• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koalisi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 1999

BAB IV HASIL PENELITIAN

C. Perkembangan Koalisi Partai Islam di Indonesia

1. Koalisi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 1999

Partai-partai Islam pada pemilu 1999 memporeleh hasil buruk yang membuat tumbuhnya kesadaran dari mayoritas kekuatan Islam untuk tidak mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Oleh karena itu, kemudian muncullah ide “fraksi Islam” yang menyatukan beberapa partai Islam di Parlemen. Pemilihan nama fraksi Islam pernah menimbulkan pro-kontra karena dinilai terlalu eksklusif dan berseberangan dengan sosok Amien Rais yang dituntut sebagai lokomotif reformasi yang inklusif. Pada akhirnya, disepakatilah nama fraksi Reformasi, dan bersama-sama kelompok Islam membangun apa yang disebut Poros Tengah (Dhurorudin Mashad, 2008: 223).

Tabel. 3 Peta Koalisi Poros Tengah dalam Pemilihan Presiden 1999 (10 Besar)

No. Nama Partai Jumlah Kursi DPR

Aliran Pemilihan Presiden

Islam Nasionalis Sekuler Kubu PDI P (Megawati) Kubu PT (Gus Dur) Kubu Status Quo (Habibie) Tradisional Modern 1. PDI P 154 2. Golkar 120 3. PPP 59 4. PKB 51 5. PAN 35 6. PBB 13 7. PK 6 8. PKP 6 9. PNU 3 10. PP 3

Poros Tengah yang dimotori oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan sejumlah partai yang berasaskan Islam dimaksudkan untuk mencairkan demokrasi yang bisa mengalami kebuntuan sebagai akibat dari gerakan sekelompok masyarakat yang tidak mau tahu dengan sistem pemilihan Presiden menurut UUD 1945. PDI Perjuangan adalah partai pemenang Pemilu 1999 dan Ketua Umum PDI Perjuangan yaitu Megawati Soekarnoputri harus menjadi Presiden, sementara Partai Golkar sebagai pemenang kedua juga ingin menjagokan B.J. Habibie sebagai calon Presiden. Sehingga muncul dua kubu yang saling bersaing untuk merebut kekuasaan dalam Sidang Umum MPR tahun ini, yaitu kubu PDI Perjuangan dan Kubu Partai Golkar. Poros Tengah dimaksudkan sebagai penyeimbang antara kedua kubu tersebut sehingga agenda reformasi bisa berlangsung. Farid Prawiranegara, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) menyatakan bahwa Poros Tengah bukan ditujukan untuk mengincar posisi di pemerintahan, melainkan Poros Tengah lebih ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik. Akan tetapi, tidak semua orang setuju dengan ide Poros Tengah, sehingga bagaimana upaya memberdayakan Poros Tengah sehingga memiliki peluang untuk persaingan dalam Sidang Umum MPR (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999: 16).

Kenyataan politik nasional Indonesia tidak sederhana dan dinamika politik nasional Indonesia sangat kompleks, tekadang sulit dimengerti oleh orang awam dan tekradang menimbulkan ketidakpastian politik. Ketidakpastian politik itu contohnya tentang siapa yang akan terpilih menjadi Presiden. Suara hasil Pemilu tidak memberi jaminan yang pasti karena tidak ada pemenang mutlak (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999: 13). PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 1999 bukan merupakan pemenang mutlak karena PDI Perjuangan hanya memperoleh 33,76% suara, namun karena suara terbanyak tidak identik dengan perolehan kursi terbanyak pula dalam MPR, maka tidak mungkin partai itu dapat meloloskan calon Presidennya secara sendiri (Zainal Abidin Amir, 2003: 248), sedangkan beberapa partai yang lain suaranya dibawah itu. Praktis suara yang diperoleh partai-partai itu relatif seimbang.

Tidak ada yang bisa mengklaim dirinya sebagai pemenang mutlak dalam Pemilu 1999 dan otomatis berhak menjadi Presiden.

Menurut UUD, Presiden dipilih oleh anggota MPR, bukan DPR. Dalam UUD disebutkan pula bahwa selain ada anggota MPR yang berasal dari hasil pemilihan (anggota DPR), masih ditambah lagi dengan utusan golongan dan daerah. Seseorang baru berhak menjadi Presiden setelah dipilih oleh 50% lebih satu dari anggota MPR (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999: 13). PDI Perjuangan harus didukung oleh partai-partai lain dalam suatu koalisi hingga memperoleh suara mayoritas 50% ditambah satu di MPR untuk mewujudkan ambisi memperoleh kursi kepresidenan, begitu juga sebaliknya jika koalisi itu tidak dapat diwujudkan, maka pupuslah cita-cita itu. Oleh karena itu, kemampuan untuk menggalang koalisi di MPR menjadi kata kunci bagi setiap kelompok yang ingin meloloskan calon Presidennya (Zainal Abidin Amir, 2003: 248).

Berbagai politisasi kemudian muncul, mulai dari politisasi bahwa partai yang dalam Pemilu mendapat suara paling banyak (meski diatas 30%) harus otomatis berhak mendudukkan ketuanya sebagi sebagai Presiden. Politisasi ini dilawan oleh kelompok lain dengan mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai dengan UUD. Politisasi paling kentara adalah politisasi kasus Bank Bali (Suara Muhammadiyah, 16-30 September, 1999: 13). Sementara dari pihak Golkar, meskipun memiliki 120 kursi DPR tidak takut dengan munculnya Poros Tengah, Akbar Tandjung tetap optimis dukungan ke partai Golkar di Sidang Umum masih akan kuat (Suara Muhammadiyah, 16-30 September, 1999: 14-15). Sedangkan menurut William Liddle dalam Kompas (16 Juni 1999: 6) perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 1999 tidak cukup member keyakinan pada masyarakat Indonesia dan luar negeri bahwa B.J. Habibie bisa dipilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya.

Poros Tengah perlu memiliki seorang figur calon Presiden di luar nama Megawati Soekarnoputri dan B.J. Habibie yang sudah beredar luas. Amien Rais pada awalnya didorong oleh Ketua Partai Keadilan pada saat itu yaitu Nurmahmudi Ismail untuk menjadi Presiden. Akan tetapi, Amien Rais menolak hal tersebut karena suara

PAN yang menjadi kendaraan politik Amien Rais hanya memperoleh 7,3% suara kursi di DPR dan menurut Amien Rais Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih layak (Muhammad Najib, 2000: 41).

Pada musim kampanye Pemilu Juni 1999, tidak sedikit juru kampanye (jurkam) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) saling menyerang satu sama lain. Dalam suasana itu muncul pernyataan yang mengejutkan dari Amien Rais yang mengajukan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon Presiden. Kedua tokoh ini dalam banyak hal dijadikan personifikasi antara Muhammadiyah dan NU, atau antara PAN dan PKB. Amien Rais dan Abdurrahman Wahid juga dipersepsikan mempunyai banyak perbedaan. Kalangan Muhammadiyah banyak yang menganggap langkah pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu sebagai candaan politik yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Sedangkan di kalangan NU, pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden oleh Amien Rais dianggap sebagai jebakan yang membahayakan Abdurrahman Wahid. Kalangan NU menganggap bahwa Amien Rais memperalat Abdurrahman Wahid untuk menjegal Megawati. Jika upaya itu berhasil, pada akhirnya Amien Rais sendiri yang akan menduduki kursi kepresidenan. Anggapan ini pula yang kemudian menjadikan PKB sangat sulit untuk berkoalisi dengan Poros Tengah. Alasan PKB sangat sulit untuk berkoalisi dengan Poros Tengah karena Poros Tengah dipelopori oleh Amien Rais yang juga tokoh utama Muhammadiyah (Abd. Rohim Ghazali, 1999: 14-15).

Gagasan awal pembentukan Poros Tengah adalah meredakan ketegangan publik, menyusul semakin meruncingnya persaingan antara kubu Habibie dengan kubu Megawati, kemudian memuluskan Sidang Umum MPR dan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik pasca Sidang Umum MPR. Munculnya ide Poros Tengah ini kemudian mendapat respon dari berbagai pihak, dengan berbagai tanggapan baik yang setuju maupun yang biasa-biasa saja, antara menolak dan tidak. Pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon Presiden dari Poros Tengah menjadi pembicaraan yang menarik. PAN tetap sebuah partai yang berpotensi

menjadi penentu koalisi, meskipun perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) tidak signifikan untuk memunculkan Amien Rais sebagai orang nomor satu di Indonesia. Amien Rais dalam Suara Muhammadiyah (1999: 14) menyatakan bahwa ide Poros Tengah merupakan respon atas mengerucutnya dukungan terhadap pencalonan B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Akan tetapi, dukungan publik atas dua figur itu diwarnai dengan berbagai manuver yang berpotensi konflik tinggi, seperti aksi cap jempol berdarah atau ancaman memisahkan diri dari Republik Indonesia jika Megawati yang terpilih. Oleh karena itu perlu ada kekuatan sebuah reformasi sejati. Arbi Sanit dalam Suara Muhammadiyah (16-30 September, 1999: 14-15) mengatakan bahwa gagasan Amien Rais mengenai Poros Tengah merupakan sebuah upaya membangun kekuatan ketiga, selain PDI Perjuangan dan Partai Golkar, sekaligus sebagai sebuah strategi untuk menyelamatkan kelompok Islam.

Pasca pemilu 1999, pergeseran ideologis menjadi terkenal ketika partai-partai Islam dan politisi Muslim membentuk koalisi yang bernama Poros Tengah dan dipimpin oleh Amien Rais. Tujuan awal dari koalisi ini adalah untuk memberikan calon presiden alternatif di tengah meningkatnya kompetisi antara B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Para politisi Muslim dan pemimpin partai merasa bahwa kedua kandidat tersebut tidak sesuai untuk menjadi Presiden. B.J. Habibie meskipun memiliki hubungan erat dengan politik Muslim sebagai pelindung dari Ikatan Cendekiawan Muslim seluruh Indonesia (ICMI), karena reputasinya sebagai anak didik Soeharto, maka B.J. Habibie dianggap menghalangi reformasi yang demokratis. Megawati, di sisi lain, adalah bagian dari pihak reformis, akan tetapi politisi Muslim melihatnya sebagai mewakili politik sekuler. Koalisi Muslim kemudian menominasikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai kandidat mereka (Ahmad Norma Permata 2008: 30).

Deddy Djamaluddin Malik dalam Suara Muhammadiyah (16-30 September, 1999: 14-15) menilai bahwa keberadaan Poros Tengah akan memberikan kepastian politik. Sikap PDI Perjuangan sangat defensif, sementara Golkar memiliki beban sejarah yang berat. Masyarakat Indonesia pada saat itu membutuhkan kepastian

politik, tetapi PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu tidak menunjukkan inisiatif untuk melakukan hal itu, begitu pula dengan Golkar yang cenderung untuk disikapi secara skeptif oleh masyarakat akan kesulitan melakukannya.

Amien Rais dalam Suara Muhammadiyah (16-30 September, 1999: 14-15) menyatakan bahwa sikap diam Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu faktor yang mendorong Amien Rais melontarkan ide Poros Tengah. Amien Rais sejak awal menghendaki Golkar mengakhiri keberadaan sebagai kekuatan politik karena Golkar tetap ada, sementara sikap politik PDI Perjuangan tidak jelas dan keduanya saling bersaing berusaha untuk meloloskan calon Presiden, maka muncul ide Poros Tengah. Megawati Soekarnoputri menganggap bahwa dirinya secara de facto sudah menjadi Presiden begitu hasil Pemilu 7 Juni 1999 diumumkan, Sehingga Sidang Umum MPR hanya berfungsi untuk memenuhi aspek de jure. Padahal, menurut Undang-undang yang berlaku, Pemilu hanyalah untuk memilih anggota DPR, sedangkan persoalan Pilihan Presiden (Pilpres) dilakukan oleh Sidang Umum MPR oleh anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR ditambah Utusan Golongan dan Utusan Daerah (Muhammad Najib, 2000: 42).

Menjelang Sidang Umum MPR Oktober 1999, B.J. Habibie yang dijagokan Partai Golkar mendapat tentangan keras dari kelompok pro demokrasi. Sebaliknya Megawati Soekarnoputri juga mendapat penolakan yang kuat dari kalangan kelompok Islam. Pada tanggal 1 Oktober 1999 anggota MPR dilantik dengan mengucapkan sumpah janji sekaligus menandai dimulainya Sidang Umum MPR tahun 19999. Sebanyak 628 orang dari 700 anggota MPR hadir dalam acara itu dan sisanya berhalangan hadir. Suasana persaingan kekuatan politik di majelis itu mulai terasa ketika Presiden Habibie memasuki ruangan. B.J. Habibie tidak mengucapkan pidato dalam Sidang Umum tersebut sebagaimana kebiasaan yang biasa dilakukan Presiden Soeharto (Untung Wahono, 2003: 136).

Pembahasan Jadwal Acara Sidang Umum MPR 1999 berjalan alot karena sampai hari Jumat, 1 Oktober 1999 terdapat dua konsep jadwal acara, pertama yang dibuat Tim Kerja 7 Partai yang merencanakan Sidang Umum MPR berlangsung dua

tahap dan tahap pertama dari tanggal 1 – 4 Oktober 1999. Konsep kedua dari PDI Perjuangan yang merencanakan Sidang Umum MPR berlangsung dari 1 – 14 Oktober 1999. Terjadinya dua konsep ini mencerminkan suasana awal polarisai kekuatan politik di DPR/MPR. Tim tujuh partai yang seharusnya terdiri dari PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, dan Partai Keadilan sebelumnya telah mengadakan pertemuan-pertemuan intensif untuk membahas jadwal acara Sidang Umum MPR. Pertemuan ini juga dihadiri oleh unsur-unsur TNI / POLRI, tetapi PDI Perjuangan menghindar dari aktivitas tim dan cenderung membahas sendiri dalam partai tentang konsep jadwal acara tersebut. PDI Perjuangan berpendapat bahwa pemilihan Presiden dilakukan setelah MPR mengesahkan GBHN sehingga ada mandat tugas yang diberikan kepada PDI Perjuangan. Yusril Ihza Mahendra sebagai koordinator tim tujuh mencemaskan jika lebih dahulu terpilih dari pengesahan GBHN, maka Presiden akan bertindak otoriter. Meskipun demikian, perbedaan tersebut akhirnya dapat dikompromikan melalui pertemuan konsultasi pimpinan sementara MPR dengan wakil-wakil kelompok partai-partai politik, TNI/POLRI, Utusan Daerah dan utusan Golongan untuk membicarakan dan membahas agenda Sidang Umum MPR Tahap I (Untung Wahono, 2003: 137).

Pada saat pembahasan pengelompokan fraksi terdapat beberapa alternatif (Pasal 13 ayat 1 Tata Tetib MPR), yaitu: pertama, fraksi majelis adalah pengelompokan anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik hasil Pemilu, TNI/POLRI, dan Utusan Golongan. Kedua, fraksi Majelis adalah pengelompokan anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik hasil Pemilu, TNI / POLRI, Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Ketiga, fraksi majelis adalah pengelompokan anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik hasil Pemilu dan TNI/POLRI. Keempat, fraksi majelis adalah pengelompokan anggota yang mencerminkan konfigurasi politik dan pengelompokan fungsional dalam masyarakat. Masalah teknis penghitungan suara terjadi sehingga sampai diulang tiga kali. Pada perhitungan terakhir akhirnya diperoleh hasil yaitu: alternatif pertama, kubu Poros Tengah plus didukung oleh 379 suara, alternatif kedua mendapat 9 suara, alternatif ketiga yaitu

kubu PDI Perjuangan dan PKB memperoleh dukungan 250 suara dan alternatif keempat tidak mendapat suara sama sekali.

Sikap PKB kubu Matori Abdul Djalil yang kompak dengan PDI Perjuangan dalam pemungutan suara cukup mengagetkan kubu Poros Tengah, karena dalam penyiapan Tata Tertib MPR yang dilakukan oleh Tim Tujuh (Tim Kerja Partai-partai) PKB terlibat aktif dan ikut menyetujui rancangan itu. Tetapi dalam pemungutan suara PKB mengingkari kesepakatan itu. Pemungutan suara dalam pengelompokan fraksi merupakan kekalahan pertama PDI Perjuangan yang tidak diduga sebelumnya. PDI Perjuangan tidak peduli dengan jumlah kursinya yang tidak memadai untuk otomatis meraih kemenangan dalam berbagai pertarungan suara di MPR. PDI Perjuangan lebih memilih melakukan ancaman daripada melakukan pendekatan dalam upaya menambah kekuatan suaranya sehingga dari Partai Golkar atau Poros Tengah harus ada yang memberikan tambahan suara bagi Megawati. Aksi ancaman yang dilakukan PDI Perjuangan diperkuat oleh aksi cap jempol darah dan ultimatum para pendukung PDI Perjuangan di Jakarta dan di berbagai daerah lainnya bahwa jika Megawati tidak terpilih menjadi Presiden maka revolusi akan diletuskan (Untung Wahono, 2003: 138-141). Oleh karena itu, ada pihak yang secara mutlak megatakan bahwa Megawati Soekarnoputri harus menjadi Presiden. Hal ini merupakan sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar, jika perlu banjir darah seperti yang disumpahdarahkan oleh beberapa pengikut fanatinya di Semarang dan Surabaya. Sebaliknya, para pengikut B.J. Habibie ada satu sikap yang tidak mengenal kompromi yaitu apabila bukan Habbibie yang menjadi Presiden, maka pendukung Habibie akan mengambil sikap apa pun (Abd. Rohim Ghazali, 1999: 31).

Pada saat pemilihan Ketua MPR periode 1999 – 2004, terjadi perubahan-perubahan yang sangat cepat. Pada awalnya terdapat isu bahwa Abdurrahman Wahid akan dicalonkan menjadi Ketua Umum MPR, tetapi terhambat karena Utusan Golongan tempat Abdurrahman Wahid duduk sebagai anggota MPR tidak mengusulkan Abdurrahman Wahid untuk menjadi Ketua MPR. Kemudian muncul nama Hamzah Haz yang disepakati Poros Tengah dan Partai Golkar. Akan tetapi,

setelah dievaluasi muncul kekhawatiran bahwa Hamzah Haz tidak mampu menyaingi Kubu Matori Abdul Djalil yang didukung oleh PDI Perjuangan. Oleh karena itu, Amien Rais kemudian muncul sebagai calon yang sebelumnya sama sekali tidak diduga. Amien Rais bersedia dicalonkan setelah mendapat restu dari Abdurrahman Wahid. Amien Rais kemudian muncul sebagai pemenang setelah mengalahkan Matori Abdul Jalil dan Alwi Shihab menyatakan kemenangan Amien Rais sebagai hasil dari kekompakan Poros Tengah (Untung Wahono, 2003: 142-143). Sedangkan dalam pemilihan Ketua DPR RI periode 1999 – 2004 pada Sidang Umum MPR 1999, Akbar Tandjung yang pada saat itu sebagai Ketua Umum Partai Golkar mendapat dukungan kuat dari partai-partai yang mempunyai wakil-wakil di DPR sehingga pada waktu pemungutan suara Akbar Tandjung mendapat dukungan mayoritas dan terpilih sebagai Ketua DPR RI melalui proses politik yang dinamis (Akbar Tandjung, 2008:277).

Pada saat Sidang Umum dilakukan terdapat dua tim yaitu tim tujuh dan tim sebelas yang akan melakukan hal untuk mencapai tujuan yang diinginkan masing-masing dalam Sidang Umum. Tim Tujuh beranggotakan PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Sedangkan Tim Sebelas merupakan gabungan dari perwakilan partai politik dengan Utusan Daerah, TNI dan Utusan Golongan. Pada Sidang Umum pertama tersebut terjadi suatu persaingan yang sangat alot diantara kedua kubu (Tantan H. & Gunadi H., Tempo 9 Oktober 1999: 23-26).

Babak terakhir menuju pertarungan pemilihan Presiden adalah penjajagan koalisi pada persoalan pidato pertanggungjawaban Habibie. Pada tanggal 14 Oktober 1999, pidato pertanggungjawaban B.J. Habibie disampaikan di depan Sidang Umum MPR, akan tetapi sejak tiga hari sebelumnya sekelompok masyarakat sudah menyatakan menolak pertanggungjawaban tersebut. Contoh adalah kelompok yang menamakan diri Mayarakat Profesional yang mengadakan unjuk rasa di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Menurut sejumlah anggota MPR, pendapat yang

dinyatakan melalui pidato pertanggungjawaban Presiden sebagai tindakan irasional, tidak obyektif, dan tidak hati-hati. Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKKI, dan Fraksi PKB sejak awal menyatakan akan menolak langsung pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie, sedangkan Poros Tengah (PAN, Partai Keadilan, PNU, PKB, dan PBB) menyatakan akan bersikap obyektif dan Golkar sendiri siap menerima dengan voting

jika pidato tersebut sulit diterima secara bulat.

Presiden B.J. Habibie dalam pidato pertanggungjawabannya disinggung mengenai hasil-hasil dari seluruh ketetapan yang diamanatkan MPR kepada Habibie. Dalam masalah KKN, Presiden B.J. Habibie menjelaskan bahwa sejauh ini belum ada temuan bukti yang cukup kuat untuk membawa mantan Presiden Soeharto ke pengadilan. Namun, apabila ditemukan cukup bukti adanya tindak pidana, proses pengadilan akan terus dilakukan sesuai Undang-undang. Meskipun sudah dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), tidak menutup kemungkinan dibukanya kasus lain untuk diproses, karena bagaimana pun KKN yang melibatkan kroni dan keluarga Soeharto merupakan KKN dengan nilai yang sangat besar (A. Makmur Makka, 2008: 392-394).

Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1999, fraksi-fraksi di MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden. Presiden B.J. Habibie selama dua hari aktif mengikuti acara pemandangan umum tersebut. Dalam pemandangan umum diperoleh penilaian bahwa dari 11 fraksi MPR, 4 fraksi menolak, 5 fraksi meminta penjelasan tambahan, 1 fraksi menyerahkan sikap dan penilaiannya kepada Komisi Pertanggungjawaban Pidato Presiden dan 1 fraksi menerima. Atas dasar penilaian dalam penmandangan umum tersebut, Ketua Umum MPR Amien Rais memutuskan bahwa persoalan Sidang Umum MPR menolak atau menerima pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie akan dilakukan melalui mekanisme voting, sebagaimana disepakati sebelumnya (A. Makmur Makka, 2008:394).

Partai-partai Islam cenderung menolak pertanggungjawaban Habibie sebelum Sidang Umum MPR 1999 digelar. Chofifah Indar Parawansa

mengisyaratkan bahwa PKB akan menolak pertanggungjawaban Habibie dengan alasan rapor Habibie merah, karena Chofifah menilai gagalnya pemerintahan B.J. Habibie dalam menjalankan tugas seperti yang tercantum pada TAP MPR No.X/1998 tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Masyarakat juga menilai Tap MPR No.XI/1998 tentang penyelesaian Negara yang Bersih dan Bebas KKN hampir tidak disentuh selama pemerintahan Habibie seperti pada kasus Soeharto. Selain itu Tap MPR No.XV/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan kekuasaan Pusat dan Daerah dalam kerangka NKRI banyak dipertanyakan, juga Tap MPR No.XVI/1998 tentang politik ekonomi dalam kerangka Demokrasi Ekonomi, selain itu di luar TAP MPR juga tentang lepasnya Timor Timur. Hatta Radjasa (PAN) menegaskan bahwa PAN akan melihat terlebih dahulu materi pertanggungjawaban Habibie, akan tetapi yang jelas PAN menyoroti masalah KKN yang tidak dapat dituntaskan penyusutannya oleh Habibie, selain itu juga masalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Ambon, Aceh dan daerah lain yang belum diselesaikan. Zarkasih Noer (PPP) juga mengisyaratkan kecenderungan menolak pertanggungjawaban Habibie, sementara Yusril Ihza Mahendra (PBB) menyatakan bahwa hal ini harus dilihat dari sisi positif dan negatif dari B.J. Habibie karena selain sisi negatif tersebut juga masih ada sisi positif dari pemerintahan Habibie yaitu kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat (Suara Merdeka, 5 Oktober 1999: xi).

Pemungutan suara pada dua putaran pertama dengan komposisi koalisi yang sama seharusnya pidato pertanggungjawaban Habibie bisa berjalan dengan mulus. Akan tetapi, pada kenyataannya 355 anggota mejelis menolak pertanggungjawaban Habibie, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Sulit untuk memastikan asal suara baik yang menolak maupun yang menerima pidato pertanggungjawaban Habibie karena memang pemungutan suara dilakukan secara tertutup. Hal ini menyebabkan kubu partai Golkar terbelah. Setelah B.J. Habibie kalah dalam pidato

pertanggungjawaban, kemudian B.J. Habibie mendapat banyak tekanan dari berbagai penjuru terutama dari lawan-lawan politik B.J. Habibie. Pada tanggal 20 Oktober 1999 B.J. Habibie mengadakan jumpa pers dengan 77 orang wartawan dalam dan luar negeri untuk menyatakan pengunduran dirinya dari pencalonan Presiden partai Golkar dengan alasan pemungutan suara atas laporan pidato pertanggungjawaban Habibie yang dinilai gagal dalam menjalankan tugas.

Kacung Marijan dalam Untung Wahono (2003: 154) menilai kegagalan manuver PDI Perjuangan pada pemilihan Ketua DPR mengakibatkan jasa PDI Perjuangan dalam menghantar Akbar Tandjung ke kursi pimpinan DPR mengecil. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa tanpa dukungan PDI Perjuangan Akbar Tandjung dapat memenangkan pemilihan Ketua DPR. Sutjipto dan Sabam Sirait dalam Untung Wahono (1999:155) mengatakan bahwa target PDI Perjuangan adalah melaksanakan keputusan Kongres III PDI Perjuangan di Bali yaitu mengantarkan Ketua Umum PDI Perjuangan menjadi Presiden. Dimyati Hartono dalam Untung Wahono (1999: 155) mengatakan bahwa pada Pemilu 1999 jelas rakyat mempercayakan harapannya pada PDI Perjuangan dan PDI Perjuangan memperoleh dukungan besar. Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan suara yang terbanyak, sehingga untuk menuju kursi Presiden Megawati harus memenagkan suara di MPR meskipun pada Pemilu 7 Juni 1999 PDI Perjuangan

Dokumen terkait