• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

4.2 Analisis dan Pembahasan .1 Statistik Deskriptif

4.2.3 Uji Asumsi Klasik .1 Uji Multikolonieritas

4.2.4.1 Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi

Uji korelasi (R) dilakukan untuk melihat bagaimana hubungan antara variabel independen dan variabel dependen, dan seberapa kuat variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Uji koefisien determinasi (adjusted R2) dilakukan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan

variasi variabel dependen. Hasil uji korelasi dan koefisien determinasi adalah sebagai berikut.

Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi dan Koefisien Determinasi

Nilai R pada penelitian ini adalah sebesar 0,547 yang menunjukkan bahwa hubungan antara variabel independen yang terdiri dari ukuran perusahaan, kepemilikan institusional, profitabilitas, leverage dan kepemilikan saham publik dengan variabel dependen yaitu pengungkapan corporate social responsibility memiliki korelasi kuat yaitu > 0,5 – 0,75.

Nilai adjusted R2 sebesar 0,276 menunjukkan bahwa 27,6% variasi dari variabel dependen yaitu pengungkapan corporate social responsibility dapat dijelaskan oleh variabel independen yang terdiri dari ukuran perusahaan, kepemilikan institusional, profitabilitas, leverage, dan kepemilikan saham publik, sedangkan sisanya sebesar 72,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 ,547a ,300 ,276 ,0357771

a. Predictors: (Constant), KSP, DAR, ROA, SIZE, KI b. Dependent Variable: CSRDI

4.2.4.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Tabel 4.7 Hasil Uji Statistik F

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression ,082 5 ,016 12,836 ,000b

Residual ,192 150 ,001

Total ,274 155

a. Dependent Variable: CSRDI

b. Predictors: (Constant), KSP, DAR, ROA, SIZE, KI

Berdasarkan Tabel 4.7, terlihat bahwa nilai F sebesar 12,836 dengan tingkat signifikansi di bawah 0,05 yaitu sebesar 0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen, yaitu ukuran perusahaan (SIZE), kepemilikan institusional (KI), profitabilitas (ROA), leverage (DAR), dan kepemilikan saham publik (KSP) secara simultan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen, yaitu pengungkapan corporate social responsibility (CSRDI) dan model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual sudah tepat atau model fit.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Maiyarni, Susfayetti dan Erwati (2014) yang telah menunjukkan bahwa profitabilitas, ukuran perusahaan, likuiditas dan leverage berpengaruh secara bersama-sama terhadap pengungkapan CSR. Penelitian Nugroho (2015) menunjukkan bahwa profitabilitas, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, ukuran dewan komisaris independen dan ukuran komite audit berpengaruh secara bersama-sama terhadap pengungkapan CSR. Penelitian Rindawati dan Asyik (2015) menunjukkan bahwa profitabilitas, ukuran

perusahaan, leverage, dan kepemilikan publik berpengaruh secara bersama-sama terhadap pengungkapan CSR.

4.2.4.3 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)

Uji statistik t bertujuan untuk menguji apakah variabel independen secara individual/ parsial memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Berikut merupakan hasil uji statistik t:

Tabel 4.8 Hasil Uji Statistik t

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -,131 ,054 -2,396 ,018 SIZE ,013 ,002 ,529 6,647 ,000 KI -,140 ,037 -,572 -3,788 ,000 ROA ,045 ,034 ,099 1,307 ,193 DAR ,004 ,017 ,017 ,242 ,809 KSP -,133 ,043 -,481 -3,073 ,003

a. Dependent Variable: CSRDI

Berdasarkan hasil uji statistik t untuk ukuran perusahaan (SIZE) diperoleh nilai t sebesar 6,647 dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ha1 diterima, sehingga ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sembiring (2005), Giannarakis (2013), Maulana dan Yuyetta (2014), Indraswari dan Astika (2014), dan Chan, Watson, dan Woodliff (2014) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Berbeda dengan hasil penelitian Subiantoro dan Mildawati

(2015) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.

Berdasarkan hasil uji statistik t untuk kepemilikan institusional (KI), diperoleh nilai t sebesar -3,788 dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ha2 ditolak, sehingga kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ramdhaningsih dan Utama (2013) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif. Berbeda dengan hasil penelitian Krisna dan Suharianto (2016) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh investor institusional. Investor institusional seperti pemerintah, bank, perusahaan investasi dan perusahaan asuransi akan memberikan pengawasan lebih terhadap perusahaan. Secara teori, investor institusional bukan hanya memikirkan tujuan jangka pendek melainkan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek di sini perusahaan hanya memikirkan profit saja sedangkan jangka panjang perusahaan juga memikirkan people dan planet.

CSR merupakan implementasi yang dilakukan perusahaan untuk tujuan jangka

panjang. Namun pada penelitian ini perusahaan sampel yang memiliki kepemilikan institusional yang tinggi tidak melakukan pengungkapan CSR yang tinggi. Investor institusional berpikir bahwa yang terpenting adalah tujuan jangka pendek yaitu

profit. Investor institusional mementingkan profit karena profit mempengaruhi

besarnya dividen. Investor melakukan investasi untuk menambah keuntungan dari hasil berinvestasi yaitu dividen. Dari 156 observasi terdapat 80 observasi yang

memiliki tingkat kepemilikan institusional di atas rata-rata perusahaan sampel yaitu 0,692833. Dalam penelitian ini diambil 1 contoh perusahaan dengan tingkat kepemilikan institusional yang tinggi yaitu PT Sekar Laut Tbk (SKLT). PT SKLT memiliki tingkat kepemilikan institusional pada tahun 2015 sebesar 0,96091 dan pada tahun 2016 sebesar 0,92461. PT SKLT membagikan dividen pada tahun 2015 dengan nilai dividen Rp 3.453.702.500 dan meningkat di tahun 2016 yaitu Rp 4.144.443.000. Dapat dilihat pada PT SKLT bahwa PT SKLT memiliki tingkat kepemilikan institusional yang tinggi dan membagikan dividen yang cukup besar kepada investor-investornya. Pada tahun 2015 dan 2016 PT SKLT melakukan pengungkapan CSR hanya sebanyak 0,08791 atau 8 item pengungkapan di mana hasil tersebut di bawah rata-rata pengungkapan CSR perusahaan sampel yaitu 0,116159. Oleh karena itu, kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR.

Berdasarkan hasil uji statistik t untuk profitabilitas (ROA), diperoleh nilai t sebesar 1,307 dengan tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0,193. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ha3 ditolak, sehingga profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Hal ini sejalan dengan penelitian Nugroho dan Yulianto (2015) dan Putri dan Christiawan (2015) menunjukkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Berbeda dengan hasil penelitian Aini (2015) menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Profitabilitas diproksikan dengan ROA di mana ROA merupakan suatu indikator keuangan yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba atas aset yang dimiliki perusahaan.

Profitabilitas yang tinggi menunjukkan kinerja perusahaan yang baik dan profit perusahaan yang tinggi. Dengan profit yang tinggi, ketersediaan dana perusahaan untuk CSR bertambah sehingga pengungkapan CSR juga bertambah. Akan tetapi, dalam penelitian ini ditemukan hasil bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Sehingga tinggi atau rendahnya tingkat profitabilitas perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Perusahaan memiliki profitabilitas yang tinggi di atas rata-rata sampel namun tidak melakukan pengungkapan CSR, dikarenakan ketersediaan dana dari profit tersebut tidak digunakan untuk pengungkapan CSR melainkan perusahaan menggunakan untuk hal lain yang lebih diperlukan. Dari 156 observasi terdapat 37 observasi yang memiliki tingkat ROA di atas rata-rata perusahaan sampel yaitu 0,098140. Dari 37 observasi ini, dana umumnya digunakan untuk pembelian aset tetap atau investasi. Dalam penelitian ini diambil 1 contoh perusahaan dengan tingkat ROA di atas rata-rata yaitu PT Delta Djakarta Tbk (DLTA). PT DLTA memiliki tingkat ROA pada tahun 2015 sebesar 0,188671 dan pada tahun 2016 sebesar 0,227635, namun pada tahun 2015 PT DLTA hanya mengungkapkan 0,06593 atau 6 item pengungkapan dan pada tahun 2016 PT DLTA hanya mengungkapkan 0,07692 atau 7 item pengungkapan di mana hasil tersebut di bawah rata-rata pengungkapan CSR perusahaan sampel yaitu 0,116159. Hal ini dikarenakan perusahaan menggunakan ketersediaan dana bukan untuk melakukan kegiatan CSR sebagai contoh penghijauan, mengelola limbah pembuangan sehingga pengungkapan CSR berada di bawah rata-rata dikarenakan untuk pembelian aset tetap dan deposito berjangka yang dibatasi penggunaanya. Pembelian aset tetap PT DLTA tahun 2015 sejumlah

Rp 19.759.710.325 dan pada tahun 2016 sejumlah Rp 12.127.820.549. Sedangkan deposito berjangka tersebut juga meningkat di mana tahun 2015 sejumlah Rp 1.400.075.000 dan pada tahun 2016 menjadi Rp 1.462.176.000 di mana deposito tersebut digunakan sebagai jaminan terkait pembelian gas sehingga tidak dapat digunakan untuk biaya pengungkapan CSR. Oleh karena itu, profitabilitas dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR.

Berdasarkan hasil uji statistik t untuk leverage (DAR), diperoleh nilai t sebesar 0,242 dengan tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0,809. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ha4 ditolak, sehingga leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Hal ini sejalan dengan penelitian Putri dan Christiawan (2015) dan Maulana dan Yuyetta (2014) menunjukkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Berbeda dengan hasil penelitian Chan, Watson, dan Woodliff (2014) menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Leverage yang diprosikan dengan debt to total

assets ratio (DAR) merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar aset yang

dapat dibiayai oleh utang yang berasal dari kreditor. Leverage pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Hal ini berarti bahwa posisi utang yang tinggi maupun rendah tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Posisi

DAR di satu sisi dipandang sebagai kondisi yang kurang menguntungkan

perusahaan karena perusahaan memiliki tekanan yang besar dalam kewajiban keuangan perusahaan untuk membayar beban kewajiban dan bunganya. Namun apabila perusahaan tersebut memiliki kepedulian, kesadaran dan tanggung jawab yang besar terhadap lingkungan dan sosialnya maka perusahaan tersebut akan tetap

melakukan pengungkapan CSR. Dari 156 observasi terdapat 78 observasi yang memiliki tingkat leverage di atas rata-rata perusahaan sampel yaitu 0,408017. Dari 78 observasi, 40 perusahaan memiliki tingkat kepedulian dan kesadaran yang besar terhadap CSR sehingga perusahaan melakukan banyak pengungkapan CSR. Dalam penelitian ini diambil 1 contoh perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi yaitu PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). PT UNVR memiliki tingkat leverage yang tinggi pada tahun 2015 sebesar 0,69311 dan pada tahun 2016 sebesar 0,71907; namun tetap melakukan pengungkapan CSR di atas rata-rata yaitu pada tahun 2015 mengungkapkan sebanyak 0,1978 atau 18 item pengungkapan dan tahun 2016 mengungkapkan sebanyak 0,20879 atau 19 item pengungkapan di mana hasil tersebut di atas rata-rata tingkat pengungkapan yaitu 0,116159. Walaupun perusahaan tersebut memiliki leverage atau utang yang tinggi perusahaan tersebut tetap melakukan CSR yaitu dengan mengurangi konsumsi gas alam, mengubah pemakaian lampu biasa menjadi lampu LED yang lebih hemat energi, mengurangi konsumsi air, dan mendaur ulang limbah sehingga karena perusahaan telah melakukan banyak kegiatan CSR maka pengungkapan CSR PT UNVR bertambah dan berada di atas rata-rata perusahaan sampel. Oleh karena itu, leverage dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.

Berdasarkan hasil uji statistik t untuk kepemilikan saham publik (KSP), diperoleh nilai t sebesar -3,073 dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,003. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Ha5 ditolak, sehingga kepemilikan saham publik berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Indraswari dan Astika (2014) menunjukkan bahwa

kepemilikan saham publik berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Berbeda dengan hasil penelitian Aini (2015) menunjukkan bahwa kepemilikan saham publik tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Kepemilikan saham publik pada penelitian ini berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Pengungkapan CSR pada penelitian ini diukur menggunakan GRI-G4. GRI-G4 merupakan gagasan yang muncul dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui

Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1997. Masyarakat di

Indonesia masih kurang familiar terhadap GRI-G4 dikarenakan di Indonesia perusahaan tidak diwajibkan untuk menggunakan GRI-G4, karena terdapat standar lain untuk menghitung pengungkapan CSR seperti ISO 26000 dan SRI-KEHATI. Pengungkapan CSR sendiri diwajibkan (mandatory) oleh pemerintah namun luasnya pengungkapan masih sukarela (voluntary). Dapat diambil contoh dari

GRI-G4, sampel perusahaan banyak melakukan pengungkapan di bagian ekonomi

seperti pengungkapan mengenai nilai ekonomi langsung yang dihasilkan dan didistribusikan dan cakupan kewajiban organisasi atas program imbalan pasti dan di bagian tanggung jawab atas produk seperti jenis informasi produk dan sedangkan pada Hak Asasi Manusia semua sampel tidak melakukan pengungkapan. Dari 156 observasi terdapat 68 observasi yang memiliki tingkat kepemilikan saham publik di atas rata-rata. Rata-rata tingkat kepemilikan saham publik perusahaan sampel yaitu 0,270190. Dalam penelitian ini diambil 1 contoh perusahaan dengan tingkat kepemilikan saham publik yang tinggi yaitu PT Nusantara Inti Corpora Tbk (UNIT). PT UNIT memiliki tingkat kepemilikan saham publik yang tinggi pada

tahun 2015 dan 2016 sebesar 0,451985. Namun melakukan pengungkapan CSR di bawah rata-rata yaitu pada tahun 2015 mengungkapkan sebanyak 0,05495 atau 5 item pengungkapan dan pada tahun 2016 mengungkapkan 0,07692 atau 7 item pengungkapan di mana hasil tersebut di bawah rata-rata tingkat pengungkapan yaitu 0,116159. Oleh karena itu, kepemilikan saham publik dalam penelitian ini berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR.

Berdasarkan Tabel 4.8, diperoleh suatu persamaan regresi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Keterangan:

CSRDI = Pengungkapan CSR

SIZE = Ukuran Perusahaan

KI = Kepemilikan Institusional

ROA = Profitabilitas

DAR = Leverage

KSP = Kepemilikan Saham Publik

Variabel ukuran perusahaan (SIZE) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,529 yang berarti bahwa setiap peningkatan variabel ukuran perusahaan (SIZE) sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan pengungkapan CSR (CSRDI) sebesar 52,9%.

Variabel kepemilikan institusional (KI) memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,572 yang berarti bahwa setiap peningkatan variabel kepemilikan

institusional (KI) sebesar 1% akan menyebabkan penurunan pengungkapan CSR (CSRDI) sebesar 57,2%.

Variabel profitabilitas (ROA) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,099 yang berarti bahwa setiap peningkatan variabel profitabilitas (ROA) sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan pengungkapan CSR (CSRDI) sebesar 9,9%.

Variabel leverage (DAR) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,017 yang berarti bahwa setiap peningkatan variabel leverage (DAR) sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan pengungkapan CSR (CSRDI) sebesar 1,7%.

Variabel kepemilikan saham publik (KSP) memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,481 yang berarti bahwa setiap peningkatan variabel kepemilikan saham publik (KSP) sebesar 1% akan menyebabkan penurunan pengungkapan CSR (CSRDI) sebesar 48,1%.

BAB V

Dokumen terkait