• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Masukan ( input)

5.1.1 Komitmen politis

Secara umum komitmen pemerintah dibangun atas kesadaran tentang besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang dampak yang diakibatkan dari TB paru. Komitmen politik pemerintah ditandai dengan kesediaan dan kesinambungan pendanaan untuk program TB paru dan kerjasama lintas sektor untuk menanggulangi masalah TB paru. Kebutuhan dana hanya bisa terpenuhi kalau ada komitmen politis dari pemerintah.

Pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Indonesia di tingkat pusat meliputi upaya penanggulangan TB Paru dilakukan melalui gerakan terpadu nasional penanggulangan tuberkulosis (Gerdunas TB) yang merupakan forum lintas sektoral dibawah koordinasi Menkokesra dan Menteri kesehatan RI sebagai penanggung jawab teknis upaya penanggulangan TB Paru. Pelaksanaan program TB Paru secara nasional dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Sub Direktorat Tuberkulosis. Sedangkan di tingkat propinsi dalam pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan Propinsi dengan membentuk gerdunas TB yang terdiri dari tim pengarah dan tim teknis. Untuk tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas TB yang terdiri dari tim pengarah dan tim teknis yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada unit pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Praktek Dokter Swasta (Kemenkes RI, 2014).

Tim TB di tingkat provinsi memiliki peran untuk memantau dan memberikan dukungan teknis bagi dinas kesehatan di kabupaten/kota. Oleh karena itu di tingkat provinsi dibentuk tim DOTS diperkuat dengan penambahan tenaga yang terdiri dari Provincial Project officer (PPO), Provincial Training Coordination (PTC) dan Provincial Technical Officer (PTO) (Kemenkes RI, 2014).

Di tingkat kabupaten/kota Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota bertanggung jawab melaksanakan program pengendalian TB, termasuk perencanaan, penganggaran dan monitoring P2TB. Di bawah Seksi Pengendalian Penyakit Menular di tingkat kabupaten/kota, seorang wakil supervisor (wasor) TB bertanggung jawab atas monitoring, supervisi, pencatatan pengobatan dan ketersediaan obat. Pelaksanaan program penanggulangan TB paru di tingkat kabupaten/kota di supervisi oleh wasor dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Wasor bertugas mengunjungi semua sarana pelayanan kesehatan untuk mendapatkan data mengenai kasus baru. Wasor juga bertugas menyiapkan laporan berkala dan memastikan persediaan obat cukup (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa supervisi yang dilakukan wasor TB tidak dilaksanakan secara rutin. Berdasarkan keterangan dari petugas TB diketahui bahwa untuk tahun 2016 belum ada dilakukan supervisi/monitoring pelaksanaan program penanggulangan TB paru di puskesmas. Sedangkan menurut kepala puskesmas supervisi yang dilakukan sifatnya insidentil, tidak dilakukan secara periodik.

Pengendalian TB paru seharusnya dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB). GERDUNAS-TB merupakan wadah yang memperluas pelaksanaan penanggulangan TB paru dengan keikutsertaan berbagai sektor yang terkait dalam menanggulangi masalah TB paru.

Dalam penanggulangan TB paru, kerjasama dengan berbagai sektor akan memaksimalkan pelaksanaan program penanggulangan TB paru. Kerjasama lintas sektor bisa dilakukan dengan sektor agama yaitu dapat dilakukan melalui kegiatan pengajian, sektor pendidikan melalui murid-muridnya, sektor pemerintahan desa (kepala desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, anggota PKK, dll).

Selain itu perlu untuk melatih kader kesehatan mengenai TB paru agar penjaringan kasus TB paru lebih maksimal. Kader TB paru adalah masyarakat yang sudah dilatih dan bekerja secara sukarela dalam membantu program penanggulangan TB paru. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa belum ada kerjasama lintas sektor yang dilakukan dalam penanggulangan TB paru di Kabupaten Padang Lawas Utara. Mengingat peran masyarakat sebagai kader TB

sangatlah penting dalam hal pendampingan di masyarakat untuk menemukan kasus TB, menurunkan angka putus berobat dan meningkatkan kesembuhan serta penemuan kasus TB di wilayahnya, maka sangat perlu dilakukan kerjasama lintas sektor.

Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa alokasi dari APBD Kabupaten Padang Lawas Utara untuk program penanggulangan TB paru masih sangat minim. Hal ini dikarenakan kebergantungan kepada bantuan dari luar yaitu Global Fund ATM. Pada tahun 2016, dana hibah dari Global Fund sudah distop. Global Fund hanya menyumbangkan obat untuk TB paru. Oleh Karen aitu, saat ini sedang dilakukan advokasi kepada pemerintah daerah terkait anggaran dari APBD untuk pelaksanaan program penanggulangan TB paru di Kabupaten Padang Lawas Utara. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala puskesmas diketahui bahwa dana untuk pelaksanaan program TB paru di Puskesmas Batang Pane II berasal dari APBN yaitu dalam bentuk DAK non fisik atau dana BOK. Dari pernyataan tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa komitmen politis dari pemerintah pusat lebih tinggi dibandingkan dengan komitmen politis dari pemerintah daerah tingkat II.

Selain ketersediaan dana dan kerjasama lintas sektor, komitmen politis pemerintah dilihat juga dari sisi pelatihan petugas TB paru dan ketersediaan OAT. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa petugas TB paru belum mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan Provinsi, namun telah mendapat pelatihan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara dalam hal pencatatan dan pelaporan dan pemberian obat. Petugas belum mendapat pelatihan TB paru di tingkat provinsi dikarenakan baru menjabat sebagai pemegang program TB paru akibat pergantian staf. Petugas TB paru yang sebelumnya dipindahkan ke bagian pelayanan kesehatan lainnya. Menurut keterangan informan dari staf dinas kesehatan dan kepala puskesmas diketahui bahwa pelatihan ulang (refreshing) selalu dilaksanakan setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa ketersediaan OAT di Puskesmas Batang Pane II sudah cukup baik. OAT selalu tersedia di puskesmas. Puskesmas membuat lembar permintaan OAT ke Dinas Kesehatan Kabupaten jika persediaan OAT di puskesmas sudah tinggal sedikit. OAT merupakan sumbangan/hibah dari Global Fund.

Komitmen politis dilihat dari ketersediaan dana, pelatihan petugas TB paru, ketersediaan OAT dan kerjasama lintas sektor. Dari sisi ketersediaan dana, komitmen politis belum memadai dari pemerintah daerah. Dari sisi pelatihan petugas dan ketersediaan OAT, komitmen politis untuk program TB paru sudah baik. Sedangkan dari sisi ketersediaan dana dan kerjasama lintas sektor, komitmen politis untuk TB paru masih kurang.

Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah (Kemenkes RI, 2014).

Adanya komitmen politis akan memantapkan program pengendalian TB paru. Adanya anggaran yang berkesinambungan maka kepercayaan mitra akan meningkat. Dengan demikian komponen yang lain (sarana dan prasarana dan tenaga kesehatan) akan terdukung sehingga dapat dilaksanakan lebih baik. Oleh sebab itu advokasi kepada para pemegang kebijakan dan pemangku kepentingan amat penting.

5.1.2 Tenaga Kesehatan

Kecukupan anggaran masih harus didukung oleh sumber daya manusia di bidang kesehatan khususnya pengelola program TB. Menurut Kemenkes RI (2014), standar kebutuhan minimal tenaga pelaksana program TB paru di puskesmas satelit yaitu tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB. Sedangkan kebutuhan minimal untuk puskesmas rujukan mikroskopis yaitu tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB dan 1 tenaga laboratorium.

Tenaga kesehatan yang terlibat dalam program penanggulangan TB paru di Puskesmas Batang Pane II telah sesuai dengan kebutuhan minimal tenaga pelaksana program TB paru berdasarkan pedoman penanggulangan TB paru yaitu

1 petugas TB dan 1 dokter. Tenaga kesehatan dalam program penanggulangan TB paru di Puskesmas Hutaimbaru (PRM) juga telah sesuai dengan pedoman penanggulangan TB paru tahun 2014 yaitu terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB dan 1 tenaga laboratorium.

Dokter mempunyai tugas untuk menetapkan diagnosis penderita TB paru. Sedangkan petugas TB paru mempunyai tugas untuk melakukan pelacakan kasus ke desa, penemuan kasus, pengumpulan dahak, melakukan fiksasi slide, mengantarkan slide ke PRM, dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Selain petugas TB, Bidan desa juga melakukan pengambilan/pengumpulan dahak suspek TB paru. Petugas laboratorium mempunyai tugas mengumpulkan dahak/membuat sediaan apus dahak, pewarnaan, membaca sediaan dahak, mengirim hasil bacaan kepada petugas TB dan menyimpan sediaan untuk di

crosscheck. Sebagian besar tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan tenaga kesehatan yang terlibat dalam program penanggulangan TB paru telah dilaksanakan. Akan tetapi masih ada tugas yang belum dilaksanakan dengan maksimal yaitu memberikan penyuluhan kepada masyarakat umum. Penyuluhan yang dilakukan hanya kepada suspek dan penderita TB paru. Penyuluhan untuk masyarakat umum belum pernah dilakukan, sehingga penemuan kasus TB paru belum optimal.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa petugas TB paru belum mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan Provinsi, namun telah mendapat pelatihan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara dalam hal pencatatan dan pelaporan dan pemberian obat. Petugas belum mendapat

pelatihan TB paru di tingkat provinsi dikarenakan baru menjabat sebagai pemegang program TB paru akibat pergantian staf. Petugas TB paru yang sebelumnya dipindahkan ke bagian pelayanan kesehatan lainnya. Dengan rendahnya pelatihan yang didapat oleh petugas, perubahan di bidang pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam program TB Paru juga akan rendah. Hal ini juga berpengaruh pada upaya pelaksanaan program penanggulangan TB paru terutama dalam hal penemuan kasus dan pembuatan sediaan apus dahak dan fiksasi (Puskesmas Satelit). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Junaidi (2005) yang menyatakan bahwa rendahnya pelatihan yang didapat oleh petugas, perubahan dibidang pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam program P2TB juga akan rendah. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan petugas mempengaruhi hasil pewarnaan, pembacaan laboratorium, dan pencatatan pada formulir pemeriksaan laboratorium.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tenaga kesehatan yang terlibat dalam program penanggulangan TB paru di Puskesmas Batang Pane II telah sesuai dengan kebutuhan minimal tenaga pelaksana program TB paru. Petugas TB paru sudah mendapat pelatihan di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara.

Dokumen terkait