• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I I KAJI AN TEORI

2.2 Verba

2.2.2 Klasifikasi Verba Berdasarkan Perilaku Sintaktis

Perilaku sintaktis verba berkaitan erat dengan hubungan verba sebagai pengisi fungsi predikat dengan fungsi kalimat lainnya dan sifat ketransitifan verba. Secara sintaktis, ketransitifan verba ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) adanya nomina yang berdiri di belakang verba yang berfungsi sebagai objek dalam kalimat aktif dan (2) kemungkinan objek tersebut berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif. Sehubungan dengan itu, verba terdiri atas verba transit if dan verba taktransitif (Alwi, dkk., 1998: 90; Kridalaksana, dkk., 1985: 52—54; Sugono dan I ndiyastini, 1994: 34).

2.2.2.1 Verba Transitif

Alwi, dkk. (1998: 91) menjelaskan bahwa verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai obj ek dalam kalimat aktif; objek tersebut dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (lihat juga Kridalaksana, dkk., 1985: 54). Secara morfologis, verba transitif dapat diturunkan dari berbagai dasar dengan melekatkan prefiks me(N)- dan me(N)- dalam kombinasinya dengan afiks –kan, -i, dan per- kan, per- i. Sudaryanto (1993: 125) mengatakan bahwa dalam konstruksi P–O, khusus P sebagai penguasa O, P itu dapat berupa kata monomorfemik yang hanya berafiks me(N)- tanpa afiks yang lain. Namun, dapat pula P itu dapat berupa kata polimorfemik dengan afiks yang lain pula di samping meN-, yaitu per-, -kan, dan –i, atau kombinasi antara per- dengan salah satu dari kedua yang terakhir itu. Sementara itu, Badudu (2002: 1) mengemukakan bahwa verba transitif secara morfologis ditandai oleh afiks me(N)-, me(N)- kan, me(N)- i, mem(per)- kan, mem(per)- i, dan mem(ber)- kan.

Pendapat Badudu itu sejalan dengan Alwi, dkk. (1998: 91—92) yang membagi verba transitif menjadi berikut.

a. Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu objek. (1) Dia sedang mencari alamat rumah nenek.

b. Verba dwitransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh dua nomina (objek dan pelengkap).

(3) I bu membuatkan ayah kopi susu. (4) Kami membelikan adik baju baru.

c. Verba semitransitif adalah verba transitif yang kehadiran objeknya dapat dilesapkan.

(5) Ayah sedang membaca (makalah). (6) Adik sedang (me-) makan (roti).

2.2.2.2 Verba Taktransitif

Verba taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat pula berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (Alwi, dkk., 1998: 93; Kridalaksana, dkk., 1985: 52; Sugono dan I ndiyastini, 1994: 34). Selanjutnya, Alwi, dkk. (1998: 95) mengklasifikasikan verba taktransitif menjadi berikut.

a. Verba taktransitif yang berpelengkap wajib adalah verba taktransitif yang menuntut kehadiran pelengkap.

(7) Anda diharap datang.

(8) Para teroris dijatuhi hukuman.

b. Verba taktransitif yang berpelengkap manasuka adalah verba taktransitif yang kehadiran pelengkapnya dapat ditanggalkan.

(9) Bajunya berwarna merah.

(10) Masalah itu telah disampaikan Riva.

b. Verba taktransitif yang takberpelengkap adalah verba taktransitif yang tidak menuntut hadirnya pelengkap.

(11) Pesepak bola itu berlari. (12) Kami kedinginan.

Pandangan atas klasifikasi verba berdasarkan perilaku sintaktis khususnya verba taktransitif dijadikan dasar dalam mengkaji konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} dari segi fungsi sintaktis.

2.2.3 Klasifikasi Verba Berdasarkan Perilaku Semantis

Verba, selain dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri morfologis, perilaku sintaktis, juga diklasifikasikan berdasarkan perilaku semantis.

Tadjuddin (2005: 69—76) menyatakan bahwa verba dapat diklasifikasikan menjadi empat macam situasi yang merupakan makna aspektualitas inheren verba.

a. Verba pungtual (peristiwa) menggambarkan situasi momental, situasi lintas batas atau peristiwa transisional, misalnya, angguk, berangkat ,bangun, bangkit, batuk, bunuh, capai, datang, jatuh, kedip, bilang, lompat, patah, petik, potong, pukul, tebak, tendang, dan tiba.

b. Verba aktivitas menggambarkan situasi dinamis yang berlangsung, misalnya, baca, bicara, gambar, lari, lukis, dan bangun.

c. Verba statis menggambarkan keberlangsungannya yang tidak homogen, terbatas waktunya, atau memerlukan usaha, misalnya, duduk, berdiri, pancar, tinggal, pikir, berbaring, sandar, tidur, dengarkan, lihat, tonton, dan telungkup.

d. Verba statif menggambarkan situasi yang homogen, keberlangsungan yang bersifat tetap, atau tanpa perubahan, misalnya, cinta, percaya, punya, salut, benci, tahu, dan takut.

Sejalan dengan pendapat Quirk, et al. (1985), Djajasudarma

(2005: 69—71) mengklasifikasikan verba menjadi verba dinamis dan verba statis, yaitu yang berdasarkan (partikel pemarkah) keaspekan.

Verba dinamis dapat dipilah menjadi (a) verba aktivitas, (b) verba proses, (c) verba sensasi tubuh, (d) verba peristiwa (transisional), dan (e) verba momentan.

a. Verba aktivitas dan verba proses acapkali digunakan dalam bentuk makna keaspekan (imperfektif yang menyatakan kontinuatif), misalnya, berdua, bernyanyi, dan bermain.

b. Verba sensasi tubuh dapat digunakan dalam makna keaspekan imperfekif yang memiliki sedikit pergeseran makna, misalnya, (sedang) merasa, sakit, luka, dan menggaruk.

c. Verba peristiwa transisional sebagian dapat memiliki makna keaspekan imperfektif dan sebagian lagi tidak, misalnya, (sedang) tiba, mendarat, mati, meninggalkan, jatuh, dan menghilang.

d. Verba momentan berada dalam aspek imperfektif yang mensyaratkan munculnya peristiwa lain, misalnya, menabrak, menendang, melompat, dan menepuk.

Selanjutnya, verba statis dapat dipilah menjadi berikut.

a. Verba statis dengan persepsi dan pengertian lamban dapat memiliki makna keaspekan imperfektif, misalnya, sedang berpikir, sedang mencium, dan sedang mendaki.

b. Verba relasional masih mungkin didapatkan dengan makna aspektual imperfektif, misalnya, (sedang) memiliki, dan patut.

Sementara itu, Sugono dan I ndiyastini (1994: 32) dan Alwi, dkk. (1998: 88—89 ) mengklasifikasikan verba berdasarkan makna inhernnya sebagai berikut.

a. Verba perbuatan (aksi) menggambarkan aktivitas tertentu, misalnya, menendang (ditendang), meniup (ditiup), dan melempar (dilempar). b. Verba proses menggmbarkan sedang berlangsungnya sesuatu,

misalnya, menguning, membesar, dan membengkak.

c. Verba keadaan menggambarkan suatu acuan dalam situasi tertentu, misalnya, suka dan benci.

Di samping ketiga makna verba tersebut, Alwi, dkk. menambahkan ketiga verba tersebut dengan verba pengalaman. Verba pengalaman menyatakan telah terjadinya sesuatu, misalnya, tahu, lupa, menyadari, dan merasa.

Chafe (1970: 98—102) mengemukakan bahwa dilihat dari ciri-ciri semantisnya verba dibedakan atas lima tipe utama berikut.

a. Verba keadaan menyatakan suatu keadaan, misalnya, suka dan benci.

b. Verba proses menyatakan suatu proses, misalnya, memerah, menghijau, dan merumput.

c. Verba aksi menyatakan suatu aksi, misalnya, menghancurkan (dihancurkan), menggulingkan (digulingkan), dan menghalau (dihalau).

d. Verba aksi-proses menyatakan berlagsungnya aksi-proses secara sekaligus, misalnya, menggelegar.

e. Verba ambien berhubungan dengan meteorologi, misalnya, raining. Selanjutnya, Chafe (1970: 144

166) menambahkan pula tiga t ipe verba tambahan, yaitu verba pengalaman (mengerti/ dimengerti), verba benefaktif (membelikan/ dibelikan, membuatkan/ dibuatkan, dan membawakan/ dibawakan), serta lokatif (mengelilingi/ dikelilingi, memasuki/ dimasuki, dan menduduki/ diduduki).

Pandangan atas klasifikasi verba berdasarkan perilaku semantis tersebut dapat dijadikan dasar dalam mengkaji konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} dari berbagai segi, yaitu terutama segi peran semantis.

2.2.4 Verba dalam Konstruksi Aktif- Pasif

Berbicara tentang verba dalam konstruksi aktif-pasif (dalam bahasa I ndonesia) berkaitan dengan verba yang mengisi fungsi predikat dalam konstruksi aktif-pasif. Verba yang dimaksud ialah verba aktif dan verba pasif.

2.2.4.1 Verba Akt if

Kridalaksana (1994: 53) membatasi verba aktif adalah verba yang terdapat dalam konstruksi aktif, yaitu subjeknya berperan sebagai pelaku atau penanggap. Verba demikian biasanya berprefiks me(N)-, be(R)-, dan tanpa prefiks.

Misanya:

(13) I a mengapur dinding.

(14) Rakyat mencintai pemimpinnya yang jujur. (15) Petani bertanam padi.

Apabila ditandai sufiks –kan, verba itu dapat bermakna benefaktif atau kausatif.

Misalnya:

(17) I a membuatkan saya baju. (18) I bu memasakkan kami nasi. (19) Ayah mengecilkan celana adik.

Apabila ditandai sufiks –i, verba itu dapat bermakna lokatif. (20) Pak tani menanami sawah.

(21) Adik memasuki ruangan itu.

(22) Pemberontak menduduki pusat kota.

Badudu (1987: 104) mengemukakan bahwa verba aktif adalah verba yang menjabat predikat dalam konstruksi aktif yang memiliki ciri prefiks me(N)-, be(R)-, atau tanpa prefiks. Ada dua macam verba aktif, yaitu verba aktif transitif dan verba aktif taktransitif. Verba aktif transitif ialah verba verba aktif yang dilengkapi objek, sedangkan verba aktif taktransitif ialah verba aktif yang tidak dilengkapi objek.

Dari batasan-batasan mengenai verba aktif tersebut, dapat disimpulkan bahwa verba aktif adalah verba yang menduduki fungsi predikat yang subjeknya berperan sebagai pelaku dan (verba itu) ditandai oleh prefiks me(N)-, be(R)-, atau tanpa prefiks.

2.2.4.2 Verba Pasif

Verba pasif adalah verba yang subjeknya berperan sebagai penderita, sasaran, atau hasil. Verba demikian biasanya diawali dengan prefiks di- atau t e(R)-, dan beberapa konfiks ke-an (Kridalaksana, 1994: 53).

Khusus verba pasif prefiks te(R)-, yaitu ter-D, Tadjuddin (2005: 138) menyatakan bahwa makna yang diemban verba pasif itu perfekt if yang mengambarkan situasi (gejala luar bahasa yang diungkapkan verba) sebagai satu kesatuan tunggal, memiliki batas internal, dan keberlangsungan secara tuntas.

Contoh:

(23) Adik dipukuli ayah. (24) Buku itu terinjak olehku. (25) Daerah itu sering kebanjiran.

Badudu (1987: 107) berpendapat bahwa verba pasif adalah verba yang menjadi predikat dalam konstruksi pasif dan memiliki ciri prefiks te(R)-, di-, atau tanpa prefiks te(R)- dan di-.

(26) Pintu itu tertutup oleh angin. (27) Adik didudukkan ibu di tikar.

(28) Anjing itu dipukulnya dengan kayu. (29) Luka itu kuobati dengan salep.

(31) Masalah itu kita diskusikan besok.

Dari batasan-batasan mengenai verba pasif tersebut, dapat disimpulkan bahwa verba pasif adalah verba yang menduduki fungsi predikat dalam konstruksi pasif yang subjeknya berperan sebagai penderita atau sasaran dan memiliki ciri prefiks di-, te(R)-, atau tanpa prefiks di- dan te(R)-.

Pandangan atas verba aktif-pasif, khususnya verba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} dijadikan dasar untuk mengisi fungsi sintaksis predikat dalam mengkaj i konstituen-konstituen pascaverba pasif tersebut.

2.3 Konstruksi Pasif

Chung (dalam Tadjuddin 2005: 105—108) mengemukakan bahwa dalam bahasa I ndonesia terdapat dua macam konstruksi pasif berikut. a. Pasif kanonis adalah konstruksi pasif yang pelakunya bersifat opsional

dan terletak di sebelah kanan verba. (32) Makalah itu dibahas (oleh) Ani. (33) Bola ini dibeli (oleh) Ali.

(34) Saya dikunjungi (oleh) mereka.

b. Pasif pengedapan objek adalah konstruksi pasif yang predikatnya tidak menggunakan morfem khusus sebagai penanda pasif, tetapi pelakunya bersifat obligatif dan ditempatkan di sebelah kiri verba.

(35) Dunia dalam Berita kita nantikan. (36) Buku itu Saudara baca.

Di samping dua konstruksi pasif, yaitu pasif kanonis dan pasif pengedepanan objek yang dikemukakan Chung tersebut, Tadjuddin (2005: 148—150) mengemukakan (sekaligus melengkapi) bahwa dalam bahasa I ndonesia dijumpai kepasifan verba ter-D. Konstruksi pasif verba ter-D merupakan konstruksi pasif yang dwimakna gramatikal, yaitu keterpaduan antara keperfektifan dan kepasifan. Kepasifan verba ter-D memiliki kesejalanan dengan kepasifan verba di-D. Dengan kata lain, konstruksi pasif verba ter-D dapat diparafrasakan dengan konstruksi telah di-D.

(37) Pintu itu terbuka sejak pukul 06.00 (terbuka = telah dibuka). Selanjutnya, Alwi, dkk. (1998: 345—348) menyatakan bahwa konstruksi pasif dalam bahasa I ndonesia dapat dibedakan atas dua hal berikut.

a. Konstruksi pasif yang pertama berasal dari konstruksi aktif dengan subjek berupa nomina atau frasa nominal. Predikat konstruksi pasif ini adalah verba yang berprefiks di-.

(38) Seorang asisten baru diangkat (oleh) Pak Toha.

b. Konstruksi pasif yang kedua berasal dari konstruksi aktif dengan subjek berupa persona kesatu dan kedua. Predikat konstruksi pasif ini adalah verba berkonstruksi aktif dengan menanggalkan prefiks di-.

(39) Kamar itu saya bersihkan.

Di samping dua konstruksi pasif tersebut, diungkapkan pula oleh Alwi, dkk. konstruksi pasif yang bukan berasal dari konstruksi aktif.

(40) Penumpang bus terlempar ke luar.

Sejalan dengan Chung, Tadjuddin, dan Alwi, dkk., Badudu (1987: 104 dan 1993: 76) mengemukakan bahwa konstruksi pasif dalam bahasa I ndonesia dapat dilihat dari subjek dan predikat kalimat. Subjek konstruksi pasif dikenai tindakan, sedangkan predikatnya berupa kata kerja yang berprefiks di- atau tanpa di- (dalam bentuk persona I dan II ) dan te(R)-.

Selanjutnya, Sugono (1994: 86—89) berpendapat bahwa konstruksi pasif dalam bahasa I ndonesia dibedakan atas tiga tipe berikut.

a. Konstruksi pasif ini terj adi bila objek kalimat aktif dijadikan subjek kalimat pasif.

(41) Kepariwisataan sedang digalakkan (oleh) pemerintah.

b. Konstruksi pasif ini terjadi bila unsur pelaku kalimat aktifnya berpronomina persona pertama dan kedua.

(42) Penghematan perlu kita lakukan. (43) Pengeluaran dana harus Anda hemat.

c. Konstruksi pasif ini terjadi bila subjek menderita tidak disengaja. (44) Dia terjatuh ke saluran air.

Konstruksi pasif yang dikaji dalam penelitian ini adalah konstruksi pasif yang fungsi predikatnya bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i}.

2.4 Tataran Sintaktis

Menurut Sudaryanto (1993: 12), penelaahan konstruksi sintaktis dibagi menjadi tiga tataran, yaitu tataran fungsi, tataran kategori, dan tataran peran. Fungsi adalah tataran yang paling tinggi tingkatan keabstrakannya; kategori merupakan tataran yang tingkat keabstrakannya lebih rendah daripada tataran fungsi; tataran peran merupakan tataran yang paling rendah tingkat keabstrakannya.

2.4.1 Fungsi Sintaktis

Kridalaksana (1993: 60) menj elaskan bahwa fungsi adalah (1) kaitan antara satu satuan bahasa dan unsur-unsur gramatikal, leksikal, atau fonologis dalam suatu deret satuan-satuan; (2) peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas, misalnya, subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.

Kridalaksana (1993: 204) menyatakan bahwa subjek adalah bagian klausa atau kalimat yang berwujud nomina atau frasa nomina(l) yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara. Dalam klausa kereta api itu terjungkal pembicara memfokuskan kereta api itu yang disebut subjek.

Menurut Kridalaksana (1993: 177), “Predikat adalah bagian klausa yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang subjek”. Dalam klausa kereta api itu terjungkal, pembicara membicarakan kereta api itu yang disebut subjek; tentang kereta api itu, dia menyatakan terjungkal, bagian ini disebut predikat.

Kridalaksana (1993: 148) menyatakan, “Objek adalah nomina atau kelompok nominal yang melengkapi verba-verba tertentu dalam klausa” . “Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transit if pada kalimat aktif” (Alwi, dkk., 1998: 328).

(46) Kamu mengharapkan kedamaian.

Kata kedamaian pada kalimat tersebut adalah objek.

Kridalaksana (1993: 114) menyatakan, “Pelengkap adalah bagian dari frasa verbal yang diperlukan untuk membuat predikat yang lengkap dalam klausa.”

Namun, berbeda dengan pendapat tersebut, Alwi, dkk. (1998: 330) menjelaskan bahwa pelengkap terdapat pada klausa berpredikat verba (taktransitif dan dwitransitif) atau berpredikat adjektiva. Oleh sebab itu, pelengkap ternyata bisa terdapat pada klausa berpredikat verba atau berpredikat adjektiva.

Misalnya:

(48) Anak itu pandai menari.

“Keterangan adalah bagian dari klausa yang memberikan informasi tambahan, misalnya, mengenai waktu terjadinya tindakan, tempatnya, tujuannya, yang disebutkan dalam predikat“ (Chaer, 1994: 233). “Keterangan adalah fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letaknya” (Alwi, dkk., 1998: 330).

(49) Kemarin di Jakarta kami menyaksikan pertandingan sepak bola ketika hujan deras.

Fungsi sintaksis (yang berupa konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} yang dikaji dalam penelitian ini adalah subjek, pelengkap, dan keterangan.

2.4.2 Kategori Sintaktis

Kategori sintaktis adalah satuan bahasa yang memiliki perilaku sintaktis tertentu dan memiliki kaitan yang sama (Kridalaksana, 1993: 100). Kategori sintaktis (dalam hal ini identik dengan kategori kata) itu terdiri atas verba, nomina, adjektiva, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, art ikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, dan interjeksi (Kridalaksana, 1994: 51–121).

Berikut ini dij elaskan kategori-kategori kata yang dikaji dalam penelitian ini.

2.4.2.1 Verba

Secara sintaktis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam frasa, yaitu dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak dalam suatu konstruksi (tidak makan). Di samping itu, verba tidak dapat didampingi partikel di (di makan), ke (ke makan), atau dari (dari makan), atau sangat (sangat makan).

2.4.2.2 Nomina

Nomina adalah kategori yang secara sintaktis tidak mempunyai potensi untuk (1) bergabung dengan partikel tidak (* tidak kampus) dan (2) mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari (dari kampus), ke (ke kampus), dan di (di kampus).

Berdasarkan bentuknya, nomina dibagi menjadi, yaitu (a) nomina dasar, misalnya, buku; (b) nomina turunan, misalnya, keuangan;

(c) nomina paduan leksem, misalnya, daya juang; (d) nomina paduan leksem gabungan, misalnya, pendayagunaan.

2.4.2.3 Adjektiva

Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (a) bergabung dengan partikel tidak (tidak cantik), (b) mendam-

pingi nomina (mobil baru), (c) didampingi partikel lebih (lebih kaya), (d) mempunyai ciri-ciri morfologis, misalnya, –er (dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam alami), atau dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an (adil menjadi keadilan).

Berdasarkan bentuknya, adjektiva dibedakan atas (1) adjektiva dasar, misalnya, besar; (2) adjektiva turunan, misalnya, terhormat.

2.4.2.4 Pronomina

Pronomina adalah kategori yang berfungsi menggantikan nomina. Pronomina itu terdiri atas saya, aku, kami, kit a, Anda, engkau, kalian, dia, ia, beliau, dan mereka. Kategori ini tidak bisa berafiks, tetapi beberapa di antaranya bisa direduplikasikan, yaitu kami-kami, dia-dia, beliau-beliau, mereka-mereka, dengan pengertian ‘meremehkan’ atau ‘merendahkan’.

2.4.2.5 Adverbia

Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi kategori lain, misalnya, adjektiva (belum rapi), numeralia (bukan dua), dan verba (tidak makan).

2.4.2.6 Numeralia

Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaktis (tiga mobil), (2) mempunyai potensi untuk

mendampingi numeralia lain (dua pertiga), dan (3) tidak dapat bergabung dengan partikel tidak (tidak satu) dan sangat (sangat dua).

2.4.2.7 Preposisi

Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina) yang dapat membentuk frasa eksosentrik direktif, misalnya, di atas, ke bawah, dari samping.

2.4.2.8 Konjungsi

Konjungsi adalah kategori yang berfungsi meluaskan satuan yang lain dalam konstruksi hipotaktis dan selalu menghubungkan dua

satuan lain atau lebih dalam konstruksi miliknya, misalnya, adapun, agar, tetapi, dan jika.

Pandangan atas teori kategori sintaksis tersebut dijadikan dasar untuk menentukan kategori konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} , baik itu yang berupa kata, frasa, maupun klausa.

2.4.3 Peran Sintaksis

Peran adalah hubungan antara argumen dengan predikator di dalam proposisi. Argumen di sini adalah sesuatu yang menjadi pendamping, sedangkan predikator adalah predikat (Kridalaksana, 1993: 168). Sementara itu, Verhaar (1992: 167) menjelaskan bahwa peran

sintaksis adalah segi semantis dari peserta-peserta (argumen-argumen) verba dan arti itu berakar pada verba.

Chafe (dalam Sugono 1995: 36) menyebutkan bahwa dalam struktur semantis, verba merupakan sentral dan nomina sebagai periferal. Verba sebagai pusat atau sentral menentukan kehadiran nomina, misalnya, sebagai pelaku, pengalam, petanggap, penerima, alat, atau lokasi.

Tentang peran semantis nomina (yang biasa disebut sebagai argumen dalam tata bahasa kasus), Fillmore (dalam Parera, 1992: 72) menyebutkan ada sembilan kasus (peran semantis) nomina, yaitu pelaku, alat, pengalam, objek, tempat, asal, sasaran, waktu, dan pemanfaat.

Selanjutnya, Badudu (2003: 17), Verhaar (1992: 91), Ramlan (1987: 96–127), dan Alwi, dkk. (1998: 334–335) menyebutkan bahwa peran semantis meliputi pelaku, sasaran, pengalam, pemeroleh, atribut, waktu, tempat, alat, sumber, tujuan, cara, penyerta, pembanding, sebab, hasil, dan syarat.

Teori-teori tentang peran semantis yang disebutkan itu tampak saling melengkapi. Oleh karena itu, teori-teori tersebut akan dipadukan untuk mengisi peran semantis konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i}.

2.5 Morfem

Morfem adalah satuan bahasa atau bentuk bahasa terkecil yang tidak dapat dibagi menjadi satuan bahasa yang lebih kecil

(Badudu,1993: 66). Morfem terbagi atas (a) morfem bebas dan (b) morfem terikat.

Morfem bebas adalah satuan bahasa terkecil yang secara potensial dapat berdiri sendiri atau tidak bergantung pada morfem lain, (free morpheme), misalnya, lari, cantik, dan rumah (Kridalaksana 1993: 141). Selanjutnya, Kridalaksana (1993: 141) mengemukakan bahwa morfem terikat (bound morpheme) adalah morfem yang tidak memiliki potensi untuk berdiri sendiri dan selalu terikat pada morfem yang lain untuk membentuk ujaran. Morfem tersebut, di ant aranya, ialah me-, ber-, ter-, di-, di-kan, di-i, ter-kan, ter-i, ke-an, antar, anjur, dan juang.

Morfem terikat dalam penelitian ini adalah morfem terikat

di-+ { -kan/ -i} yang dilekatkan pada morfem dasar lain sebagai penanda verba pasif.

2.6 Kata

Kridalaksana (1993: 98) berpendapat sebagai berikut.

Kata adalah 1. morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap oleh satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas; 2. satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal, misalnya batu, rumah, dan datang atau gabungan morfem, misalnya, pejuang, mengikuti, pancasila, dan mahakuasa.

Dalam beberapa bahasa, antara lain dalam bahasa I nggris, pola tekanan juga menandai kata.

Dari batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri yang terdiri dari morfem bebas atau morfem bebas dan morfem terikat.

Konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} yang hadir berupa kata terlihat ada fungsi subjek dan pelengkap, konstruksi, beberapa kategori, dan beberapa peran.

2.7 Frasa

Djajasudarma (2003: 9) menyatakan bahwa frasa adalah bentuk linguistik (unsur kalimat) minimal dua kata yang nonpredikatif.

Selanjutnya, Djajasudarma (2003: 11–17) dan Ramlan (1987: 140– 143) mengatakan bahwa frasa berdasarkan tipe atau distribusinya frasa terbagi atas frasa endosentrik (memiliki distribusi yang sama dengan semua unsurnya) dan eksosentrik (tidak berdistribusi yang sama dengan satu di antara komponennya).

Frasa endosentrik terdiri atas atributif (istri muda) dan koordinatif yang terbagi atas aditif (tekun dan cerdas), apositif (wanita pengusaha), alternatif (ibu atau bapak), dan unsur-unsurnya berkoordinatif (baik anak maupun istrinya). Frasa eksosentrik terdiri atas objektif (menjadi pilot) dan direktif (dari Bandung).

Di samping pembagian berdasarkan distribusi, Badudu (2002: 6–7) dan Ramlan (1987: 153–163) mengatakan bahwa frasa dapat dikelompokkan atau dinamai berdasarkan inti kategorinya. Frasa itu adalah frasa verbal (akan makan), nominal (buku tulis), adjektival (sangat rajin), numeralia (lima hari), adverbial (tadi pagi/ tidak sering), dan frasa preposisional (di kampus).

Konstituen pascaverba pasif yang bermorfem terikat di-+ { -kan/ -i} yang hadir berupa frasa itu adalah sebagai berikut. Secara distributif hadir frasa endosentrik, yaitu frasa koordinatif, atributif, dan apositif, sedangkan frasa eksosentriknya ialah frasa direktif dan objektif. Selanjutnya, secara kategorial, frasa yang hadir adalah frasa verbal, nominal, adjektival, adverbial, numeralia, dan preposisional.

2.8 Klausa

Klausa adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat serta memiliki kemampuan untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 1993: 110). Di samping subjek dan predikat, klausa juga mempunyai unsur-unsur yang lain, yaitu objek, pelengkap, dan keterangan. Akan tet api, hanya unsur subjek dan predikatlah yang menjadi inti dalam klausa, sedangkan unsur-unsur lainnya bersifat manasuka (Ramlan, 1987: 89).

(50) Saat Rano menangis menatap kami, Bapak I shak masuk diantar suster Nila.

Pada kalimat (majemuk) tersebut, unsur kalimat yang dilesapkan adalah subjek, yaitu Rano dan Bapak I shak.

Menurut Chaer (1994: 235), klausa dapat dibedakan berdasarkan strukturnya, yaitu klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas adalah klausa yang memiliki potensi untuk menjadi kalimat (mayor) jika diberi iintonasi akhir, sedangkan klausa terikat ialah klausa yang tidak memiliki potensi untuk menjadi kalimat (mayor).

(51) Penelitian itu terlambat karena memerlukan dana yang cukup besar.

Klausa penelitian itu terlambat tergolong pada klausa bebas, sedangkan karena memerlukan dana yang cukup bersar merupakan klausa terikat.

Badudu (2002: 19) menggolongkan klausa berdasarkan inti kategori predikatnya sebagai berikut.

a. Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya berkategori verba atau frasa verbal.

(52) Penelit i itu (akan) mengkaji data.

b. Klausa nominal adalah klausa yang predikatnya berkategori nomina atau frasa nominal.

(53) Ayahnya (seorang) pelukis.

c. Klausa adjektival adalah klausa yang predikatnya berkategori adjektiva atau frasa adjektival.

(54) Senyumnya (sangat) manis.

d. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berkategori adverbia

Dokumen terkait