• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klorofil-a .1 Lumba-lumba

Dalam dokumen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 24-48)

Gambar 25. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) Januari 08, b) Januari 09, c) Januari 10

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 34 diatas, sebaran klorofil-a di perairan sekitar Kofiau dan Misool setiap bulannya hanya berubah sedikit, tidak terlalu terlihat. Tingkat klorofil-a yang tinggi hanya berada di daerah Pulau Salawati dan Kabupaten Sorong. Ini dimungkinkan karena Kofiau dan Misool memiliki bentuk kontur dimana perairan dekat pulau cukup dangkal namun perairan sekitar pulau di kelilingi oleh laut dalam.

Tingkat klorofil-a ditemukannya lumba-lumba pada bulan Januari ini tidak terlalu tinggi, berkisar antara 0.2-0.6 mg/m3. Kelompok lumba-lumba dengan klorofil-a paling tinggi saat ditemukan yaitu pada tahun 2009 di gugus-gugus pulau Misool, yang kemungkinan melewati kampung-kampung kecil.

Gambar 26. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) Februari 07, b) Februari 08, c) Februari 09, d) Februari 11

Seperti sudah dijelaskan pada distribusi lumba-lumba pada SPL, pada tahun 2008, ditemukan kelompok lumba-lumba sebanyak 200 ekor yang ditemukan di Selat Sagewin. Pada peta klorofil-a ini, mereka ditemukan pada klorofil sebesar 0.24 mg/m3. Untuk rata-rata klorofil-a terbesar adalah pada sebaran lumba-lumba tahun 2007, yaitu 0.32-0.53 mg/m3 dengan dalam satu perjumpaan terdapat 3-15 ekor.

Gambar 27. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) Maret 07, b) Maret 08, c) Maret 09, d) Maret 10, e) Maret 11

Sebaran lumba-lumba pada Maret 2007 memiliki nilai klorofil-a yang paling tinggi dibandingkan tahun lainnya, dengan kisaran klorofil-a 0.2-0.76 mg/m3, bahkan dengan bulan Maret 2009 yang mana sebaran lumba-lumbanya juga di gugus-gugus pulau Misool.

Gambar 28. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) April 07, b) April 08, c) April 09

Pada tahun 2009 terdapat 2 ekor lumba-lumba yang ditemukan secara terpisah dengan klorofil-a sebesar 0.57 mg/m3. Pada tahun yang sama di perairan pulau Kofiau ditemukan sekelompok lumba-lumba berjumlah 20 ekor tetapi dengan kandungan klorofil-a yang rendah, yaitu 0.17 mg/m3. Dimungkinkan kandungan klorofil rendah karena tidak adanya kegiatan di darat yang menyebabkan runoff yang membawa suplai nutrien.

Kisaran kandungan klorofil-a pada bulan Mei (Gambar 38) ini sangatlah variatif. Kelompok lumba-lumba berjumlah 8 ekor yang ditemukan di perairan sempit antara Pulau Salawati dan Sorong memiliki kandungan klorofil-a yang paling tinggi diantara titik lumba-lumba dalam bulan maupun tahun lainnya, yaitu 4.2 mg/m3. Ini dikarenakan banyak kegiatan di daratan Sorong dan banyaknya kapal kecil maupun besar yang melewati perairan tersebut setiap harinya. Sama

halnya dengan perjumpaan lumba-lumba yang ditemukan di dekat Kabupaten Sorong. Perairannya memiliki kandungan klorofil-a sebesar 1.1 mg/m3.

Kisaran kandungan klorofil-a pada Mei 2008 juga cukup tinggi, yaitu 0.36-0.8 mg/m3, dimana 50 ekor lumba-lumba yang dijumpai paling banyak pada tahun itu ditemukan pada wilayah yang memiliki kandungan klorofil-a sebesar 0.36 mg/m3.

Gambar 29. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) Mei 07, b) Mei 08, c) Mei 09, d) Mei 10, e) Mei 11

Gambar 30. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan Juni 2007

Kisaran klorofil-a pada bulan ini pada saat lumba-lumba ditemukan sangat bervariasi, yaitu 0.27-1.03 mg/m3. Tetapi lumba-lumba yang ditemukan pada perairan yang memiliki kandungan klorofil 1.03 mg/m3 hanya ditemukan 4 ekor, sedangkan kelompok lumba-lumba dalam jumlah 70 ekor ditemukan di bagian selatan Pulau Kofiau memiliki kandungan klorofil-a sebesar 0.43 mg/m3.

Gambar 31. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) September 07, b) September 08

Pada tahun 2007, kandungan klorofil-a dimana kelompok lumba-lumba ditemukan cukup tinggi yaitu 0.85 mg/m3 dan 0.97 mg/m3, di perairan terbuka antara Pulau Salawati dan Pulau Kofiau, juga kelompok lumba-lumba sebanyak 2 ekor yang ditemukan di gugus-gugus pulau Misool. Tahun 2008 memiliki

kandungan klorofil-a yang jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2007, yaitu 0.33-0.37 mg/m3. Jumlah lumba-lumba sebanyak 20 ekor yang ditemukan di antara Pulau Boo besar dan Boo kecil memiliki kandungan klorofil-a sebesar 0.33 mg/m3.

Gambar 32. Distribusi lumba-lumba pada SPL bulan a) Oktober 07, b) Oktober 08, c) Oktober 09, d) Oktober 10, e) Oktober 11

Bulan Oktober tahun 2007 yang memiliki salah satu sebaran dan jumlah lumba-lumba terbanyak dibandingkan bulan maupun tahun lainnya memiliki kandungan klorofil-a yang cukup tinggi di sekitar gugus-gugus pulau Misool,

yaitu 1.06-1.36 mg/m3 dengan jumlah dalam masing-masing pertemuan antara 1-12 ekor. Akan tetapi kelompok lumba-lumba dengan jumlah 100 ekor yang ditemukan di peraian Boo Kecil hanya mengandung 0.26 mg/m3 sedangkan 100 ekor kelompok lumba-lumba yang ditemukan di bagian selatan Pulau Kofiau mengandung 0.35 mg/m3.

Gambar 33. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) November 07, b) November 08, c) November 09, d) November 10, e) November 11

Sama seperti Oktober 2007, November 2007 mempunyai sebaran lumba-lumba yang paling tinggi diantara bulan maupun tahun yang lain. Begitu juga

kandungan klorofil-a di beberapa titik ditemukannya lumba-lumba. Pada bulan Oktober 2007 kandungan klorofil-anya dapat dikatakan cukup tinggi, begitu juga dengan bulan ini pada tahun 2007 yaitu 1-1.45 mg/m3. Tetapi jumlah lumba-lumba sebanyak 100 ekor yang ditemukan di perairan antara Pulau Kofiau dan Pulau Boo, kandungan klorofil-anya adalah 0.36 mg/m3. Ini mungkin dikarenakan perairan tempat ditemukannya kelompok lumba-lumba tersebut merupakan perairan dalam.

Pada tahun 2008 juga ditemukan kelompok lumba-lumba berjumlah 100 ekor, ditemukan di bagian barat Pulau Kofiau dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.29 mg/m3, sedangkan untuk tahun lainnya pada bulan ini, kandugan klorofil berkisar antara 0.21-0.94 mg/m3.

Gambar 34. Distribusi lumba-lumba pada klorofil-a bulan a) Desember 08, b) Desember 09, c) Desember 10

Pada bulan Desember selama tiga tahun ditemukannya kelompok lumba-lumba, kandungan klorofil-a pada perairan tersebut cukup tinggi. Pada tahun

2008, kelompok lumba-lumba yang ditemukan di dekat pulau-pulau kecil di sebelah utara Misool berjumlah 5 ekor dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.67 mg/m3. Kelompok lumba-lumba berjumlah 7 ekor yang ditemukan pada tahun 2009 di perairan antara gugus-gugus pulau di Misool mempunyai kandungan klorofil-a 0.64 mg/m3. Kelompok lumba-lumba yang ditemukan pada tahun 2010 di Selat Sagewin yang berjumlah 9 ekor mempunyai kandungan klorofil-a sebesar 0.65 mg/m3.

Gambar 35. Grafik jumlah lumba-lumba terhadap perubahan klorofil-a tahun 2007-2011

Perubahan klorofil-a dari tahun 2007 hingga 2011 cukup konstan dimana rata-rata pada bulan Juni hingga Agustus (pada beberapa tahun hingga bulan Oktober) adalah 0.6-1.03 mg/m3. Rata-rata tingkat kandungan klorofil-a paling tinggi adalah pada bulan Juni 2011. Bulan-bulan lainnya memiliki rata-rata tingkat klorofil-a yang lebih rendah, yaitu 0.27-0.58 mg/m3.

Berbanding terbalik dengan perubahan suhu permukaan laut, perubahan klorofil-a dari tahun ke tahun walaupun konstan, tetapi perubahannya berbanding terbalik dengan jumlah lumba-lumba yang ditemukan. Ini dapat dilihat pada pembahasan yang sudah dijabarkan sebelumnya, yaitu pada saat beberapa kelompok lumba-lumba yang berjumlah 100 ekor ditemukan di perairan yang mempunyai kandungan klorofil-a sebesar 0.26-0.36 mg/m3. Kelompok lumba-lumba yang paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pengamatan juga ditemukan pada perairan yang memiliki kandungan klorofil-a sebesar 0.24 mg/m3. Tiga kelompok lumba-lumba yang ditemukan pada tahun 2010 yang seluruhnya

berjumlah 7 ekor ditemukan di perairan yang mempunyai kandungan klorofil-a berkisar antara 1.1-1.29 mg/m3.

Korelasi yang berbanding terbalik ini dimungkinkan karena cetacea odonticeti atau cetacea yang bergigi tidak seperti paus baleen (mysticeti) yang memdapatkan efek langsung dari tinggi atau rendahnya kandungan klorofil-a dikarenakan mereka memakan di tingkatan trophic yang lebih rendah, dan waktu antara banyaknya kandungan klorofil-a yang berada di suatu perairan dengan keberadaan mangsa lebih sedikit dibandingkan untuk lumba-lumba dan paus bergigi.

4.4.2.2 Paus

Gambar 36. Distribusi paus pada klorofil-a bulan a) Januari 08, b) Januari 09 Kelompok paus yang paling banyak ditemukan pada bulan Januari 2008 ditemukan di bagian barat Pulau Kofiau, yaitu berjumlah 50 ekor walaupun kandungan klorofil-a di perairannya adalah 0.21 mg/m3 saja. Berbanding terbalik dengan kelompok paus yang ditemukan pada tahun 2009 di gugus-gugus pulau Misool yang berjumlah hanya 2 ekor, tetapi dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.6 mg/m3.

Gambar 37. Distribusi paus pada klorofil-a bulan a) Februari 2008, b) Februari 2009

Tidak seperti kandungan klorofil-a bulan Januari, tempat ditemukannya kelompok paus pada bulan ini mengandung klorofil yang cukup rendah, berkisar antara 0.16-0.28 mg/m3. Kelompok paus yang paling banyak ditemukan pada bulan ini adalah pada tahun 2008 di perairan antara Pulau Kofiau dan Pulau Boo Kecil, berjumlah 15 ekor dengan kandungan klorofil-a 0.17 mg/m3.

Gambar 38. Distribusi paus pada klorofil-a bulan a) April 09, b) April 10 Apabila bulan-bulan sebelumnya (lumba-lumba maupun paus), jika kandungan klorofil-a rendah, maka jumlah lumba-lumba atau paus sedikit. Tetapi, pada bulan ini kelompok paus berjumlah 29 ekor yang ditemukan pada tahun 2009 di perairan gugus-gugus pulau Misool mengandung klorofil-a sebesar 0.58 mg/m3, sedangkan kelompok paus yang berjumlah 7 ekor ditemukan di perairan yang kandungan klorofil-anya sebesar 0.32 mg/m3.

Gambar 39. Distribusi paus pada klorofil-a bulan a) Mei 07, b) Mei 09

Pada bulan ini ditemukan 30 ekor paus pada tahun 2007 di perairan antara Pulau Kofiau dan Pulau Boo Kecil dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.29 mg/m3, sedangkan pada tahun 2009, pertemuan pada dua tahun ini sama-sama hanya satu kali, mereka ditemukan dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.17 mg/m3.

Gambar 40. Distribusi paus pada klorofil-a bulan Juli 08

Walaupun dalam ketiga pertemuan kelompok paus pada bulan ini kandungan klorofilnya hampir sama yaitu 0.51-0.57 mg/m3, tetapi jumlah paus dalam satu kelompok berbeda-beda. Kelompok paus yang ditemukan di sebelah timur Pulau Kofiau berjumlah 30 ekor, sedangkan dua pertemuan lainnya hanya berjumlah 2-3 ekor saja.

Gambar 41. Distribusi paus pada klorofil-a bulan September 10

Apabila kebanyakan pada bulan dan tahun sebelumnya kelompok paus ditemukan di sekitar KKLD Kofiau, pada bulan ini paus lebih memilih berada di perairan dekat dengan gugus-gugus pulau Misool yang mempunyai kandungan klorofil-a yang cukup tinggi, yaitu 0.59 mg/m3. Ini dimungkinkan pada bulan ini kandungan klorofil-a pada bagian Misool jauh lebih tinggi dibandingkan perairan bagian Kofiau.

Gambar 42. Distribusi paus pada klorofil-a bulan a) Oktober 07, b) Oktober 08 Sama halnya dengan bulan April 2009, kandungan klorofil-a yang tinggi membuat jumlah paus dalam satu kelompok bertambah. Pada tahun 2008, ditemukan 20 ekor paus di perairan terbuka setelah Selat Sagewin dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.76 mg/m3. Tetapi, pada tahun 2007 ditemukan

kelompok paus yang mempunyai jumlah lebih banyak yaitu 30 ekor, perairan dimana mereka ditemukan mengandung klorofil yang lebih rendah dibandingkan tahun 2008, yaitu 0.36 mg/m3.

Gambar 43. Distribusi paus pada klorofil-a bulan a) November 07, b) November 09 Dibandingkan dengan bulan lainnya, bulan November 2007 dan 2009 memiliki perjumpaan paus yang paling banyak. Pertemuan yang mempunyai jumlah paling banyak ditemukan pada tahun 2007 di perairan sekitar Pulau Kofiau dengan jumlah 25 ekor dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.36 mg/m3. Tetapi pada tahun yang sama, 6 ekor paus ditemukan di perairan yang berdekatan, dengan kandungan klorofil-a yang lebih tinggi, yaitu 0.66 mg/m3.

Pada tahun 2009 kisaran klorofil-a di perairan pada saat kelompok paus ditemukan lebih rendah dibandingkan tahun 2007, yaitu berkisar antara 0.18-0.34 mg/m3.

Dapat kita lihat pada grafik dalam Gambar 54 bahwa jumlah paus yang ditemukan di Raja Ampat semakin lama semakin berkurang. Pada bulan Desember (Gambar 53) hanya ditemukan satu kelompok dan hanya ditemukan pada tahun 2009. Jumlahnya pun hanya 1 ekor ditemukan di perairan setelah Selat Sagewin, berdekatan dengan saat ditemukan pada bulan Oktober 2008. Perairan dimana paus tersebut ditemukan mengandung klorofil-a sebesar 0.28 mg/m3.

Gambar 44. Distribusi paus pada klorofil-a bulan Desember 09

Gambar 45. Grafik jumlah paus terhadap perubahan klorofil-a tahun 2007-2011 Apabila pada lumba-lumba kandungan klorofil-a berbanding terbalik dengan jumlah lumba-lumba yang ditemukan, kandungan klorofil-a sepertinya tidak mempunyai korelasi yang signifikan pada jumlah paus yang ditemukan di perairan ini. Kelompok paus yang paling banyak ditemukan dalam 5 tahun (2007-2011) ini berjumlah 50 ekor dengan kandungan klorofil-a sebesar 0.21 mg/m3, sedangkan kandungan klorofil-a yang paling tinggi, yaitu 0.76 mg/m3 saat ditemukannya kelompok paus hanya berjumlah 20 ekor. Juga, kelompok paus

yang berjumlah hanya 6 ekor justru ditemukan di perairan yang mempunyai kandungan klorofil-a sebesar 0.66 mg/m3.

Berdasarkan penjabaran dari Walker (2005), walaupun sudah ada penelitian yang di beberapa tempat di dunia bahwa adanya korelasi antara kandungan klorofil-a dengan distribusi paus maupun lumba-lumba, tetapi ia tidak menemukan korelasi yang signifikan dalam penelitiannya yang dilakukan di Bay of Biscay, Inggris. Hobbs (1994) dalam Walker (2005) juga mengatakan bahwa hal ini dapat dimungkinkan konsentrasi klorofil-a yang sesungguhnya bisa lebih tinggi dibandingkan yang terbaca oleh satelit. Teori ini dibuktikan Cresswell & Walker (2002) dalam Walker (2005) saat mereka menemukan kelompok paus fin (Balaenoptera physalus) yang banyak di Bay of Biscay walaupun dalam citra satelit terbaca bahwa kandungan klorofil-a di area tersebut rendah.

4.4.3 Batimetri

4.4.3.1 Lumba-lumba

Dalam 5 tahun pengamatan lumba-lumba dan paus, lumba-lumba lebih banyak ditemukan di perairan Pulau Kofiau yang mempunyai kedalaman <500 m dan juga lebih sering ditemukan diantara gugus-gugus pulau Misool, yang mempunyai kedalaman lebih rendah dibandingkan Kofiau, yaitu <100 m. Ini dikarenakan banyaknya jenis lumba-lumba yang ditemukan di perairan tersebut mempunyai kebiasaan mencari makan di perairan yang cukup dangkal. Hal ini juga dapat dibuktikan dari lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, yang lebih sering terlihat di perairan <100 m di berbagai perairan di dunia. Mereka terkadang menyukai mengikuti kapal penangkap ikan untuk menunggu ikan ataupun hasil tangkapan lainnya terlepas dari jaring, yang sering dilakukan oleh lumba-lumba hidung botol.

Jenis lumba-lumba yang lain memangsa ikan mesopelagis kecil, cumi-cumi dan udang yang berada di kedalaman sekitar 200-300 m dari permukaan, dan terkadang juga mencari makan di sekitar daerah terumbu karang dan daerah bentik seperti lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) (Reeves et al., 2002). Dimungkinkan juga banyaknya pertemuan mereka di kedua daerah tersebut dikarenakan adanya beberapa kampung dan beberapa bagan, dan rumah ikan yang ada.

Selain lumba-lumba yang ditemukan di perairan sekitar Pulau Kofiau dan perairan antara gugus-gugus Pulau Misool, lumba-lumba juga ditemukan di perairan Pulau Boo, yaitu Boo Kecil dan Boo Besar yang memiliki kedalaman <200 m. Perairan antara Pulau Kofiau dengan Pulau Boo memiliki kedalaman <500 m, tempat beberapa jenis lumba-lumba juga dapat ditemukan pada bulan-bulan tertentu. Lumba-lumba yang ditemukan di bagian utara Pulau Misool, memliki kedalaman <100 m hanya ditemukan pada bulan Februari 2007, dimana kemungkinan juga mereka lebih memilih mencari makan di perairan yang dangkal. Untuk beberapa kelompok lumba-lumba yang ditemukan di perairan terbuka yang memiliki kedalaman >300 m, kemungkinan perairan tersebut hanya sebagai jalur migrasi ke tempat mereka akan mencari makan, yaitu perairan yang lebih dangkal dan dekat dengan pulau.

4.4.3.2 Paus

Gambar 47. Distribusi paus pada batimetri tahun 2007-2011

Sama seperti lumba-lumba, paus yang ditemukan di perairan Raja Ampat lebih banyak menyukai perairan yang cukup dangkal, perairan yang mempunyai kedalaman >30 m. Dikarenakan KKLD Misool mempunyai kedalaman <100m, terlihat pada Gambar 56 diatas bahwa paus lebih banyak terlihat di perairan sekitar Pulau Kofiau, Pulau Boo Kecil, maupun perairan diantara kedua pulau tersebut, yang memiliki kedalaman >150 m. Meskipun paus besar lebih diketahui untuk ditemukan di perairan yang dalam dan luas, terkadang mereka juga dapat ditemukan di perairan seperti Raja Ampat ini, yang memiliki continental shelf yang dalam dan sempit diantara pulau-pulaunya, dimana mereka dapat mencari makan (cumi-cumi) di perairan dalam tersebut.

Reeves et al. (2002) menyatakan bahwa beberapa paus kecil jarang ditemukan di perairan dangkal, yang dekat dengan pantai ataupun pulau. Mereka juga biasanya ditemukan di perairan yang mempunyai kedalaman >1000 m. Ini dapat membuktikan bahwa perairan Raja Ampat hanya dijadikan sebagai tempat mereka bermigrasi ke daerah tujuan mereka yang mempunyai kedalaman yang lebih tinggi, atau hanya mencari makan, yaitu tuna. Paus kecil lainnya mempunyai

ciri mencari makan dengan mengikuti kemana mangsa mereka pergi, yang dapat menjelaskan bahwa beberapa kelompok paus terkadang ditemukan di perairan yang cukup dangkal dan diantara gugus-gugus pulau.

4.4.4 Arus

Gambar 48. a) Distribusi lumba-lumba, b) distribusi paus, c) pola arus musim barat (Wyrtki, 1961)

Massa air pada musim ini dominan berasal dari Arus Khatulistiwa Utara dan memasuki perairan Laut Cina Selatan melalui Selat Luzon, sebagian juga masuk melalui Filipina dan Laut Sulu. Transportasi massa air juga terjadi melewati Selat Formosa. Massa air yang meninggalkan Laut Jawa mengarah ke timur bergabung dengan massa air yang berasal dari Selat Makassar, menuju ke timur menjadi arus yang kencang sepanjang pantai Flores bagian utara. Saat arus memasuki Laut Banda, arus muson terbagi, sebagian mengarah ke Laut Maluku dan Laut Halmahera menuju Samudera Pasifik. Sebagian dari arus muson berhenti di Laut Banda dan Laut Arafuru. Arus pada musim ini akan menumpuk di Indonesia bagian timur, yang akan menyebabkan downwelling, sedangkan untuk

perairan Indonesia bagian barat akan terjadi upwelling, mengisi kekosongan massa air.

Berdasarkan perkiraan pola migrasi lumba-lumba pada Lampiran 4, pola arus pada musim ini memiliki pola yang berbeda dengan perkiraan pola migrasi, karena pola migrasi lumba-lumba bergerak dari arah utara ke selatan wilayah Indonesia sedangkan pola arusnya bergerak dari arah selatan ke utara wilayah Indonesia. Ini dapat mengindikasikan bahwa pola migrasi lumba-lumba pada musim ini bergerak melawan arus, sedangkan hubungan pola arus dengan perkiraan pola migrasi paus tidak dapat terlihat karena pola migrasi hanya ada pada bulan Januari.

Gambar 49. a) Distribusi lumba-lumba, b) distribusi paus, c) pola arus musim peralihan I (Wyrtki, 1961)

Pola arus pada bulan April akan merepresentasikan pola arus pada musim peralihan I. Air yang berada di Indonesia bagian timur lebih dipengaruhi oleh Samudera Pasifik, bukan hanya karena jalur masuknya lebih dalam dan luas dari Pasifik, tetapi juga karena kondisi dinamikanya. Sepanjang tahun tinggi permukaan laut di bagian barat Samudera Pasifik lebih tinggi dibandingkan

wilayah bagian selatan Jawa. Arus pada musim peralihan I maupun peralihan II memiliki ciri arus yang tidak beraturan. Dapat dilihat pada Gambar 58 bahwa arah arus yang masuk kedalam perairan Raja Ampat adalah arus yang berasal dari perairan utara Papua, yang mana Realino et al. (2006) mengatakan bahwa pada musim ini, bagian utara Papua, Laut Seram dan perairan di kepala burung (Bird’s Head Seascape) cukup subur. Karena itu, distribusi paus maupun lumba-lumba pada musim ini cukup banyak, jumlahnya hampir sama dengan pada musim barat, yaitu 639 ekor.

Arah arus pada musim ini tidak menentu. Musim peralihan masih dipengaruhi oleh pola arus musim sebelumnya (musim barat dan musim timur). Perkiraan pola migrasi lumba-lumba (Lampiran 4) pada musim ini yaitu bergerak dari wilayah Indonesia bagian barat ke Indonesia bagian timur, dimana lumba-lumba mengikuti pola arus dari sebagian massa air Laut Cina Selatan yang mengalir ke Laut Jawa dan Laut Flores. Pada perkiraan pola migrasi paus, bulan Maret menuju Mei, migrasi paus melawan arah arus dari Laut Cina Selatan.

Gambar 50. a) Distribusi lumba-lumba, b) distribusi paus, c) pola arus musim timur (Wyrtki, 1961)

Musim timur memiliki tingkat pertemuan lumba-lumba maupun paus paling rendah dibandingkan musim lainnya. Kebalikan dari musim barat, arah arus pada musim timur akan menumpuk ke arah barat yang akan menyebabkan downwelling di perairan barat, dan menyebabkan upwelling di bagian timur. Arus Khatulistiwa Selatan sedang pada puncaknya dan mengarah ke barat melewati pantai utara Papua Nugini dengan kecepatan tinggi sampai Laut Halmahera. Sebelum sampai ke Laut Halmahera, sebagian dari arus tersebut masuk ke perairan Raja Ampat. Walaupun pada musim ini terjadi pergerakan massa air dari Samudera Pasifik ke Laut Banda yang melewati perairan Raja Ampat, tetapi massa air tersebut hanya membawa sedikit bagian massa air dari wilayah upwelling. Pada musim inipun massa air dingin masuk dari Samudera Pasifik ke perairan Laut Halmahera dan sekitarnya (Wyrtki, 1961). Realino et al. (2006) mengatakan bahwa pada musim ini Laut Banda, Laut Maluku dan Samudera Hindia memiliki kesuburan tertinggi.

Pola perkiraan migrasi lumba-lumba pada musim ini dominan berada pada wilayah Indonesia bagian timur, dimana lumba-lumba dominan bergerak dari arah selatan (perairan sekitar Laut Sawu menuju kearah utara (Laut Banda, Raja Ampat, Laut Halmahera) (Lampiran 4). Pola migrasi ini melawan pola arus pada musim ini, yaitu pada saat arus pada musim timur bergerak ke wilayah Indonesia bagian barat. Berbeda dengan lumba-lumba, perkiraan pola migrasi paus mengikuti pola arus pada musim timur ini dimana pada bulan Juni paus ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur dan pada bulan Juli dan Agustus paus sedikit demi sedikit bergerak menuju wilayah Indonesia bagian barat (Selat Sunda).

Gambar 51. a) Distribusi lumba-lumba, b) distribusi paus, c) pola arus musim peralihan II (Wyrtki, 1961)

Musim peralihan II yang terjadi dari bulan September hingga Oktober memiliki ciri arus yang tidak terlalu berpola yang diakibatkan oleh turbulensi, yaitu pada musim ini arus musim barat dan arus musim timur bertemu. Pada musim ini distribusi lumba-lumba maupun paus ditemukan paling banyak dibandingkan musim lainnya, yaitu berjumlah total 1156 ekor. Meskipun pada

Dalam dokumen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 24-48)

Dokumen terkait