• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4. Output Pelayanan Gigi dan Mulut Sesuai Standar Pelayanan

5.1.2. Kompetensi Dokter Gigi dan Perawat Gigi di Poli Gig

Permenkes No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, disebutkan dan dijelaskan bahwa :

1. Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan.

2. Tenaga kesehatan di puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja.

3. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tugas dokter gigi di puskesmas yaitu melaksanakan pelayanan medik gigi umum dan khusus merujuk, menerima rujukan kasus-kasus medik gigi dasar dan kasus-kasus spesialistik, dan melaksanakan pelayanan baik asuhan sistematik maupun asuhan masyarakat (bila tidak ada perawat gigi). Tugas perawat gigi di puskesmas yaitu pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut meliputi pelayanan asuhan sistematik (pada kelompok anak sekolah/UKGS, ibu hamil/menyusui, dan anak pra sekolah dan pelayanan asuhan kesehatan masyarakat), dan melakukan pelayanan medis gigi dasar berdasarkan pendelegasian dari dokter gigi. Petugas

pelaksana pengobatan gigi di setiap puskesmas minimal terdiri atas satu dokter gigi dan satu perawat gigi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk beberapa tindakan pelayanan kepada pasien diberikan kepada perawat gigi untuk mengerjakannya dengan pengawasan atau diawasi oleh dokter gigi. Namun sebaliknya menurut pengamatan peneliti, saat melakukan tindakan pencabutan gigi dewasa (bukan sisa akar gigi/radix), dilakukan oleh perawat gigi, itu tanpa pengawasan dari dokter gigi. Berdasarkan observasi juga terlihat kondisi dokter gigi dan perawat gigi sama-sama melakukan tindakan pelayanan ke pasien yang berbeda yaitu dokter gigi melakukan penambalan di dental unit dan perawat gigi di kursi kerja melakukan pencabutan gigi dewasa (molar tiga) tanpa pengawasan dokter gigi. Untuk scaling, dokter gigi tidak mengijinkan perawat membantunya, jadi kurangnya kerjasama. Selain itu dalam menjalankan tindakan ataupun memberikan pelayanan kepada masyarakat, di poli gigi Puskesmas Muliorejo tidak didukung dengan adanya standar prosedur (SOP), dan ini berbeda dengan poli gigi Puskesmas Tanjung Morawa.

Menurut Kepmenkes No.HK.02.02/MENKES/62/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Gigi, ini merupakan suatu pedoman untuk menetapkan batasan kewenangan dan kompetensi seorang dokter gigi dalam melaksanakan upaya pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas. Ini menjadi acuan pelaksanaan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat melindungi masyarakat sebagai penerima layanan. Acuan ini juga memberi tugas kepada seorang dokter gigi salah satunya, antara lain ; mengkoordinasi, menggerakkan perawat gigi dalam

melaksanakan pelayanan asuhan; melaksanakan pelayanan kesehatan gigi sesuai standar prosedur operasional, tata kerja dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan Puskesmas; mengkoordinir, memonitor keseluruhan program kesehatan gigi di puskesmas; untuk membimbing dan mengawasi perawat gigi dalam bidang medis tehnis di puskesmas.

Kepmenkes RI No. 378/Menkes/SK/III/2007 tentang standar profesi perawat gigi, menyatakan bahwa perawat gigi mempunyai standar sebagai batasan aktivitas dalam melakukan tindakan yang berkaitan dengan keperawatan gigi. Perawat gigi adalah seorang asisten dokter gigi (chair side assistant), yang mempunyai kemampuan seperti :

a. Kemampuan membantu operator dalam perawatan rutin pada poli gigi

b. Kemampuan membantu dokter gigi dalam pengobatan pasien, dalam hal ini membantu dokter gigi dalam bekerja menangani pasien pada dental chair

c. Kemampuan menyiapkan dan menerapkan penggunaan bahan – bahan pada pengobatan pasien

d. Kemampuan menyiapkan dan melakukan topical treatment/solution yang ditetapkan oleh dokter gigi

e. Berdasarkan pendelegasian dari dokter gigi, bila diperlukan bisa melakukan pelayanan medis dasar (dengan pengawasan dari dokter gigi)

Menurut Andayasari (2012) yang mengutip pendapat Manji I, bahwa dalam melaksanakan tindakan kepada pasien, ada suatu konsep yang telah dikembangkan, yaitu Konsep Four-Handed Dentistry. Ini suatu konsep kerja tim yang merupakan

teknologi baru yang diintegrasikan dalam suatu praktik dokter gigi modern yang terdiri dari dokter gigi dan asisten yang masing-masing memiliki keterampilan. Konsep ini bukan sekedar pemindahan alat dari asisten ke dokter gigi atau agar pekerjaan menjadi lebih cepat dan mudah. Juga butuh keterampilan dalam melaksanakan suatu kerja tim yang andal.

Beberapa prinsip yang dianjurkan untuk menerapkan konsep four- handed dentistry agar dapat memberi manfaat yang lebih baik yaitu :

a. Dokter gigi diharapkan melatih asisten sehingga tidak perlu melakukan pergerakan yang tidak efisien.

b. Asisten yang membantu dokter gigi harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam menangani peralatan. Terlatih untuk mengikuti setiap prosedur perawatan yang dilakukan dokter gigi.

c. Asisten harus lebih sering menangani peralatan misalnya saliva ejector, suction pump, handpiece dan bor, sehingga dokter gigi tidak perlu melakukannya sendiri. Idealnya penanganan peralatan yang dilakukan asisten adalah 80 – 90% dari waktu kerja, sehingga dokter gigi hanya berkonsentrasi pada perawatan pasien.

Permenkes RI No. 58 Tahun 2012, tentang penyelenggaraan pekerjaan perawat gigi, memuat beberapa kewenangan perawat gigi, antara lain yaitu :

1. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat gigi memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan asuhan keperawatan gigi dan mulut meliputi:

a. Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut, (upaya ini meliputi : penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat; pelatihan kader; dan penggunaan alat peraga gigi) ;

b. Upaya pencegahan penyakit gigi, (upaya ini meliputi : pemeriksaan plak; teknik sikat gigi yang baik; pembersihan karang gigi; pencegahan karies gigi dengan fluor dengan teknik kumur-kumur dan pengolesan fluor pada gigi; dan pengisian pit dan fissure gigi dengan bahan fissure sealant) ;

c. Tindakan medik dasar pada kasus penyakit gigi terbatas, (tindakan ini meliputi: tindakan kegawatdaruratan pada kasus gigi dan mulut sesuai dengan standar pelayanan; dan perawatan pasca tindakan (hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan dari dokter gigi) ;

d. Pelayanan higiene kesehatan gigi, (pelayanan ini meliputi : higiene petugas kesehatan gigi dan mulut; sterilisasi alat-alat kesehatan gigi; pemeliharaan alat-alat kesehatan gigi; lingkungan kerja; dan pencegahan infeksi silang); e. Melaksanakan pelayanan keperawatan gigi sesuai standar prosedur

operasional, tata kerja dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan Puskesmas.

Selain kewenangan tersebut, perawat gigi dapat melaksanakan tindakan medik terbatas dalam bidang kedokteran gigi berdasarkan pelimpahan tindakan secara tertulis dari dokter gigi atau penugasan Pemerintah sesuai kebutuhan, meliputi : a. Pencabutan gigi sulung dan gigi tetap satu akar dengan topikal atau infiltrasi

b. Penambalan gigi satu atau dua bidang dengan glass ionomer, bahan amalgam atau bahan lainnya.

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa tindakan pelayanan gigi seperti pencabutan gigi dewasa (molar tiga), yang dilakukan oleh perawat gigi di poli gigi puskesmas tidak sesuai dengan kompetensi pekerjaannya, dan contoh lain seperti tindakan pelayanan pembersihan karang gigi, perawat gigi bisa melakukannya tapi tidak diberikan oleh dokter gigi dan dokter gigi juga tidak melakukan pengawasan terhadap tindakan yang dilakukan perawat gigi. Pekerjaan pemberian pelayanan kepada pasien tidak sejalan dengan konsep four-handed dentistry, untuk saling kerjasama antara operator dengan asisten gigi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Rundungan (2015), di poliklinik gigi RSUD Datoe Binangkang menyatakan bahwa kemampuan petugas kesehatan gigi dalam merawat pasien harus disesuaikan dengan kompetensi dan dalam memberikan pelayanan perawatan gigi dapat dilakukan perawat gigi namun tidak semua boleh dilakukan harus ada koordinasi dengan dokter gigi karena adanya kompetensi tugas masing-masing.

Menurut Depkes RI (2009), tentang standar pedoman pelayanan kesehatan gigi dan mulut, menyatakan bahwa standar digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan batasan kewenangan dan kompetensi dalam melaksanakan upaya pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas yang disebut dengan Standard Operational Prosedure (SOP).

SOP sebenarnya dibuat secara lengkap untuk mempermudah tenaga kesehatan melakukan pekerjaannya, namun petugas hanya sebatas tahu apa yang menjadi tugas sehari-hari mereka. Hal ini dapat menyebabkan prosedur yang ada selalu berubah - ubah karena bersifat situasional. Peraturan dan tata tertib juga sudah diberlakukan dan diketahui oleh para petugas, kadangkala itu telah dimengerti oleh para petugas kesehatan gigi tetapi kemungkinan pihak manajemen belum memperhatikan secara lebih seksama mengenai penerapannya.

Kemampuan petugas kesehatan gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut akan baik bila selalu dilaksanakan sesuai dengan kompetensi petugas. Begitu pula dengan standar operasional kesehatan gigi dan mulut selalu diterapkan namun hanya sebatas tahu apa yang menjadi tugas sehari – hari mereka namun karena tidak adanya kebijakan dari pemerintah dan atasan sehingga penerapan SOP belum terlalu diperhatikan secara lebih seksama mengenai penerapannya di poliklinik gigi.

SOP digunakan oleh suatu organisasi untuk memberi jejak arsip keseragaman tindakan operasionalnya. Dalam praktiknya tidak semua SOP yang dibuat dapat diterapkan dalam kegiatan operasional, bahkan parahnya SOP hanya sekadar dokumen yang diletakkan di rak atau lemari karena ia tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya (Pasca, 2014). Pernyataan ini sesuai dengan kenyataan pada poli gigi puskesmas tempat penelitian, bahwa SOP atau prosedur tetap pelaksanaan pelayanan kesehatan gigi untuk Puskesmas Tanjung Morawa sudah ada, namun

tersimpan di dalam rak lemari dan untuk Puskesmas Muliorejo sendiri belum memiliki SOP di dalam poli gigi.

SOP perlu dibuat karena ini merupakan panduan dalam menjalankan pelayanan poli gigi untuk menegaskan tentang kegiatan yang harus dikerjakan di dalam poli gigi puskesmas, tidak memiliki SOP akan menyebabkan alur dari kegiatan pelayanan tidak terurut dengan baik terhadap pasien yang datang.

Berdasarkan hasil wawancara dan daftar tilik observasi pelayanan kesehatan gigi dan mulut, ditemukan bahwa dalam hal surat ijin praktek dan ijin kerja bagi dokter gigi dan perawat gigi, sudah memiliki surat ijin, ini dikarenakan untuk persyaratan pembagian jasa pelayanan harus melampirkan surat ijin praktek dan surat ijin kerja tersebut walaupun dari observasi dokumen, bahwa surat ijin tersebut sudah habis masa berlakunya dan perlu untuk proses pengurusan kembali.

Hal ini sudah sesuai dengan apa yang dimuat pada Permenkes RI No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, bahwa Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu untuk menghasilkan kualitas SDM yang berkualitas, diperlukan adanya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, secara berkesinambungan melalui rangkaian aktivitas yang terintegrasi. Tujuannya untuk pembenahan tindakan pekerjaan yang sekarang maupun yang akan datang dengan baik dalam rangka menyegarkan kembali dan untuk meningkatkan kemampuannya, memberikan informasi, mempengaruhi sikap atau menambah kecakapan yang berkaitan dengan

pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poli gigi sesuai dengan perkembangan persaingan.

Pelatihan adalah suatu proses jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistimatis dan terorganisir, yang mana karyawan mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan- tujuan tertentu. Dimana pelatihan bersifat spesifik, praktis dan segera. Spesifik berarti pelatihan berhubungan dengan bidang pekerjaan yang dilakukan. Praktis dan segera berarti yang sudah dilatihkan dapat dipraktikan.

Pelatihan untuk kesehatan gigi dan mulut memang jarang sekali diadakan karena masih dianggap bukan upaya kesehatan wajib tapi merupakan upaya dari program pengembangan. Dengan tidak adanya kebijakan ini, menunjukkan bahwa tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk kegiatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut karena dianggap bukan merupakan kegiatan prioritas. Prioritas lebih ditujukan kepada masalah kesehatan yang menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi.

Penelitian menunjukkan bahwa untuk profesi kesehatan yang ada di poli gigi puskesmas tidak pernah dilakukan pendidikan dan pelatihan terkait kesehatan gigi dan mulut, hal ini dikarenakan puskesmas lebih mengutamakan upaya kesehatan wajib puskesmas. Sementara kemampuan kerja dari petugas perlu untuk selalu ditingkatkan melalui pelatihan, kendala yang ada dalam perencanaan pelatihan yaitu perlunya dana dan perencanaan yang baik untuk mengusulkan pelatihan teknis kesehatan gigi bagi petugas kesehatan gigi.

Menurut Subekhi dan Jauhar (2012), menyatakan pelatihan adalah program - program untuk mempertahankan kemampuan melaksanakan pekerjaan secara individual, kelompok dan atau berdasarkan jenjang jabatan dalam organisasi. Sejalan dengan pendapat Siagian (2008), bahwa pengembangan pegawai penting sebagai bagian integral dari usaha untuk memberikan motivasi dengan cara melakukan program pendidikan dan pelatihan.

Sejalan dengan hal tersebut konsep pelatihan menurut Soeprihanto dalam Rundungan (2015), menyatakan bahwa pelatihan mempunyai manfaat :

a. Meningkatkan produktivitas, baik kualitas maupun kuantitas,

b. Meningkatkan moral kerja yang mendukung terciptanya suatu kerja yang harmonis dan dengan hasil yang meningkat,

c. Karyawan akan semakin percaya akan kemampuannya sehingga para pengawas tidak terlalu dibebani untuk selalu mengadakan pengawasan setiap saat,

d. Menurunkan angka kecelakaan kerja,

e. Meningkatkan stabilitas dan fleksibilitas karyawan, f. Membantu mengembangkan pribadi karyawan.

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa perlu pembenahan baik peningkatan kompetensi kepada dokter gigi dan perawat gigi dengan adanya pelaksanaan pendidikan atau pelatihan yang bertujuan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan kerja dalam waktu yang relatif singkat (pendek), pelatihan berupaya menyiapkan para petugas untuk melakukan pekerjaan yang

dihadapi. Juga untuk pembenahan tindakan pekerjaan yang sekarang maupun yang akan datang dengan baik dalam rangka menyegarkan kembali dan untuk meningkatkan kemampuannya, memperoleh informasi terkini tentang pelayanan kesehatan gigi, mempengaruhi sikap atau menambah kecakapan di bidang kesehatan gigi sesuai dengan perkembangan pengetahuan saat ini.

5.1.3. Pola Komunikasi di Poli Gigi

Keberhasilan komunikasi pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati.

Menurut Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication in Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut :

(1) Kemampuan kognitif tenaga kesehatan dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician cognitive capacity to understand patient’s needs),

(2) Menunjukkan afektifitas/sensitifitas tenaga kesehatan terhadap perasaan pasien (an affective sensitivity to patient’s feelings),

(3) Kemampuan perilaku tenaga kesehatan dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient), (Konsil Kedokteran, 2006).

Berdasarkan penelitian di puskesmas, untuk pola komunikasi antara petugas dengan pasien belum sepenuhnya terbina dengan baik, ini cenderung tidak bisa

dilaksanakan kepada pasien yang lansia dan anak-anak, apalagi pasien yang berkunjung pada siang hari. Kemampuan perilaku tenaga kesehatan dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien masih kurang dan perlu lebih diterapkan lagi karena hal ini dapat membantu untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter atau perawat, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya, karena keberhasilan komunikasi pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak sehingga akan mudah untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi dan mulut yang dihadapi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Binyamin (2012), yang menyatakan bahwa komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan – pasien mempunyai hubungan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poli gigi Puskesmas Kabupaten Asahan.

Dari pembahasan di atas dapat diambil perbandingan bahwa untuk analisis pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut pasien JKN dilihat dari pola komunikasi petugas di poli gigi, pada puskesmas Muliorejo masih belum sepenuhnya diberikan secara baik oleh petugas kepada pasien dibanding dengan puskesmas Tanjung Morawa, yang sudah mulai menerapkan pola komunikasinya melalui rasa emphatinya kepada pasien yang datang.

5.2. Proses (Process)

Salah satu jenis pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di puskesmas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adalah pelayanan yang dilakukan di poli gigi. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan bagi masyarakat, keluarga atau pun per orangan; bagi yang sakit atau pun yang sehat. Menurut pedoman kerja puskesmas, pelayanan gigi dasar yang diberikan di puskesmas meliputi kegiatan penumpatan gigi tetap dan gigi sulung, pengobatan pulpa seperti tumpatan sementara, pencabutan gigi tetap dan gigi sulung, pengobatan, pembersihan karang gigi, dan tindakan bedah ringan seperti insisi abses dan operkulektomi.

Kepatuhan memenuhi standar pelayanan gigi dan mulut adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya keinginan untuk mencapai suatu hasil yang baik yang sesuai dengan aturan dan berdisiplin di dalam pelayanan poli gigi puskesmas. Dimana pelayanan kesehatan gigi di puskesmas ditujukan kepada masyarakat atau penderita yang berkunjung ke puskesmas.

Penelitian menunjukkan bahwa setelah melakukan tindakan pelayanan kepada pasien, seperti untuk pelayanan pembersihan karang gigi, pasien dikenakan biaya.

Permenkes no. 71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional menyatakan bahwa peserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.

Menurut Peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2014, Cakupan Pelayanan yang akan diterima oleh peserta yang datang ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di poli gigi meliputi : Administrasi pelayanan, terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan biaya administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau pelayanan kesehatan lain ; Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis ; Premedikasi ; Kegawatdaruratan oro-dental ; Pencabutan gigi sulung (topikal, infiltrasi) ; Pencabutan gigi permanen tanpa penyulit ; Obat pasca ekstraksi ; Tumpatan komposit/GIC ; Skeling gigi (1x dalam setahun).

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poli gigi puskesmas secara umum bertujuan untuk mencapai keadaan gigi dan mulut masyarakat yang optimun, diharapkan mampu memberikan kenyaman dan mengurangi akibat –akibat yang ditimbulkan karena masalah kesehatan gigi. Adanya biaya yang diminta kepada pasien dalam hal ini setelah menerima pelayanan pembersihan karang gigi, memberikan kerugian bagi masyarakat yang baru pertama sekali datang dan menerima tindakan tersebut, karena ini tidak sesuai dengan manfaat yang seharusnya mereka terima sebagai peserta JKN.

5.3. Keluaran (Output)

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 93 dan 94, dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan

gigi yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan dan dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah serta pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat.

Penelitian menunjukkan bahwa jumlah rata- rata tindakan pelayanan di poli gigi puskesmas Muliorejo adalah lebih banyak tindakan pencabutan sedangkan untuk poli gigi puskesmas Tanjung Morawa adalah tindakan pengobatan, yang kemudian diikuti dengan tindakan penambalan dan scaling.

Tujuan umum upaya kesehatan gigi dan mulut di puskesmas yaitu tercapainya derajat kesehatan gigi yang layak. Tujuan khusus upaya kesehatan gigi dan mulut di puskesmas, yaitu ;

1. Meningkatkan keadaan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam kemampuan pelihara diri (self care) di bidang kesehatan gigi dan mulut serta mencari pengobatan sedini mungkin.

2. Menurunnya prevalensi penyakit gigi dan mulut yang banyak diderita masyarakat (karies dan periodontitis) dengan upaya perlindungan atau pencegahan tanpa mengabaikan upaya penyembuhan dan pemulihan terutama pada kelompok masyarakat yang rawan.

3. Terhindarinya atau berkurangnya gangguan fungsi pengunyahan akibat kerusakan gigi dan mulut, (Andayasari, 2014).

Pelayanan gigi dan mulut yang sesuai dengan standar dinyatakan sebagai pelayanan yang bagus, dimana semua pelayanan yang seharusnya dilaksanakan di poli gigi puskesmas sudah diberikan kepada masyarakat sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan, kegiatan pelayanan tersebut meliputi : Pelayanan kedaruratan gigi dan mulut yang ditujukan kepada keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya; Pelayanan Promotif dan Preventif (Pencegahan) seperti mengenai hygiene mulut, pembersihan karang gigi dan aplikasi fissure sealant; dan Pelayanan medik gigi dan mulut dasar (Kuratif) seperti pencabutan tanpa komplikasi, restorasi tumpatan/ penumpatan gigi, bedah mulut minor, perawatan penyakit mulut, terapi periodontal, pelayanan rujukan (Depkes RI, 2009).

Untuk kegiatan pelayanan di poli gigi lebih banyak kegiatan pelayanan berupa pengobatan dan pencabutan yang diberikan kepada pasien. Pelayanan belum bisa berjalan dengan lancar karena masih ada kondisi dari peralatan yang rusak dan ada yang belum terpenuhi seperti alat untuk penambalan (spatula plastik, penumpat semen), ini menimbulkan kegiatan pelayanan penambalan tidak dapat dilakukan di poli gigi, kemudian alat skeler ultrasonik dan set kursi gigi elektrik yang tidak ada di Puskesmas Tanjung Morawa, menyebabkan kegiatan pelayanan pembersihan karang gigi jarang dilaksanakan kepada pasien. Keadaan ini menunjukkan perlunya peningkatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poli gigi puskesmas, karena pelayanan yang diberikan bukan hanya untuk pencabutan saja, melainkan perlunya pemberian penejelasan yang baik kepada pasien agar mampu memelihara kesehatan gigi dan mulutnya.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait