• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Klasifikasi dan Tipe Kenakalan Remaja

Mengenai klasifikasi dan tipe kenakalan remaja, pada umumnya digolongkan secara historis, instinktual, dan mental. Semuanya dapat terjalin secara kolaboratif dan kombinatif. Secara historis, kenakalan remaja dapat terjadi secara kebetulan, kadang – kadang, dan habitual. Lalu secara mental, remaja memiliki kepribadian yang dibagi antara lain: Pribadi normal, Pribadi abnormal, Pribadi psikopatik, Psikoneurosa, Psikosis. Kemudian secara insinktual, kenakalan remaja didorong oleh keserakahan, dorongan seksual, agresifitas, parental, dan dorongan berkumpul.

Secara umum, munculnya kenakalan remaja bersumber pada 3 hal tersebut sehingga membuat mereka pribadi yang deliquen, Dimana tipe deliquen menurut struktur kepribadian

1. Delikuensi Terisolir

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar perilaku delikuen di kalangan remaja. Pada umumnya mereka tidak mengalami kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan mereka disebabkan atau didorong oleh faktor berikut:

a. Kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam, akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru, ingin konform dengan norma gengnya. Biasanya semua kegiatan mereka lakukan secara bersama – sama dalam bentuk kegiatan kelompok.

b. Mereka kebanyakan berasal dari daerah – daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil anak melihat adanya geng –geng kriminal, sampai pada suatu saat dia ikut menjadi anggota salah satu geng tersebut. Didalam geng ini anak merasa diterima, mendapatkan kedudukan “terhormat”, pengakuan, status sosial, dan prestise tertentu. Semua nilai, norma dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta-merta. Jadi ada proses pengondisian dan proses differential association.

c. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen, dan mengalami banyak frustasi. Kondisi keluarga dipenuhi oleh konflik sehingga anak merasa ditolak oleh keluarga khususnya orang tua, disia-siakan, harga dirinya diinjak, dan anak tidak merasakan iklim kehangatan emosional. Sehingga anak mencari jalan keluarnya di lingkungan sosial lain seperti lingkungan anak – anak kriminal, dan anak merasakan adanya alternatif hidup yang menyenangkan, dan di gengnya ini dia merasa mendapatkan kedudukan, menonjol, dan berarti.

d. Secara typis mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan disiplin yang teratur. Sebagai akibatnya, anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan, sebaliknya menjadi lebih peka terhadap pengaruh jahat (Kartono, 2010:49-51).

Ringkasnya delikuensi terisolir itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan social. Mereka mencari panutan dan sekuritas dari kelompok gengnya (Kartono, 2010:51). . Kebanyakan dari mereka yang tergolong pada tipe ini pada akhirnya akan meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21-23 tahun (Mc Cord dkk.1959:76). Kelihatannya perilaku mereka merupakan cara untuk melangkah menuju kedewasaan diri, dimana melalui perilaku – perilaku delikuen tersebut mereka akhirnya memasuki fase hidup baru dan memiliki peranan sosial baru yaitu proses menjadi lebih dewasa. Pada usia menjelang dewasa tersebut, pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa mereka harus meninggalkan orangtuanya dan lingkungannya sendiri, mereka menyadari adanya sebuah tanggung jawab yang akan mereka hadapi, dan menyadari bahwa mereka harus memainkan peranan sosial baru yang lebih “terhormat”. Jadi pada intinya, pada waktunya nanti mereka akan menjembatani diri mereka dari “manusia jahat” menuju “manusia baik” setelah menyadari bahwa perilaku juvenile delinquency sangat tidak cocok diterapkan ketika mereka

harus memainkan peranan sosial mereka ketika mereka memasuki kedewasaan.

2. Delikuensi Neurotik

Pada umumnya anak – anak delikuen tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa, dan lain- lain. Ciri – ciri tingkah laku mereka itu antara lain adalah:

a. Tingkah laku delikuennya bersumber pada sebab-sebab psikologis yang sangat dalam dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gangnya, dan juga bukan berupa usaha untuk mendapatkan prestise sosial simpati dari luar.

b. Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Karena itu tindak kejahatan mereka merupakan alat pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan, dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.

c. Biasanya anak remaja deliquen tipe ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu.

d. Anak delikuen neurotik ini banyak yang berasal dari kelas menengah, yaitu dari lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial ekonominya. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik dan psikotik. e. Anak delikuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, danada kecenderungan

untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak – anak remaja lainnya.

f. Motivasi kejahatan mereka berbeda – beda. Misalnya, para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak –

anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks, dan lain – lain.

g. Perilakunya memperlihatkan kualitas kompulsif (paksaan). Kualitas sedemikian ini tidak terdapat pada tipe delikuen terisolir, anak – anak dan orang muda tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan pecandu narkotik dimasukkan dalam kelompok tipe neurotik ini (Kartono, 2010:52-53).

Oleh karena perubahan tingkah laku anak – anak deliquen neurotic ini berlangsung atas dasar konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatannya sampai usia dewasa dan umur tua (Kartono, 2010:53).

3. Delikuensi Psikopatik

Delikuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah:

a. Hampir seluruh anak delikuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan selalu menyiakan anak – anaknya. Tak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang, dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sehingga akibatnya mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi, sedang kehidupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul atau mati. Akibatnya mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab dengan orang lain.

b. Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran, karena itu sering meledak tidak terkendali.

c. Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif. Biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.

d. Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak perduli terhadap norma subkultur gengnya sendiri.

e. Acapkali mereka juga menderita gangguan neurologis sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri (Kartono, 2010:53-54).

Psikopat itu merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri – ciri sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, dia selalu konflik dengan norma sosial dan hukum. Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik kegila-gilaan, dan jelas tidak memiliki kesadaran sosial serta intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis, fanatik, dan selalu menentang apa dan siapa pun juga. Sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar, ganas buas terhadap siapa pun tanpa sebab sesuatu pun juga. Kata-katanya selalu menyakiti hati orang lain, perbuatannya sering ganas sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun juga. Karena itu remaja delikuen yang psikopatik ini digolongkan ke dalam bentuk penjahat yang paling berbahaya (Kartono, 2010:54).

4. Delikuensi Defek Moral

Defek (defect, defectus) artinya: rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delikuensi defek moral mempunyai ciri: selalu melakukan tindak a-sosial atau anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi pada intelegensinya.

Kelemahan dan kegagalan para remaja delikuen tipe ini ialah: mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Selalu saja mereka ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan, dan kejahatan. Relasi kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin dan beku, tanpa afeksi (perasaan), jadi ada kemiskinan afeksi dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan superegonya sangat lemah. Impulsnya tetap ada dalam taraf primitif, sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan “prestasinya”, namun sering perbuatan mereka disertai agresivitas yang meledak. Mereka juga selalu bersikap bermusuhan terhadap siapapun juga, karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan.

Anak muda yang defek moralnya itu biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitive (Kartono, 2010:55).

Pengaruh lingkungan adalah relatif kecil (hanya kurang lebih 20%) dalam membentuk seseorang menjadi defek moralnya. Sebaliknya konstitusi dan disposisi psikis yang abnormal (kurang lebih 80%) menyebabkan pertumbuhan anak muda menjadi defek moralnya. Selanjutnya apabila kejahatan anak muda dan remaja yang defek moralnya itu sangat mencolok ekstrim, biasanya mereka digolongkan kedalam

Dokumen terkait