• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

C. Kohesi sosial Nelayan Punggawa dan Nelayan Sawi

Secara historis, Ponggawa atau punggawa dapat diartikan sebagai pemimpin bagi suatu etnis tertentu. Karena sifatnya lokalitas, maka kekuatan hubungan sosialnya juga ikut terpengaruh, seperti tingginya tingkat kepercayaan dan gantungan harapan oleh pengikutnya (Sawi) kepada Ponggawanya. Hubungan ini juga timbul sedikit banyak dipengaruhi akibat perang fisik yang terjadi di masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu mencari seorang yang dapat dijadikan pemimpin di dalam hal penyediaan perlindungan. Persepsi perlindungan ini terus berlanjut dari hal perlingan fisik menjadi perlindungan akan perolehan sumber hidup berasal dari sumberdaya sekitarnya. Akibatnya terbentuk suatu kepatuhan norma dan hubungan mengikat yang secara sosial terbentuk untuk kelangsungan hidup mereka. Sedangkan pengikut yang dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi petunjuk atau perintah yang diberikan oleh ponggwa.

Hubungan antara patron klien dalam masyarakat Lamahala tidak hanya sebatas pada wilayah pesisir saja, tapi hubungan ini juga terdapat dalam masyarakat agrarisnya, atau dikenal sebagai hubungan antara petani dan tengkulak (Walinono, 1974). Hubungan ini hanya semata didasari oleh kepentingan bisnis yang dilakukan jika saat musim panen dalam bentuk perkiraan nilai jual produknya (lebih populer dikenal sebagai sistem Ijon). Perbedaan antara sistem ponggawa-sawi dan tengkulak-petani didasari oleh terdapat atau tidaknya norma dan hubungan kekerabatan. Pada tengkulak-petani, seringkali tidak terdapat hubungan etnis yang mengikat; dan kondisi petani berada dalam posisi tawar

menawar kepada tengkulak akibat status kepemilikan lahan. (Mubyarto et al, 1983).

Untuk daerah flores timur, beberapa etnis mendominasi atau menerapkan tingkat perolehan sumber hidup dengan menggunakan perangkat hubungan patron klien.. Hubungan antara ponggawa dan sawi bersifat sukarela dan bisa berakhir kapan saja. Ponggawa bisa saja meninggalkan sawinya (tidak lagi dianggap sebagai bagian hubungan) jika dianggap tidak cukup patuh menjalankan norma yang telah disepakati. Sebaliknya, para sawi ini akan berpindah ke ponggawa lainnya jika ponggawanya tidak cukup untuk melindunginya. Dalam situasi demikian bisa saja diantara para sawi muncul seorang dengan derajat sosial yang lebih tinggi dan mampu memimpin kelompoknya, dan orang ini kemudian bisa menjadi ponggawa baru. Jika seorang sawi pindah ke Ponggawa lainnya, maka atas permufakatan antara calon ponggawa dengan ponggawa terdahulu dapat mentrasfer sawi tersebut dengan konsesi pembayaran utang atau nilai lainnya yang sepadan dengan kepindahan sawi.

Bentuk hubungan ini menguntungkan kedua belah pihak; ponggawa mempunyai buruh yang dapat menjalankan usahanya dan layanan sosial lainnya;

sedangkan sawi mempunyai jaminan hidup atau sumber pendapatan di dalam hidupnya. Dengan jumlah sawi yang banyak akan meningkatkan status sosial ponggawa demikian juga dengan kelompok etnisnya. Jika ponggawa ingin lebih jauh meningkatkan jumlah sawi dan tingkat loyalitas, maka ponggawa harus berperan sebagai “ponggawa yang dapat dicontoh atau dijadikan panutan” dengan cara meningkatkan keyakinan sawinya dalam hal jaminan hidup; dan jika hal ini

tidak dapat dipenuhi atau dipertahankan, maka sawi tersebut akan dengan mudah meninggalkan ponggawa. Ponggawa menghadapi dua pilihan; pertama menjaga hubungan sosial dengan sawi dengan cara tidak memaksakan sawinya untuk bekerja demi peningkatan perolehan hasil tangkapan yang seringkali sawi akan memilih ponggawa lainnya jika ruang waktu dimungkinkan untuk lebih rendah hari atau frekwensi kerjanya.

Chabot (1950) dan Stein (1974) mengatakan bahwa umumnya ada dua cara untuk mendapatkan sawi yang dilakukan dalam mekanisme tunggal. Sawi yang mengalami musibah, misalnya kematian atau tidak mampu lagi berperan sebagai buruh akan mentrasferkan fungsinya kepada anak-anaknya, tapi proses ini jauh dari kategori otomatis. Cara lainnya adalah dengan membentuk hubungan patron klien baru dalam lingkungan etnisnya sendiri; dan ini terutama terjadi pada saat pertama kali ponggawa membentuk usaha baru. Hal ini terjadi akibat kehati-hatian ponggawa akan usaha barunya sehingga tingkat loyalitas dan kepercayaan lebih banyak disandarkan pada anggota keluarga terdekatnya. Ada tiga faktor utama yang terjadi dalam hal ini; yaitu tingkat status sosial, kepemilikan dan kepribadian seorang ponggawa terhadap sawinya. Tentu saja makin tinggi tingkat sosial seseorang, maka besar peluang untuk mendapatkan sawi atau pengikut sepanjang didukung oleh kualitas kepribadian yang diharapkan dapat dijadikan panutan untuk seorang ponggawa yang baik dalam bentuk; inisiasi, kemauan untuk memulai inisiatif, ketrampilan dalam kegiatan, kemampuan membangkitkan semangat pengikutnya, atau kemampuan untuk menarik simpati pengikutnya.

Kemampuan ponggawa dalam aspek kepemimpinan merupakan modal utama

akan keterikatan atau ketertarikan seorang atau sekelompok sawi untuk percaya dan mau bekerja padanya.

Biasanya, seorang patron atau ponggawa adalah seorang yang mampu (Sallatang 1983: Putra1983). Ponggawa dan sawi diikat dalam suatu norma kewajiban dan hak yang nantinya dijabarkan dalam bentuk kepatuhan dan pemberian perlindungan dari kemiskinan (Walinono 1979). Hubungan ponggawa-sawi dapat dikategorikan dengan kekerabatan, keetnisan, berbasis buruh semata, sistem kepercayaan, penghormatan, saling ketergantungan, loyal, solider, dan kewajiban antara kedua pihak (Scott 1977). Terutama pada daerah terisolasi dari hubungan dengan daerah lain, maka sistem ponggawa-sawi mungkin hanya satu-satunya alternatif bagi anggota masyarakat dengan tingkat sosial rendah untuk mendapatkan atau menjamin perolehan pendapatan sehari-hari.

Lebih lanjut diterangkan oleh Yusran 2002 bahwa potensi atau besarnya pengaruh ponggawa yang didasarkan oleh aturan norma di Lamahala adalah;

menonjolnya prilaku kepemimpinan, kemampuan organisasi, mobilisasi, perekat kekerabatan, dan penegakan aturan hukum dalam bentuk kesepakatan yang mengikat. Walaupun akhirnya terjadi pembagian kelompok manusia, yang dicirikan oleh batas wilayah, tingkat sosial dan kedudukan dalam suatu etnis.

Norma pengelompokan manusia ini hampir tidak pernah dipermasalahkan akibat sifatnya yang secara sukarela, dan keberlangsungan hubungan antara ponggawa dan sawi tergantung dari kesepakatan keduanya.

Untuk masyarakat pedesaan di Lamahala yang didominasi oleh wilayah laut atau pesisir menjadikan sistem ponggawa-sawi menjadi vital atau dominan.

Sistem ini juga terdapat di wilayah pertambakan yang umumnya dimiliki oleh hanya sekelompok orang (dapat dikategorikan sebagai ponggawa darat).

Kebanyakan pemilik lahan tambak ini tidak langsung mengelola miliknya, tapi menyerahkan atau memanggil sekelompok orang terdekat untuk mengolahnya dengan sistem bagi hasil yang disepakati.

Agak sulit mendefinisikan antara nelayan yang tergantung kepada ponggawa sebagai nelayan independen, akibat terdapatnya hubungan ekonomi diantara keduanya. Jika sawi semata, maka ini berarti sawi tersebut hanya bersifat atau berperan sebagai buruh tanpa adanya kepemilikan alat tangkap; sedangkan nelayan independen mempunyai alat produksi yang seringkali diperoleh dengan meminjam permodalan dari ponggawa sehingga ada norma kesepakatan bahwa segala hasil tangkapan akan diserahkan kepada ponggawa dengan menggunakan sistem kesepakatan pembagian hasil produksi. Nilai produksi ini ditentukan oleh ponggawa yang dibayarkan oleh nelayan independen sebagai bentuk cicilan pembayaran pinjaman. Dalam skala usaha penangkapan ikan yang menggunakan alat produksi sederhana, maka ponggawa seringkali bertindak dua fungsi; yaitu sebagai pemilik usaha dan ponggawa lopi (nakhoda) dan mempekerjakan hanya beberapa sawi.

Dalam sistem ponggawa-sawi sebagai suatu institusi, biasanya menerapkan sejumlah aturan, seperti yang dijelaskan oleh Suriamihardja dan Yusran (1997)

 Rekruitmen sawi biasanya dilakukan pada musim penangkapan;

 Membentuk kader dalam suatu kelompok

 Pinjaman dan mekanisme pengembalian pinjaman

 Komunikasi tertentu dengan kelompok sawi dalam mencapai suatu tujuan

 Distribusi pendapatan

Norma yang mengikat pada aturan tersebut meliputi;

 Pola prilaku institusi

 Pengaturan prilaku perseorangan dalam institusi dan atau masyarakat

 Pola yang mengikutsertakan kesepakatan normatif, dan memuat sanksi dan appresiasi yang diakui menurut norma yang berlaku Ponggawa-sawi sebagai suatu institusi sosial ekonomi tradisional, sedangkan KUD (Koperasi Unit Desa) dan Bank dianggap sebagai institusi sosial ekonomi modern. Terlepas dari pengelompokan tersebut, posisi sistem ponggawa-sawi dalam konfigurasi sistem perikanan maupun dalam sistem pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir masih dianggap faktor penghambat akibat orientasi ekonomi semata. Bahkan dalam konfigurasi kategori nelayan tradisional atau small-scale fishers masih belum mengakomodasi sistem ponggawa-sawi.

Menurut Djalal (1997) bahwa yang disebut nelayan kecil adalah:

1. Nelayan yang memanfaatkan sumberdaya pesisir selama hidupnya 2. Nelayan yang menggunakan alat penangkapan ikan dalam skala

sederhana

3. Tingkat ketergantungan hidupnya semata-mata dari wilayah pesisir

Kalau kita mendasarkan pada pengertian tersebut, maka sistem ponggawa-sawi yang diyakini memanfaatkan sumberdaya di daerahnya, selayaknya masuk dalam kategori nelayan kecil, walaupun strategi pemanfaatan sumberdaya perikanan berbeda dengan nelayan kebanyakan. Dalam sejarahnya, sistem ponggawa-sawi telah lama digunakan oleh sebagian besar masyarakat pesisir yang memanfaatkan sumberdaya perikanan, karenanya sistem tradisional ini tidak dapat dianggap sepele. Disamping kuatnya peran sosial yang emban atau yang diperankan oleh seorang ponggawa, pusat informasi pemanfaatan dan akses pemasaran hasil tangkapan lebih banyak bertumpu pada seorang ponggawa.

Namun demikian, untuk dapat melihat rasionalisasi peran dan fungsi ponggawa, maka proporsi sistem ponggawa-sawi harus diletakkan pada seberapa jauh norma dan peran sosial berdinamika yang dapat dijadikan rujukan bagi proses partisipasi.

Status ponggawa-sawi sampai saat ini terus menerus mendapatkan tekanan dari proses perkembangan perikanan pantai, dan ketidakjelasan statusnya dalam pembangunan perikanan dan kebijakan manajemen. Sistem tradisional ini kemudian dilemahkan posisinya dalam konsep manajemen perikanan dalam konfigurasi hukum perikanan Indonesia No. 9/1985 dan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5/1979. walau demikian, sistem tradisional ini masih tetap digunakan oleh sebagian besar kelompok masyarakat pesisir dalam memfasilitasi jaminan perolehan sumber hidup (Huliselan 1996; Mantjoro 1996; Nikijuluw 1996). Issue strategis pada sistem ponggawa-sawi adalah bagaimana merobah pola pikir orientasi bisnis menjadi pola pikir pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan.

Dokumen terkait