• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinetika Pirolisis Asam Asetat Jati, Pinus dan Bambu

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.8. Model Kinetika Pirolisis

4.8.2.2. Kinetika Pirolisis Asam Asetat Jati, Pinus dan Bambu

Kinetika pirolisis untuk asam asetat jati. pinus dan bambu berdasarkan hasil analisis persamaan Arrhenius disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 14. Perbandingan nilai ln k terhadap 1000/T pada model Arrhenius dari kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu menghasilkan nilai energi aktivasi yang diperoleh dari slope sedangkan faktor pre eksponesial yang diperoleh dari intersep.

Gambar 19 Perbandingan nilai ln k terhadap 1000/T pada model Arrhenius dari kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu.

Gambar 19 menunjukkan adanya perbedaan perilaku konstanta kinetika model Arrhenius dari asam asetat jati, pinus dan bambu. Nilai ln k model Arrhenius memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis. Hubungan antara suhu pirolisis (x) dan ln konstanta kinetika (y) pada model Arrhenius asam asetat jati adalah y jt = -1.517x – 7.176. bila y = ln k = -9.4307, maka persamaan regresi -9.4307 = -1.517x-7.176, sehingga x = 1.4863 atau T =1000/1.4863 = 672.81 K. Maka suhu optimun asam asetat jati Arrhenius = 672.81-273 = 399.81°C. Artinya konstanta kinetika asam asetat jati yang optimal sebesar -9.4307/menit dan dicapai pada suhu pirolisis optimal 399.81°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.997. Nilai R2 menunjukkan adanya korelasi yang kuat pada suhu pirolisis dengan nilai konstanta kinetika asam asetat jati sebesar 99.70%. Hal ini menunjukkan

‐12 ‐10 ‐8 ‐6 ‐4 ‐2 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 ln   k 1000/T Jati  Pinus Bambu

pembentukan energi aktivasi asam asetat terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis.

Peningkatan ln k model Arrhenius asam asetat pinus memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis (Gambar 19). Hubungan antara suhu pirolisis (x) dan konstanta kinetika model Arrhenius asam asetat pinus dinyatakan dengan persamaan: y pns = -1.264x -6.938. Bila y pns = ln k = -8.8174, maka persamaan regresi adalah -8.8174 = -1.264x -6.938, sehingga x = 1.4869 atau T =1000/1.4869 = 672.54 K. Maka suhu optimun asam asetat pinus Arrhenius = 672.54-273 = 399.54°C. Hal ini mengandung arti bahwa konstanta kinetika asam asetat pinus yang optimal sebesar -8.8174 /menit dan dicapai pada suhu pirolisis optimal 399.54°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.985. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat. artinya suhu pirolisis memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat pinus. sebesar 98.50%. Hal ini menunjukkan pembentukan energi aktivasi asam asetat pinus terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis didapatkan adanya perbedaan antara hasil percobaan dan hasil prediksi.

Gambar 19 menunjukkan adanya perbedaan perilaku ln k model Arrhenius asam asetat bambu, dimana peningkatan ln k model Arrhenius memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis. Hubungan antara suhu dan konstanta kinetika model Arrhenius asam asetat bambu dinyatakan dengan persamaan: y bb = -1.369x – 6.861. Bila y bb = ln k = - 8.8963, maka persamaan regresi adalah -8.8963= -1.369x – 6.861, sehingga x = 1.4867 atau T =1000/1.4867 = 672.63 K. Maka suhu optimun asam asetat bambu Arrhenius = 672.63-273 = 399.63°C. Hal ini mengandung arti bahwa konstanta kinetika asam asetat bambu yang optimal sebesar -8.8963/menit dan dicapai pada suhu pirolisis optimal 399.63°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.982. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat, artinya suhu pirolisis yang memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat bambu sebesar 98.2%. Hal ini menunjukkan pembentukan energi aktivasi asam asetat bambu terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis. Hasil penelitian ini diperoleh model Arrhenius kinetika pirolisis asam asetat tidak dipengaruhi oleh

laju pemanasan, yang menyebabkan nilai konstanta kinetika terhadap kenaikan suhu pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu mengalami kenaikan.

Dalam penelitian ini, salah satu faktor yang mempengaruhi kinetika pirolisis adalah laju pemanasan (ξ) yang menyebabkan menggunakan model Tsamba, dimana hubungan ln F(x)/T2 terhadap 1000/T sehingga diperoleh energi aktivasi dan faktor pre eksponensial. Untuk mendapatkan nilai ln k , maka perlu dilakukan perhitungan selisih nilai ln F(x)/T2 terhadap ln R/ξEa. Nilai ln F(x)/T2 dalam kinetika pirolisis untuk model Tsamba asam asetat jati, pinus dan bambu berdasarkan hasil perhitungan persamaan Arrhenius terhadap perubahan suhu pirolisis pada Gambar 20 dan Lampiran 14.

Gambar 20 Perbandingan nilai ln F(x)/T2 terhadap 1000/T untuk model Tsamba dari kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu

Kinetika asam asetat jati model Tsamba dengan persamaan : y jt = 2.290x- 16.94. Bila y jt = ln F(x)/T2 = -13.5609, maka persamaan regresi adalah -13.5609 = 2.290x-16.94, sehingga x = 1.4756 atau T =1000/1.4756 = 677.69 K. Maka suhu optimun asam asetat jati Tsamba = 6877.69-273 = 404.69°C. Artinya konstanta kinetika asam asetat jati sebesar -13.5609/menit pada suhu optimal 404.69°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.9870. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang tinggi, artinya suhu pirolisis memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat jati sebesar 98.70%.

Kinetika asam asetat pinus model Tsamba dengan persamaan : y pns = 1.451x -14.67. bila y pns = ln F(x)/T2 = -12.5527, maka persamaan regresi adalah

‐16 ‐14 ‐12 ‐10 ‐8 ‐6 ‐4 ‐2 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 ln   F(x )/T2 1000/T Jati  Pinus  Bambu 

-12.5527 = 1.451 x-14.67, sehingga x = 1.4592 atau T =1000/1.4592 = 685.31 K. Maka suhu optimun asam asetat pinus Tsamba = 685.31-273 = 412.31⁰C. Artinya konstanta kinetika asam asetat pinus sebesar -12.5527/menit pada suhu optimal 412.31°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.9930. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat, artinya suhu pirolisis memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat pinus. sebesar 99.3`%.

Kinetika asam asetat bambu model Tsamba dengan persamaan : ybb = 2.069x -16.21. Bila y bb = ln F(x)/T2 = -12.7786, maka persamaan regresi - 12.7786 = 2.067x-16.21, sehingga x = 1.4351 atau T =1000/1.4351 = 696.82 K. Maka suhu optimun asam asetat bambu Tsamba = 696.82-273 = 423.82° C. Artinya konstanta kinetika asam asetat bambu sebesar -13.2437 /menit pada suhu optimal 423.82°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.983. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat, artinya suhu pirolisis yang memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat pinus sebesar 98.30%.

Nilai ln F(x)/T2 untuk model Tsamba kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu meningkat dengan kenaikan suhu pirolisis. Nilai ln F(x)/T2 model Tsamba meningkat secara proporsional dengan suhu pirolisis. Kedua model ini mempertimbangkan pengaruh suhu pirolisis terhadap konstanta kinetika. Perbedaannya adalah model Arrhenius hanya melihat pengaruh suhu terhadap konstanta kinetika tanpa laju pemanasan. Model Tsamba mempertimbangkan pengaruh suhu pirolisis terhadap laju pemanasan.

Menurut Koufapanos et al. (2001), bahwa model kinetika yang disimulasikan dengan nilai terbaik dari konstanta kinetika didapatkan dengan meminimalkan kesalahan kuadrat terkecil untuk model Tsamba. Faktor lain yang mempengaruhi adalah laju pemanasan, dengan nilai ln F(x)/T2 untuk model Tsamba meningkat secara proporsional dengan kenaikan suhu pirolisis. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa model Tsamba lebih sesuai daripada model Arrhenius pada laju reaksi asam asetat jati, pinus dan bambu. Kinetika pirolisis untuk model Tsamba menunjukkan ln F(x)/T2 versus 1000/T untuk menentukan nilai Ea dan A. Nilai k diperoleh dari perhitungan ln k yaitu selisih ln F(x)/T2 terhadap ln R/ξEa, dimana faktor yang mempengaruhi adalah laju pemanasan dan

suhu pirolisis. Sedangkan model Arrhenius hanya suhu pirolisis yang berpengaruhi dalam kinetika pirolisis. Laju reaksi untuk model Tsamba diperoleh dari hasil perhitungan antara konstanta kinetika (k) terhadap konsentrasi asam asetat, yang mana mendekati nilai laju reaksi hasil percobaan yang diperoleh dari hasil perhitungan antara konsentrasi asam asetat yang berbanding terbalik terhadap waktu pirolisis. Sedangkan model Arrhenius, nilai k relatif lebih kecil daripada hasil percobaan. Sehingga laju reaksinya bertolak belakang. Hubungan laju reaksi asam asetat jati, pinus dan bambu terhadap waktu pirolisis pada model Arrhenius dan Tsamba dapat lihat Gambar 21 dan Lampiran 16.

(a)

(b)

Gambar 21 Hubungan laju reaksi terhadap waktu pirolisis (a) Percobaan, dan Model Tsamba, (b) Model Arrhenius untuk asam asetat jati,

pinus dan bambu. 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 200 400 600 800 1000 La ju   reak si   (m o l/L .m e n it) Suhu pirolisis (°C) Jati Percobaan Pinus Percobaan Bambu Percobaan Jati Tsamba Pinus Tsamba Bambu Tsamba 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 200 400 600 800 1000 La ju   reaksi   (10 4   mol/L.menit) Suhu pirolisis (°C) Jati Arrhenius Pinus Arrhenius Bambu Arrhenius

Gambar 21 menunjukkan adanya perbedaan perilaku laju reaksi hasil percobaan dengan laju reaksi hasil prediksi. Penurunan laju reaksi percobaan memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis. Laju reaksi hasil prediksi menggunakan model Arrhenius untuk pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu menunjukkan perilaku yang berbeda dengan laju reaksi hasil prediksi. Nilai konstanta laju reaksi pada suhu yang berbeda, karena konstanta laju reaksi berbanding lurus dengan laju reaksi, untuk laju reaksi prediksi yang dihasilkan dengan menggunakan model Arrhenius untuk pembentukan asam asetat jati lebih tinggi dibandingkan laju reaksi asam asetat pinus dan bambu. Jika laju suatu reaksi bertambah dengan cepat dengan kenaikan suhu, maka reaksi itu akan terjadi ledakan dan reaksi itu disebut reaksi eksplosif (Holil 2008).

Nilai laju reaksi prediksi menggunakan model Tsamba untuk pembentukan asam asetat jati lebih tinggi dibandingkan laju reaksi asam asetat pinus dan bambu. Nilai laju reaksi prediksi lebih mendekati nilai laju reaksi hasil percobaan untuk asam asetat jati dan lebih besar dibandingkan dengan pinus dan bambu, juga terlihat bahwa semakin tinggi suhu pirolisis, nilai laju reaksi percobaan mengalami trend yang menurun yang mendekati nilai laju reaksi hasil prediksi model Tsamba. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu pada hasil percobaan terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis 400-500°C yang sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam hasil prediksi model Tsamba yang disebabkan adanya pengaruh suhu dan laju pemanasan. Oleh karena itu maka laju reaksi pada model Tsamba dapat memperlambat pembentukan asam asetat, bila reaksi lambat menunjukkan nilai konstanta laju reaksi kecil, sebalikya reaksi cepat menunjukkan nilai konstanta laju reaksi besar yang diterapkan pada model Arrhenius.

4.8.3. Waktu Paruh dalam Kinetika Pirolisis

Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan bagi bahan baku (serbuk kayu jati. pinus dan bambu) untuk bereaksi sehingga konsentrasi reaktan menjadi setengah dari semula. Waktu paruh asam asetat jati, pinus dan bambu pada model

Arrhenius mengalami penurunan dan cenderung mengalami kenaikan model Tsamba terhadap suhu pirolisis dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 7.

Waktu paruh asam asetat jati (4.75x104–0.64x104 menit) lebih tinggi dibandingkan waktu paruh asam asetat pinus (1.94x104–0.37x104menit) dan bambu (2.36x104 –0.39x104menit) pada model Arrhenius. Waktu paruh Tsamba asam asetat jati adalah 1.1079-81.5467/menit, lebih tinggi dibandingkan dengan waktu paruh asam asetat pinus yakni 2.4597-44.4325/menit dan bambu yakni 1.1535-55.4518/menit. Waktu paruh dipengaruhi oleh nilai konstanta kinetika (k) yang berorde satu dari persamaan Arrhenius, sehingga apabila nilai k semakin besar maka waktu paruh semakin kecil dan sebaliknya.

(a)

(b)

Gambar 22 Hubungan antara waktu paruh terhadap suhu pirolisis (a). Model Arrhenius (b). Model Tsamba untuk kinetika asam asetat jati, pinus dan bambu.

0 1 2 3 4 5 0 200 400 600 Wa ktu   pa ruh   Ar rh e n iu s (10   4.menit) Suhu pirolisis (⁰C) Jati Pinus Bambu 0 20 40 60 80 100 0 100 200 300 400 500 600 Wak tu   pa ruh   Tsamba   (   menit) Suhu pirolisis (⁰C) Jati  Pinus  Bambu 

Waktu paruh untuk model Arrhenius berada pada kisaran suhu pirolisis 400- 450°C, dimana produk asam asetat mengalami penurunan di atas suhu pirolisis 400°C. Berdasarkan hasil perhitungan untuk model Arrhenius (Gambar 22 dan Lampiran 15) diperoleh bahwa dekomposisi lignin kayu jati berada pada suhu optimun 404.23°C, sedang dari hasil analisis GC-MS asap cair kayu jati menghasilkan asam asetat 45.86%. Dekomposisi lignin kayu pinus optimun pada 448.45°C dan dari analisis GC-MS asap cair kayu pinus menghasilkan asam asetat 19.60%. Dekomposisi lignin bambu optimun pada 446.59°C dari hasil analisis asap cair bambu menghasilkan asam asetat 46.30%. Hasil perhitungan untuk model Tsamba dari persamaan regresi untuk asam asetat jati diperoleh y = 2.290x-16.94 diperoleh suhu optimun asam asetat jati Tsamba = 677.69-273°C = 404.69°C.Persamaan regresi untuk asam asetat pinus Tsamba adalah y = 1.451x- 14.27, maka suhu optimun asam asetat pinus Tsamba = 685.31-273°C = 412.31⁰C. Persamaan regresi untuk asam asetat pinus Tsamba adalah y = 2.067x- 16.21, maka suhu optimun asam asetat bambu Tsamba = 696.82-273°C = 423.82°C.Hal ini menunjukkan bahwa produk asam asetat yang dihasilkan sangat mempengaruhi nilai konstanta kinetika sehingga waktu paruh yang optimum berada pada kisaran suhu tersebut.

4.9. Termodinamika Kimia

4.9.1. Konversi Perubahan Nilai Kalor terhadap Perubahan Entropi

Nilai kalor terutama ditentukan oleh kandungan air, sedikit abu dan zat terbang maupun ukuran bahan yang dibakar. Keuntungan kayu dan bambu sebagai bahan bakar (arang) karena memiliki kandungan abu dan belerang yang rendah. Untuk serbuk kayu jati, serbuk kayu pinus dan bambu, maka nilai kalor dan entropi arang disajikan pada Tabel 26 Perhitungan diberikan di Lampiran 8 dan 9.

Tabel 26 Karakteristik nilai kalor dan entropi arang serbuk kayu jati, pinus dan bambu

Suhu pirolisis (° C)

Nilai kalor (MJ/kg) Entropi (J/K.mol)

Jati Pinus bambu Jati Pinus bambu

110 18.73 18.89 18.45 4.08 4.11 4.01

200 23.77 22.10 22.09 4.19 3.89 3.89

300 24.92 25.28 24.25 3.62 3.68 3.53

400 27.37 27.07 26.41 3.39 3.35 3.27

Nilai kalor arang untuk ketiga jenis bahan baku di atas cenderung naik pada kenaikan suhu pirolisis. Hasil perhitungan tersebut di atas memperoleh hasil bahwa nilai kalor jati berkisar antara 18.73-27.92 MJ/kg, pinus berkisar antara 18.89-28.36 MJ/kg dan bambu berkisar antara 18.45-26.86 MJ/kg. Nilai kalor pinus lebih tinggi dibandingkan nilai kalor jati dan bambu (Tabel 26 dan Lampiran 9). Hal ini didasarkan pada kondisi proses pembakaran yang menghasilkan panas langsung dalam bentuk praktis yang berbeda dan tergantung pada suhu pembakaran yang digunakan serta jenis bahan baku. Nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air, sedikit abu dan zat terbang serta jenis bahan bakunya.

Hasil ini sejalan dengan hasil kajian-kajian tentang nilai kalor bahan baku dari proses pirolisis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian ini didukung oleh Wang et al. (2009), menunjukkan bahwa nilai kalor limbah kayu pinus yang berasal dari industri pengolahan kayu sebesar 17.2 MJ/kg. Sedangkan nilai kalor campuran sampah kota dan limbah industri dengan pirolisis sebesar 19.87 MJ/kg (Paulucci et al. 2010). Nilai kalor dari kayu pinus dan spruce sebesar 16.6 MJ/kg dan ampas tebu (Bagase) sebesar 15.4 MJ/kg (Demirbas & Balat 2007). Nilai kalor untuk pirolisis Maize Straw sebesar 16.9 MJ/kg dan rumput laut Ulva petruza sebesar 11.5 MJ/kg (Ye et al. 2010), nilai kalor arang kayu berkisar 22.5 (MJ/kg) dan bambu 23.1 MJ/kg (Tippayawong et al. 2010). Perbedaan jenis nilai kalor batu bara Ashland, Afrika selatan dan Sardinian Sulcis sebesar 29.75, 27.44 dan 20.83 MJ/Kg (Franzoni et al. 2010). Perbandingan nilai entropi dari arang dan asap cair ketiga bahan baku pada termodinamika kimia dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Perbandingan nilai entropi arang dan asam asetat jati, pinus dan bambu terhadap suhu pirolisis pada termodinamika kimia.

Nilai entropi pada ketiga bahan baku cenderung mengalami penurunan terhadap suhu pirolisis. Nilai entropi ketiga jenis arang hampir sama. Sedangkan nilai entropi ketiga asam asetat hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa entropi arang dipengaruhi oleh nilai kalor terhadap suhu pirolisis dengan dS = dq/T, dimana nilai kalor yang dihasilkan dari proses pirolisis menggunakan reaktor listrik, untuk setiap variasi suhu pirolisis dan waktu tinggal, mempunyai nilai kalor yang hampir sama. Oleh karena itu, bahan baku yang digunakan dalam proses pirolisis ini mempunyai komposisi bahan organik sama yaitu kayu jati, pinus dan bambu, sehingga nilai kalor yang hampir sama. Semakin tinggi nilai kalor ketiga arang, maka entropi semakin besar. Artinya kualitas semakin baik karena energi yang dipancarkan semakin baik. Dimana nilai kalor semakin tinggi, maka kadar abu semakin naik, Berdasarkan hasil penelitian ini seperti kadar abu arang bambu berkisar antara 2.77-15.60% lebih tinggi dibandingkan kadar abu arang jati berkisar 1.09-10.82% dan pinus berkisar antara 0.44-1.24%, mendekati hasil penelitian Wang et al. (2009). Analisa proksimat limbah kayu pinus menunjukkan kadar abu 0.30%, dan bahan biomassa yang berasal dari kayu mangga menghasilkan kadar abu 2.5% (Tippayawong et al. 2010). Sedangkan kadar zat terbang bambu dalam penelitian ini berkisar antara 82.75-4.62% lebih rendah dibandingkan zat terbang jati berkisar 83.28-5.08% dan pinus berkisar antara 85.93-15.15%, Menurut penelitian Wang et al. (2009, bahwa zat terbang

‐450 ‐400 ‐350 ‐300 ‐250 ‐200 ‐150 ‐100 ‐50 0 50 0 200 400 600 800 1000 E n tr opi    Per p a dua n   (J/mol) Suhu pirolisis (K) Arang Jati Arang Pinus Arang Bambu Asam asetat jati Asam asetat pinus  Asam asetat Bambu

limbah pinus 77.28%, dan zat terbang kayu mangga 74.7% (Tippayawong et al. 2010).

4.9.2. Perubahan Entalpi (ΔH⁰), Entropi (ΔS⁰) dan Energi Bebas Gibbs (ΔG⁰)

Termodinamika kimia untuk proses pirolisis ini memberikan data perubahan entropi, entalpi dan energi aktivasi. Laju reaksi tergantung pada kondisi suhu, konstanta kinetika dan energi aktivasi. Data termodinamika yang diperoleh adalah nilai perubahan entropi, entalpi dan energi bebas Gibbs dapat digunakan dalam menentukan reaksi kesetimbangan (Barin et al. 1973). Perubahan entalpi diperoleh dari nilai energi aktivasi terhadap perubahan suhu dan konstanta gas, dapat dilihat pada Gambar 24 dan Lampiran 19 dan 20.

Gambar 24 Perubahan entalpi asam asetat jati, pinus dan bambu untuk model Tsamba dalam termodinamika kimia.

Gambar 24, secara umum nilai entalpi untuk model Tsamba dari ketiga bahan baku mengalami penurunan dengan kenaikan suhu, dimana perubahan entalpi untuk jati berkisar antara 15.86-12.61 kJ/mol, pinus berkisar antara 8.88- 5.63 kJ/mol dan bambu berkisar 14.01-10.76 kJ/mol. Hal ini disebabkan oleh pengaruh energi aktivasi, dimana nilai energi aktivasi asam asetat jati 19.04 kJ/mol, asam asetat pinus 12.06 kJ/mol dan asam asetat bambu sebesar 17.19 kJ/mol lebih besar dibandingkan nilai perkalian tetapan gas dan suhu pirolisis sebesar (3.184-6.426) kJ/mol sehingga perubahan entalpi bernilai positif.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 0 200 400 600 800 1000 Enta lpi   Tsamba   (J /mol) Suhu pirolisis (K) Jati Pinus Bambu

Pada penelitian ini untuk menghitung perubahan ∆H⁰ dimana Ea tergantung pada suhu pirolisis. Sifat termodinamika suatu sistem yang didefenisikan sebagai ∆H⁰ = Ea-RT. Perubahan entalpi berbanding lurus dengan energi aktivasi. Jika Ea > RT, maka perubahan entalpi bernilai positif pada pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu. Secara umum perubahan entalpi dipengaruhi oleh nilai energi aktivasi dan suhu pirolisis. Jika perubahan entalpi bernilai positif berarti reaksi bersifat endotermik. Hal ini didukung oleh penelitian Adejero et al.(2010), bahwa nilai entalpi untuk AMI, MNDO dan PM3 sebesar 250.66, 325.07, dan 195.01 kJ/mol. Perubahan entalpi untuk pirolisis kayu Bark sebesar 434 J/g lebih tinggi dibandingkan selulosa sebesar 274 J/g (Billbao et al. 1993), nilai entalpi tongkol jagung untuk arang aktif sebesar 6.231 kJ/mol pada suhu 400° C (Bangash & Alam 2007). Perubahan entalpi untuk Cr(III) sebesar 12.64 kJ/mol dengan kenaikan suhu (Mahdavi et al 2011).

Gambar 25 Perubahan entropi asam asetat jati, pinus dan bambu dengan model Tsamba dalam termodinamika pirolisis.

Gambar 25 memperlihatkan bahwa secara umum perubahan entropi untuk model Tsamba dari ketiga bahan baku cenderung mengalami penurunan. Nilai entropi model Tsamba untuk asam asetat jati berkisar lebih kecil dibandingkan entropi asam asetat pinus dan entropi bambu. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kondisi proses (suhu pirolisis) dan laju pemanasan yang menyebabkan terjadi penurunan entalpi yang mana dekomposisi selulosa asap cair jati menghasilkan asam asetat, asam format, metil ester dan asam hidronitrat. Pada dekomposisi

‐350 ‐300 ‐250 ‐200 ‐150 ‐100 ‐50 0 0 200 400 600 800 1000 En tro p i   Tsamba (J /K.mol) Suhu Pirolisis (K) Jati  Pinus  Bambu 

selulosa asap cair pinus dihasilkan asam asetat, L-alanin etil ester, 2 propanon dan asam propanoat. Dekomposisi selulosa asap cair bambu menghasilkan asam asetat, metil ester dan asam propanoat. Dalam rangka menghitung entropi diperlukan data konstanta kinetika dan suhu pirolisis agar diperoleh perubahan entalpi. Jika entalpi bernilai negatif artinya reaksi berlangsung secara spontan dan reaksi eksotermal. sehingga entropi yang dihasilkan bernilai negatif. Hal ini didukung oleh penelitian Adejero et al 2010, bahwa nilai entropi untuk AMI, MNDO dan PM3 sebesar -0.69, 3.367, dan -0.742 J/mol. Perubahan entalpi tongkol jagung untuk arang aktif sebesar -262.10 J/K mol pada suhu 400°C (Bangash & Alam 2007). Selanjutnya Li et al. (2009). mengatakan bahwa perubahan entalpi bernilai positif menunjukkan bahwa proses berlangsung secara spontan dan bersifat endotermik.

Perubahan energi bebas Gibbs pada termodinamika kimia pada pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu dengan menghitung nilai perubahan entalpi dan entropi terhadap suhu pada proses pirolisis dapat dilihat pada Gambar 26 dan Lampiran 19 dan 20.

Gambar 26 Energi bebas Gibbs asam asetat jati, pinus dan bambu untuk model Tsamba.

Gambar 26, menunjukkan bahwa perubahan energi bebas Gibbs asam asetat jati, pinus dan bambu dalam termodinamika kimia cenderung mengalami kenaikan dengan naiknya suhu. Perubahan energi bebas Gibbs pada model Tsamba untuk asam asetat jati berkisar antara 142.11-310.81 kJ/mol lebih tinggi

0 50 100 150 200 250 300 0 200 400 600 800 1000 Ene rgi   beb a s   G ibbs   (J /mol) Suhu pirolisis (K) Jati Tsamba Pinus Tsamba Bambu Tsamba

dibandingkan energi bebas Gibbs untuk asam asetat pinus berkisar antara 142.46- 304.31 kJ/mol dan asam asetat bambu berkisar antara 142.26-308.90 kJ/mol. Hal ini disebabkan perubahan suhu dan entropi (T∆S⁰) lebih besar dibandingkan perubahan entalpi (∆H⁰). Hasil penelitian ini didukung penelitian Adejero et al.(2010), menemukan energi bebas Gibbs untuk AMI sebesar 251.09 kJ/mol dan PM3 sebesar 195.47 kJ/mol. Menurut penelitian Ora et al. (2008), energi bebas Gibbs untuk Sn (II) sebesar 67.092 kJ/mol pada suhu 333 K. Perbedaan ini disebabkan mekanisme reaksi pirolisis dalam keadaan transisi dan laju pemanasan dan suhu pirolisis. Nilai parameter termodinamika untuk menghitung perubahan entalpi dan entropi untuk proses sorpsion sebesar 39.3 kJ/mol dan 0.202 kJ/K mol (Wassewar et al. 2009). Dalam kenyataan, bahwa pada suhu 150° C dan dibawah tekanan 2 Mpa, dengan penambahan katalis mampu meningkatkan rendemen metanol mendekati prediksi termodinamika (Mahajjan et al. 1999). Berdasarkan hasil termodinamika ditunjukkan bahwa proses gasifikasi lebih efektif dibandingkan proses pirolisis dalam pembentukan hidrogen dan Syngas (gas CO, CO2, CH4 dan H2)pada campuran batu bara dan biomassa (Franzoni et al. 2010). Secara umum, perubahan energi bebas Gibbs yang bernilai positif semakin tinggi dengan meningkatnya suhu pirolisis, yang diindikasikan bahwa proses pirolisis biomassa (kayu jati, pinus dan bambu) berlangsung secara tidak spontan dengan reaksi endotermik terhadap produk asam asetat yang dihasikan dalam pirolisis. Nilai negatif pada perubahan energi bebas Gibbs ∆G° mengindikasikan bahwa proses absorpsi adalah kemungkinan terjadi (feasible) dan spontan pada semua suhu yang dipelajari. Nilai ∆G° menurun dengan kenaikan suhu yang membuktikan bahwa reaksi tersebut pada suhu yang tinggi (Haron et al. 2009). Nilai positif pada perubahan entalpi untuk Cr (III) dengan proses endotermik, dan nilai negatif pada perubahan energi bebas Gibbs mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi dan proses spontan (Mahdavi et al. 2011). Secara umum

Dokumen terkait