• Tidak ada hasil yang ditemukan

S

umpah, saya meleleh d e n g a n t e m a peringatan Sumpah Pemuda ta hun ini. Melalui inspektur upacara pagi itu, saya mendengarkan dengan khidmat pidato tertulis Pak Menteri Pemuda da n Ola h Raga. Pidato seperti ini lazim dibaca pada peringatan sumpah pemuda oleh para inspektur upa cara, t a k t er ke cua li di Mahkamah Konstitusi (MK). Tema “Pemuda Indonesia Bera ni Bersat u,” s ep erti mengembalikan suasana pertemuan 71 pemuda perwakilan dari seluruh Indonesia kala itu. Mencoba membayangkan mereka duduk bersama dalam satu ruangan, tanpa AC, berdinding kayu, berlantaikan tanah merah, dengan berbagai baju tradisional yang berbeda, dengan agama yang berbeda, tidak mempersoalkan lawan bicara asli peribumi, peribintang, peribulan, atau perilangit. Semuanya duduk manis, memikirkan persatuan, membuang perbedaan, dan hanya mengedepankan kepentingan bangsa: Indonesia.

Tema itu, seharusnya tidak diulang lagi saat ini. Kata anak jaman now, tema itu harusnya terlalu old untuk diangkat kembali. Sudah pernah dibicarakan dan disepakati 89 tahun yang lalu. Namun apa daya, nyatanya anak jaman now masih suka membicarakan tema ini. Boleh dikata, muka boleh jaman now, tetapi perilaku masih kalah dengan anak jaman old.

Saya katakan demikian, sebab pemuda jaman old sudah selesai soal persatuan. Kala itu, seorang pemuda bernama Mohammad Yamin—muslim taat yang rajin mengaji—rela mengarungi Selat Malaka dengan kapal seadanya, menghabiskan waktu hampir mendekati sebulan, rela meninggalkan kampung halamannya di Sawah Lunto, Sumatera Barat, demi bertemu dengan para pemuda di belahan nusantara lainnya, menuju Jakarta. Begitu juga dengan Johannes Leimena, asli lahir dan besar di Kota Ambon, Maluku, berangkat menempuh perjalanan

yang fantastis. Biasanya ini berkembang di kalangan birokrat senior, politisi, dan pelaku bisnis pada saat lelang, atau pada saat privatisasi aset publik, seperti BUMN.

Kelima, political or bureaucratic corruption. Kor upsi politik atau birokrasi melibatkan pelanggaran undang-undang pemilihan, penggunaan kekuatan politik untuk membengkokkan peraturan demi keuntungan pribadi atau untuk mendukung hubungan dengan temannya. Ini bisa berbentuk patronase dalam pemberian kontrak atau kontrak pembentukan hubungan patrimonial dengan perusahaan multinasional asing atau kekuasaan untuk menyedot sumb er daya negara dari mana mereka mendapatkan bagian mereka sendiri. Ini berkembang di mana kekuasaan sangat terpusat dalam sistem politik patron.

Sementara korupsi birokrasi, berkaitan dengan korupsi yang terjadi di kalangan pejabat karir senior di birokrasi negara. Bentuk korupsi ini biasanya dilakukan bersamaan atau kolusi dengan pemegang jabatan politik. Menurut, Cooksey, dkk, garis demarkasi antara korupsi politik dan birokrasi saat ini telah menipis.

Selain kelima model tersebut, ada juga model korupsi yang lebih membahayakan, yakni constitutional corruption, atau korupsi konstitusi. Tidak banyak pakar yang menggunakan istilah ini. Roger Pilon, adalah satu dari sedikit pakar itu. Dalam tulisannya yang berjudul How Constitutional Corruption has Led to Ideological Litmus Tests for Judicial Nominees, ia mencoba menjelaskan bagaimana model korupsi ini bekerja. Tulisannya tersebut sejatinya ingin menggambarkan persoalan sidang dalam sengketa Pemilihan Presiden Amerika Serikat antara Bush Vs. Gore. Dalam pemilihan itu, Bush akhirnya menang.

Dalam pandangan Pilon, dalam banyak hal konstitusi telah terkorup dengan perilaku menyimpang para penyelenggara negara. Para politisi di Parlemen, menurutnya, banyak membuat aturan yang itu sejatinya tidak sejalan dengan perintah konstitusi. Mereka hanya membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu, atau partainya. Begitu pula di lembaga peradilan, seperti di Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang sering membuat putusan-putusan yang sejatinya itu bukan kewenangannya sebagaimana diatur oleh konstitusi. Pengadilan, seperti menulis ulang konstitusi yang sangat berbeda dari bunyi asli konstitusi tersebut ditulis.

Mencari Formula

Menurut Wada Attah Ademu, dalam artikelnya yang berjudul Eradicating Corruption in Public Ofice in Nigeria

(2013), setidaknya ada 4 penyebab mengapa korupsi itu bisa terjadi. Pertama, faktor politik, termasuk patronase, hubungan patron-klien, akses yang tidak setara terhadap sumber daya publik, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua, faktor ekonomi, memburuknya situasi kemiskinan dan keinginan untuk menjadi kaya raya, dan juga ketidakcocokan

antara harapan dan sumber daya yang tersedia. Ketiga, faktor sosial, basis budaya organisasi sosio- ekonomi dan politik, tekanan dari keluarga besar dan teman-teman, dan kurangnya garis tegas antara barang milik pribadi dan kantor. Keempat, penyebab lain yang bisa terjadi akibat ketidakpastian politik dan tidak adanya skema asuransi yang disediakan untuk masa depan mereka setelah masa pensiun kantor.

Lalu bagaimana untuk mengatasi hal tersebut? Dalam bukunya, From Third World to First (2000), Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura yang berkuasa pada tahun 1959, pemerintahannya juga dihadapkan pada tantangan korupsi. Pada tahun 1960, Lee mengamandemen UU korupsi tahun 1937 yang dinilai sudah sangat ketinggalan zaman. Ia kemudian memperluas definisi korupsi dalam hal menerima barang apapun yang berharga masuk kategori korupsi, memberi banyak wewenang kepada penyidik, termasuk penangkapan, juga pencarian dan penyelidikan rekening bank, buku bank dari orang yang dicuriga. Selain itu, ia juga menerapkan pembuktian terbalik atas kekayaan yang tidak wajar.

Setelah itu semua dilakukan, p emerintah kemudian membangun iklim opini yang memandang korupsi di kantor publik sebagai sebuah ancaman terhadap masyarakat. Selanjutnya menerapkan standar moral yang tinggi, keyakinan yang kuat, dan tekad untuk mengalahkan korupsi. Semua ini diakui oleh Lee sulit dilakukan jika tidak dilakukan oleh seorang pemimpin yang kuat dan mempunyai tekad yang bulat untuk menghadapi semua pelanggar tanpa pengecualian. Hasilnya, Singapura melaju menjadi negara yang dipersepsikan tidak korupsi. Dalam berbagai indeks persepsi korupsi yang dilansir oleh institusi Internasional, Singapura selalu menempati posisi peci putih.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Singapura tersebut, sejak reformasi juga dilakukan Indonesia. Pelan-pelan bangsa ini mengarah ke sana. Berbagai peraturan untuk menjerat para koruptor diperkuat. Pun lembaga yang menangkapi koruptor juga dikuatkan. Namun, nyatanya sampai saat ini, berdasarkan indeks persepsi korupsi yang keluarkan oleh lembaga-lembaga Internasional, kita harus happy di posisi sandal jepit.

Untuk itu, patut kiranya—selain melakukan berbagai pemberantasan korupsi seperti di atas—juga melakukan tindakan lain, seperti merangkul para pemuda, sebagai motor penggerak perubahan, untuk kembali mengobarkan api Sumpah Pemuda Tahun 1928. Api itu harus terus bergelora tanpa memberi kesempatan untuk menjadi abu. Sumpah pemuda jaman now, harus berbeda dari jaman old. Sumpah itu harus dilakukan dengan menyatukan tekad bersama membebaskan bangsa ini dari segala bentuk praktek dan tindakan korupsi, untuk mewujudkan Indonesia menjadi bangsa yang semakin maju di depan. Salam!