• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama, misalnya tertuang dalam Pasal 2, 8, 25, 39, 71, 119, 139, 211, 213 dan 249 Kitab Per undang-undangan Majapahit, yang lazim disebut sebagai k it a b p er und a ng-und a nga n Agama. Di Pulau Jawa tidak didapati naskah perundang-undangan agama, sebagian besar hanya ditemukan di Pulau Bali dan Lombok.

Adapun b eb erapa kara kteristik yang dimuat dalam buku ini, diantaranya m engga m b a r ka n k i t a b p er u n d a ng- unda nga n Majapa hit ya ng s ebagia n besar naskah perundang-undangannya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, tidak dalam bahasa Jawa. Kedua, bahasa yang digunakan dalam naskah p er undang- undangan tersebut sangat rapi. Ketiga, dalam Nagara kertagama pupuh 73/1 dinyatakan dengan tegas bahwa prabu Hayam Wuruk berusaha keras untuk dapat bertindak dengan bijaksana, dalam menjalankan p engadilan orang tida k boleh bertindak semabarangan, harus patuh mengikuti segala apa yang telah dinyata ka n dala m kitab p er unda ng- undangan yang disebut Agama. Keempat, dalam Nagarakertagama pupuh 25/2 diuraikan bahwa ketika Prabu Hayam Wuruk singgah di Patukangan, dihadap oleh pelabagai pembesar diantaranya dhyaksa, upapati (pembantu dyaksa), dan para panji yang paham tentang perundang- undangan yang disebut Agama. Kelima, dalam Nagarakertagama pupuh 79/3 baris 1 dengan tegas dinyatakan bahwa pulau Bali dalam segala hal mengikuti pulau Jawa, misalnya persoalan perundang- undangan yang juga mengatur kehidupan kemasyarakatan. Keenam, perundang- undangan Agama tersebut disebut juga Kutara-Manawadharmasastra (Pasal 23, 65), yang dikenal juga dalam Kidung Sorandaka.

Kedua, dalam tulisan ini diuraikan lebih lanjut perihal kitab per undang- undangan Agama, Prof. Mr. Slametmuljana menjabarkan sistematika pasca penyusunan kembali kitab tersebut, yakni pertama, ketentuan umum mengenai denda, kedua, ura ia n t ent a ng keja hat a n (is t im ewa pembunuhan yang disebut astadusta), ket iga, p er la k ua n t er ha d a p ha m b a (kawula), keempat, pencurian (astacorah), kelima, paksaan (walat atau aulah sahasa), kelima, jual beli (adol atuku), ketujuh, gadai (sanda), kedelapan, utang piutang (ahutang apihutang), kesembilan, titipan, kesepuluh, mahar (tukon), kesebelas, perkawinan (kawarangan), keduabelas, perbuatan mesum (paradara), ketigabelas, warisan (drewe kaliliran), keempatbelas, caci maki (wakparsuya), kelimabelas, menangani (dandaparusya), keenambelas, k e l a l a i a n / k e n a k a l a n ( k a g e l e h a n ) , ketujuhbelas (atukaran), kedelapanbelas, tanah (bhumi), dan kesembilan belas, fitnah (duwilatek).

Ketiga, secara tegas p enerapan K it a b Per u nd a ng- u nd a nga n Agama

tersebut telah dijadikan pegangan untuk mengat ur kehidupan kemasyara katan

PERUNDANG-UNDANGAN MADJAPAHIT

Oleh: Bagus Hermanto

di Kerajaan Majapahit pada masanya. Da la m ha l ini terdapat p enyesua ia n nafasnya dengan masyarakat Majapahit tidak mentah-mentah menerjemahkan pasal-pasal yang terdapat dalam kitab p er unda ng-unda nga n India, s ehingga K i t a b Per u n d a ng- u n d a nga n Agama

m en cer m in ka n kea d a a n ma s yara kat Majapahit.

Mesk ipun k it ab ter s ebut t ida k lengkap, hanya memuat 275 pasal, di mana masih terdapat pasal-pasal sejenis yang terangkap, namun terbukti bahwa kitab tersebut mempunyai kesan yang baik dalam masyarakat. Kiranya kesan baik itu terutama timbul akibat kecakapan para p elaksanan undang-undang atau kepandaian para pejabat pemerintahan pada zaman pemerintahan prabu Hayam Wuruk, sebagaimana kutipan Pudja Sastra Nagara kert aga ma Pupuh 81 s ebaga i berikut : (sebagaimana dimuat dalam karangan Prof. Mr. Slametmuljana pada halaman 15-16).

“B e s a r m i nat b a g i n d a u nt u k menegakkan tripaksa di Djawa. Segala prasasti mengenai tanah hadiah supaja disimpa n ba ik-ba ik da n diinda hka n. Baginda menghendaki, agar semua orang jang telah mendapat anugerah tanah tidak lupa akan tingkah utama, tatasila serta segala adjaran. Itulah sebabnja sang tjturdwidja mengedjar kebaikan. Para wipra, resi, pendeta Siwa dan pendeta Buda teguh dan tekun memeluk adjarannja ma sing-ma sing; s emua tjat ur a sra ma terutama tjatur basma jang ada diseluruh n egara t u nd u k r u ngk up m ela k u ka n t apa brat a da n bidja k mendjala n ka n upatjara. Semua anggota keempat kasta tunduk kepada perintah baginda; para mentri dan para aria kedua-duanja tjakap dalam mengendalikan pemerintahan; para pembesar jang bergelar rakrian dan para kesat ria semuanja sopan dan b erhati teguh; para sudra dan waisja diseluruh negara memperoleh kesenangan dalam p ekerdjaa nnja ma sing-ma sing. Empat golongan orang pilihan jang lahir dari Hyang Widi seperti dikatakan dalam sastra, dapat hidup senang berkat kebidjaksanaan sang prabu, jang bersemajam dipura, semuanja teguh dalam tingkah lakunja. Bahkan ketiga lapisan masjarakat jang terendah jakni tjandala, mletja dan tutja tertib mendjankan tata sila.”

L ebi h jau h, diga m b ar ka n p u la kei w ib awa a n p ra b u Haya m Wu r u k d a n u s a h a y a n g s u n gg u h u n t u k menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, yang terbaca pada Pupuh 92 (sebagaimana d i muat d a la m ka ra nga n P r of. M r. Slametmuljana pada halaman 16), sebagai berikut :

“Begitulah suka-mulia baginda diistana, tertjapai segala apa jang dikehendaki. Tetapi djanganlah dikira hanja sampai disitu sdja. Beliau tidak lupa berusaha untuk menjelenggarakan kesedjahteraan negara. Memang beliau masih sangat muda, lagi sangat sibuk, namun tingkah lakunja sudah seperti Buda mendjelma, terutama oleh karena beliau memiliki pengetahuan jang sempurna. Padmlah karenanja niat djahat para pendjahat dan pentujri. Terus membubung keangkasa keluruhan dan keper wiraan baginda; sungguh batara Siwa menitis kedalam beliau untuk mendjaga dunia. Pasti tjelaka barang siapa menentang perintah beliau atau barang siapa menjeleweng dari kebenaran. Hilang dosanja siapapun jang dipandang, sirna segala letanja abdi jang disapa. Itulan sebabnja keluruhan beliau mashur terpudji ditiga djagat. Semua orang tinggi, sedang, rendah menuturkan kata pudjian, smabil berdoa agar baginda tetap subur bagia gunung tempat berlindung, ber umur pandjang sebagai bulan dan matahari jang berputar sambil menerangi bumi.”

Kitab perundang-undangan Agama t er s eb u t m enja d i p ega nga n d a la m menjalankan pemerintahan Majapahit. Para pejabat adalah pelaksana undang- undang untuk menciptakan kemakmuran dan ketentraman dalam masyarakat.

Tera k hir, dala m buku kara nga n Prof. Mr. Slametmuljana ini juga dikupas terkait hubungan antara kitab perundang- undangan Agama tersebut dengan Hukum Nasional Indonesia.

Usaha penyusunan hukum nasional har uslah memp ertimbangkan hukum- hukum adat yang masih diterapkan secara local dipelbagai daerah, namun demikian nyata dalam sistem hukum nasional, bahwa hukum colonial yang seringkali terbentuk dengan hukum adat, atau lebih tepat bahwa pelaksanaan gagasan pemerintah terbentur pada hukum adat yang masih hidup dalam kehidupan kemasyarakatan didaerah tertentu, sehingga tidak mungkin

t id a k, a ka n m en i m b u l ka n b a nya k kesulitan dan seringkali juga banya k terjadi kerugian. Oleh karena itu, cita- cita untuk membentuk hukum nasional yang berlaku diseluruh wilayah tanah airi, dapat dipahami sepenuhnya dan mendapat sambutan yang baik dikalangan para ahli hukum.

P un, P rof. M r. Djoko s o et eno, pernah mengemukakan :

“Seandainya peraturan-peraturan pada zaman Madjapahit jang ditrapkan oleh Gadjah Mada itu tertjatat dan tjatatan itu sampai kepada kita, maka kita sudah mempunjai dasar hukum nasional. Tidak seperti sekarang ini.”

Dari ungka p a n t er s ebu t, P rof. Slametmuljana menilai bahwa Djokosoetono ingin menggunakan perundang-undangan Maja p a hit s eb aga i la nd a s a n hu k u m nasional Republik Indonesia. Sudah pasti keinginan tersebut bertalian dengan watak kenasionalan Kerajaan Majapahit, dengan umurnya hingga kini sudah lebih dari 600 tahun, dengan kesejahteraan negara dan ketenteraman kerajaan sebagai hasil penerapan perundang-undangan oleh para pelaksana yang cakap.

Na mu n d em i k ia n, p er u n d a ng- undangan Majapahit tersebut tidaklah dapat diterapkan begitu saja pada zaman sekarang di wilayah Republik Indonesia, dikarenakan tuntutan zaman berbeda, dan keadaan kehidupan kemasyarakatannya yang berlainan juga. Namun, jiwanya dapat menghidupi hukum nasional di wilayah Republik Indonesia, jika dikehendaki. Perundang-undangan senantiasa berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat, karena perundang-undangn dimaksud untuk menjadi alat mengatur kehidupan kemasyarakatan.

D enga n ada nya buk u kara nga n Prof. Sla met mulja na ter s ebut, tela h m enega ska n ba hwa s a nya baga ima na pun juga perundang-undangan Majapahit adalah pusaka nasional, yang penerapannya pernah berhasil gilang gemilang berkat ke ca ka pa n para p ela k s a na nya, oleh karena itu, tidak ada buruknya untuk m e m p e r t i m b a n g k a n n y a k e d a l a m penyusunan hukum nasional kedepannya.

S e b a g a i m a n a P r o f . M r . Slametmuljana menyebut, pusaka nasional itu paling sedikit dapat dijadikan bahan p erbandingan bagi p embahar uan dan

Judul:

“INDONESIAN LEGAL SCHOLARSHIP AND JURISPRUDENCE AS AN OBSTACLE FOR TRANSPLANTING LEGAL INSTITUTIONS”

Tulisan ini merupakan ulasan atas Artikel dalam Jurnal Ilmiah oleh

Penulis : Adriaan Bedner

Sumber : Hague Journal on the Rule of Law, Vol. 3, Issue 2, September 2013, h. 253-273

S

iapa yang tidak kenal dengan P r o f e s o r B e d n e r ? B e l i a u adalah akademisi yang berasal d ari B ela nd a d a n m em ili k i ket er t a r i ka n k hu s u s d a la m studi tentang Indonesia. Banyak yang mengenalnya sebagai ahli dalam hukum adat. Mungkin, salah satu penyebabnya adalah asal universitas tempatnya mengajar yaitu Universitas Leiden. Di tempat ini banyak menghasilkan ahli-ahli hukum, utamanya hukum adat seperti Cornelis van Vollenhoven. Peneliti sejarah asal Belanda, Harry A. Poeze, bahkan pernah menulis artikel khusus yang membahas mengenai orang-orang Indonesia yang belajar di Universitas Leiden, “Indonesians at Leiden University”, dimuat dalam buku “Leiden Oriental Connections: 1840-1940”. Akan tetapi, Bedner bukanlah ahli hukum adat. Ketertarikannya justru pada hukum adm inist ra si negara ter ut a ma da la m konteks teori serta perbandingan hukum.

D a l a m k a i t a n n y a d e n g a n perbandingan hukum, salah satu artikelnya yang dimuat dalam Hague Journal on the Rule of Law menjadi fokus utama dalam ulasan rubrik khazanah ini. Dari sisi kebaruan isu, penerbitan pada 2013 dapat dianggap telah usang untuk ukuran sebuah jurnal ilmiah. Akan tetapi pelajaran yang dapat dipetik dari tulisan ini sangat menarik sehingga mendorong keinginan untuk mengulasnya dalam rubrik ini.