• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kompetensi Komunikasi

Kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang sudah biasa dilakukan oleh siapa saja, namun hanya sedikit dari kita yang telah menguasai kompetensi komunikasi. Kompetensi secara sederhana dilihat sebagai kemampuan seseorang yang di dalamnya terdapat keterampilan, pengetahuan dan sikap dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan tertentu sesuai dengan standar yang ada.

Kompetensi komunikasi yang baik ditandai dengan adanya mindfulness

dari pelaku interaksi yang pada akhirnya akan menciptakan komunikasi yang efektif. Kemampuan seseorang untuk menyampaikan pesan dengan tepat dapat disebut sebagai kompetensi komunikasi. Sedangkan kemampuan yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan nonverbal yang tujuannya untuk menciptakan kesamaan memahami pesan sehingga komunikasi efektif dapat tercapai disebut kompetensi komunikasi (Samovar et. al., 2010: 460).

Kompetensi komunikasi sebagai alat ukur dalam melihat kualitas komunikasi hingga dapat dikategorikan komunikasi efektif tergambar dalam penelitian berikut:

“Konsep kompetensi komunikasi digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas komunikasi seseorang atau sekelompok orang. "Keberhasilan" (effectiveness) dan kelayakan (appropriateness) adalah dimensi yang digunakan untuk menilai kompetensi komunikasi. Jadi, kompetensi komunikasi antarbudaya melihat keberhasilan dan kelayakan komunikasi dan interaksi antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Perbedaan kompetensi komunikasi antarbudaya apakah subyek penelitian bersama-sama dengan teman sekelompoknya atau seorang diri ketika sedang berkomunikasi dengan orang Australia hanya ditemukan secara terbatas pada anggota kelompok yang kemampuan Bahasa inggrisnya lebih rendah dibandingkan anggota kelompok yang lain. Bagi mereka bantuan anggota-anggota lain dalam kelompok

sangat diandalkan untuk berkomunikasi dengan orang Australia” (Koestoer, 1999).

Kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya lain dipengaruhi oleh komponen utama yang patut menjadi perhatian, seperti motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup tentang budaya, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas dan karakter.

J. H. Turner menyebutkan kebutuhan dasar dari seseorang memotivasi diri untuk berinteraksi dengan orang lain (Gudykunst and Kim, 2003: 276). Motivasi menjadi bagian hal yang penting untuk diperhatikan karena dalam interaksi dengan orang lain agar tercipta suasana yang positif harus terlihat oleh dua pelaku komunikasi motivasi dari kedua pihak. Motivasi yang logis dan alami akan membentuk persepsi tentang keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya.

Pengetahuan yang cukup tentang budaya menjadi penting karena dengan mempunyai komponen ini dengan sendirinya seseorang menyandari dan memahami peraturan, norma dan harapan yang dapat dikelompokkan dengan budaya orang-orang yang berinteraksi dengannya. Dalam usaha mencapai kompetensi dalam komunikasi, seseorang diharapkan memiliki pengetahuan konten yang meliputi pengetahuan mengenai isi pesan dan pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana proses isi pesan disampaikan dalam situasi tertentu (Samovar et. al., 2010: 462).

Kemampuan komunikasi yang sesuai di sini diartikan sebagai kemampuan yang meliputi kemampuan untuk mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan sampai mengaplikasikan perilaku tertentu untuk mencapai

tujuan tertentu. Sensitivitas dalam berkomunikasi diperlukan sebagai salah satu syarat kompetensi lainnya karena dalam proses interaksi yang terdiri dari beberapa latar belakang budaya akan menimbulkan gesekan bila sensitivitas tidak diasah sebaik mungkin.

Karakter menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai kemampuan komunikasi. Karakter menjadi dasar penilaian bagi sekelompok orang karena karakter dapat diasosiakan sebagai sifat seseorang yang terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan. William Howel menyebutkan terdapat empat tingkatan dari kompetensi komunikasi, yaitu:

1. Unconscious Incompetence: Tidak sadar dan tidak bisa melakukan apa- apa. Dimaksud tidak sadar adalah telah salah menafsirkan pesan atau perilaku komunikasi pihak lain secara tidak sadar. Sedangkan tidak bisa melakukan apa-apa adalah tidak cukup peduli dengan perilaku komunikasinya sendiri. Bentuk kompetensi ini adalah yang paling rendah dari bentuk lainnya.

2. Conscious Incompentence: Sadar dalam berkomunikasi, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Sadar adalah komunikasi yang dilakukannya tidak efektif dan seringkali terjebak pada salah paham, seperti penanganan konflik yang tidak produktif. Meskipun begitu, mampu melakukan apapun untuk memperbaikinya.

3. Conscious Competence: Sadar dalam hal berkomunikasi dan mampu melakukan sesuatu. Orang pada bentuk ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi komunikasi yang lebih efektif.

4. Unconscious Competence: Tidak sadar karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan mampu melakukan sesuatu. Bentuk ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam kompetensi komunikasi. Orang pada tingkatan ini memiliki kemampuan untuk menyatukan tindakan komunikasi menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari. Dia tidak perlu lagi sibuk untuk mengatur perilakunya terus menerus karena secara otomatis dirinya telah menyesuaikan (Griffin, 2006: 431).

Menurut Gudykunst, mindfulnessterdapat pada situasi kompetensi ketiga yaitu pada tahap seseorang sadar saat berkomunikasi dan mampu melakukan sesuatu. Orang tersebut dalam tahapan ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi komunikasi yang lebih efektif (Gudykunst and Foss, 2003: 40).

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia mencoba melihat bagaimana

mindfulness dalam interaksi Mahasiswa Berbeda Agama. Penelitian tersebut menghasilkan gambaran sebagai berikut:

Komunikasi antarbudaya yang mindful akan muncul ketika setiap pihak yang berinteraksi dapat meminimalisasikan kesalahpahaman budaya, yaitu usaha mereduksi perilaku etnosentris, prasangka, dan stereotip. Penelitian ini menemukan bahwa situasi mindful sudah mulai tercipta dalam interaksi antaragama yang dilakukan oleh para mahasiswa itu. Para mahasiswa dari pelbagai latar belakang agama telah mampu berkomunikasi antaragama dengan mindfulness pada diri mereka karena mereka telah memiliki kecakapan atau kompetensi komunikasi yang memadai. Kemampuan ini mereka dapatkan berdasarkan pengalaman interaksi antaragama yang sejak kecil. Pengalaman hidup dalam masyarakat yang multikultur ini juga membuat mereka berpandangan terbuka terhadap perbedaan yang merupakan faktor penumbuh mindfulness dalam diri mereka (Skripsi Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2006 dalam Jurnal Thesis Volume V/No.3 September – Desember 2006, hal.153).

Keadaan di atas disebutkan oleh Langer (1989) sebagai suatu cara berkomunikasi secara automatic pilot. Perilaku orang asing dipahami menggunakan kerangka rujukan yang dimiliki dan berusaha unutk mengevaluasinya daripada mencoba memahami perilaku tersebut. Seseorang yang

mindful tidak akan melihat hasil akhir dari komunikasi yang dilaluinya, tapi mencoba untuk fokus pada proses komunikasi itu sendiri (Gudykunst and Foss, 2003: 406).

Dokumen terkait