• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU

C. Klausul eksonerasi dalam perjanjian baku,

Klausul eksonerasi dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dan dapat juga berasal dari rumusan pasal undang-undang. Klausul eksonerasi

75Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hal 148

48

rumusan pelaku usaha membebankan pembuktian pada konsumen dan menyatakan dirinya tidak bersalah dan inilah yang menyulitkan konsumen.

Klausul eksonerasi rumusan undang-undang membebankan pembuktian pada pelaku usaha eksonerasi biasa terdapat di dalam suatu perjanjian standar yang bersifat sepihak.

Klausul eksonerasi sering dicantumkan dalam perjanjian baku oleh pelaku usaha. Klausul eksonerasi merupakan klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. Klausul eksonerasi merupakan syarat yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung jawab pelaku usaha dalam melaksanakan suatu perjanjian.76

Klausul Eksonerasi merupakan bagian dari Standar Kontrak yang memuat tentang pengalihan tanggung jawab kreditur/pelaku usaha yang seharusnya tidak diperbolehkan oleh undang-undang tapi masih banyak ditemui seperti contoh segala kehilangan dan kerugian merupakan risiko pemilik/pribadi. Meskipun dasar dari pembuatan klausul ini adalah asas kebebasan berkontrak namun diperlukan intervensi atau campur tangan negara menggunakan undang-undang dan pengadilan agar tidak menjadi multitafsir bagi beberapa pihak karena perjanjian harus mendatangkan keuntungan buat masing-masing pihak. Sebagai contoh lain terlepas dari intervensi Negara terkadang klausul eksonerasi dibuat ditempat

76

tempat gelap, dibuat dalam huruf yang sangat kecil, dan sulit dimengerti dengan ketentuan yang sangat berlebihan sehingga diperlukan kehati-hatian ekstra bagi konsumen dalam meneliti tiap butir klausul tersebut sebab akan berakibat fatal apabila momen atau kondisi tersebut dimanfaatkan sekelompok kreditur/penjual untuk meraup keuntungan pribadi. Namun demikian keberadaan klausul eksonerasi tetap menjadi primadona di kalangan masyarakat khususnya di Negara Indonesia dengan kebutuhan yang saat ini semakin meningkat maka klausul eksonerasi tetap diminati oleh hampir setiap kalangan.77

Klausul eksonerasi biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausul tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausul tersebut sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausul tersebut menjadi beban konsumen.78

Rijken sebagaimana dikutip Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa klausul eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.79

77 Bure Teguh Satria, Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksenorasi, Universitas Sam Ratulangi, Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014, hal 39

78 Ibid.

79Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal.47

50

Dalam transaksi bisnis dengan memakai akta perjanjian baku, sangat terbuka kemungkinan bagi pihak pelaku usaha untuk melakukan pembatasan atau penghapusan tanggungjawab. Dalam arti, bahwa pelaku usaha dapat menentukan sendiri ketentuan-ketentuan tentang pengalihan tanggungjawab dan/atau resiko, dari pihak pelaku usaha (exonerant) kepada pihak adherent, dalam sebagian dari beberapa syarat baku yang ditetapkan sepihak itu. Syarat semacam itu dalam hukum disebut dengan istilah exoneratie clause (syarat eksonerasi), yaitu syarat dalam suatu perjanjian di mana satu pihak membebaskan diri dari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya oleh regelend recht.80

Dengan kata lain syarat eksonerasi merupakan syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggungjawab terhadap akibat yang merugikan yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausul eksonerasi dapat berasal dari rumusan pengusaha secara sepihak dapat juga berasal dari rumusan undang-undang. Klausul eksonerasi berpeluang menimbulkan penindasan yang satu dengan yang lainnya, maka pekasanaan perjanjian yang ada klausul eksonerasi harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pada dasarnya klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian adalah hal yang boleh. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Dalam hal ini pengadilan dapat mengesampingkan klausul eksonerasi ini. Isi perjanjian

80 Aufalawyer.https://wordpress.com/2017/10/20/klausula-baku-dan-klausula-eksenorasi/

bukanlah harga mati, karena pada Pasal 1339 penjelasan 1338 ayat (3) tentang itikad baik.81

Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip, Celina Tri Siwi Kristiyanti berpendapat bahwa klausul eksonerasi, memberikan definisi terhadap klausul eksonerasi sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari pelaku usaha, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya.82

Menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, terdapat jenis klausul baku eksonerasi yaitu:\

1. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi,

2. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri.

3. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu piahk misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada phak ketiga yang terbutki mengalami kerugian.83

Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Pasal 22 dijelaskan perjanjian baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.

81 Ibid

82 Halina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal 141.

83 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 116

52

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha jasa keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli.

3. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha jasa keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang digunakan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4. Mengatur tentang kewajiban pembuktikan oleh konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh konsumen bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

5. Membeli hak kepada pelaku usaha jasa keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi objek perjanjian produk dan layanan.

6. Menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha jasa kuangan dalam masa konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya.

7. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha jasa keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.84 D. Landasan Hukum Perjanjian yang Menggunakan Klausul Baku

Keberadaan kontrak baku tidak diatur dalam perundangundangan dan juga tidak dilarang oleh undang-undang. Kontrak baku telah ada dan eksis sejak ribuan tahun yang lalu dalam dunia bisnis.85

Aturan hukum di Indonesia telah mengatur terkait dengan klausul baku yang biasanya digunakan di dalam hubungan bisnis atau perjanjian, dalam hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 18 UUPK. Didalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa adanya aturan-aturan yang mengatur keberadaan klausul baku, antara lain:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

84 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

85 HS., Salim, dkk. Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU).

Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hal 72

54

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.86

Pengaturan kontrak baku dapat ditemukan pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain :

1. Pasal 6.5.1.2 dan pasal 6.5.1.3 NBW Belanda.

2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 Priciples of international Commercial Contract (Prinsip UNIDROIT). Prinsip ini mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak.

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

4. Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK menjelaskan secara khusus pengertian Pasal 1 angka 10 kemudian

86Muhamad Hasan Muaziz dan Achmad Busro, Pengaturan Klausula Baku Dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai Keadilan Berkontrak, Universitas Diponegoro. Jurnal Law Reform,

menjelaskan ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam kontrak baku di dalam Pasal 18.

5. Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang berlaku bagi seluruh perusahaan keuangan, termasuk di dalamnya perusahaan Asuransi Syariah.

Peraturan ini memuat ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam sebuah kontrak baku dalam Pasal 22. Pada dasarnya ketentuan yang dilarang dicantumkan dalam kontrak baku yang diatura dalam peraturan OJK ini tidak jauh berbeda dengan 18 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 18.87

Kedudukan klausul baku dalam hukum perjanjian di Indonesia dapat ditelusuri dari dasar hukum yang mengatur terkait dengan klausul baku tersebut, serta penggunaan klausul baku dalam hubungan keperdataan yang dilakukan oleh para pihak. Mengenai kedudukan klausul baku dapat dilihat dari aturan hukum yang mengaturnya serta beberapa contoh perjanjian yang menggunakan klausul baku. Aturan hukum di Indonesia telah mengatur terkait dengan klausul baku yang biasanya digunakan di dalam hubungan bisnis atau perjanjian, dalam hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa adanya aturan-aturan yang mengatur keberadaan klausul baku yaitu:

1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

87 Ibid

56

2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen

3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.88

Di samping itu, dalam aturan yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”

Sedangkan pada ayat (3) lebih lanjut disebutkan bahwa: “Setiap klausul baku yang

88

telah ditetapkan 89oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”. Dalam penerapanya adanya ketentuan pada ayat (3) tersebut penggunaan kalusula baku yang letaknya sebagaimana yang diatur di dalam ayat (1) dan (2), masih banyak dijumpai. Tidak hanya berhenti disitu, di dalam ayat (3) bahwa, “Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini”90

Perjanjian baku atau kontrak baku mempunyai keuntungan, antara lain, dapat mendukung praktik bisnis lebih efisien (dari segi waktu dan biaya) dan sederhana, karena dapat ditandatangani seketika oleh para pihak, terutama untuk kontrak-kontrak yang dibuat dalam jumlah yang banyak (massal). Sebaliknya, kerugian dari kontrak baku, antara lain, dapat terjadinya ketidakadilan, jika substansi kontrak memuat klausul yang tidak seimbang, dalam arti lebih menguntungkan satu pihak yang kedudukan atau posisi tawar-menawarnya lebih kuat saja dan merugikan pihak lainnya yang kedudukan atau posisi tawar-menawarnya lebih lemah.91

90 Ibid

91 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal, 69

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS PEMBATALAN PERJANJIAN BAKU PADA ASURANSI PENDIDIKAN

MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Akibat Hukum terhadap Konsumen atas Pembatalan Perjanjian Baku pada Asuransi Pendidikan

Polis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk akta perjanjian asuransi. Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik di tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian.92 Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung terhadap penanggung.93

Asuransi pendidikan merupakan salah satu alternatif yang dinilai akan dapat memenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Asuransi pendidikan dirancang sedemikian rupa, sehingga hanya untuk keperluan pendidikan anak yang sesuai dengan jenjang pendidikan.94 Bahkan ketika orang tua sudah tidak produktif lagi atau mengalami resiko kematian, para penerima manfaat polis (anak-anak) akan tetap terjamin kelangsungan dan pendidikannya. Asuransi pendidikan adalah kontrak antara perusahaan asuransi dan orang tua yang menyebutkan bahwa orang tua setuju untuk membayar sejumlah premi asuransi secara berkala kepada pihak

92 Sri Rejeki Hartono, Op.Cit., hal.123

93 Ibid

94

perusahaan asuransi, untuk kemudian orang tua mendapatkan sejumlah dana pendidikan tertentu dari perusahaan asuransi pada saat anaknya memasuki usia sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya. 95 Dalam asuransi ini, pesertamemiliki dua kemungkinan, pertama bila masih peserta hidup sampai masa kontra berakhir, maka pembayaran klaim dari rekening tabarru pada peserta porsi bagi hasil, untuk digunakan bagi biaya pendidikan anak-anaknya. Yang kedua peserta meninggal dunia pada sat kontrak masih berlangsung, maka pembayaran klaim berupa rekening tabarru peserta, porsi bagi hasil, dan dana kebajikan diambil dari tabungan tabarru akan diterima oleh ahli warisnya untuk biaya pendidikan setelah ditinggal orang tuanya.96

Asuransi pendidikan dapat dimulai sejak anak lahir hingga usia 17 tahun dengan target utama di usia 0 – 10 tahun. Tidak hanya terbatas Ayah atau Ibu, asuransi pendidikan juga dapat disiapkan oleh para Kakek dan Nenek berusia maksimum 50 tahun; sebagai hadiah yang bermanfaat kepada buah hati tercinta.97 Pemegang polis (Tertanggung) memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi jiwa sebagai penanggung risiko.

Besarnya nilai premi ditetapkan oleh perusahaan asuransi dengan memperhatikan antara lain:

1. Target dana yang diinginkan 2. Tahapan dana yang dibutuhkan

95 Ibid

96 Ibid

97Otoritas Jasa Keuangan, Asuransi Pendidikan Mewujudkan Masa Depan Anak, https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/images/FileDownload/456_asuransi%203%201%20asura nsi%20pendidikan_2018_small.pdf, diakses tanggal 1 Juli 2018.

60

3. Jangka waktu yang dibutuhkan.98

Pada dasarnya ketentuan sah perjanjian asuransi sebenarnya tidak memerlukan suatu prosedur dan formalitas tertentu. Selama ada kata sepakat serta telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut dianggap sah. Kata sepakat merupakan syarat yang paling esensial dalam perjanjian asuransi yang menjadi dasar perjanjian.99

Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD, karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka disamping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Menurut ketentuan tersebut, ada empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Syarat sah yang diatur dalam KUHD merupakan kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 KUHD100

Ada beberapa manfaat asuransi pendidikan, antara lain :

1. Bila peserta mengundurkan diri sebelum perjanjian berakhir, maka peserta akan mendapatkan hal berikut.

a. Dana rekening tabungan yang telah disetor.

b. Bagian keuntungan atas hasil keuntungan tabarru’ (mudharabah).

2. Bila peserta ditakdirkan meninggal dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan mendapatkan hal berikut.

98 Ibid

99 Sri Redjeki Hartono, Op.Cit, hal.36

100

a. Dana rekening tabungan yang telah disetor.

b. Bagian keuntungan atas hasil investasi rekening tabungan (mudharabah).

c. Selisih dari manfaat Takaful awal (rencana menabung) dengan premi yang sudah dibayar.

d. Selain itu bila anak (sebagai penerima hibah) :

1) Hidup sampai dengan 4 tahun di Perguruan Tinggi, yang bersangkutan akan mendapatkan dana pendidikan sesuai dengan table

2) Meninggal, maka dana pendidikan yang belum sempat diterimanya akan dibayarkan pada ahli warisnya.

e. Bila peserta hidup sampai perjanjian berakhir dan bila anak (sebagai penerima hibah) :

1) Hidup sampai dengan 4 tahun di perguruan tinggi,yang bersangkutan akan mendapatkan dana pendidikan sesuai dengan table

2) Meninggal sebelum seluruh dana pendidikannya diterima, maka kepada peserta akan mendapatkan semua saldo rekening tabungan dan sebagian keuntungan atas investasi rekening tabungan.101

Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.102

101 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General, Jakarta, Gema Insani Press, 2004, hal. 641.

102 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Op.Cit, hal. 67

62

Pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian (terminasi) dapat dilakukan dengan penyebutan alasan pemutusan perjanjian, dalam hal ini, dalam perjanjian diperinci alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutus perjanjian. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan perjanjiannya, tetapi hanya wanprestasi yang disebutkan dalam perjanjian saja. Cara lain pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian yakni kesepakatan kedua belah pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, perjanjian dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak.103

Menurut ketentuan setiap asuransi harus memiliki kejelasan mengenai objek tertentu. Kejelasan objek tertentu yang dimaksud adalah kejelasan mengenai sifat yang dimiliki oleh tertanggung seperti jenis, identitas, dan sifat objek asuransi harus diketahui secara pasti oleh penanggung.104

Penerapan ketentuan syarat pemberitahuan ini telah diatur dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi : Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak

103 Siti Irniarti Pratiwi, Perlindungan Hukum Tertanggung Dalam Pembatalan Polis Yang Dilakukan Oleh Penanggung (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 534/

Pdt.G/ 2011/ PN. Jkt-Sel Antara PT Prim Acitra Perdana Melawan PT Asuransi Axa Indonesia), Skripsi Universitas Indonesia, 2013, hal 10

104

akan ditutup dengan ketentuan-ketentuan yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.105

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.106

Perjanjian asuransi, para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian antara tertanggung dan penanggung dan perjanjian tersebut secara sah berlaku sebagai undang-undang yang biasa disebut dengan asas pacta sunt servanda. Jika ada hal yang tidak diatur dalam perjanjian asuransi maka mengenai hal tersebut akan tunduk kepada undang-undang. Dalam asuransi pendidikan, perjanjian asuransi diterbitkan dalam bentuk polis. Polis yang dibuat tersebut tidak dapat dilepaskan dari perikatan yang dibuat diantara

105 Subekti dan Tjitrosudibio, Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, Pradnya Paramita, 2006, hal.78

106 Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Surabaya, Bina Ilmu, 1998, hal 19

64

kedua belah pihak yaitu tertanggung dan penanggung. Dalam perjanjian asuransi tersebut harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang diperbolehkan107

Apabila debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi prestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka

Apabila debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi prestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka

Dokumen terkait