• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN PATOKAN HARGA BERAS DALAM

C. Praktik Arisan Darmin

5. Komentar tentang patokan harga beras dalam arisan

Dalam pelaksanaan arisan Darmin di Desa Beton ini sudah menuai banyak komentar dari masyarakat. Banyak masyarakat yang berkomentar negatif daripada positif. Banyak dari para anggota yang dikecewakan dengan kualitas beras yang semakin memburuk.

Mereka merasa dirugikan dan ada ketidak adilan dalam praktik arisannya. Karena anggota yang memperoleh arisan terdahulu mendapat beras dengan kualitas baik namun sekarang anggota yang mendapat arisan di tahun ini mendapat beras dengan kualitas yang buruk.

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PATOKAN HARGA BERAS DALAM ARISAN DARMIN DI DESA BETON KECAMATAN MENGANTI

KABUPATEN GRESIK

A. Analisis Terhadap Praktik Patokan Harga Beras dalam Arisan Darmin di

Desa Beton kecamatan menganti Kabupaten Gresik

Arisan merupakan kegiatan yang dilakukan sebagian besar orang Indonesia, arisan dianggap sebagai tabungan oleh sebagian masyarakat, bahkan bentuk arisan sekarang sudah bermacam-macam dari arisan jajan, arisan daging bahkan arisan beras.

Arisan Darmin merupakan arisan beras yakni arisan yang pembayarannya menggunakan beras, namun ada juga yang menggunakan uang dengan patokan 1 kg beras di hargai Rp 6.000,- (Enam ribu rupiah). Dari pertama arisan ini dibentuk pada tahun 1996 sampai sekarang tahun 2016 harga patokan beras itu tidak berubah. Hal ini menyebabkan banyak anggota yang menganggapnya tidak adil, ini dirasakan oleh anggota yang ikut dalam arisan yang pembayarannya menggunakan beras.

Adanya patokan harga beras ini membuat sebgaian anggota merasa dirugikan, yakni anggota yang baru memperoleh arisan pada tahun 2014 sampai tahun ini, pada prakteknya seperti yang dialami Bapak Wanto , dia sudah mengikuti arisan sejak tahun 1998, dulu dia membayar arisan dengan beras yang kualitasnya bagus, namun pada tahun 2014 pak Wanto mengadakan hajatan sekaligus mendapatkan arisan, tetapi yang ia dapat beras dengan kualitas buruk, penyebabnya adalah patokan harga beras yang dianut

sejak dulu. Padahal secara umum sifat dalam kegiatan arisan adalah adil dan jujur sebagaimana prinsip hukum islam.

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Patokan Harga Beras dalam Arisan Darmin

di Desa Beton Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik

Patokan harga beras dalam arisan darmin merupakan kesepakatan yang telah diterima sejak arisan darmin ini dibentuk oleh Bapak Darmin. Hal ini dikarenakan ada sebagian peserta yang ingin mengikuti arisan namun membayar dengan uang, dengan ini ditentukanlah patokan harga beras yakni Rp 6.000,- per kg.

Seiring berjalannya waktu, harga bahan pokok semakin melambung, hal ini menyebabkan para anggota arisan mulai melakukan hal yang dianggap curangan oleh para anggota lain dan menimbulkan perasaan ketidak adilan. Yakni para anggota yang sudah memperoleh arisan tidak mengembalikan atau membayar kembali arisan dengan beras yang kualitasnya sama, mereka mengembalikan dengan kualitas yang berbeda.

Dalam bab III telah dijelaskan praktik arisan darmin yang dilakukan masyarakat desa Beton dilakukan saat anggota mempunyai hajat. Hal ini dilakukan agar bisa membantu meringankan beban biaya hajatan anggota arisan.

Arisan tergolong transaksi utang piutang (al qard{) karena orang yang mendapatkan uang arisan dia ingin memanfaatkan uang arisan tersebut untuk berbagai keperluan lalu mengembalikannya sama persis dengan nominal yang

dia terima. Maka didalam arisan ini tidak terlepas dari beberapa syarat dan rukun qard{ untuk ditetapkan sebagai peraturan dalam praktik arisan.

Syarat qard{ merupakan perkara penting yang harus ada sebelum

dilaksanakan qard{. Jika syarat tidak terwujud maka transaksi qard{ batal.

Adapun rukun qard{ adalah sesuatu yang harus ada ketika qard{ itu

berlangsung. Seperti halnya jual beli, rukun qard{ juga diperselisihkan oleh

para fuqaha>, rukun qard{ adalah:1

1. ‘Aqid, yaitu muqrid{ dan muqtarid{. 2. Ma’qud ‘alaih, yaitu uang dan barang.

3. Sighat}, Yaitu ijab dan qabul

Adapun syarat-syarat qard{ yang menjadikan sah, jika :

1. Aqid (Orang yang berutang dan berpiutang)

Yang dimaksud dengan ‘aqid adalah para pihak yang berakad, yakni pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat bagi pemberi utang adalah merdeka, baligh, berakal sehat, pandai serta dapat

membedakan baik dan buruk.2

Untuk aqid, baik muqrid} maupun muqtarid} disyaratkan harus

orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’.

Oleh karena itu, qard} tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di

bawah umur atau orang gila.3

1 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamala . . . . , 278. 2 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah . . . . , 335. 3 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. . . . , 278.

Dari sisi muqrid{ (orang yang memberikan utang) Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang

lain yang membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi muqtarid{,

utang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia akan

mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.4

2. Objek utang

Objek akad yang merupakan barang pinjaman. Barang pinjaman adalah barang yang dipinjamkan oleh pemilik barang kepada si peminjam. Syarat barang yang berkenaan dengan objek yaitu uang. Uang adalah jelas nilainya, milik sempurna dari yang memberi hutang dan dapat diserahkan

pada waktu akad.5

Ulama Hanafiah berpendapat bahwa akad qard{ dibenarkan dalam harta mitsli yaitu harta yang satuan barangnya tidak berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilainya, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, dijual satuan dengan ukuran yang tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lain (seperti kelapa, telur, dan kertas satu ukuran)

dan yang diukur seperti kain.6

Akad qard{ tidak dibolehkan pada harta qimiyyat ( harta yang

dihitung berdasarkan nilainya), seperti hewan, kayu bakar dan properti.

4 Ibid, 275.

5 Amir Syarifuddin . . . . , 224.

Begitu juga barang satuan yang jauh berbeda antara satuannya. Hal itu

karena sulit mengembalikan harta semisalnya.7

Ulama malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah berpendapat bahwa

diperbolehkan melakukan qard{ atas semua benda yang bisa dijadikan

objek akad salam, baik itu barang yang ditakar dan ditimbang seperti emas, perak dan makanan maupun dari harta qimiyyat, seperti barang- barang dagangan, binatang , dan juga barang yang dijual satuan. Alasannya sesuatu yang dapat dijadikan objek salam dimiliki dengan akad jual beli dan di identifikasi dengan sifatnya, sehingga ia boleh dijadikan

objek akad qard} seperti halnya barang yang ditakar dan ditimbang.8

3. Ijab qabul (shighat})

Yang dimaksud dengan Shighat} adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan di antara fukaha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafazutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “Aku memberimu utang,” atau “Aku mengutangimu.” Demikian pula kabul sah

dengan semua lafaz yang menunjukkan kerelaan, seperti “Aku berutang,”

atau “Aku menerima,” atau “Aku ridha” dan lain sebagainya.9 Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad ini adalah:

a. Harus berada dalam satu majelis. Karena ijab itu bisa menjadi bagian

dari akad bila ia bertemu langsung dengan kabul. Perlu dicatat bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi zaman.

7 Ibid. 8 Ibid.

Sehingga akad tersebut bisa berlangsung melalui pesawat telepon. Dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya percakapan telepon. Selama percakapan tersebut masih berlangsung, dan line telepon masih tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam majelis akad.

b. Hal yang menjadi penyebab terjadinya ijab harus tetap ada hingga

terjadinya qabul dari pihak kedua yang ikut dalam akad. Sedangkan ijab ditarik dari pihak pertama, kemudian datang qabul, itu di anggap qabul tanpa ijab, dan itu tidak ada nilainya sama sekali.

c. Tidak adanya hal yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri

pihak kedua. Karena adanya hal itu membatalkan ijab. Jika datang kembali penerimaan sesudah itu, sudah tidak ada gunanya lagi, karena tidak terkait dengan ijab sebelumnya secara tegas sehingga akad bisa dilangsungkan.

d. Akad dapat memberi faedah.10

Jadi dalam praktik arisan Darmin dari segi akad menurut hukum Islam sudah memenuhi rukun dan syarat hutang piutang (al qard{) sesuai dengan ketentuan.

Namun dalam pengembalian/pembayaran arisan yang dilakukan oleh anggota arisan dipandang sebagian orang ada unsur ketidakadilan, yakni adanya penurunan kualitas beras yang digunakan saat mengembalikan beras.

Dalam praktiknya Bapak Salam yang sedang mengadakan hajatan dan tentu saja Bapak Salam yang mendapatkan giliran memperoleh arisan. Arisan dilakukan saat malam terakhir hajatan, Bapak Salam pun menerima sekitar 2 ton Beras dan uang sejumlah 10 juta rupiah, akan tetapi Bapak Salam merasa dikecewakan karena Beras yang ia dapat tidak sebagus kualitas yang ia berikan dulu, padahal orang-orang terdahulu memperoleh beras dengan kualitas bagus. Bapak salam pun mencoba menanyakan kepada Bapak Supardi. Kenapa sekarang kualitas beras kok sangat jelek? Padahal dulu saya membayar dengan kualitas yang bagus?, kemudian Bapak Supardi menjelaskan bahwa orang-orang yang membayar arisan dengan beras melihat patokan harga beras yakni Rp 6.000,- per kg . jadi beras yang di bayar sudah sesuai dengan harga tersebut, hal ini membuat Bapak Salam kecewa karena ia mengetahui bahwa patokan harga tersebut hanya untuk orang yang

membayar arisan dengan uang.11

عَ َلاَيِضرَ رْ بَوبأَل ق

ِي عَ َلاَىَصََِلاَُلوسرَل ق

َ

َب َ لاَاوعيِتَ لَمَسو

ْلاوَِضِفْل ِبَب َ لاَاوعيِبوٍَءاوسِبًَءاوسَ َلِإَِضِفْل ِبَ ضِفْلاوٍَءاوسِبًَءاوسَ َلِإَِب َ ل ِب

َ ضِف

متِْشَفيكَِب َ ل ِب

Abu Bakrah radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali dengan jumlah yang sama, perak dengan perak kecuali dengan jumlah yang sama dan berjual belilah emas dengan perak atau

perak dengan emas sesuai keinginan kalian

.

12

Hadis di atas menjelaskan bahwa

11 Salam, Wawancara, Gresik, 26 Mei 2016.

Akad tabarru’ addalah segala segala macam perjanjian yang tidak

mencari keuntungan, akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong

dalam rangka berbuat kebaikan. Hal ini sama halnya seperti arisan darmin yaang dilakukan untuk membantu meringankan biaya hajatan anggota arisan.

Diluar lingkup pembahasan qard{, penulis menganalisis pula arisan

berdasarkan riba dan bagaimana hukumnya. Dalam permasalahan yang muncul di arisan Darmin ini, pada praktik arisan darmin pada saat pembayaran arisan yang menurunkan kualitas beras, hal ini merujuk pada perbuatan riba. Biasanya perbuatan riba dikaitkan dengan adanya tambahan namun dalam jenis riba yang lain, yakni riba fad{l.

Riba fad{l adalah tambahan yang disyaratkan dalam tukar-menukar

barang yang sejenis (jual beli barter) tanpa adanya imbalan untuk tambahan

tersebut.13

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Ubadah bin ash-

Shamit Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ل قَِتِم صلاَِ بَ د عَ ع

عَ َلاَىَصََِلاَُلوسرَل ق

َُضِفْلاوَِب َ ل ِبَب َ لاَمَسوَِي

ْثِ ِبَ ًْثِمَِحِْ ْل ِبَحِْ ْلاوَِر تل ِبَر تلاوَِرِعشل ِبَرِعشلاوَِر ْل ِبَر ْلاوَِضِفْل ِب

َ

ٍَءاوسِبًَءاوس

وعيِفَف صأْلاَِِ َتف تخاَا ِإفٍَديِبَادي

ٍديِبَاديَ كَا ِإَمتِْشَفيكَا

Dari ‘Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wasallam bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan

sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu

asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya”.14

Dalamhadits di atas, kita bisa memahamiduahal:

1. Jika barang sejenis ditukar, semisal emas dengan emas atau gandum

dengan gandum, maka ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau timbangan.

2. Jika barang masih satu ‘illah atau satu kelompok ditukar, maka satu

syarat yang harus dipenuhi yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan salah satunya berlebih.

Barang ribawi tidak hanya terbatas pada enam komoditi di atas. Para ulama mengqiyaskannya dengan barang lain yang semisal. Namun mereka

berselisih mengenai ‘illah atau sebab mengapa barang tersebut digolongkan

sebagai barang ribawi.

Menurut ulama Hanafiyah dan Hambali, ‘illahnya pada emas dan

perak karena keduanya adalah barang yang ditimbang, sedangkan empat komoditi lainnya adalah barang yang ditakar.

Menurut ulama Malikiyah, ‘illahnya pada emas dan perak karena

keduanya sebagai alat tukar secara umum atau sebagai barang berharga untuk alat tukar, dan sebab ini hanya berlaku pada emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lainnya karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.

Menurut ulama Syafi’iyah, ‘illah pada empat komoditi yaitu karena mereka sebagai makanan. Ini qoul jadid (perkataan terbaru ketika di Mesir) dari Imam Syafi’i. Sedangkan menurut qoul qodiim (perkataan yang lama ketika di Baghdad) dari Imam Syafi’i, beliau berpendapat bahwa keempat

komoditi tersebut memiliki ‘illah yaitu sebagai makanan yang dapat ditakar

atau ditimbang. Ulama Syafi’iyah lebih menguatkan qoul jadid dari Imam Syafi’i. Sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang berharga untuk alat tukar.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ‘illah pada empat komoditi

adalah sebagai makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Sedangkan pada emas dan perak adalah sebagai alat tukar secara mutlak. Sehingga semisal

emas dan perak karena memiliki ‘illah yang sama adalah mata uang logam

atau pun kertas.

kesimpulannya bahwa untuk emas dan perak karena sebagai alat tukar. Oleh karena itu, mata uang dimisalkan dengan emas dan perak.

Sedangkan untuk empat komoditi lain, ‘illahnya karena mereka adalah

makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Oleh karena itu, berlaku riba dalam beras dan daging karena keduanya adalah makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Sebagai contoh, jika kita menukar beras jelek dengan beras bagus, maka harus tunai dan salah satu tidak boleh berlebih dalam hal timbangan.

Dalam arisan Darmin ini, sudah jelas dalam penggunaan media atau alat arisan adalah beras yang merupakan kelompok ribawi, maka seharusnya

takaran harus sama dan kualitas harus sama dan harus tunai, maka dalam praktiknya arisan Darmin ini sudah jelas mengandung unsur riba di dalamnya karena adanya perbedaan kualitas beras yang diterima oleh masing masing peserta arisan.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan dan dianalisis, maka penelitian ini telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang menjadi jawaban atas beberapa masalah yang telah dirumuskan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan arisan Darmin di Desa Beton Kecamatan Menganti di ikuti

oleh bapak-bapak warga desa Beton dan dilaksanakan pada saat anggota arisan yang memperolehnya mengadakan hajatan, dalam satu tahun hanya dibatasi maksimal 10 anggota arisan yang memperoleh arisan, minimal pembayaran arisan adalah 25kg beras atau setara dengan Rp. 150.000,- karena dalam arisan darmin 1kg beras dipatok dengan harga Rp. 6.000,-.

2. Sedangkan analisis hukum islam terhadap praktik arisan Darmin dilarang

dalam hukum Islam, karena dalam pembayaran arisan takaran berasnya sama, namun kualitasnya berbeda. Maka praktik arisan darmin ini mengandung unsur riba didalamnya.

B. Saran

Bagi masyarakat Desa Beton Kecamatan menganti Kabupaten Gresik dan khususnya bagi para anggota arisan Darmin, dalam bermuamalah hendaknya selalu memperhatikan prinsi-prinsip yang telah diajarkan Islam dalam melakukan kegiatan muamalah, agar tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Islam.

DAFTAR PUSTAKA

A.Partanto, Pius Dan M. Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:

Arkola, 1994).

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar. et al, Ensiklopedia Fiqih Muamalah,

Penerjemah Miftahul Khair, Cet.1 (Yogyakarta: Makatabah alHanif, 2009).

Abi Bakar Al-Baihaqi. Sunan Al-Kubra, Juz 5, (t.tp.: Dar Al_Kutub Al-Ilmiah,

t.t. ).

Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslimin, Penerjemah Husein Ibrahim,

(Beirut: Dar al-Fir, 2003)

Ahidin, Mohammad. “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Arisan Piow Pasar Baru

Magetan Kabupaten Magetan “ ( Skripsi – IAIN Sunan Ampel, Surabay, 2008).

Al-Fauzan, Saleh. al-Mulakhasul Fiqhi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press,

2005).

Anas. “ Tinjauan Hukum islam Terhadap Jual Beli Arisan di kelurahan Tanah

KaliKedinding Kecamatan Kenjeran Kota Madya Surabaya “ (Skripsi—

IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001).

As-Shawi, Shalah dan Abdullah Al-Mushlih. Fiqih Ekonomi keuangan islam, (Jakarta: Darul Haq, 2008).

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayye al- Kattani (Jakarta: Gema Insani & Darul Fikr, 2011).

Chomariyah, Nur. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Arisan Jajan dengan Sistem

Bagi Hasil di Kelurahan Sukomanunggal Kecamatan Sukomanunggal”

(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2009).

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV penerbit

Diponegoro, 2009).

Efendi, Satria. Riba dalam Pandangan Fiqh, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988).

Fikri, Ali. al-Mu’amalat al-Maddiyah wa al-Adabiyah, Penerjemah Mustafa al-

Helmi, Karim. Fiqih Mu’amalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993). Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 20 ayat 36

M, Syafiq. Sistem Ekonomi Islam dan Kapitalisme, (Yogyakarta: Cakrawala,

2007).

Majjah, Ibnu. Sunan Ibnu Majjah, Vol. III, terj H. Abdullah Son Haji, (Semarang: As-Syifa’, 1993).

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012). Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nayl Al-Authar, juz 5, (Beirut: Dar al-Fikr,

tt)

Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Juz 2, No 2066, (Beriut: Dar Al-Fikr, t.t. ). Mulyono, Wawancara, Gresik, 25 Mei 2016.

Nawawi, Islam. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2012).

Pardi, Wawancara, Gresik, 11 Maret 2016.

Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:Riene Cipta, 1996). Rahman, Abdul. et al, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Kencana, 2010). Rohman, Wawancara, Gresik, 25 Mei 2016.

Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah 13, Penerjemah Kamaludin A. Marzuki, (Bandung:

PT Alma’arif, 1987).

---. Fiqh As-Sunnah, cet ke III, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981). Salam, Wawancara, Gresik, 26 Mei 2016.

Saman, Wawancara, Gresik, 28 Mei 2016.

Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:

Sumarsono, Sony. Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004).

Supardi, Wawancara, Gresik, 27 Mei 2016.

Syafi’i, Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema Insani, 2001).

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2003). Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya,

Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015).

Tirmidzi, Imam. Sunan Al-Tirmidzi, Jilid 3, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,

1994).

Wardi, Ahmad. Fiqh Muamalat, Cet ke-5 (Jakarta: AMZAH, 2015).

Yusuf, M. Halal dan Haram dalam Islam, (PT. Bina Ilmu, Semarang, 1993).

Zainuddin, Syaikh bin Abdul Azis Al-Malibary. Fathul Mu’in, Jilid II,

Dokumen terkait