• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi jamaah Mushola Wahyu, Grogolan, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo56

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS

B. Hasil Temuan Penelitian

1. Klasifikasi jamaah Mushola Wahyu, Grogolan, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo56

Jamaah Mushola Wahyu dapat diklasifikasikan menjadi tigak kelompok, yaitu jamaah yang rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji, jamaah yang tidak rutini mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji, dan jamaah yang tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji.

a. Jamaah Mushola Wahyu yang rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji

Kelompok jamaah yang pertama adalah mereka yang rutin melaksanakan salat berjamaah di mushola Wahyu, akan tetapi tidak rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Jamaah mushola Wahyu yang rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji berpendapat bahwa tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji ini sebagai sarana

meningkatkan rasa cinta pada nabi Muhammad SAW. Sehingga mereka senang akan tradisi tersebut. Pendapat tersebut dapat dilihat dari komentar narasumber sebagai berikut:

“Menurut saya, berzanjen itu membaca sejarahnya kanjeng nabi Muhammad SAW, ditambah membaca sholawat. Bagi saya, membaca sejarahnya nabi Muhammad itu penting, membaca sejarahnya, berarti sama dengan men-ziarahi nabi. Kita saja harus membaca sejarah para pahlawan, apalagi kisahnya kanjeng nabi. Itu lebih perlu. Ditambah juga sholawatan. Seolah-olah itu adalah cara kita untuk berkomunikasi dengan nabi.” (W1,N1)

Narasumber yang pertama menganggap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji merupakan hal yang penting. Menurut beliau, pembacaan Maulid Al-Barzanji merupakan kegiatan membaca sejarah kanjeng nabi Muhammad SAW. Seperti yang beliau katakan di atas, bahwa membaca membaca sejarah kanjeng nabi sama dengan men-ziarahi nabi Muhammad SAW. dibanding membaca sejarah para pahlawan, membaca sejarah kanjeng nabi beliau memandang lebih perlu, sehingga dapat disimpulkan bahwa beliau memandang tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji merupakan kegiatan yang positif.

Selain narasumber pertama, narasumbr keduapun bependapat positif tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Pendapat tersebut dapat dilihat dari penuturan beliau sebagai berikut:

“Kalau saya, ketika membaca sholawat dan sanjungan kepada nabi, hati saya merasa tenang, adhem, ayem, artinya hati saya merasa damai dan tenteram. Tapi itu tergantung masing-masing orang, mas, ada yang dapat merasakan hal demikian, ada juga yang hanya ingin ikut-ikut saja. Ada juga yang merasa kalau belum melantunkan sholawat itu harinya belum afdol. Pada hakikatnya, tingkatan seseorang dalam membaca sholawat itu berbeda-beda mas. Nah kebanyakan dari masyarakat itu membaca dan melantunkan sholawat itu untuk bersenang-senang. Berbeda dengan seseorang yang telah memiliki pangalaman spiritual yang lebih tinggi, seperti ma’rifat, mereka dapat merasakan kehadiran Rasulullah. Kalau kita, khususnya saya sendiri, niatnya melaksanakan perintah Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 56 itu bahwa kita diperintahkan untuk bersholawat atas nabi.” (W2,N2)

Pendapat positif yang dimiliki beliau terlihat dari yang beliau rasakan ketika melaksanakan tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Berdasarkan yang beliau tuturkan, beliau merasa hatinya damai, dan tenteram ketika mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Dapat dikatakan bahwa faktor penyebab baliau rutin mengikuti pembacaan maulid Al-Barzanji karena perasaan hati yang beliau dapatkan ketika mengikuti kegiatan tersebut. b. Jamaah Mushola Wahyu yang tidak rutin mengikuti tradisi

pembacaan Maulid Al-Barzanji

Kelompok kedua, adalah kelompok jamaah yang tidak rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Narasumber

pertama dari kelompok jamaah yang tidak rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji memandang tradisi tersebut sebagai sarana menambah suasana Islami di dusun Grogolan. Pendapat tersebut dapat dilihat dari ungkapan beliau sebagai berikut:

“bagi saya itu bisa menjadi sesuatu yang dapat menambah suasana islami masyarakat dusun Grogolan sini, mas. Dulu, waktu awal-awal saya menetap di desa ini, suasananya seperti di Amerika, mas. Adzanpun jarang, salat jamaah juga jarang, apalagi berzanjen.” (W4,N4)

Pendapat beliau yang mengatakan tradisi pembacaan maulid Al-Barzanji sebagai sarana menambah suasana Islami di dusun Grogolan dapat dikatakan sebagai pendapat yang positif. Dari penuturan beliau, dapat dilihat bahwa beliau senang dengan suasana Islami yang ramai di dusun tersebut. Sehingga, adanya tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji dianggapnya positif. Selain narasumber pertama, narasumber kedua dari kelompok yang sama juga berpendapat demikian. Berikut penuturan beliau terkait pendapatnya tentang tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji:

“Kalau saya pribadi ya, sejak kecil saya memang hidup di lingkungan ormas NU. Jadi sejak kecil sudah ikut berzanjenan. Almarhum ayah saya juga merupakan orang yang aktif dalam berzanjen. Menurut saya pribadi, ya saya senang-senang saja, mas. Dengan kita membaca

sholawat, hati kita itu menjadi tenang, tenteram, nyaman.” (W6,N6)

Beliau senang dengan tradisi pembacaan Maulid Al-Barsanji. Seperti yang beliau ungkapkan, beliau telah mengikuti tradisi tersebut sejak kecil dan kini senang dengan tradisi tersebut. Beliau juga mengungkapkan dampak yang dirasakan dari mengikuti tradisi tersebut, yaitui hatinya menjadi tenang, tenteram, dan nyaman. Beliau juga menuturkan bahwa dengan mendengar atau membaca sholawat, baik mendengar atau mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji hati menjadi tenang, tenteram, dan nyaman sehingga melakukan pekerjaan apapun terasa ringan, bagi kehidupan rumah tanggapun terasa lebih damai. Ungkapan tersebut disampaikan dalam dialog beliau sebagai berikut:

“Ya seperti mengerjakan apapun saya rasa ringan saja, mas. Bagi kehidupan kekeluargaa juga manakala ada masalah dapat diselesaikan dengan tenang, tanpa banyak anarah.” (W6 ,N6)

c. Jamaah Mushola Wahyu yang tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji

Kelompok ketiga yaitu para jamaah mushola Wahyu yang tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Jamaah yang tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Maulid

Al-Barzanjipun memiliki pendapat terkait tradisi tersebut. Adapun narasumber pertama dari kelompok ini berpendapat sebagai berikut:

“Begini mas Tomy, ini fair saja ya, ini kan memang persepsi saya pribadi. Rumah saya memang dekat dengan mushola Wahyu ya mas, tapi terkait tradisi berzanjen terus terang saya tidak pernah ikut. Karena bagi saya, tradisi ini hanya sebagai adat istiadat, dan kepercayaan masing-masing. Tapi saya yakin tujuannya pasti baik. Akan tetapi kembali lagi pada diri masing-masing. Adat dan tradisi itu kan tidak semua orang bisa menerima dan mengikutinya. Akan tetapi misalkan saya bisa bantu dalam bentuk yang lain, artinya bukan dengan menghadiri tradisi itu, saya akan bantu, mas. Misalnya, saya membantu menyiapkan makan malam atau snack untuk para jamaah, atau membantu menyediakan sarana dan prasarana untuk kegiatan tradisi itu, saya mungkin bisa bantu, tanpa harus hadir pada tradisi itu. Tapi saya yakin tujuannya baik, mas.” (W3,N3)

Narasumber ini memandang tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji sebagai tradisi yang baik, dilihat dari tujuan yang beliau yakini. Beliau meyakini bahwa tujuan dari dilaksanakannya tradisi tersebut adalah baik. Anggapan baik dari beliau dikuatkan oleh penuturan beliau terkait manfaat dari adanya tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Adapun penuturan beliau sebagai berikut:

“Kalau manfaatnya pasti banyak, lah menurut saya. Semua hal yang baik, pasti bermanfaat. Nah, salah satu manfaat dari adanya tradisi berzanjen itu ya dari sisi sosial, warga sekitar mushola banyak yang datang untuk mengikuti kegiatan itu. Selain itu masih banyak

manfaatnya. Secara umum, persepsi saya terhadap tradisi berzanjen, itu merupakan hal yang bagus, mas. Dan pada kenyataannya saya pun tidak apatis terhadap tradisi itu, mas. Kalau saya longgar, dan kebetulan diundang oleh warga yang lain untuk mengikuti kegiatan berzanjen di rumahnya, dalam kesempatan yang khusus, saya usahakan datang, dan saya ikuti tradisi itu. Akan tetapi kalau yang di mushola, saya belum pernah hadir. Saya ke mushola untuk melaksanakan salat lima waktu semaksimal mungkin yang saya bisa. Kecuali ketika saya di luar kota, tentunya saya tidak salat di mushola Wahyu, mas.” (W3,N3)

Beliau memaparkan manfaat tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji dari sisi sosial, yaitu masyarakat sekitar mushola dapat mengikuti kegiatan pembacaan sholawat dan meramaikan mushola. Beliau juga tidak sepenuhnya menolak, karena beliaupun bersedia mengikuti tradisi tersebut di tempat dan acara khusus yang diadakan oleh warga masyarakat yang lain. Beliau kembali menegaskan bahwa beliau memandang baik tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji dengan pernyataan beliau sebagai berikut:

“Oh kalau perasaan tidak senang itu, dari saya tidak ada, mas. Maksudnya, kalau tidak senang kan biasanya terganggu, nah kalau saya tidak, mas. Bagi saya, semua hal yang baik, dan ditujukan untuk kebaikan, saya senang. Seperti kegiatan-kegiatan mushola yang lainnya, saya juga ikut membantu baik dari sarana maupun prasarananya.” (W3,N3)

Beliau tidak merasa terganggu dengan adanya tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji walaupun beliau tidak pernah hadir. Artinya, ketidakhadiran beliau ini bukan merupakan ketidaksenangan beliau terhadap tradisi tersebut.

Narasumber kedua dari kelompok jamaah ini memiliki pendapat yang sedikit berbeda dengan narasumber sebelumnya, yaitu beliau (narasumber kedua) memiliki kesenangan terhadap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Hal ini dapat dilihat dari kalimat beliau sebagai berikut:

“Kalau kesan pertama, ya saya ikut senang, lah mas. Karena kan pertama meramaikan mushola untuk kegiatan positif. Saya pribaadi senang, mas. Walaupun misalnya ibu-ibu yang sudah sepuh bila mendengar suara horn yang keras merasa terganggu.” (W5,N5) Beliau senang terhadap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji karena menurut beliau kegiatan tersebut merupakan salah satu kegiatan positif yang dilaksanakan di mushola Wahyu. Kesenangan beliau terkait dengan nuansa keagamaan Islam di dusun Grogolan, seperti yang diungkapkan oleh narasumber dalam sub-bab sebelumnya. Beliau mengatakan demikian:

“Yang jelas, bagi saya, kegiatan positif itu tadi mas. Dengan adanya berzanjen, kampung ini terkesan ramai dan meriah dengan kegiatan keagamaan Islam. Musholanya tidak sepi. Jadi saya senang, mas.”

Beliau memandang bahwa dengan adanya tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji tersebut dapat meramaikan dan memeriahkan nuansa keagamaan Islam di dusun Grogolan, Pucangan, Kartasura. Hal itu menyenangkan bagi beliau. 2. Persepsi Jamaah Mushola Wahyu terhadap Tradisi Pembacaan

Maulid Al-Barzanji

a. Persepsi jamaah Mushola Wahyu yang rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji

Dari kelompok jamaah yang pertama ini berjumlah dua orang. Kedua orang tersebut memiliki kesamaan substansi pada faktor penyebab kemunculan pendapat mereka. Baik narasumber pertama maupun kedua dari kelompok jamaah yang rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji, sama-sama berpendapat positif terhadap tradisi tersebut. Pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh satu atau dua faktor. Adapun faktor penyebab persepsi mereka adalah sebagai berikut:

1) Muncul keinginan untuk menambah rasa cinta pada Nabi Muhammad SAW.

Faktor pertama yang melatarbelakangi persepsi jamaah mushola Wahyu

“Ya pokoknya saya ingin menambah rasa cinta saya kepada kanjeng nabi.” (W1,N1)

Faktor yang melatarbelakangi beliau memiliki pendapat positif terhadap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji terlihat dari tujuan utama beliau mengikuti tradisi tersebut. Tujuan tersebut adalah beliau ingin menambah rasa cinta beliau terhadap kanjeng nabi Muhammad SAW. Dengan beliau memiliki tujuan tersebut, maka secara otomatis beliau berpendapat bahwa tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji merupakan kegiatan yang positif.

2) Adanya keinginan untuk menambah amal ibadah sunnah Narasumber kedua juga memiliki tujuan yang menjadi faktor munculnya pendapat beliau terhadap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji, yaitu sebagai berikut:

“Ya kalau saya, saya niatkan untuk mengajak bersholawat pada masayarakat, dengan maksud dakwah mas, agar masyarakat termotivasi untuk bersholawat. Intinya kita mengajak. Akan tetapi motivasi yang lebih mendasar adalah untuk amal ibadah kita masing-masing mas. Menambah amal, selain ibadah yang diwajibkan, ibadah yang sunnah juga kita laksanakan. “ (W2,N2) Narasumber kedua dari kelompok jamaah yang pertama ini memiliki tujuan berupa menambah amal ibadah sunnah. Selain untuk menambah amalan ibadah sunnah, beliau juga memiliki tujuan untuk berdakwah, dengan cara mengajak masyarakat untuk ikut bersholawat kepada kanjeng nabi Muhammad SAW.

b. Persepsi jamaah Mushola Wahyu yang tidak rutin mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji

Kelompok jamaah mushola Wahyu yang tidak rutin mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji memiliki persepsi yang positif terhadap tradisi tersebut, akan tetapi mereka (para naraumber dari kelompok ini) tidak rutin mengikutinya. Adapun faktor yang menyebabkan mereka tidak rutin mengikuti tradisi tersebut antara lain karena kesibukan rutinitas dan rasa malas.

1) Kesibukan rutinitas

Faktor yang kerap kali menjadi penghalang jamaah mushola Wahyu untuk mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji adalah faktor kesibukan rutinitas. Masing-masing jamaah memiliki kesibukan dan rutinitas yang dinamis dan berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga hal tersebut terkadang membuat mereka tidak dapat mengikuti tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji. Salah satu narasumber mengatakan hal sebagai berikut:

“Tidak usah disuruh, kalau tidak ada kesibukan ya bisa ikut hadir dan mengikuti.” (W6,N6) Narasumber tersebut mengungkapkan alasan yang berkenaan dengan kesibukan. Beliau memiliki kebiasaan,

ketika tidak ada kesibukan, maka beliau akan hadir dan mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji.

2) Pelaksanaan tradisi yang monoton

Faktor kedua yang menyebabkan para jamaah mushola Wahyu tidak rutin mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji adalah pelaksanaan tradisi tersebut yang bersifat monoton. Pelaksanaan tradisi tersebut sejak awal kemunculannya di mushola Wahyu masih dengan format yang sama, yaitu hanya dibaca dan dilagukan saja. Tanpa ada penjelasan terkait kitab Maulid Al-Barzanji tersebut. Bahkan, iringan alat musik dari seni Islami-pun tidak ada. Para jamaah berharap agar ada tambahan ilmu dan pengetahuan keagamaan bagi mereka. Seperti yang diungkapkan salah satu narasumber berikut ini:

“Sebetulnya kalau dikaji secara serius kan isi dari Al-Barzanji itu kan kisah-kisah rasul ya. Sayangnya, yang dibaca selama ini hanya bahasa Arabnya saja, sedangkan bahasa yang membumi di kampung ini belum pernah dibaca. Seperti terjemahannya, atau ringkasan isi dari kitab Al-Barzanji itu. Akan tetapi sampai saat ini belum ada ustad, atau kiyai, atau dari kalangan akademisi yang mengkaji isi dari kitab itu. Walaupun hanya sekedar selingan di sela-sela berlangsungnya tradisi berzanjen. Sebetulnya kami butuh orang-orang yang mau untuk mengkaji Al-Barzanji secara mendalam agar kami dapat mengetahui isi yang terkandung dalam kitab itu secara lebih baik. Kalau bahasa

Arab kan, bagi mereka yang tidak sekolah pasti bingung. Yang sekolah saja bbingung, apalagi mereka yang tidak sekolah. Setidaknya ustad, atau kiyai, dapat memberikan pemahaman dari isi kitab al-barzanji. Paling tidak, dibacakan ringkasan dari setiap bab yang dibaca dari kitab al-barzanji.”

Beliau berharap ada pemuka agama Islam yang dapat memberikan materi terkait isi dari kitab Al-Barzanji. Sehingga, kitab Maulid Al-Barzanji dapat membumi di kalangan jamaah Mushola Wahyu, Grogolan, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo.

c. Persepsi Jamaah Mushola Wahyu yang tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji

Kelompok jamaah ini diwakili oleh dua narasumber. Kedua narasumber juga merupakan warga dusun Grogolan yang juga rutin melaksanakan salat berjamaah di mushola Wahyu, dusun Grogolan, Pucangan, Kartasura.

Kedua narasumber berpendapat bahwa tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji merupakan kegiatan yang baik. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengikuti tradisi tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu rasa malu dengan jamaah yang lain, dan sikap kontra terhadap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji.

Rasa malu menjadi salah satu penyebab salah seorang jamaah mushola Wahyu tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu narasumber sebagai berikut:

“Iya, mas. Kepinginnya.... (sambil menunjuk ke arah mushola). Makanya, saya itu kalau ada kegiatan serupa, ya berzanjen juga, misalkan di tempat orang yang memiliki hajat, saya usahakan hadir, walaupun untuk di mushola sendiri saya tidak pernah hadir. Sebetulnya senang, saya.hehehe... akan tetapi kan saya itu di sini dari awal tidak ikut tradisi itu, jadi agak gimana, gitu.” (W5,N5)

Beliau merasa tidak enak untuk hadir dan mengikuti tradisi tersebut, dikarenakan sejak awal tidak pernah mengikuti tradisi tersebut. Dengan rasa malu yang dimiliki, maka beliau tidak pernah hadir dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

2) Sikap kontra terhadap tradisi pembacaan Maulid Al-Barzanji

Faktor yang kedua yang menjadi sebab salah seorang jamaah mushola Wahyu tidak pernah mengikuti tradisi pembacaan Al-Barzanji adalah sikap kontra beliau terhadap tradisi tersebut. Beliau mengungkapkan demikian:

“Begini mas Tomy, ini fair saja ya, ini kan memang persepsi saya pribadi. Rumah saya memang dekat dengan mushola Wahyu ya mas, tapi terkait tradisi berzanjen terus terang saya tidak pernah ikut. Karena bagi saya, tradisi ini

hanya sebagai adat istiadat, dan kepercayaan masing-masing.”

Beliau tidak mempercayai nilai ibadah sunnah yang terkandung dalam pembacaan Maulid Al-Barzanji. Beliau memiliki kepercayaan bahwa tradisi tersebut hanya sebatas adat istiadat. Selain itu, beliau juga bukan dari kalangan masyarakat NU. Sehingga, tidak heran jika beliau memiliki kepercayaan demikian.

Dokumen terkait