• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koefisien determinasi adalah koefisien nilai yang menunjukkan besarnya variasi variable terikat (dependent variable) yang dipengaruhi oleh variasi variabel bebas (independent variable).

Pengukuran besarnya persentase kebenaran dari uji regresi tersebut dapat dilihat melalui nilai koefisien determinasi multiple R2 (koefisien determinan mengukur proporsi dari variasi yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas). Apabila nilai R2 suatu regresi (mendekati satu), maka semakin baik regresi tersebut dan semakin mendekati nol, maka variabel independen secara keseluruhan tidak bisa menjelaskan variabel dependen. Adjusted R Square ini digunakan untuk melihat berapa besar pengaruh faktor- faktor yang ditimbulkan oleh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat.

Tabel 4.9

Uji Koefisien Determinasi (R2)

Sumber: Hasil Olahan SPSS 18, 2015

Pada Tabel 4.9 dinyatakan bahwa variabel dewan komisaris, dewan komisaris independen, dewan direksi, kepemilikan institusional, dan VAICTM tidak ada yang dikeluarkan dari persamaan yang ditunjukkan oleh kolom

Variables Removed yang kosong. Metode yang dipilih adalah metode Enter. Setelah mengetahui bahwa seluruh variabel dimasukkan dalam analisis persamaan maka dilakukan pengujian hipotesis koefisien korelasi dan koefisien determinasi. Tipe hubungan antara variabel dapat dilihat berikut ini:

Tabel 4.10

Hubungan Antar Variabel

Nilai Interpretasi

0,0 – 0,19 Sangat Tidak Erat 0,2 – 0,39 Tidak Erat 0,4 – 0,59 Cukup Erat

0,6 – 0,79 Erat

0,8 – 0,99 Sangat Erat

Tabel 4.11

Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)

Sumber: Hasil Olahan SPSS 18, 2015

Berdasarkan Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa nilai R sebesar 0,539 atau 53,9% yang berarti bahwa hubungan antara kinerja keuangan (ROA) dengan variabel bebasnya (dewan komisaris, dewan komisaris independen, dewan direksi, kepemilikan institusional, dan VAICTM) adalah cukup erat. Pada Tabel 4.11 telah ditunjukkan nilai R Square dalam penelitian ini yaitu sebesar 0,291 yang berarti 29,1% variasi dari kinerja keuangan (ROA) dijelaskan oleh kelima variabel bebas yaitu dewan komisaris, dewan komisaris independen, dewan direksi, kepemilikan institusional, dan VAICTM. Sedangkan sisanya 70,9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Standard Error of Estimated artinya mengukur variabel dari nilai yang diprediksi. Standard Error of Estimated disebut juga standar deviasi. Standard Error of Estimated dalam penelitian ini adalah 0,12350. Semakin kecil standar deviasi berarti model semakin baik.

4.3 Pembahasan

Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa secara simultan atau serempak variabel dewan komisaris, dewan komisaris independen, dewan direksi, kepemilikan institusional, dan VAICTM mempengaruhi kinerja keuangan (ROA) perusahaan sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi di Bursa Efek Indonesia.

Berdasarkan pengujian secara parsial menunjukkan dewan komisaris berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kinerja keuangan (ROA). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sekaredi (2011) dan Nababan (2012) yang menyatakan bahwa dewan komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan namun tidak signifikan dalam peningkatan kinerja keuangan. Penelitian lain yang tidak sesuai terhadap penelitian ini dilakukan oleh Sam’ani (2008) dan Jati (2009) yang menyimpulkan bahwa dewan komisaris memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Berdasarkan penelitian (Yermack 1996, Eisenberg, Sundgren, dan Wells 1998, dan Jensen 1993) seperti yang dikutip oleh Nababan (2012), pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan memiliki hasil yang beragam. Salah satu argumen menyatakan bahwa makin banyaknya personel yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan adanya agency problems (masalah keagenan), yaitu dengan makin banyaknya anggota dewan komisaris maka badan ini akan mengalami kesulitan dalam menjalankan

perannya, diantaranya kesulitan dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari masing-masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan tindakan dari manajemen, serta kesulitan dalam mengambil keputusan yang berguna bagi perusahaan Adanya kesulitan dalam perusahaan dengan anggota dewan komisaris yang banyak ini membuat sulitnya menjalankan tugas pengawasan terhadap manajemen perusahaan yang nantinya berdampak pula pada kinerja perusahaan yang semakin menurun.

Berdasarkan pengujian secara parsial menunjukkan dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kinerja keuangan (ROA). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian Sam’ani (2008) yang menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan juga tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Hasil berbeda ditunjukkan oleh penelitian Jati (2009) yang menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan dan juga penelitian Sekaredi (2011) yang menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh secara signifikan dan negatif.

Penelitian mengenai dampak dari independensi dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan ternyata masih beragam. Ada penelitian yang menyatakan bahwa tingginya proporsi dewan luar berhubungan positif dengan kinerja keuangan perusahaan. perusahaan (Yermack, 1996; Daily & Dalton, 1993; Strearns & Mizruchi, 1993), bukan merupakan faktor dari kinerja perusahaan (Kesner & Johnson, (1990) dalam Bugshan (2005), dan berhubungan negatif dengan kinerja (Baysinger, Kosnik & Turk, 1991; Goodstein & Boeker, 1991).

Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang dengan corporate governance yang baik. (Nababan, 2012).

Berdasarkan pengujian secara parsial menunjukkan dewan direksi berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kinerja keuangan (ROA). Hal serupa juga dikemukakan oleh Sekaredi (2011) dan Nababan (2012) dengan kesimpulan yang sama bahwa dewan direksi berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan namun tidak signifikan. Kesimpulan berbeda dikemukakan oleh Sam’ani (2008) beserta Noviawan dan Septiani (2013) yang menyatakan bahwa dewan direksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Dari hasil yang masih belum konklusif tersebut dapat dikatakan bahwa pengaruh ukuran direksi terhadap kinerja perusahaan akan tergantung dari karakteristik dari masing-masing perusahaan terkait. Kaitan tersebut terutama dengan karakteristik perusahaan secara keuangan. Efektifitas direksi dalam menghasilkan kinerja akan berbeda bagi perusahaan yang sehat secara keuangan dibandingkan dengan perusahaan yang sedang dalam masalah keuangan (Nababan, 2012 ).

Untuk variabel kepemilikan institusional, pengujian secara parsial menunjukkan kepemilikan institusional berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kinerja keuangan (ROA). Penelitian dengan hasil serupa juga dikemukakan oleh Kesuma (2005) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh namun tidak signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian berbeda dikemukakan oleh Sekaredi (2011) serta Noviawan dan Septiani (2013) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif dan juga signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Hal ini sejalan dengan pandangan atau konsep yang mengatakan bahwa kepemilikan institusional adalah pemilik sementara dan lebih memfokuskan pada laba jangka pendek (current earnings). Jika perubahan laba jangka pendek (current earnings) ini tidak dirasakan menguntungkan oleh investor, maka mereka akan melikuidasi sahamnya. Oleh karena investor institusional memiliki saham dalam jumlah yang besar, jika mereka melikuidasi sahamnya akan mempengaruhi nilai saham secara keseluruhan. Atas dasar perspektif inilah, diduga dalam rangka menghindari likudasi dari investor, manajer akan melakukan tindakan manajemen laba yang pada akhirnya juga dapat menurunkan kinerja mereka (Sam’ani, 2008).

Hasil penelitian yang mengemukakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh tidak signifkan dijelaskan lebih lanjut oleh peneltian Sam’ani (2008) yang menjelaskan bahwa pada penelitian dengan emiten yang dianalisis termasuk memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada suatu institusi yang biasanya memiliki saham yang cukup besar yang diduga mencerminkan

kekuasaan, sehingga mempunyai kemampuan untuk melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan dan mengatur proses penyusunan laporan keuangan. Akibatnya diduga manajer terpaksa melakukan tindakan berupa manajemen laba demi untuk memenuhi keinginan pihak-pihak tertentu, diantaranya pemilik. Dengan adanya perilaku disfungsional ini, dimana manejemen melakukan tindakan berupa manajemen laba, akan berakibat pada penurunan kinerja.

Selanjutnya untuk variabel Value Added Intellectual Coefficient

(VAICTM), pengujian secara parsial menunjukkan bahwa VAICTM sebagai metode pengukuran Intellectual Capital (IC) berpengaruh positif dan juga signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan ROA. Hasil penelitian serupa juga dikemukakan oleh Batubara (2013) yang mengemukakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Intellectual Capital (VAIC™) yang terdiri dari VACA, VAHU dan STVA terhadap kinerja keuangan perusahaan. Namun terdapat pula penelitian dengan hasil berbeda seperti yang diungkapkan oleh Santoso (2012) yang menyatakan bahwa modal intelektual dan tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan di Indonesia baik secara simultan maupun parsial dengan metode yang sama yaitu VAIC™.

Adanya hasil penelitian yang beragam dalam mengukur Intellectual Capital (IC) dijelaskan oleh Batubara (2013) berdasarkan penelitian oleh Margareth (2006) yang menyatakan bahwa penggunaan investasi Intellectual Capital belum sesuai digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Perusahaan yang ada di Indonesia cenderung melaporkan keuangannya kepada publik tanpa memilah jenis atau bidang operasionalnya, sementara

Intellectual Capital merupakan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai yang ditinjau dari sisi output maupun input, yang mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual dipasaran yang merupakan selisih atas seluruh beban yang digunakan dan tidak termasuk beban karyawan. Hal ini diasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan identitas penciptaan nilai (value creating entity) (Tan et al., 2007), yang tidak dapat dihitung sebagai biaya (cost). Sementara kinerja keuangan (ROA) mencerminkan laba bersih suatu perusahaan yang termasuk kedalamnya adalah perhitungan seluruh beban operasional perusahaan yang ada.

Ulum (2009) menekankan bahwa investasi perusahaan dalam Intellectual Capital (IC) yang disajikan dalam laporan keuangan dihasilkan dari peningkatan selisih antara nilai pasar dan nilai buku. Jadi, jika misalnya pasarnya efisien maka investor akan memberikan nilai yang tinggi terhadap perusahaan yang memiliki IC yang lebih besar (Riahi-Belkahoui, 2003; Firer dan Williams, 2003). Selain itu, jika IC merupakan sumberdaya yang terukur untuk peningkatan daya saing (competitive advantages), maka IC akan memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan perusahaan (Harrison dan Sullivan, 2000; Chen et al., 2005; Abdolmohammadi, 2005). Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat meningkat salah satunya adalah dengan memiliki investasi pada Intellectual Capital yang efisien, karena hal ini merupakan investasi untuk tahun-tahun berikutnya agar dapat memiliki daya saing yang kuat dan dapat terus berkembang (Batubara, 2013).

BAB V

Dokumen terkait