• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

B. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik

1. Kompetensi Guru Secara Umum

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Konsep ini berarti dalam melaksanakan proses pembelajaran, diharapkan guru nantinya tidak hanya menghasilkan lulusan siswa yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya, tetapi juga lulusan yang memiliki serangkaian keterampilan serta berbagai sikap dan nilai penting, yang tidak hanya berguna untuk melanjutkan pendidikan tetapi juga (terutama) untuk hidup dan bekerja di masyarakat.

Lefrancois (dalam Asmani, 2009:37) mengatakan bahwa kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar. Selama proses belajar, stimulus akan bergabung dengan isi memori dan menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kompetensi adalah sesuatu yang berlangsung lama yang menyebabkan individu mampu melakukan kinerja tertentu.

Sementara itu, Majid (2008:5) mengatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru

akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Selanjutnya Majid mengungkapkan bahwa standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan berperilaku layaknya seorang guru untuk menduduki jabatan fungsional sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan.

Kompetensi menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan. Performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya diamati, tetapi juga meliputi perihal yang tidak tampak (Hamzah B. Uno, 2008: 61).

“Competence consists of one's possessing knowledge or expertise of a particular subject. If a teacher is to be perceived as competent, he or she is perceived to know what he or she is talking about” (Teven & Hanson, 2004: 39). Menurut Teven & Hanson, kompetensi terdiri dari kepemilikan pengetahuan atau keahlian dari pelajaran tertentu. Jika guru dianggap berkompeten, dia dianggap mengetahui apa yang dia bicarakan.

Agar guru mampu mengemban dan melaksanakan tanggung jawabnya mengajar dan mendidik, maka setiap guru harus memiliki berbagai kompetensi yang relevan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut. Guru harus menguasai cara belajar yang efektif, harus mampu membuat model satuan pelajaran, mampu memahami kurikulum secara baik, mampu mengajar di kelas, mampu menjadi

teladan bagi siswa, mampu memberi nasehat dan petunjuk yang berguna, menguasai teknik-teknik memberikan bimbingan dan penyuluhan, mampu menyusun dan melaksanakan prosedur penilaian kemajuan belajar, dan sebagainya (Oemar Hamalik, 2008: 40).

a. Kompetensi Pedagogik Guru

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pegagogik guru adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Mengelola pembelajaran mengandung arti bahwa guru yang memiliki kompetensi pedadogik dapat melaksanakan kegiatan belajar secara interaktif, efektif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Daryanto, 2009: 208).

Janawi (2011: 65-96) mengemukakan bahwa kompetensi pedagogik berhubungan dengan menguasai karakteristik peserta didik, menguasai teori dan prinsip-prinsip pembelajaran, mengembangkan kurikulum dan rancangan pembelajaran, menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik dengan memanfaatkan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk kepentingan pembelajaran, memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik, mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, menyelenggarakan evaluasi dan penilaian proses dan hasil belajar, memanfaatkan

hasil evaluasi dan penilaian untuk kepentingan pembelajaran, dan melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Secara rinci setiap sub-kompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial, sebagai berikut:

1) Menguasai Karakteristik Peserta Didik

Menguasai karakteristik peserta didik berhubungan dengan kemampuan guru dalam memahami kondisi anak didik. Peserta didik dalam dunia pendidikan harus diposisikan subyek dalam proses pembelajaran. Diposisikan sebagai subyek berarti bahwa anak merupakan sosok individu yang membutuhkan perhatian dan sekaligus berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Setiap peserta didik memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya baik dari segi minat, bakat, motivasi, dayas erap mengikuti pelajaran, tingkat perkembangan, tingkat inteligensi, dan perkembangan sosial tersendiri (Janawi, 2011: 66-67).

Menurut Conny R. Semiawan, manusia belajar, tumbuh dan berkembang dari pengalaman yang diperolehnya. Setiap anak dilahirkan dengan perbedaan kemampuan, bakat, minat. Faktor-faktor ini ikut mempengaruhi keberhasilan belajar anak. Untuk itu, jika anak diberi kesempatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dalam belajar, anak dapat berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya masing-masing. Untuk itu guru harus memahami dan menguasai teori-teori psikologi belajar dan psikologi pendidikan. Kedua bidang keilmuan yang saling berkaitan tersebut dapat membantu guru untuk mengetahui dan memahami tentang anak dan tahap-tahap perkembangannya. Pada setiap tahap perkembangan, anak memiliki karakteristik tertentu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan inilah yang

menjadi landasan mengapa guru harus menguasai teori-teori psikologi belajar dan psikologi pendidikan. Selain itu, dalam proses belajar mengajar, guru harus menempatkan peserta didik sebagai fokus perhatiannya sekaligus menjadi individu yang ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran (Janawi, 2011: 67).

2) Menguasai Teori dan Prinsip-prinsip Pembelajaran

Janawi (2011:68) menjelaskan bahwa tujuan mengajar ialah untuk mengadakan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku anak. Dengan pengajaran, dapat membuat seorang anak menjadi orang lain, dalam hal apa yang ia lakukan dan yang dapat dicapainya. Perubahan ini biasanya disebabkan oleh orang yang berada di luar dirinya, seperti seorang guru.

Oleh karena peserta didik memiliki tahap perkembangan yang berbeda- beda, maka diharapkan guru dapat menggunakan pendekatan yang berbeda untuk setiap peserta didik. Di satu sisi guru harus memberikan perhatian kepada seluruh anak yang ada dalam proses pembelajaran di kelas, namun di sisi lain guru harus memberikan perhatian khusus kepada setiap anak sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu guru harus menguasai teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan baik (Janawi, 69).

Janawi menegaskan bahwa, beberapa asas yang perlu dikuasai oleh guru, diantaranya adalah asas perhatian, asas aktivitas, asas apersepsi, asas peragaan, asas ulangan, asas korelasi, asas konsentrasi, asas individualisasi, asas sosialisasi, dan asas evaluasi.

1) Asas Perhatian

Asas perhatian adalah asas membangkitkan perhatian peserta didik pada pelajaran yang disampaikan guru di kelas atau di luar kelas. Asas ini digunakan untuk membangkitkan minat belajar anak, karena tidak semua anak memiliki perhatian yang sama terhadap materi pelajaran yang sama. Dalam asas ini dikenal dua jenis perhatian, yakni perhatian yang dibangkitkan oleh guru disebut perhatian sengaja, dan perhatian yang timbul dari peserta didik disebut perhatian spontan.

Dasar dilakukannya perhatian terhadap peserta didik adalah dasar psikologis. Perhatian adalah suatu gejala kejiwaaan yang ada hubungannya dengan dorongan minat dan aktivitas itu sendiri. Kemudian perhatian adalah suatu keadaan, sikap untuk memusatkan kesadaran yang diarahkan pada suatu obyek tertentu yang disertai reaksi-reaksi organis yang selanjutnya dapat memungkinkan pengamatan secara tajam dan jelas terhadap obyek tersebut. Perhatian memungkinkan adanya kesan, tanggapan, pengertian, dan pendapat yang semakin tajam dan jelas (Janawi, 2011: 69-70).

2) Asas Aktivitas

Asas aktivitas adalah asas yang mengaktifkan jasmani dan rohani peserta didik. Proses belajar dianggap baik apabila interaksi belajar terjalin antara pendidik dan peserta didik dan antar sesama peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran yang dilaksanakan hendaknya tidak bersifat verbalis tetapi peserta didik harus dilatih untuk beraktifitas baik jasmani maupun rohani. Piaget dalam Tim Didaktik Metodik Malang (1987: 25) menjelaskan bahwa seorang anak

berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa berbuat anak tidak berpikir, agar ia berpikir sendiri ia harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.

Secara psikologis, segala pengetahuan harus diperoleh siswa dari pengamatan sendiri dan pengalamannya sendiri. Karena jiwa bersifat dinamis, memiliki energi sendiri dan dapat menjadi aktif yang didorong oleh kebutuhan- kebutuhan. Dalam hal ini peran guru adalah merangsang keaktifan dengan cara menyajikan bahan pelajaran, akan tetapi yang mengolah dan mencerna adalah peserta didik sendiri sesuai dengan minat, bakat dan latar belakang masing- masing. Hal ini sebabkan karena belajar adalah suatu proses di mana anak-anak harus aktif (Janawi, 2011: 70-71).

3) Asas Apersepsi

Asas apersepsi adalah asas yang digunakan guru ketika guru akan memulai proses pembelajaran. Apersepsi adalah proses pertautan gejala jiwa yang dialami sebagai proses kesadaran dengan kesan baru yang diterima. Dalam hal ini peran guru adalah menghubungkan materi yang akan diajarkan dengan pengetahuan peserta didik sebelumnnya.

Dari sudut pandang psikologis, apersepsi adalah proses pertautan gejala jiwa lama dengan gejala jiwa baru. Kesan lama dinamakan bahan apersepsi dan bahan apersepsi itu membangkitkan minat peserta didik. Aplikasinya, sebelum memberi materi pelajaran yang baru, guru harus memperhatikan materi yang menghubungkan sesuatu dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (Janawi, 2011: 71-72).

4) Asas Peragaan

Asas peragaan adalah asas memperagakan. Asas ini selalu dikaitkan dengan media atau teknologi pendidikan baik dengan memanfaatkan miniatur dengan cara mendemonstrasikan gerak tangan, tubuh dan lainnya dalam proses pembelajaran. Agar peserta didik dapat mengerti dengan baik materi yang hendak disampaikan, maka materi pelajaran haruslah diperagakan sekonkrit mungkin bagi pengamatan mereka. Peragaan dapat dengan peragaan langsung maupun peragaan tak langsung. Peragaan langsung dapat ditampilkan dengan cara memperlihatkan sesuatu yang akan diperagakan, sedangkan peragaan tak langsung dengan cara menunjukkan benda-benda tiruan, misalnya gambar, film, dan lainnya. Melalui asas peragaan, pembelajaran akan berawal dari pengalaman dan pengamatan yang membutuhkan alat-alat indera (Janawi, 2011: 72).

5) Asas Ulangan

Asas ulangan adalah asas mengadakan latihan-latihan secara periodik yang mempermudah reproduksi tanggapan yang membutuhkan asosiasi antar tanggapan-tanggapan yang muncul. Latihan-latihan ini dapat berupa ulangan harian, pekerjaan rumah, atau tugas lainnya. Asas ini perlu dipertimbangkan secara matang dan dilakukan secara teratur, agar peserta didik tidak merasa jenuh dengan tugas-tugas yang diberikan guru. Ulangan dibagi dalam dua kategori yaitu: ulangan okasional bersifat kebetulan dan ulangan sistematis(Janawi, 2011: 72- 73).

6) Asas Korelasi

Asas korelasi merupakan asas mengadakan hubungan dengan pelajaran lain. Guru dalam hal ini harus mampu menghubungkan pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lainnya. Misalnya pelajaran agama dengan pelajaran kewarganegaraan, pengetahuan sosial, dan sebagainya.

Secara psikologis, asosiasi dan apersepsi menggali kesadaran anak agar dapat membangkitkan minat belajar anak. Aplikasinya, pelajaran akan mudah diterima bila guru menghubungkan pelajaran dengan masalah-masalah pokok dalam kehidupan peserta didik sehari-hari.

7) Asas Konsentrasi

Asas konsentrasi adalah pemusatan pada pokok suatu permasalahan tertentu. Fokus tertentu mendorong munculnya perhatian pemusatan pada pokok masalah tertentu. Asas ini memiliki tiga tahap, yaitu tahap inisisasi, pengembangan, dan kulminasi. Pada tahap inisisasi, guru berusaha menstimulasi peserta didik melalui alat peraga untuk menarik perhatian peserta didik dan peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok. Tahap pengembangan, masing- masing kelompok mengumpulkan data sesuai dengan data yang ingin dikumpulkan, dan tahap kulminasi, masing-masing kelompok menyampaikan laporannya dan diberi kesempatan bagi setiap kelompok untuk menanggapinya (Janawi, 2011: 73).

8) Asas Individualisasi

Asas individualisasi merupakan asas penyesuaian pada minat dan bakat masing-masing peserta didik. Seorang guru dalam proses pembelajaran, harus

mampu memberikan perhatian khusus terhadap peserta didik, karena pesera didik memiliki minat, bakat, dan irama perkembangan sendiri. Proses pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan keadaan sifat, bakat, minat, kemampuan peserta didik masing-masing.

9) Asas Sosialisasi

Asas sosialisasi adalah asas menciptakan atau menyesuaikan pada lingkungan sekitar. Sosialisasi dibutuhkan karena, selain peserta didik sebagai makhluk individu, mereka juga merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dalam proses pembelajaran, peserta didik membutuhkan suasana hidup bersama, bekerja bersama, dan berinteraksi dengan sesamanya. Dalam hal ini, guru hendaknya membantu para siswa unutk mengembangkan sifat sosialnya melalui pembentukan kelompok sehingga suasana soail dapat tercipta.

10) Asas Evaluasi

Asas evaluasi merupakan asas pengadaan penilaian yang obyektif. Evaluasi dilakukan secara periodik dan menjadi feed back (umpan balik) dalam proses pembelajaran. Evaluasi dilakukan dengan cara yang bervariasi sesuai dengan tuntutan zaman dan evaluasi yang dibutuhkan. Evaluasi dapat berguna bagi guru, yakni sebagai dasar penilaian mengenai tingkat penguasaan peserta didik terhadap proses pembelajaran tertentu, dan juga bagi peserta didik yakni mereka dapat menilai kemampuannya sehingga dapat menilai dirinya.

Secara psikologis, evaluasi dan penilaian diberikan secara obyektif guna mengetahui daya serap (penguasaan) anak terhadap pelajaran yang disampaikan

oleh gurunya. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberi tes (ujian) agar peserta didik mengetahui hasil belajarnya. Hasil penilaian perlu didokumentasikan demi kepentingan melihat sejauh mana tingkat perkembangan kemampuan anak (Janawi, 2011: 74-75).

3) Mengembangkan Kurikulum

Menurut Zamroni, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah mempertimbangkan dua model, yaitu memperkuat hidden curriculum dan mengembangkan teknik refleksi diri (self-reflection) (Zamroni, 2000: 79). Hidden curriculum adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri peserta didik. Proses tersebut dilakukan melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Oleh karena itu dalam hal ini guru hendaknya melakukan proses pembelajaran yang baik, menjadi panutan bagi peserta didik, dan rekan sejawat. Sedangkan self-reflection adalah suatu kegiatan untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan untuk memperoleh umpan balik (Janawi, 2011: 75-76).

Guru dalam melaksanakan pembelajaran, harus sungguh-sungguh mencermati kurikulum yang berlaku dan bersiap menghadapi perubahan baik dari segi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Perubahan kurikulum menuntut guru untuk selalu menerima perubahan yang membawa perbaikan dalam berbagai aspek pembelajaran. Oleh karena perubahan zaman lebih cepat dibandingkan dengan proses penyesuaian dan dinamika pendidikan, maka dunia pendidikan

harus mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan zaman, terutama tuntutan dan kebutuhan zaman (Janawi, 2011: 80).

Perubahan kurikulum selalu menimbulkan rumor di masyarakat bahwa “Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum”. Bahkan perubahan kurikulum kadang-kadang cenderung menjadi konsumsi politis. Sebagai konsekuensinya perubahan kurikulum menuntut penyediaan anggaran yang cukup besar. Namun, bila perubahan kurikulum dilihat dari sudut pandang non-politis, pergantian kurikulum merupakan suatu hal yang biasa dan suatu kemutlakan dalam rangka merespon perkembangan masyarakat yang cepat.

4) Menyelenggarakan Pembelajaran yang Mendidik

Buber dalam Conny R. Semiawan (2002: 5) menyatakan bahwa paham psikologi kontemporer memahami belajar sebagai sebuah proses konstruktivisme. Belajar adalah mengkonstruksikan pengetahuan yang terjadi from within. Belajar dilakukan dengan proses dialog dan bercirikan pengalaman dua sisi (two sided experiences). Belajar tidak semata-mata mentransformasikan pengetahuan ke dalam kepala anak. Artinya, penekanan belajar tidak lagi pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar anak mampu menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan keterlibatan emosi dan kemampuan kreatif (Janawi, 2011: 85).

Goleman mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental: pertama, berasal dari kepala (head) dengan ciri kognitif, dan kedua, berasal dari hati sanubarinya (heart), dengan ciri afektif. Antara kehidupan kognitif dan

kehidupan afektif ada hubungan erat. Dalam struktur otak neuron sel otak yang menghubungkan dua kehidupan ini disebut extended amygdala. Penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien merupakan hasil dari proses interaktif yang dinamis dengan lingkungan. Ciri-cirinya mencakup segi fisik, mental dan emosional yang mengakibatkan integrasi yang terakselerasikan dari fungsi otak dan berakibat terhadap pemekaran kemampuan manusia secara optimal.

Secara makro (Semiawan 2002:6), pembelajaran ditinjau dari adanya analisis dua jalur dalam pendekatan sistemnya yang disebut analisis dua jalur (two road analysis). Jalur pertama (front-end: muka belakang) yaitu mencakup tiga komponen; target group analysis (siapa dan context analysis). Berkaitan dengan bagaimana upaya menyelaraskan sasaran dan relevansinya, analisis pekerjaan dapat dilakukan dari muka (front), ke belakang (end), atau sebalikya. Oleh karena itu untuk menyeimbangkan proses pembelajaran perlu dilakukan rancangan pembelajaran (instructional planning).

Faktanya menunjukkan bahwa permasalahan pendidikan dan persiapan guru menjadi pusat yang paling penting dan tantangan permasalahan yang paling serius. Muhammad Hamid (1980: 116) dalam tulisannya menyatakan bahwa “the education and preparation of teachers’ is the central, most crucial and most challengging problem involved in the reconstruction of any educational system”. Permasalahan pembelajaran identik dengan persiapan guru dalam merekonstruksi sistem pendidikan. Lebih khusus lagi, guru memiliki peran besar dalam proses pembelajaran yang dimulai dari proses pembelajaran di kelas.

Proses pembelajaran yang mendidik adalah proses yang selalu berorientasi pada pengembangan potensi anak. Kegiatan belajar mengajar tersebut menurut Masnur Muslich (2007: 48-50) menitikberatkan pada proses pemberdayaan potensi anak. Prinsip-prinsip yang perlu dipertahankan seperti: Pertama, kegiatan yang berpusat pada anak; kedua, belajar melalui berbuat; ketiga, mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial; dan keempat, belajar sepanjang hayat.

5) Memfasilitasi Pengembangan Potensi Peserta Didik

Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik berarti membantu pengembangan diri dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Conny R. Semiawan mengulas, bahwa manusia belajar, tumbuh dan berkembang dari pengalaman yang diperolehnya melalui kehidupan di mana ia berada (Semiawan, 2002: 10). Namun perkembangan manusia tidak dimulai dari perkembangan tabularasa, melainkan mengandung sumber daya yang memiliki kondisi sosial kultural, fisik dan biologis yang berbeda-beda, yang tidak dapat dilihat terlepas dari kondisi sosial, kultural, dan biologis dalam lingkungannya. Dengan kata lain dalam dunia persekolahan, guru dan sekolah memiliki peran penting dalam menumbuhkembangkan potensi anak.

Anak merupakan sentral dari seluruh proses pendidikan. pemahaman ini dapat dilacak dari teori-teori yang telah dikembangkan oleh pendidikan Erop Kontinental. Teori-teori yang berkembang sampai sekarang ini terdapat kesamaan pandangan yakni pada esensinya, yitu usaha pendidikan yang berfungsi

mengantarkan anak agar tumbuh dan berkembang menuju kematangan, kemandirian, kedewasaan (Supriadi, 2005: 40).

6) Berkomunikasi Efektif, Empatik, dan Santun dengan Peserta Didik

Dalam proses pembelajaran, komunikasi dibutuhkan ketika seorang guru akan menyampaikan pesan (the body of materials) kepada anak didik. Levine dan Adelman dalam Deddy Mulyana mengartikan komunikasi sebagai “proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal” (Mulyana, 2005: 3). Jalaludin Rakhmat (1991: 4-6), mengartikan komunikasi sebagai proses penyampaian energi dari alat indera ke otak. Pesan yang diberikan menjadi stimulus yang menimbulkan respon pada individu yang lain. komunikasi ditujukan untuk memberikan informasi, menghibur, atau mempengaruhi. Di samping itu, komunikasi merupakan peristiwa sosial – peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain.

Defini tersebut menggambarkan bahwa komunikasi dapat bersifat intrapersona dan ekstrapersona. Deddy Mulyana menyebutkan, komunikasi terjadi setidaknya melalui suatu sumber yang dapat membangkitkan respon pada penerima melalui penyampaian suatu pesan. Bentuknya berupa tanda atau simbol, baik bentuk verbal (kata-kata) atau bentuk non-verbal (non kata-kata), tanpa harus mamastikan terlebih dahulu bahwa kedua belah pihak yang berkomunikasi punya suatu sistem simbol yang sama (Mulyana, 2007: 3). Dengan demikian, komunikasi dapat terjadi antar pribadi, kelompok, masyarakat, bahkan lintas

budaya. Komunikasi juga terjadi melalui suatu proses, berdasarkan suatu tujuan, dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu.

Menurut Bobbi de Porter dkk, ada empat prinsip komunikasi ampuh, yaitu timbulkan citra (munculkan kesan), arahkan fokus, inklusif, dan spesifik (De Porter, 2000: 117). Komunikasi dalam proses pembelajaran perlu mempertimbangkan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menimbulkan kesan pada anak. Ketika komunikasi telah menimbulkan kesan, maka perhatian siswa akan terfokus. Proses seperti inilah yang dimaksud dengan memindahkan energi.

Berkomunikasi efektif, empatik dan santun terhadap anak didik merupakan komunikasi yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran. Bahasa yang empatik dan santun membuat suasana pembelajaran lebih harmonis. Guru tidak diperbolehkan menggunakan bahasa yang tidak mendidik, karena guru sebagaimana diungkapkan sebelumnya adalah sosok yang digugu dan ditiru. Oleh karena itu guru harus menjadi teladan. Sebagai teladan, komunikasi yang dibangun dalam proses pembelajaran adalah komunikasi simpatik dan persuasif. Perkataan guru menimbulkan asosiasi spesifik.

Dalam proses belajar mengajar, komunikasi empatik, persuasif, dan menarik akan berdampak pada terjadinya proses pembelajaran yang kontruktif. Komunikasi antara pendidik dan peserta didik diharapkan berlangsung menarik. Komunikasi dalam proses pembelajaran perlu mengadopsi lebih dari satu arah (one way) tetapi multi ways communication. Komunikasi tersebut terjadi antara

guru dan anak didik. Siklus ini perlu dipertahankan dan disesuaikan dengan konteks waktu dan kebutuhan.

7) Menyelenggarakan dan Memanfaatkan Evaluasi

Evaluasi atau penilaian merupakan proses menyimpulkan dan menafsirkan fakta-fakta dan membuat pertimbangan dasar yang profesional untuk mengambil kebijakan pada sekumpulan informasi, yaitu informasi tentang peserta didik (Supranata dan Hatta, 2004: 3). Evaluasi dapat dijadikan sebagai proses umpan balik (feedback process). Pertama, evaluasi menadi dasar untuk melakukan penilaian terhadap tingkat keberhasilan anak baik pada tiap proses pembelajran,

Dokumen terkait