• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

H. Modulus Elastisitas

I. Angka Poisson

2.2.2. Balok Lentur

2.2.4.2. Kolom Langsing

Untuk kolom langsing, jika dibandingkan ukuran tinggi kolom ini, dapat menimbulkan momen sekunder akibat defleksi lateral dan bahaya tekuk. Sehingga untuk analisis dan perencanaan kolom langsing, kemungkinan terjadinya tekuk (buckling) diperhitungkan. Peraturan tidak

memberikan batas panjang maksimum kolom pendek, tetapi menetapkan digunakannya suatu proses evaluasi kelangsingan pada batas rasio kelangsingan tertentu. Untuk mencegah tekuk yang tidak dikehendaki, diperlukan evaluasi terhadap reduksi kekuatan yang harus diberikan dalam perhitungan struktur kolom. Reduksi kekuatan kolom ini tergantung pada tinggi efektif kolom, ukuran penampang, rasio kelangsingan, dan kondisi ujung kolom.

Pada umumnya, suatu kolom dibedakan menjadi: (a) Kolom panjang dengan kelangsingan yang relatif besar, sehingga memerlukan balok lateral; (b) Kolom panjang dengan kelangsingan relatif sedang, sehingga tidak memerlukan balok lateral; (c) Kolom pendek dengan rasio kelangsingan cukup kecil.

Suatu kolom digolongkan langsing apabila dimensi atau ukuran penampang lintangnya kecil dibandingkan dengan tinggi bebasnya. Tingkat kelangsingan suatu struktur kolom dapat diungkapkan sebagai rasio kelangsingan, yaitu:

18 dengan pengertian:

k : faktor panjang efektif komponen struktur tekan, lu : panjang komponen struktur tekan yang tidak ditopang,

r : jari-jari putaran (radius of gyration) potongan lintang komponen struktur tekan

= ⁄ ; ditetapkan 0,3h dimana h adalah ukuran kolom persegi pada arah bekerjanya momen; atau 0,25D dimana D adalah diameter kolom bulat.

Ketentuan untuk komponen struktur tekan dengan pengaku lateral, efek kelangsingan dapat diabaikan apabila rasio kelangsingan memenuhi:

< 34 − 12 ... (37)

Dimana M1b dan M2b adalah momen-momen ujung terfaktor pada kolom yang posisinya

berlawanan. Momen tersebut terjadi akibat beban yang tidak menimbulkan goyangan ke samping yang besar, dihitung dengan analisis struktur elastis. M2badalah momen ujung terfaktor yang lebih

besar dan selalu positif, sedangkan M1b bernilai negatif apabila komponen kolom terlentur dalam

lengkungan ganda, dan positif dalam lengkungan tunggal.

Untuk komponen struktur tekan tanpa pengaku lateral atau tidak disokong untuk tertahan ke arah samping, maka efek kelangsingan dapat diabaikan apabila memenuhi:

< 22 ... (38)

Untuk komponen struktur tekan dengan klu/r lebih besar dari 100, harus digunakan analisis

atau perencanaan yang didasarkan pada gaya dan momen yang didapat dari analisis struktur yang ditinjau. Analisis tersebut harus memperhitungkan pengaruh beban aksial dan variasi dari momen inersia pada kekakuan komponen struktur dan pada momen jepit ujungnya, pengaruh dari lendutan pada momen dan gaya, dan pengaruh dari lamanya pembebanan.

Rasio kelangsingan l/r dapat dihitung secara tepat jika panjang efektif kolom diketahui. Panjang efektif kolom merupakan fungsi dari dua faktor utama, yaitu: (a) Panjang yang tidak didukung (unsupported length) lu, yang harus menurut arah sumbu-x dan sumbu-y. Nilai kritis harus

dipilih; (b) Panjang efektif k, yang merupakan rasio jarak dua titik yang momennya nol terhadap panjang kolom yang tidak didukung.

Faktor k tergantung pada: (a) Sistem struktur (frame) yang diberi perkuatan, misalnya dengan

dinding geser atau rangka kaku. Nilai k antara 0,5 hingga 1,0; (b) Sistem struktur tanpa perkuatan. Nilai k antara 1,0 hingga 10,0.

2.3.

BETON PRATEGANG

Beton prategang adalah jenis beton dimana tulangan bajanya ditarik atau ditegangkan terhadap betonnya. Penarikan ini menghasilkan sistem kesetimbangan pada tegangan dalam (tarik pada baja dan tekan pada beton) yang akan meningkatkan kemampuan beton menahan beban luar. Karena beton cukup kuat terhadap tekanan dan sebaliknya cukup lemah serta rapuh terhadap tarikan, maka kemampuan menahan beban luar dapat ditingkatkan dengan pemberian pratekan (Collins dan Mitchel 1991).

Sedangkan menurut komisi ACI, beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan dalam dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban luar. Pada elemen beton bertulang, sistem prategang dilakukan dengan menarik tulangannya.

2.3.1. Konsep Beton Prategang

Menurut Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep berbeda yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.

A.

Sistem Prategang untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan yang Elastis

Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis, dan merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah pemikiran Eugene Freyssinet yang memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat memikul tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan tarik.

Dari konsep ini, lahirlah kriteria tidak ada tegangan tarik pada beton. Atas dasar

pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang mengalami dua sistem pembebanan, yaitu gaya internal prategang dan beban eksternal. Dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan tekan akibat gaya prategang. Distribusi tegangan menurut konsep ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 11. Distribusi tegangan sepanjang penampang beton prategang eksentris Dari gambar di atas, dapat dihitung distribusi tegangan (f) yang dihasilkan, yaitu:

... (39) dengan pengertian:

f : tegangan. P : gaya prategang, A : luas penampang,

e : jarak pusat tendon terhadap c.g.c, y : jarak dari sumbu yang melalui titik berat, I : momen inersia penampang.

B.

Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi dengan Beton

Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan desakan. Dengan demikian, kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen eksternal seperti yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.

2.3.1. Konsep Beton Prategang

Menurut Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep berbeda yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.

A.

Sistem Prategang untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan yang Elastis

Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis, dan merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah pemikiran Eugene Freyssinet yang memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat memikul tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan tarik.

Dari konsep ini, lahirlah kriteria tidak ada tegangan tarik pada beton. Atas dasar

pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang mengalami dua sistem pembebanan, yaitu gaya internal prategang dan beban eksternal. Dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan tekan akibat gaya prategang. Distribusi tegangan menurut konsep ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 11. Distribusi tegangan sepanjang penampang beton prategang eksentris Dari gambar di atas, dapat dihitung distribusi tegangan (f) yang dihasilkan, yaitu:

= ± ± ... (39)

dengan pengertian: f : tegangan. P : gaya prategang, A : luas penampang,

e : jarak pusat tendon terhadap c.g.c, y : jarak dari sumbu yang melalui titik berat, I : momen inersia penampang.

B.

Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi dengan Beton

Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan desakan. Dengan demikian, kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen eksternal seperti yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.

2.3.1. Konsep Beton Prategang

Menurut Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep berbeda yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.

A.

Sistem Prategang untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan yang Elastis

Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis, dan merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah pemikiran Eugene Freyssinet yang memvisualisasikan beton prategang pada dasarnya adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat memikul tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan tarik.

Dari konsep ini, lahirlah kriteria tidak ada tegangan tarik pada beton. Atas dasar

pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang mengalami dua sistem pembebanan, yaitu gaya internal prategang dan beban eksternal. Dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan tekan akibat gaya prategang. Distribusi tegangan menurut konsep ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 11. Distribusi tegangan sepanjang penampang beton prategang eksentris Dari gambar di atas, dapat dihitung distribusi tegangan (f) yang dihasilkan, yaitu:

... (39) dengan pengertian:

f : tegangan. P : gaya prategang, A : luas penampang,

e : jarak pusat tendon terhadap c.g.c, y : jarak dari sumbu yang melalui titik berat, I : momen inersia penampang.

B.

Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi dengan Beton

Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan desakan. Dengan demikian, kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen eksternal seperti yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.

20 Gambar 12. Momen tahanan internal pada balok beton prategang dan beton bertulang

C.

Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat seimbang gaya- gaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya pada beton sepanjang bentang.

Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri. Sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat, balok, dan gelagar tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Hal ini memungkinkan transformasi dari batang lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik di dalam desain maupun analisis dari struktur yang rumit.

Gambar 13. Balok prategang dengan tendon parabola

Dari gambar di atas, beban (Wb) yang bekerja terdistribusi secara merata ke arah atas,

sehingga dapat dinyatakan dalam:

... (40) dengan pengertian: Wb : beban, F : gaya prategang, L : panjang bentang, h : tinggi parabola.

2.3.2. Metode Prategang

Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa beton sangat kuat dalam menerima gaya tekan, akan tetapi lemah dalam menerima gaya tarik. Kemampuan menahan tarik beton bervariasi antara 8-14% dari kemampuan menahan tekan beton, hal ini menyebabkan terjadinya retak akibat

20 Gambar 12. Momen tahanan internal pada balok beton prategang dan beton bertulang

C.

Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat seimbang gaya- gaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya pada beton sepanjang bentang.

Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri. Sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat, balok, dan gelagar tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Hal ini memungkinkan transformasi dari batang lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik di dalam desain maupun analisis dari struktur yang rumit.

Gambar 13. Balok prategang dengan tendon parabola

Dari gambar di atas, beban (Wb) yang bekerja terdistribusi secara merata ke arah atas,

sehingga dapat dinyatakan dalam:

= ... (40) dengan pengertian: Wb : beban, F : gaya prategang, L : panjang bentang, h : tinggi parabola.

2.3.2. Metode Prategang

Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa beton sangat kuat dalam menerima gaya tekan, akan tetapi lemah dalam menerima gaya tarik. Kemampuan menahan tarik beton bervariasi antara 8-14% dari kemampuan menahan tekan beton, hal ini menyebabkan terjadinya retak akibat

20 Gambar 12. Momen tahanan internal pada balok beton prategang dan beton bertulang

C.

Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat seimbang gaya- gaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya pada beton sepanjang bentang.

Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri. Sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat, balok, dan gelagar tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Hal ini memungkinkan transformasi dari batang lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik di dalam desain maupun analisis dari struktur yang rumit.

Gambar 13. Balok prategang dengan tendon parabola

Dari gambar di atas, beban (Wb) yang bekerja terdistribusi secara merata ke arah atas,

sehingga dapat dinyatakan dalam:

... (40) dengan pengertian: Wb : beban, F : gaya prategang, L : panjang bentang, h : tinggi parabola.

2.3.2. Metode Prategang

Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa beton sangat kuat dalam menerima gaya tekan, akan tetapi lemah dalam menerima gaya tarik. Kemampuan menahan tarik beton bervariasi antara 8-14% dari kemampuan menahan tekan beton, hal ini menyebabkan terjadinya retak akibat

lentur (flexural crack) pada saat awal pembebanan. Untuk mengantisipasi keadaan retak tersebut,

maka dilakukan suatu gaya yang mampu mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik yang terjadi di daerah-daerah kritis. Gaya itulah yang disebut gaya prategang.

Suatu struktur dapat diberi gaya prategang dengan menggunakan baja mutu tinggi (high strength steel), yang tersedia dalam bentuk wire, strand, dan bar (Menn 1989). Metode prategang

(prestressed method) dibagi menjadi dua macam, yaitupre-tensioneddanpost-tensioned.

A.

Pre-tensioned

Dalam metode ini, tendon prategang direntangkan diantara abutment. Kemudian beton

dituangkan diantara tendon tersebut, setelah beton mengeras dan terjadi lekatan yang cukup kuat antara beton dan tendon, maka angkur pada abutment dilepaskan sehingga beton tersebut langsung

tertekan. Awalan pre- dalam pre-tensioned menunjukan bahwa tendon tersebut mengalami

penarikan sebelum beton mengeras.

B.

Post-tensioned

Dalam post-tensioned, tendon prategang ditarik dan diangkurkan pada beton setelah (post)

beton tersebut mengeras dan mencapai kekuatan tertentu. Biasanya selongsong (duct) ditempatkan

disepanjang daerah yang akan diprategang sebelum beton dicor. Setelah pengangkuran, tendon dapat terekat (bonded tendon) jika daerah antara tendon dan selongsong diisi dengan mortar (grouting) atau

tendon dibiarkan tidak terekat (unbounded tendon) jikagroutingtidak dilakukan.

Perbedaan penarikan ini akan berpengaruh terhadap luas penampang yang digunakan dalam perhitungan tegangan-tegangan yang terjadi baik dalam tahapinitial stageataufinal stage. Perbedaan

perhitungan luas penampang dapat diberikan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Perbedaan perhitungan luas penampang Cara Penegangan Parameter Yang Digunakan

Initial Stage Final Stage Pre-tensioned Atransformasi, ytransformasi, It Atransformasi, ytransformasi, It Post-tensioned Agross, yg, Ig Atransformasi, ytransformasi, Itransformasi

(Sumber: Lin dan Burns, 1982)

2.3.3. Tahap Pembebanan Prategang

Dalam perancangan beton prategang, pembebanan tidak hanya ditinjau berdasarkan beban eksternal yang bekerja seperti beban mati dan beban hidup. Tetapi juga terhadap kombinasi dari beban-beban tersebut dengan gaya prategang yang bekerja pada penampang beton. Diantara tahap pembebanan tersebut, yang paling kritis biasanya pada tahap sesaat setelah baja ditegangkan (initial stage) dan pada masa pelayanan atau akhir (service or final stage).

A.

Initial Stage

Initial stage adalah tahap dimana gaya prategang dipindahkan pada beton dan tidak ada

beban luar yang bekerja selain berat sendiri. Pada tahap ini, gaya prategangnya maksimum karena belum ada kehilangan prategangan dan kekuatan beton minimum dikarenakan umur beton yang masih muda. Konsekuensinya, tegangan pada beton menjadi lebih kritis. Pada sistem penarikan awal (pre- tensioned), untuk mempercepat proses penarikan, tendon dilepaskan pada saat beton mencapai 60%-

22

tensioned), tendon tidak ditarik sekaligus tetapi ditarik dalam dua atau tiga tahap untuk memberikan

kesempatan kepada beton untuk mencapai kekuatan yang disyaratkan gaya prategang diterapkan sepenuhnya.

Menurut Collins dan Mitchel (1991), untuk balok prategang, perletakan sederhana dengan tendon lurus akan timbul tegangan yang tinggi pada bagian atas ujung balok. Pengalaman menunjukan bahwa timbulnya retak dalam jumlah yang kecil pada daerah ini dapat ditolerir. Sehingga peningkatan tegangan tarik diijinkan. Batas tegangan tarik dapat dinaikkan jika digunakan batang tulangan baja untuk mengontrol retak. Tulangan ini terdiri atas tulangan dengan diameter kecil yang diatur dengan baik.

Gambar 14. Retak pada saatinitial stage

B.

Final Stage

Tahap ini adalah pembebanan yang paling berat untuk kondisi masa pelayanan, dengan asumsi bahwa semua kehilangan prategang telah terjadi. Sehingga gaya prategang telah mencapai nilai terkecil dan kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar.

2.4.

STANDAR PEMBEBANAN JEMBATAN

Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005 ini dipersiapkan oleh Panitia Teknik Standarisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan melalui Gugus Kerja Bidang Prasarana Transportasi Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan pada Sub Panitia Teknik Standarisasi Bidang Prasarana Transportasi. Standar ini diprakasai oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi, Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum (eks. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Standar ini merupakan revisi dari SNI 03-1725-1989 yang membahas masalah beban dan aksi-aksi lainnya yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya, termasuk jembatan pejalan kaki dan bangunan-bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan tersebut. Dengan terbitnya revisi ini, maka SNI 03-1725-1989 tidak berlaku lagi.

2.4.1. Berat Sendiri

Tabel 2. Faktor beban untuk berat sendiri

Jangka Waktu Faktor Beban SMS(Layan) UMS(Ultimit) Biasa Terkurangi Tetap Baja, aluminium 1,0 1,1 0,9 Beton pracetak 1,0 1,2 0,85

Beton dicor ditempat 1,0 1,3 0,75

Kayu 1,0 1,4 0,7

(Sumber: RSNI T-02-2005)

22

tensioned), tendon tidak ditarik sekaligus tetapi ditarik dalam dua atau tiga tahap untuk memberikan

kesempatan kepada beton untuk mencapai kekuatan yang disyaratkan gaya prategang diterapkan sepenuhnya.

Menurut Collins dan Mitchel (1991), untuk balok prategang, perletakan sederhana dengan tendon lurus akan timbul tegangan yang tinggi pada bagian atas ujung balok. Pengalaman menunjukan bahwa timbulnya retak dalam jumlah yang kecil pada daerah ini dapat ditolerir. Sehingga peningkatan tegangan tarik diijinkan. Batas tegangan tarik dapat dinaikkan jika digunakan batang tulangan baja untuk mengontrol retak. Tulangan ini terdiri atas tulangan dengan diameter kecil yang diatur dengan baik.

Gambar 14. Retak pada saatinitial stage

B.

Final Stage

Tahap ini adalah pembebanan yang paling berat untuk kondisi masa pelayanan, dengan asumsi bahwa semua kehilangan prategang telah terjadi. Sehingga gaya prategang telah mencapai nilai terkecil dan kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar.

2.4.

STANDAR PEMBEBANAN JEMBATAN

Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005 ini dipersiapkan oleh Panitia Teknik Standarisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan melalui Gugus Kerja Bidang Prasarana Transportasi Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan pada Sub Panitia Teknik Standarisasi Bidang Prasarana Transportasi. Standar ini diprakasai oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi, Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum (eks. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Standar ini merupakan revisi dari SNI 03-1725-1989 yang membahas masalah beban dan aksi-aksi lainnya yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya, termasuk jembatan pejalan kaki dan bangunan-bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan tersebut. Dengan terbitnya revisi ini, maka SNI 03-1725-1989 tidak berlaku lagi.

2.4.1. Berat Sendiri

Tabel 2. Faktor beban untuk berat sendiri

Jangka Waktu Faktor Beban SMS(Layan) UMS(Ultimit) Biasa Terkurangi Tetap Baja, aluminium 1,0 1,1 0,9 Beton pracetak 1,0 1,2 0,85

Beton dicor ditempat 1,0 1,3 0,75

Kayu 1,0 1,4 0,7

(Sumber: RSNI T-02-2005)

22

tensioned), tendon tidak ditarik sekaligus tetapi ditarik dalam dua atau tiga tahap untuk memberikan

kesempatan kepada beton untuk mencapai kekuatan yang disyaratkan gaya prategang diterapkan sepenuhnya.

Menurut Collins dan Mitchel (1991), untuk balok prategang, perletakan sederhana dengan tendon lurus akan timbul tegangan yang tinggi pada bagian atas ujung balok. Pengalaman menunjukan bahwa timbulnya retak dalam jumlah yang kecil pada daerah ini dapat ditolerir. Sehingga peningkatan tegangan tarik diijinkan. Batas tegangan tarik dapat dinaikkan jika digunakan batang tulangan baja untuk mengontrol retak. Tulangan ini terdiri atas tulangan dengan diameter kecil yang diatur dengan baik.

Gambar 14. Retak pada saatinitial stage

B.

Final Stage

Tahap ini adalah pembebanan yang paling berat untuk kondisi masa pelayanan, dengan asumsi bahwa semua kehilangan prategang telah terjadi. Sehingga gaya prategang telah mencapai nilai terkecil dan kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar.

2.4.

STANDAR PEMBEBANAN JEMBATAN

Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005 ini dipersiapkan oleh Panitia Teknik Standarisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan melalui Gugus Kerja Bidang Prasarana Transportasi Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan pada Sub Panitia Teknik Standarisasi Bidang Prasarana Transportasi. Standar ini diprakasai oleh Pusat Litbang Prasarana Transportasi, Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum (eks. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Standar ini merupakan revisi dari SNI 03-1725-1989 yang membahas masalah beban dan aksi-aksi lainnya yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan jalan raya, termasuk jembatan pejalan kaki dan bangunan-bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan tersebut. Dengan terbitnya revisi ini, maka SNI 03-1725-1989 tidak berlaku lagi.

2.4.1. Berat Sendiri

Tabel 2. Faktor beban untuk berat sendiri

Jangka Waktu Faktor Beban SMS(Layan) UMS(Ultimit) Biasa Terkurangi Tetap Baja, aluminium 1,0 1,1 0,9 Beton pracetak 1,0 1,2 0,85

Beton dicor ditempat 1,0 1,3 0,75

Kayu 1,0 1,4 0,7

Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap.

2.4.2. Beban Mati Tambahan (Utilitas)

Tabel 3. Faktor beban untuk beban mati tambahan (utilitas)

Jangka Waktu

Faktor Beban SMA(Layan)

UMA(Ultimit)

Biasa Terkurangi

Tetap Keadaan umum 1,0* 2,0 0,7

Keadaan khusus 1,0 1,4 0,8

Catatan: *faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas

Dokumen terkait