• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural, Floristik, dan

Atribut utama klasifikasi vegetasi secara fisiognomi struktural adalah bentuk tumbuh, stratifikasi vertikal, ukuran dari tumbuhan dominan, dan biomassa tumbuhan, juga bagaimana penutupannya (coverage) di antara strata, serta aspek fenologi dan musim dari tumbuh-tumbuhan (Descoings, 1980). Fitur ini mudah dikenali di lapangan dengan pengetahuan flora yang tidak terlalu mendalam Metode ini menekankan pada pola-pola dari atribut kelompok-kelompok spesies dominan di dalam vegetasi (Grosman et al., 1994).

Ahli geografi tumbuhan Humbolt dan Grisbach adalah di antara orang-orang yang pertama kali melakukan klasifikasi vegetasi berdasarkan kriteria fisiognomi. Mereka menyusun kelas-kelas vegetasi berdasarkan bentuk tumbuh dari tumbuhan dominan dan tipe lingkungan tempat vegetasi tersebut ditemukan (Kimmins, 1987). Kelas-kelas ini disebut formasi dan merupakan unit dasar klasifikasi vegetasi berdasarkan fisiognomi struktural (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a).

Kuchler dan selanjutnya diikuti oleh Dansereau mengembangkan klasifikasi fisiognomi berdasarkan deskripsi struktur vegetasi secara langsung. Terdapat 6

10

parameter yang dipakai dalam mendeskripsikan vegetasi, yaitu: (1) bentuk tumbuh, (2) ukuran tumbuhan, (3) fungsi (konifer, gugur daun, dan sebagainya), (4) bentuk dan ukuran daun, (5) tekstur daun, dan (6) penutupan tajuk (Kimmins, 1987).

Fosberg kemudian mengembangkan klasifikasi formasi struktural, dan seperti halnya klasifikasi yang dikembangkan oleh Kuchler juga Dansereau, mereka melakukan klasifikasi yang secara ketat didasarkan pada ciri-ciri struktural vegetasi. Klasifikasi dimulai dengan membagi vegetasi menjadi vegetasi tertutup, terbuka, dan jarang. Penentuan ini didasarkan pada penutupan tajuk. Ketiga kelompok ini merupakan kelompok vegetasi utama. Vegetasi tertutup merupakan komunitas dengan tajuk saling berhubungan. Vegetasi terbuka menunjukkan tajuk dari komunitas tumbuhan yang tidak saling berhubungan, dan vegetasi jarang menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang menyusun vegetasi sangat tersebar, seperti yang ditemukan pada vegetasi di kawasan gurun.

Setiap kelompok vegetasi utama ini kemudian, dibagi lagi menjadi beberapa kelas vegetasi yang penentuannya berdasarkan ketinggian lapisan vegetasi dan juga kesinambungan dan ketidaksinambungan vegetasi. Pembagian lebih lanjut dilakukan berdasarkan fungsi, yaitu apakah dedaunan pada strata dominan dari suatu vegetasi selalu hijau atau mengalami periode meranggas. Klasifikasi lebih lanjut dilakukan berdasarkan tekstur daun dari bentuk tumbuh tumbuhan dominan yang menyusun vegetasi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974b).

Sistem klasifikasi vegetasi secara struktural-ekologi yang dikembangkan oleh UNESCO juga mengklasifikasi vegetasi berdasarkan fisiognomi dan struktur vegetasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Fosberg. Namun, penentuan tipe vegetasi juga didasarkan pada kondisi lingkungan, yang dalam hal ini mencakup iklim, tanah, dan bentuk lahan. Hal ini disebabkan perbedaan ekologi yang nyata pada suatu habitat tidak selalu dapat dilihat hanya berdasarkan tanggapan fisiognomi dan struktur dari vegetasi. Misalnya, hutan hujan tropis dataran rendah secara ekologi berbeda dengan hutan tropis subpegunungan terutama dalam hal iklim, namun secara fisiognomi dan struktur vegetasi yang terdapat di kedua kawasan ini tidak terlalu berbeda. Klasifikasi yang dikembangkan bersifat hirarki. (Kuchler & Zonneveld, 1988). Sistem ini mencakup tipe vegetasi alami dan semi

alami yang ada di dunia, namun tidak termasuk penutup vegetasi yang merupakan tanaman budidaya (Grosman et al., 1994).

Tipe vegetasi ditentukan berdasarkan kondisi vegetasi yang sesungguhnya di lapangan. Namun dalam sistem ini kondisi lingkungan juga dipertimbangkan dalam penentuan tipe vegetasi. Tipe vegetasi yang terletak pada hirarki paling atas disebut kelas formasi dan dibagi menjadi 7 kelas, yaitu: (1) hutan tertutup, (2) hutan terbuka (woodland), (3) semak atau lahan semak, (4) semak kerdil, (5) komunitas herba darat, (6) komunitas tumbuhan gurun dan daerah bervegetasi jarang, dan (7) tumbuhan pada lingkungan berair. Kelas-kelas formasi ditentukan berdasarkan ketinggian, penutupan tajuk, dan distribusi spasial dari bentuk tumbuh tumbuhan dominan serta fisiognomi dari tumbuhan dominan (Mueller- Dombois & Ellenberg, 1974b).

Kelas vegetasi kemudian dibagi lagi menjadi subkelas, dan ditentukan berdasarkan fungsi, yaitu apakah ia merupakan vegetasi dengan daun yang selalu hijau atau daun meranggas. Pembagian selanjutnya menjadi kelompok vegetasi, yang penentuannya terutama berdasarkan iklim makro tempat vegetasi berada, misalnya iklim tropis, iklim sedang. Kelompok vegetasi juga ditentukan berdasarkan morfologi daun, misalnya sclerofil berdaun lebar, berdaun jarum. Contoh kelompok formasi adalah, Hutan meranggas iklim sedang, Hutan hujan tropis berdaun lebar.

Tipe vegetasi pada tingkat berikutnya adalah formasi. Penentuannya berdasarkan salah satu kombinasi dari hal berikut: (1) Tinggi dan bentuk tajuk tumbuhan. Misalnya, pohon besar dengan ketinggian 5 – 50 m, memiliki tajuk yang menyerupai payung, antara lain Samanea saman. (2) Zona kehidupan, misal kawasan dataran rendah beriklim sedang, kawasan sub pegunungan, kawasan pegunungan. (3) Subtrat tempat vegetasi tumbuh, misal alluvial, dan serpentine. (4) Komunitas tumbuhan bukan dominan yang ditemukan bersama dengan komunitas tumbuhan dominan yang menjadi penciri vegetasi, misal Hutan berdaun lebar bercampur dengan pepohonan berdaun jarum selalu hijau, Hutan hujan tropis sub pegunungan berdaun lebar dengan tumbuhan bawah yang melimpah. Di bawah formasi adalah subformasi. Penentuannya berdasarkan

12

bentuk daun, dan kondisi hidrologi dari habitat vegetasi, misalnya daerah dataran banjir di tepian sungai (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Jennings, 1999). Tajuk Tajuk Penutupan

saling tidak saling tajuk sangat Berhubungan berhubungan tersebar

(100%-60%) (60%-25%) (25%-10%) (<10%) Bentuk tumbuh/ Ketinggian Pohon > 5 m Semak/Pohon 0.5 – 5 m Semak Kerdil/ Semak/Pohon < 0.5 mHerba Herba

Gambar 2. Persentase penutupan tajuk vegetasi berpembuluh.

Klasifikasi vegetasi UNESCO mempunyai kelebihan dibanding sistem klasifikasi yang ada sebelumnya, karena memiliki akurasi dan makna secara ekologi yang tinggi, dan dihasilkan melalui kesepakatan ahli-ahli internasional. Klasifikasi yang dikembangkan dapat diterapkan pada berbagai permukaan bumi dengan tipe vegetasi berbeda. Standar hirarki tipe vegetasi yang dikembangkan memang dirancang untuk tujuan klasifikasi dan pemetaan vegetasi pada berbagai skala. Selanjutnya dikatakan bahwa struktur yang dikembangkan bersifat open- ended dan tipe vegetasi dapat ditambahkan jika diperlukan.

FGDC (Federal Geographic Data Commitee) Amerika Serikat mengembangkan sistem klasifikasi vegetasi yang dinamakan NVCS (National

Lahan semak (Semak) Lahan semak tersebar Hutan Hutan Terbuka Hutan Terbuka tersebar

Lahan semak kerdil (Semak) Lahan semak kerdil tersebar

Herba

Penutupan oleh vegetasi jarang dan tersebar/Tidak berpembuluh (1- 10 % vegetasi berpembuluh)

Vegetation Classification Standard System). Klasifikasi ini merupakan penyempurnaan terhadap sistem klasifikasi UNESCO, sehingga klasifikasi yang dihasilkan memiliki konsistensi tinggi pada setiap tingkat unit hirarki.

Klasifikasi NVCS bersifat hirarki dan mengkombinasikan klasifikasi fisiognomi (bentuk tumbuhan, penutupan tajuk, struktur, tipe daun) pada tipe vegetasi bagian atas. Bentuk tumbuh (misalnya pohon, semak, dan herba) dari tumbuhan dominan, atau menempati strata teratas dari vegetasi berperanan penting dalam klasifikasi tipe vegetasi. Iklim dan variabel lingkungan abiotik lainnya juga digunakan dalam mengorganisasi klasifikasi yang dibentuk, namun faktor yang paling dominan adalah fisiognomi. Dua tingkat terbawah dari klasifikasi ini didasarkan pada kondisi floristik yang aktual dari vegetasi. Tipe vegetasi berupa budidaya tanaman baik yang semusim maupun tahunan juga termasuk ke dalam bagian klasifikasi, karena tipe vegetasi ini memiliki penutupan yang meliputi kawasan yang sangat luas (Grosman et al., 1994 & 1998).

Kriteria sistem NVCS sebagian besar diambil berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh UNESCO. Penentuan tipe vegetasi tingkat kelas didasarkan pada struktur vegetasi, yaitu ketinggian dan persentasi penutupan tajuk. Berbagai kelas fisiognomi yang ada ditentukan dengan cara sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2.

Subkelas fisiognomi ditentukan berdasarkan fenologi daun dari bentuk tumbuh yang paling dominan (daun selalu hijau, daun meranggas, daun campuran selalu hijau dan meranggas), untuk strata tumbuhan herba berdasarkan ketinggian rata-rata (tinggi, sedang, rendah), dan untuk vegetasi jarang dan tersebar/komunitas vegetasi tidak berpembuluh ditentukan berdasarkan ukuran partikel dari subtrat vegetasi tersebut (bebatuan, kerikil, pasir, lumpur). Contoh: Hutan selalu hijau, Hutan meranggas, Hutan campuran selalu hijau dan meranggas, Padang rumput tinggi, Vegetasi jarang dan tersebar dengan subtrat pasir (Grossman et al., 1994).

Formasi merupakan komunitas yang didefinisikan berdasarkan bentuk tumbuh dari tumbuhan yang paling dominan pada strata teratas dari suatu komunitas tumbuhan, atau oleh kombinasi dari beberapa bentuk tumbuh yang dominan dan hadir pada habitat yang serupa (Mueller-Dombois & Ellenberg,

14

1974b). Menurut UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler & Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman

et al., 1994), tipe vegetasi ini merupakan pengejawantahan dari kondisi lingkungan hidup tertentu, yang dalam prakteknya ditentukan berdasarkan berbagai kombinasi dari hal berikut: bentuk tumbuh dominan, faktor fisiognomi struktural vegetasi seperti bentuk tajuk dan ketinggian lapisan tajuk, juga kondisi faktor lingkungan yang umum, seperti ketinggian tempat dan sistem hidrologi. Formasi tidak ditentukan berdasarkan kondisi floristik dari vegetasi. Contoh: Hutan hujan tropis basah pegunungan selalu hijau, padang rumput dengan tinggi sedang yang sewaktu-waktu tergenang, dan hutan terbuka selalu hijau bertajuk membulat

Suatu formasi biasanya tersusun atas beberapa sampai banyak asosiasi, yang seluruhnya memiliki fisiognomi yang sama, namun masing-masing memiliki komposisi spesies yang relatif berbeda baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Grosman et al., 1994).

Beard (1973) dalam Rohrig (1991) mengatakan bahwa ekosistem darat yang beragam dapat dibagi ke dalam tipe-tipe tertentu berdasarkan fisiognominya, dan fisiognomi didefinisikan berdasarkan kenampakan luar dan struktur dari anggota spesies dominan, seperti hutan meranggas selalu hijau, hutan konifer, savana, dan sebagainya. Tipe yang demikian ini disebut formasi, yang keberadaannya banyak dipengaruhi oleh lingkungan fisik. Nampak jelas bahwa pada kondisi ekologi di darat yang beragam, akan dijumpai tipe formasi yang berbeda, dan walaupun dari segi komponen floristik yang spesifik berbeda, tetapi secara fisiognomi akan nampak sama.

Dua unit terbawah dari hirarki yaitu, aliansi dan asosiasi dikembangkan berdasarkan struktur floristik dari vegetasi. NVCS menetapkan bahwa aliansi dan asosiasi harus ditetapkan berdasarkan analisis numerik dengan memanfaatkan data-data yang diperoleh dari plot-plot vegetasi. Spesies diagnostik terutama ditentukan berdasarkan tumbuhan dominan (FGDC, 1997; Jenning et al., 2003).

Klasifikasi vegetasi secara floristik adalah sistem klasifikasi yang dikembangkan terutama berdasarkan struktur dan komposisi floristik dari suatu vegetasi. Tipe vegetasi yang menyusun hirarki klasifikasi pada tingkat floristik ini adalah aliansi dan asosiasi.

Berikut ini dikemukakan beberapa definisi aliansi. Aliansi adalah gabungan berbagai asosiasi yang secara fisiognomi relatif seragam dan bersama-sama memiliki 1 atau lebih spesies diagnostik yang ketentuannya ditemukan pada strata teratas (FGDC, 1997). Aliansi, yang juga sering disebut dengan tipe penutupan vegetasi adalah kelompok komunitas tumbuhan yang memiliki spesies dominan utama yang sama, juga secara fisiognomi serupa; atau merupakan kumpulan dari komunitas tumbuhan (Grosman et al., 1994). Aliansi merupakan tipe vegetasi yang mengandung satu atau lebih asosiasi dan didefinisikan melalui kisaran komposisi spesies, kondisi habitat, fisiognomi dan spesies diagnostik, yang secara khusus dan sekurang-kurangnya ditemukan sejumlah 1 atau lebih pada strata teratas atau paling dominan dari vegetasi (Jennings et al., 2003).

Ciri-ciri asosiasi tumbuhan adalah: (1) memiliki komposisi floristik yang relatif konsisten, (2) memiliki fisiogomi yang relatif seragam, dan (3) hadir pada habitat yang relatif konsisten (Barbour, et al., 1987) serta dengan spesies diagnostik yang khas.

Dalam menentukan asosiasi, beberapa metode floristik fokus pada spesies yang hadir secara konsisten pada area pengamatan. Sementara metode lain menekankan pada spesies diagnostik, spesies indikator, spesies dominan, maupun spesies yang terbatas penyebarannya pada area pengamatan. Pada sistem ini dituntut sampling lapangan yang intensif, pengetahuan yang mendalam tentang flora, dan melakukan analisis dengan cermat terhadap data-data tegakan dari lapangan yang telah ditabulasi untuk menentukan berbagai atribut spesies (seperti konstan, diagnostik, dan sebagainya) (Grosman et al., 1994).

Sistem klasifikasi floristik paling sering digunakan adalah sistem yang dikembangkan oleh Braun Blanquet, juga dikenal dengan nama sistem perbandingan tabular (Kent & Cooker, 1992). Klasifikasi ini mengelompokkan tegakkan vegetasi atau releve ke dalam unit-unit berdasarkan pada kriteria floristik, yaitu komposisi spesies dengan variasi yang sifatnya kuantitatif.

16

Pengelompokan dilakukan setelah seluruh daftar spesies yang terdapat pada seluruh tegakan dipindahkan ke dalam suatu tabel tunggal yang disebut tabel sintesis. Melalui tabel sintesis ini dapat diperlihatkan informasi floristik semua releve yang diperbandingkan.

Dalam tabel sintesis dapat diketahui distribusi spesies pada seluruh releve, sehingga kecendrungan distribusi spesies diantara releve dapat segera dikenali. Kemudian peneliti mengusahakan untuk mengisolir kelompok spesies yang memperlihatkan distribusi serupa diantara releve yang diperbandingkan, dan kemudian menempatkannya secara berdampingan dalam tabel yang mempunyai komposisi spesies serupa (Hardjosuwarno, 1996).

3. Klasifikasi Vegetasi Secara Floristik dengan Metode Numerik

Tujuan utama klasifikasi vegetasi dengan metode numerik sama dengan metode perbandingan tabular, yaitu mengelompokkan seperangkat sampel-sampel vegetasi atau kuadrat ke dalam kelas-kelas berdasarkan attribut yang ada pada vegetasi. Idealnya setiap kelas harus memiliki komposisi spesies yang serupa. Kelompok atau kelas ini kemudian diinterpretasikan dan digunakan untuk menentukan tipe komunitas tumbuhan yang terdapat pada area yang dikaji (Kent & Cooker, 1992).

Metode klasifikasi numerik merupakan teknik untuk mereduksi data dan dimanfaatkan untuk menentukan adanya pola-pola dan keteraturan dari suatu perangkat data. Melalui metode ini, seperangkat aturan yang jelas telah ditetapkan sebelumnya untuk mengatur proses pengelompokan individu atau kuadrat secara bersama-sama (Pielou, 1984). Hal ini akan menyebabkan unsur subjektifitas terabaikan. Dengan demikian, jika kemudian ada seperangkat data yang sama dan digunakan oleh dua peneliti yang berbeda untuk menemukan pola pengelompokan vegetasi dengan menggunakan klasifikasi numerik yang sama, maka akan diperoleh hasil yang sama.

Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan klasifikasi numerik adalah menentukan kesamaan (similaritas) dan ketidaksamaan (disimilaritas) di antara objek-objek yang dibandingkan. Berbagai macam koefisien kesamaan dan ketidaksamaan dapat diterapkan untuk menentukan kesamaan diantara kuadrat-

kuadrat ini. Di antaranya yang paling sering digunakan adalah koefisien jarak Euclidean, dan Squared Eulidean Distance (Kent & Cooker, 1992).

Jika seluruh pasangan objek dihitung kedekatannya maka hasilnya dapat disusun dalam suatu matriks kesamaan. Selanjutnya adalah mengelompokkan objek-objek yang memiliki kesamaan paling dekat ke dalam satu kelompok. Untuk kegiatan ini ada beberapa metode perhitungan yang dapat digunakan. Di antaranya adalah Metode Tetangga Terdekat yang juga dikenal sebagai single- lingkage clustering, metode Ward, Centroid, Median, dan Rata-rata Kelompok (Pielou, 1984 dan Jaya, 1999).

Dokumen terkait