• Tidak ada hasil yang ditemukan

A

g u s t u s, b ag i s aya a d a l a h b u l a n kelahiran. Di bulan ini, setidaknya ada dua kelahiran, yakni kelahiran Negara Indonesia dan kelahiran lembaga di mana saya bekerja saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai rasa syukur atas kelahiran itu, tiap tanggal 17 Agust us, ba ngsa Indonesia dari Sabang sampau Merauke, dari Mianga s sampai Pulau Rote melakukan beraneka ragam perayaan untuk memperingati kelahiran atau kemerdekaan bangsa.

Selain melakukan berbagai macam perayaan, sebagaimana lazimnya sebuah peringatan kelahiran, hal penting yang biasanya dilakukan adalah melakukan instrospeksi diri terhadap apa yang sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan.

Generasi Berjarak

Negara Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, yang itu berarti sudah 72 tahun negara ini berdiri. Untuk generasi yang lahir sesudah kemerdekaan, seperti saya, pasti tidak merasakan suasana kebatinan bagaimana susahnya membebaskan diri dari penjajah. Yang tertinggal hanyalah sebuah cerita turun temurun, yang lambat laun semakin jauh dari “rasa” yang sebenarnya.

Saya meyakini “rasa” itu semakin jauh. Sebab jika “rasa” memiliki sebuah bangsa yang diperjuangkan dengan darah dan air mata itu masih kuat, berbagai tragedi memilukan akibat ulah anak bangsa yang menimpa negeri ini tidak akan terjadi. Sebut saja misalnya soal korupsi yang harus diakui sudah merusak masyarakat di semua tingkat sosial. Bahkan saat ini, korupsi bak ekosistem kehidupan yang saling berkaitan dan saling kebergantungan.

Peristiwa oknum jaksa di Pamekasan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, semakin memperkuat ekosistem itu. Sebagai penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi, justru ditangkap KPK atas dugaan melakukan “main mata” dengan orang-orang yang patut diduga telah menyelewengkan dana desa. Sebelumnya, KPK juga telah menangkap oknum Jaksa di Bengkulu atas dugaan melakukan tindakan menerima suap atas perkara korupsi yang sedang ditangani.

Peristiwa-petistiwa di atas, dengan sedikit bergurau saya bisa menyampaikan bahwa ekosistem korupsi itu ada. Dengan alur koruptor ditangkap jaksa, lalu oknum jaksa tersebut memeras sang koruptor, sang oknum jaksa kemudian ditangkap KPK,

berbagai kalangan sebagai benteng terakhir dalam mengawal KPK. Pada masa itu, UU KPK berkali-kali dilakukan pengujian oleh berbagai kalangan. Istilah “serangan balik koruptor” sempat

booming sebagai respon dari adanya berbagai pengujian UU KPK ke MK. Dan hasilnya, semua permohonan tersebut ditolak dan/ atau tidak diterima oleh MK. Dengan demikian, KPK tetap bisa berkerja dengan kekuatan penuh dalam melaksanakan tugas- tugasnya dalam memberantas korupsi.

Namun, kisah manis itu tidak berlanjut. Hanya dalam hitungan bulan setelah Mahfud MD lengser, tepatnya pada bulan Oktober 2013, Akil Mochtar, Ketua MK yang baru menjabat beberapa bulan, ditangkap KPK. Ia disangka telah menerima suap dari berbagai perkara Pilkada yang sedang ditangani oleh MK. Peristiwa penangkapan ini sangat memprihatinkan dan memilukan. Lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi, yang dinilai sangat bersih, harus menanggung malu gara-gara Ketua-nya melakukan korupsi.

Sangkaan ini kemudian menjadi benar adanya dengan putusan pengadilan. Akil Mochtar dihukum seumur hidup atas perbuatan korupsi dalam perkara Pilkada di beberapa daerah. Saat itu semua orang yang bekerja di MK, termasuk saya, berdoa itu adalah peristiwa yang pertama dan terakhir. Namun rupanya doa dan harapan tersebut belum terkabul. Belum genap 3 tahun dari peristiwa itu, berita duka kembali terulang dari Gedung 9 Pilar Mahkamah Konstitusi. Salah satu Hakim MK, Patrialis Akbar, ditangkap oleh KPK. Kasus yang disangkakan masih soal dugaan suap terhadap perkara yang sedang ditanganinya.

Baik Akil maupun Patrialis, keduanya berasal dari politisi di Senayan. Akil, sebelum menjadi Hakim Konstitusi adalah anggota DPR dari Partai Golkar. Sementara Patrialis Akbar juga pernah menjadi anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN). Secara pribadi saya tidak dalam posisi memperbandingkan antara orang yang berlatang belakang politisi dan yang bukan. Tapi dari berbagai fakta yang ada “kebetulan” nyatanya dari latar belakang mereka itulah banyak diproduksi para koruptor kelas kakap. Baik politisi yang duduk di Parlemen, eksekutif (menteri, gubernur, bupati/walikota), maupun yang duduk di lembaga yudikatif, nyatanya mereka banyak yang terjerat kasus korupsi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi?

Mendidik Kesederhanaan

Seperti sebuah ekosistem yang saling terkait, saya meyakini bahwa para oknum politisi tersebut pada mulanya juga mengikuti sebuah sistem yang sudah tercipta. Bahwa untuk menjadi seorang anggota DPR, dalam beberapa kasus para calon harus membayar ke partai, lalu kemudian dia juga harus menyiapkan uang untuk bagi-bagi kepada pemilih. Begitu juga setelah terpilih. Mereka juga harus menyiapkan diri untuk menyetor ke partai pengusung, juga harus bersiap-siap untuk menerima berbagai proposal bantuan dari konstituennya.

dari bangunan untuk perbaikan jalan, sampai bangunan untuk tempat ibadah. Bahkan ia juga harus menghidupi para tim sukses yang memang pekerjaannya adalah tim sukses, tanpa ada keahlian lain.

Dalam momentum agustusan memperingati kelahiran negara ini, sudah sepatutnya kita harus memikirkan perbaikan fenomena tersebut. Menurut saya salah satu langkah yang harus dilakukan adalah memberikan pendidikan moral kepada anak-anak kita sejak dini. Pendidikan moral yang saya maksud bukan hanya soal agama, tetapi juga moral terhadap hubungan sosial, lingkungan, maupun kepada negaranya.

Pengalaman sekitar 2 tahun tinggal di Australia tahun lalu, misalnya, mengajarkan banyak hal terhadap diri saya. Sebagai negara yang tidak mengagungkan agama dalam mengelola dan membesarkan negara dan masyarakatnya, Australia mampu menjadi negara maju.

Anak sulung saya, Einar, yang berkesempatan sekolah TK (pemerintah) di sana, tidak diajari agama. Namun yang diajarkan lebih pada etika dan moral. Hal-hal kecil terkait dengan perilaku baik dan kesederhanaan hidup diajarkan. Misalnya bagaimana menyayangi orang tua dengan memberikan berbagai kejutan hadiah yang dibuat dengan tangan sendiri. Termasuk mengingat dan mengucapkan ulang tahun kedua orang tua, juga anggota keluarga lain. Bukan hanya hari ibu yang diperingati, tetapi juga ada hari ayah, dan juga kakek-nenek.

Begitu juga pola mengajarkan cinta kepada negara dengan melakukan hal-hal yang positif. Menjadi juara dalam olimpiade, misalnya, adalah bagian dari pengabdian ke negara yang sudah dipupuk sejak kecil.

Pada olimpiade 2015 lalu, misalnya, anak saya juga mengikuti berbagai perlombaan di sekolah. Anak-anak dibuatkan perlombaan ala olimpiade dan mereka dibuatkan mahkota yang dibuat dari daun dan kayu rambat. Semua diajarkan pola sederhana dengan berbagai mainan yang dibuat dari barang bekas. Tidak ada satu pun mainan yang ada di sekolah yang dibuat bukan dari barang bekas. Semuanya di-recycle dari berbagai barang yang tidak terpakai. Seperti kardus bekas, kaleng bekas, sepatu bekas, sandal bekas, baju bekas. Bahkan kardus bekas tempat telur juga bisa digunakan untuk wahana menulis dan mewarnai. Begitu juga budaya antri yang dilatih sejak dini. Terbatasnya jumlah toilet di sekolah, juga dijadikan pendidikan dasar dalam mendidik budaya antri.

Pola “sederhana” itu seperti itu, rupanya menjadi barang langka di Jakarta. Berbagai macam mainan anak sudah tersedia di toko-toko. Hasilnya, anak-anak inginnya serba instan. Budaya instan dan cepat saji ini menurut saya sangat berbahaya. Dan, bisa dipastikan bahwa korupsi adalah akibat yang nyata dari budaya itu. Budaya yang penting cepat kaya, cepat disanjung orang, cepat menduduki jabatan, dan semuanya menjadi “halal” untuk dilakukan. Salam!