempe yang diberikan pada kelompok perlakuan dilakukan melalui induk bunting dan induk laktasi. Fitoestrogen ini dapat bekerja seperti estrogen saat di dalam tubuh. Estrogen bekerja pada keseluruhan saluran reproduksi betina termasuk dalam pertumbuhan dan proliferasi sel-sel dalam ovarium dan uterus-vagina (Sherwood 2001). Pertumbuhan dan proliferasi ovarium dan uterus-vagina dapat berakibat terhadap bertambahnya bobot organ-organ tersebut. Hal inilah yang diduga sebagai mekanisme terjadinya pertambahan bobot ovarium dan bobot uterus-vagina akibat pemberian fitoestrogen ekstrak tempe.

 

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pemberian fitoestrogen yang berasal dari ekstrak tempe dosis 4.72 gr/kgBB pada awal kebuntingan, akhir kebuntingan, dan awal laktasi dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak betina tikus Sprague Dawley berupa:

• memperpanjang jarak celah anogenital • menunda usia pubertas

• meningkatkan bobot ovarium dan bobot uterus-vagina anak usia 42 hari 5.2 Saran

Saran yang diajukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah jumlah ulangan tikus percobaan yang digunakan lebih banyak untuk memperkecil standar deviasi, diperlukan penelitian lanjut dengan menggunakan berbagai tingkatan dosis fitoestrogen, dan penelitian dilanjutkan sampai anak betina mencapai usia dewasa kelamin untuk melihat produktivitasnya.

 

PEMBERIAN FITOESTROGEN EKSTRAK TEMPE PADA