• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi sebagai proses konversi (conversion)

V.4 Kinerja Supply Chain dan Implementasi Konsep Lean Construction

V.4.1. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi sebagai proses konversi (conversion)

Pengelolaan conversion di industri konstruksi diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi dapat berjalan dengan baik. Indikator-indikator kinerja supply chain yang terkait dengan konsep produksi sebagai proses konversi adalah intensitas defect pekerjaan, kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material, intensitas terjadinya reject material, keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan. Keterkaitan antara indikator dengan konsep conversion disajikan pada Gambar V.1 berikut.

Gambar V.1 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep conversion

(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)

Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek studi kasus terhadap konsep conversion disajikan pada Tabel V.4 berikut.

Tabel V.4 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Conversion Proyek A Proyek C Proyek B Proyek D Kontraktor X Kontraktor Y Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4

No. Indikator

Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta 4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2% 5 Kinerja supplier dalam memenuhi

jadwal pengiriman 100% 100% 100% 100%

7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2% 9 Keikutsertaan subkontraktor di dalam

perencanaan pelaksanaan Tidak ada

Tidak

ada Tidak ada

Tidak ada

Dari Tabel V.4 di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kinerja proyek studi kasus untuk indikator-indikator yang mengarah kepada pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion. Hal ini dimungkinkan mengingat kedua kontraktor pelaksanaan merupakan perusahaan kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam menangani berbagai proyek bangunan gedung sehingga kontraktor sangat konsisten dalam melaksanakan prosedur pelaksanaan konstruksi di lapangan meskipun proyek tersebut memiliki kompleksitas dan lingkungan yang berbeda. Sehingga pemahaman terhadap pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion telah menjadi suatu pemahaman yang baik bagi kedua kontraktor.

Selain itu kedua kontraktor juga mempunyai sertifikat ISO dan sertifikat lainnya dari pihak yang berwenang, dimana Standard Operation Procedure (SOP) yang diterapkan di proyek konstruksi merupakan penjabaran dari sertifikat-sertifikat yang dipunyai oleh perusahaan. SOP ini tidak hanya mengatur tentang bagaimana pihak manajemen di proyek konstruksi mengatur dan mengendalikan proyek konstruksi, tetapi juga mengatur tentang proses suatu pekerjaan di lapangan harus dilakukan. Pada umumnya hal-hal yang diatur meliputi pengetesan, metode pengerjaannya, pemasangannya dan kualitas (mutu) yang diinginkan. Jadi standard ISO mengandung maksud bahwa seluruh pekerjaan di lapangan harus

dapat ditelusuri dalam bentuk record data yang dibuat secara tertib dan benar. Terlihat bahwa kedua perusahaan sangat memahami core bisnis-nya dan telah terselenggaranya Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing kegiatan hingga ke tingkat proyek di lapangan.

Hubungan kerjasama jangka panjang (partnering) antar pihak

Hasil temuan pada keempat proyek studi kasus menunjukkan telah biasanya kedua kontraktor pelaksana konstruksi dalam melaksanakan proses bisnisnya dan pandangan produksi konstruksi sebagai proses konversi merupakan suatu hal yang umum diterapkan di lapangan. Demikian pula dengan hubungan dalam supply chain -nya telah mulai mendapatkan perhatian yang lebih. Hal ini terlihat di mana pada kedua perusahaan konstruksi telah mulai menerapkan konsep partnering sebagai salah satu usaha memperlancar arus pasokan material yang dianggap strategis dalam proses produksi dan memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan standar mutu yang telah digariskan perusahaan dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang telah terseleksi.

Pada kedua perusahaan responden telah terlihat adanya ikatan hubungan kerjasama untuk jangka waktu tertentu sebagaimana yang diusulkan oleh Ohnuma et al. (2000) sebagai salah satu upaya mengelola supply chain, yaitu konsep partnering. Konsep ini merupakan suatu komitmen jangka panjang yang memberikan manfaat bagi semua pihak yang bersepakat berupa peningkatan efisiensi dari sumber daya yang dimiliki. Dasar dari partnering adalah kepercayaan (trust) dan kejujuran (honesty). Penggunaan strategi kemitraan (partnering) ini perlu dilakukan, karena dengan strategi ini akan terbentuk suatu tanggungjawab bersama antara pihak-pihak yang terkait (terikat dalam dalam suatu kerjasama), untuk dapat mengembangkan produknya secara terus-menerus, meningkatkan kualitas dengan melakukan berbagai inovasi yang dapat mendukung ke arah yang lebih baik, mengurangi waste serta melakukan perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement).

Perusahaan telah melakukan perubahan terhadap struktur manajemennya menjadi lebih datar (flat), dengan fokus yang lebih besar pada kebutuhan customer dan pada tim kerja, termasuk kemitraan (partnership) dengan perusahaan lain. Perusahaan mengeluarkan fungsi-fungsi yang bukan merupakan fungsi intinya (non-core function) kepada perusahaan lain yang lebih kecil. Pendapat itu menunjukkan bahwa konsep partnering ini bisa diterapkan sebagai pola hubungan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil.

Sampai saat ini, kemitraan dipahami sebagai kumpulan dari proses-proses kolaboratif, yang menekankan pentingnya tujuan umum. Dasar dari kemitraan adalah kepercayaan yang tinggi antar organisasi dan adanya tujuan satu sama lain yang saling menguntungkan antar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Kemitraan berarti satu proses manajemen yang membantu perencanaan strategis untuk meningkatkan efisiensi dari perusahaan-perusahaan, dan membentuk satu team sebagai sasaran utama (Barlow et al. 1997).

Kumaraswammy (2000), kemudian membedakan partnering ke dalam dua bentuk yang didasarkan pada durasi dari kerja sama yang dilakukan, yaitu project partnering dan strategic partnering. Project partnering adalah hubungan yang terjadi dalam satu proyek tertentu saja, sementara strategic partnering adalah hubungan yang terjadi dalam jangka panjang dan melibatkan lebih dari satu proyek konstruksi.

Pada kedua perusahaan kontraktor terlihat telah adanya upaya untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Kerjasama yang diterapkan akan berbeda antara satu penyedia jasa dengan penyedia jasa lainnya. Seperti misalnya untuk supplier material yang bersifat bahan utama dalam proyek konstruksi bangunan gedung, maka akan dilakukan kerjasama yang bersifat strategic partnering untuk kurun waktu tertentu. Sedangkan untuk material-material yang khusus hanya dipakai pada proyek-proyek tertentu saja akan dilakukan bentuk kerjasama yang bersifat project

partnering. Namun ikatan kerjasama ini tetap mengutamakan pihak ketiga yang telah masuk dalam daftar rekanan perusahaan.

Sistem pengadaan material strategis

Sistem pengadaan terhadap material strategis dilakukan secara terpusat. Sistem pengadaan ini dikoordinir oleh suatu divisi pengadaan. Material atau barang dan jasa yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi berkisar dari material atau jasa yang rutin hingga material atau jasa yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang tinggi, yang hanya dapat diberikan oleh individu dengan pengalaman yang memadai. Dalam spektrum tersebut, maka masing-masing material dan jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga juga menuntut hubungan antara kontraktor dengan penyedia material atau jasa tersebut dalam bentuk hubungan yang berbeda pula.

Menurut Maylor (2003) terdapat dua pendekatan dalam melakukan pengadaan material dalam suatu proyek – sentralisasi dan desentralisasi. Memusatkan pengadaan berarti semua pengadaan yang diperlukan oleh proyek-proyek dari suatu kontraktor dilakukan oleh satu organisasi pengadaan di kantor pusat. Dengan demikian kantor pusat memiliki kontrol bagi semua kebutuhan bisnisnya.

Terdapat keuntungan dalam memusatkan pengadaan ini, yaitu bentuk organisasi pengadaan yang lebih efisien, dapat melakukan standarisasi dalam prosedur pengadaan, dapat melakukan pengadaan secara terpadu pada material utama, serta dapat melakukan pemanfaatan material dan manajemen persediaan material secara lebih baik. Pengadaan secara desentralisasi merupakan pengadaan yang dilakukan oleh organisasi proyek, dengan kewenangan pengadaan pada manajer proyek. Keuntungan dari pengadaan secara desentralisasi adalah proses pengadaan yang lebih cepat dapat terjadi dengan kontak langsung antara penjual dan pembeli. Untuk itu dibutuhkan penguasaan mengenai penyedia barang dan atau jasa setempat.

Adapun dalam pelaksanaannya divisi pengadaan melakukan perhitungan terhadap kebutuhan material yang akan digunakan pada proyek-proyek yang dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Untuk kemudian dilakukan prosedur standar yang telah ditetapkan dalam proses pengadaan supplier. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian material adalah:

Kuantitas barang dan atau jasa yang dibeli, yang dilakukan berdasarkan skedul penggunaan bahan. Pembelian material dalam jumlah besar akan mempengaruhi besaran potongan harga yang diperoleh, sehingga melakukan pembelian dalam jumlah besar lebih menarik. Hal ini menjadi pertimbangan kontraktor dalam melakukan pembelian untuk beberapa proyek (multiple project).

Kualitas material yang dibeli, dapat diteliti melalui percobaan pengiriman material, melihat reputasi perusahaan melalui informasi dan referensi yang dapat dikumpulkan, serta melalui sertifikasi yang dimiliki oleh penyedia barang dan atau jasa tersebut.

Harga, mencapai suatu kesepakatan pembelian pada harga yang tepat merupakan tantangannya. Dalam suatu organisasi proyek hal ini memerlukan pembinaan hubungan jangka panjang antara kontraktor sebagai pembeli (buyer) dengan supplier sebagai penjual material. Supplier terbaik belum tentu supplier yang memberikan harga terendah.

Waktu, kemampuan untuk memenuhi skedul pengiriman material merupakan pertimbangan penting dalam pembelian material. Dalam proses ini, supplier juga memerlukan proses yang memakan waktu, apalagi jika material tersebut berasal dari luar negeri, yang memerlukan waktu yang berarti mulai dari dikeluarkannya surat pesanan, hingga pengiriman ke site. Dengan demikian, perencanaan pengadaan yang meliputi identifikasi kebutuhan material yang diperlukan beserta karakteristiknya, volume dan jadwal pemakaian, akan menentukan kapan pembelian ini harus dilakukan.

Supplier. Untuk mendapatkan supplier yang tepat merupakan issue yang penting dalam konstruksi. Pengembangan proses pemilihan pemasok sudah dilakukan antara lain oleh Syachrani (2004), yang mencoba mengembangkan model pemilihan pemasok dalam konteks konstruksi. Kebutuhan material dalam konstruksi yang sangat beragam, mulai dari pembelian material dengan volume yang besar yang memungkinkan terjadinya hubungan antara kontraktor dengan penyedia material pada tingkat produsen, hingga kebutuhan material dalam volume yang kecil yang cukup dilakukan dengan pembelian sederhana pada tingkat pengecer. Dengan demikian, maka metoda yang dapat dilakukan untuk pembelian berbagai material yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi beragam tergantung pada karakteristik materialnya. Material mana saja yang paling berpengaruh terhadap biaya proyek, merupakan informasi yang penting bagi manajer untuk memberikan perhatian lebih pada item-item tertentu.

Collaborative design

Dari beberapa indikator pengukuran ternyata terdapat satu indikator yang tidak memiliki nilai karena indikator tersebut terlihat tidak aplikatif pada proyek-proyek studi kasus, yaitu indikator-9 keikutsertaan sub-kontraktor dan supplier pada proses perencanaan pekerjaan. Hal ini dikarenakan kontraktor belum mengetahui konsep dan manfaat dari keikutsertaan subkontraktor dan supplier pada proses perencanaan pekerjaan ini yang lebih dikenal dengan istilah collaborative design. Sehingga suatu perencanaan terpadu dan antisipatif belum umum dilakukan dan belum menjadi suatu kebutuhan serta belum dipahami kepentingannya dalam memastikan kualitas dan kuantitas ketercapaian tujuan suatu proses produksi.

Hal ini akan menimbulkan suatu ketidakefisienan sebagaimana dikatakan oleh Nicolini et al. (2001), ketidakefisienan (inefisiensi) akan terjadi apabila sistem koordinasi terpusat menjadi pilihan dalam mengelola fragmentasi dalam suatu supply chain konstruksi. Oleh karena itu untuk memberikan fasilitas dalam pembagian informasi, Nicolini menyarankan menggunakan sistem cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan

supplier untuk mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin. Desain kluster ini dianggap dapat meminimalkan interface, sehingga dapat memfasilitasi tranparansi dalam komunikasi.

Selain itu, kontraktor dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi suatu konstruksi harus sudah mulai menerapkan terminologi collaborative design, yang menurut Bogus et al. (2000) tim perencana dalam suatu perencanaan proyek harus diperluas. Sehingga pada tahap perencanaan tidak hanya terbatas hanya tanggungjawab konsultan perencana saja, akan tertapi juga ikut terlibat kontraktor, sub kontraktor, dan supplier material. Meskipun jika hal ini dipraktekkan di lapangan akan menimbulkan kesulitan dalam hal, namun dengan bantuan teknologi informasi yang lebih canggih hambatan ini dapat diatasi.

V.4.2. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep aliran

Dokumen terkait