• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Kecemasan Dan Ketidakpastian Terhadap Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hubungan Kecemasan Dan Ketidakpastian Terhadap Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang Di Indonesia"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

(ANALISIS HUBUNGAN KECEMASAN DAN KETIDAKPASTIAN TERHADAP KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

WARGA JEPANG DI INDONESIA)

T E S I S

Oleh

MUNZAIMAH MASRIL 117045001

M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

(ANALISIS HUBUNGAN KECEMASAN DAN KETIDAKPASTIAN TERHADAP KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

WARGA JEPANG DI INDONESIA)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUNZAIMAH MASRIL 117045001

M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Analisis Hubungan Kecemasan dan Ketidakpastian dengan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Negara Jepang di Indonesia). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah hubungan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan Teori Anxiety Uncertainty Management dari William Gudykunst dan Dimensi Nilai Budaya dari Geertz Hofstede untuk menganalisa hasil temuan di lapangan. Populasi penelitian merupakan warga Jepang di beberapa wilayah Indonesia seperti di Medan, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Pekanbaru dan Makassar. Sampel berjumlah 25 orang yang terdiri dari 20 laki-laki dan 5 perempuan yang terpilih melalui teknik penarikan sampel purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari 32 pertanyaan. Data kemudian diolah menggunakan bantuan software SPSS untuk memperoleh hasil frekuensi, tabel silang, uji hipotesis dan analisis klaster.

Hasil uji hipotesis menggunakan rank Spearmandiketahui bahwa nilai koefisien kedua variabel X di atas 0, 4 dimana hubungannya dinyatakan sangat berarti. Uji hipotesis juga menunjukkan variabel X1 signifikan pada angka 1, 4% dan variabel X2 signifikan pada angka 0, 7%, sehingga hubungan kedua variabel X dengan Y dinyatakan signifikan. Berdasarkan angka signifikansi tersebut dapat dilihat bahwa hipotesis alternatif yang diterima. Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian berhubungan dengan kompetensi komunikasi antarbudaya. Hasil uji hipotesis ini sesuai dengan teori Anxiety Uncertainty Management, bahwa kecemasan dan ketidakpastian dapat memengaruhi kemampuan seseorang yang berada dalam lingkungan baru untuk berinteraksi secara efektif. Kompetensi komunikasi dalam diri seseorang dapat dilihat dari kemampuannya mengelola kecemasan dan ketidakpastian.

Pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian dalam penelitian ini menyangkut pemenuhan informasi untuk berinteraksi. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan motivasi responden cukup besar untuk mengelola kecemasan dan ketidakpastian saat berinteraksi dengan orang Indonesia. Penelitian menunjukkan orang Jepang dalam penelitian ini memiliki kesadaran yang cukup baik dalam membangun interaksi dengan masyarakat tuan rumah.

(4)

ABSTRACT

This thesis is entitled to the Intercultural Communication Competence (The Analysis of the Relationship between Anxiety and Uncertainty in Intercultural Competence of Japanese citizens in Indonesia). The objective of this thesis is to determine how anxiety and uncertainty influence the Intercultural competence of Japanese citizens in Indonesia.

This research used Anxiety Uncertainty Management Theory of William B. Gudykunst’ and Cultural Dimensions of Geertz Hofstede's to analyze data were collected. The population in this research is Japanese citizens who lived in several areas of Indonesia such as Medan, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Pekanbaru and Makassar. The samples consist of 25 (twenty-five) people which include 20 (twenty) males and 5 (five) females that were selected based on purposive sampling technique, which is a sample selection technique based on certain characteristics. The data collected are composed through questionnaires that consist of 32 (thirty-two) questions. The data acquired are processed using SPSS statistical software and the results are presented in frequency, cross tables, hypothesis testing and a cluster analysis.

As a result of the hypothesis test using Spearman rank, it is identified that the two X variables are at 0, 4, which means the relationship between them is stated in significant number. The hypothesis also shows variable X1 is significant at 1, 4% and X2 also significant at 0, 7%, therefore, the relationship between X variable and Y variable are significant. Based on that result, we can conclude that the alternative hypothesis accepted. The results showed that management of anxiety and uncertainty is related with intercultural communication competence. The results of this hypothesis testing are accordance with the theory of Anxiety Uncertainty Management; the theory said Anxiety and uncertainty may affect the ability of person to interact effectively in a new culture. Communication competence can be seen from their ability to manage anxiety and uncertainty. Management of anxiety and uncertainty in this research is about the fulfillment of information to interact. In addition, the results also showed respondents large enough motivation to manage anxiety and uncertainty when interacting with Indonesia citizens. Research shows that Japanese citizens as respondents have a good enough mindfulness to developing interaction with host culture.

(5)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : ANALISIS HUBUNGAN KECEMASAN DAN KETIDAKPASTIAN TERHADAP KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA WARGA JEPANG DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Munzaimah Masril Nomor Pokok : 117045001

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

(Dra. Lusiana A. Lubis, M.A, Ph.D.) (Dra. Dayana, M.Si) NIP. 196704051990032002 NIP. 196007281987032002

Ketua Program Studi, Dekan,

(6)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Telah diuji pada

Tanggal: 11 Februari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Hendra Harahap, M.Si Anggota : 1. Dra. Inon Beydha, M.Si, Ph.D

(7)

PERNYATAAN

KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

(ANALISIS HUBUNGAN KECEMASAN DAN KETIDAKPASTIAN TERHADAP KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA WARGA

JEPANG DI INDONESIA)

Peneliti menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya peneliti sendiri.

Adapun pengutipan yang peneliti lakukan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah peneliti cantumkan sumbernya sesuai norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan seluruh bagian atau sebagian tesis ini bukan hasil karya peneliti atau terdapat plagiat dalam bagian tertentu, peneliti bersedia menerima sanksi yang sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 11Februari 2014 Peneliti,

(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Munzaimah Masril

Tempat/Tanggal lahir : Lhokseumawe/20 Juli 1984

Golongan Darah : AB

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Setiabudi Pasar 1

Gg. Kancil No. 1A Tanjung Sari Medan - 20132

Nama Orang Tua : Ir. Masril Rahman, MT (alm) Yusra Usman

Nama Saudara : Muntashir Masril, ST Mustaqim Masril, SE Mushawir Masril, ST

Riwayat Pendidikan : 1990 - Lulus TK Tunas Harapan Medan 1996 - Lulus SDN 060812 Medan 1999 - Lulus SLTPN 34 Medan 2002 - Lulus SMUN 2 Medan

(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah peneliti ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesabaran sehingga peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU. Adapun judul penelitian ini adalah “Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Analisis Hubungan Kecemasan dan Ketidakpastian dengan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Negara Jepang di Indonesia)”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.

Alasan pemilihan judul di atas karena berdasarkan dimensi nilai Hofstede terdapat perbedaan nilai budaya antara Jepang dan Indonesia, meskipun kedua negara dalam pandangan dunia merupakan negara dengan adat ketimuran. Kemudian peneliti memilih teori AUM dari William B. Gudykunst untuk mengetahui apakah perbedaan nilai budaya yang ada memengaruhi kompetensi komunikasi warga Jepang dalam berinteraksi. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif karena tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara variabel.

Laporan penelitian ini selesai atas bantuan banyak pihak sehingga kesulitan yang peneliti alami dapat teratasi sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Untuk itu izinkan peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah mencurahkan perhatiannya. Rasa terima kasih yang tulus peneliti ucapkan untuk Ibu Yusra Usman atas kasih sayang dan do’a yang tiada henti diberikan kepada peneliti dan almarhum Bapak Masril Rahman.Kepada pak Abang dan keluarga, bang Ipang Wahid dan kak Dara Eriza, bang Tasir dan kak Uli, Ogek dan ce’ Rini terima kasih peneliti ucapkan untuk supportfinansial yang diberikan selama peneliti mengikuti kuliah magister ini. Tidak lupa kepada Awin, adik peneliti yang membantu dalam mengumpulkan data penelitian.

Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada pihak yang turut membantu baik selama proses kuliah maupun dalam menyelesaikan Tesis ini, yaitu:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU.

(10)

4. Dra. Inon Beydha, M.Si., Ph.D sebagai Pembanding I dan Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm sebagai Pembanding II. Terima kasih atas masukan yang diberikan.

5. Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku Ketua Penguji dan Sekretaris Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU beserta staf, Sri Handayani, S.Sos dan Nurhanifah Nasution, S.Sos.

6. Mr. Takayuki Kawai dan Masamu Yamamori. Terima kasih untuk waktu, diskusi, informasi dan segala bantuan yang diberikan.

7. Kak Masami Naruse dan Harris Yuanda. Terima kasih atas bantuan menerjemahkan kuesioner ke dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris.

8. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya Magister Ilmu Komunikasi. Terima kasih atas ilmu yang diberikan. 9. Angkatan I Magister Ilmu Komunikasi dan teman-teman Labkom. Terima

kasih untuk kebersamaan yang menyenangkan. Teman-teman Angkatan 2, Angkatan 3 dan Angkatan 4. Terima kasih untuk waktu yang diluangkan sebagai peserta seminar hasil penelitian.

10. Farida Hanim dan Windi Adwina Siregar; Terima kasih untuk kebersamaan yang penuh warna.

Akhir kata peneliti berharap agar laporan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan referensi kajian sejenis. Laporan penelitian ini tentu masih perlu beberapa perbaikan, karenanya peneliti mengharapkan saran yang bermanfaat untuk menyempurnakan laporan penelitian ini.

Medan, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

Hal

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Lembar Pengesahan Tesis ... iii

Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis ... iv

Pernyataan ... v 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Pembatasan Masalah ... 9

1.3. Rumusan Masalah... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 11

2.2. Pendekatan Positivisme ... 15

2.3. Komunikasi Antarbudaya ... 17

2.4. Kompetensi Komunikasi ... 23

2.5. Teori Manajemen Kecemasan dan Ketidakpastian ... 27

2.5.1. Kritik untuk Teori AUM ... 34

2.5.2. Kelemahan Teori AUM ... 36

2.6. Bahasa dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya ... 38

2.7. Kerangka Konsep ... 41

2.8. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ... 41

2.9. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 48

3.2. Populasi dan Sampel ... 48

3.2.1. Populasi ... 48

3.2.2. Sampel ... 49

3.3. Teknik Penarikan Sampel ... 50

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 51

3.5. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 52

(12)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Proses Penelitian ... 56

4.2.Analisis Data Tunggal ... 58

4.2.1.Data Umum Responden ... 59

4.2.2. Variabel X1 (Pengelolaan Rasa Kecemasan) ... 63

4.2.3. Variabel X2 (Pengelolaan Rasa Ketidakpastian) ... 71

4.2.4. Variabel Y (Kompetensi Komunikasi) ... 80

4.3. Analisis Data Silang ... 94

4.4. Uji Hipotesis ... 103

4.5. Analisis Klaster... 106

4.6. Pembahasan ... 107

4.7. Keterbatasan Penelitian ... 115

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 117

5.2. Saran... 118

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1. Teori Manajemen Kecemasan dan Ketidakpastian ... 32

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 41

4.2.1.1. Usia Responden ... 59

4.2.1.2. Jenis Kelamin Responden ... 60

4.2.1.3. Status Perkawinan Responden ... 61

4.2.1.4. Lama Menetap di Indonesia ... 62

4.2.2.1. Pendapat Responden untuk variabel X1-1 ... 63

4.2.2.2. Pendapat Responden untuk variabel X1-2 ... 64

4.2.2.3. Pendapat Responden untuk variabel X1-3 ... 64

4.2.2.4. Pendapat Responden untuk variabel X1-4 ... 65

4.2.2.5. Pendapat Responden untuk variabel X1-5 ... 66

4.2.2.6. Pendapat Responden untuk variabel X1-6 ... 67

4.2.2.7. Pendapat Responden untuk variabel X1-7 ... 67

4.2.2.8. Pendapat Responden untuk variabel X1-8 ... 69

4.2.2.9. Pendapat Responden untuk variabel X1-9 ... 70

4.2.3.1. Pendapat Responden untuk variabel X2-1 ... 71

4.2.3.2. Pendapat Responden untuk variabel X2-2 ... 72

4.2.3.3. Pendapat Responden untuk variabel X2-3 ... 73

4.2.3.4. Pendapat Responden untuk variabel X2-4 ... 74

4.2.3.5. Pendapat Responden untuk variabel X2-5 ... 75

4.2.3.6. Pendapat Responden untuk variabel X2-6 ... 75

4.2.3.7. Pendapat Responden untuk variabel X2-7 ... 76

4.2.3.8. Pendapat Responden untuk variabel X2-8 ... 78

4.2.3.9. Pendapat Responden untuk variabel X2-9 ... 79

4.2.4.1. Pendapat Responden untuk variabel Y1 ... 80

4.2.4.2. Pendapat Responden untuk variabel Y2 ... 81

4.2.4.3. Pendapat Responden untuk variabel Y3 ... 82

4.2.4.4. Pendapat Responden untuk variabel Y4 ... 83

4.2.4.5. Pendapat Responden untuk variabel Y5 ... 84

4.2.4.6. Pendapat Responden untuk variabel Y6 ... 84

4.2.4.7. Pendapat Responden untuk variabel Y7 ... 85

4.2.4.8. Pendapat Responden untuk variabel Y8 ... 86

4.2.4.9. Pendapat Responden untuk variabel Y9 ... 87

4.2.4.10. Pendapat Responden untuk variabel Y10 ... 88

4.2.4.11. Pendapat Responden untuk variabel Y11 ... 89

(14)

4.2.4.14. Pendapat Responden untuk variabel Y14 ... 92

4.3.1. Pendapat Responden untuk data silang variabel X1-2 Y4 ... 94

4.3.2. Pendapat Responden untuk data silang variabel X1-2 Y8 ... 95

4.3.3. Pendapat Responden untuk data silang variabel X1-5 Y4 ... 96

4.3.4. Pendapat Responden untuk data silang variabel X1-5 Y12 ... 97

4.3.5. Pendapat Responden untuk data silang variabel X1-6 Y3 ... 98

4.3.6. Pendapat Responden untuk data silang variabel X2-3 Y7 ... 99

4.3.7. Pendapat Responden untuk data silang variabel X2-1 Y1 ... 100

4.3.8. Pendapat Responden untuk data silang variabel X2-6 Y3 ... 101

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

2.1. Operasional Variabel ... 42

3.1. Nilai Koefisien Korelasi ... 55

4.1. Data Umum Responden ... 58

4.4.1. Uji Korelasi ... 104

4.5.1. ZSkor Variabel Penelitian ... 106

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Pernyataan Layak Uji

2. Kuesioner Sebelum Uji Validitas dan Reliabilitas 3. Kuesioner Sesudah Uji Validitas dan Reliabilitas

4. Aksioma Teori Anxiety Uncertainty ManagementWilliam B. Gudykunst 5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

(17)

ABSTRAK

Tesis ini berjudul Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Analisis Hubungan Kecemasan dan Ketidakpastian dengan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Negara Jepang di Indonesia). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah hubungan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan Teori Anxiety Uncertainty Management dari William Gudykunst dan Dimensi Nilai Budaya dari Geertz Hofstede untuk menganalisa hasil temuan di lapangan. Populasi penelitian merupakan warga Jepang di beberapa wilayah Indonesia seperti di Medan, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Pekanbaru dan Makassar. Sampel berjumlah 25 orang yang terdiri dari 20 laki-laki dan 5 perempuan yang terpilih melalui teknik penarikan sampel purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari 32 pertanyaan. Data kemudian diolah menggunakan bantuan software SPSS untuk memperoleh hasil frekuensi, tabel silang, uji hipotesis dan analisis klaster.

Hasil uji hipotesis menggunakan rank Spearmandiketahui bahwa nilai koefisien kedua variabel X di atas 0, 4 dimana hubungannya dinyatakan sangat berarti. Uji hipotesis juga menunjukkan variabel X1 signifikan pada angka 1, 4% dan variabel X2 signifikan pada angka 0, 7%, sehingga hubungan kedua variabel X dengan Y dinyatakan signifikan. Berdasarkan angka signifikansi tersebut dapat dilihat bahwa hipotesis alternatif yang diterima. Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian berhubungan dengan kompetensi komunikasi antarbudaya. Hasil uji hipotesis ini sesuai dengan teori Anxiety Uncertainty Management, bahwa kecemasan dan ketidakpastian dapat memengaruhi kemampuan seseorang yang berada dalam lingkungan baru untuk berinteraksi secara efektif. Kompetensi komunikasi dalam diri seseorang dapat dilihat dari kemampuannya mengelola kecemasan dan ketidakpastian.

Pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian dalam penelitian ini menyangkut pemenuhan informasi untuk berinteraksi. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan motivasi responden cukup besar untuk mengelola kecemasan dan ketidakpastian saat berinteraksi dengan orang Indonesia. Penelitian menunjukkan orang Jepang dalam penelitian ini memiliki kesadaran yang cukup baik dalam membangun interaksi dengan masyarakat tuan rumah.

(18)

ABSTRACT

This thesis is entitled to the Intercultural Communication Competence (The Analysis of the Relationship between Anxiety and Uncertainty in Intercultural Competence of Japanese citizens in Indonesia). The objective of this thesis is to determine how anxiety and uncertainty influence the Intercultural competence of Japanese citizens in Indonesia.

This research used Anxiety Uncertainty Management Theory of William B. Gudykunst’ and Cultural Dimensions of Geertz Hofstede's to analyze data were collected. The population in this research is Japanese citizens who lived in several areas of Indonesia such as Medan, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Pekanbaru and Makassar. The samples consist of 25 (twenty-five) people which include 20 (twenty) males and 5 (five) females that were selected based on purposive sampling technique, which is a sample selection technique based on certain characteristics. The data collected are composed through questionnaires that consist of 32 (thirty-two) questions. The data acquired are processed using SPSS statistical software and the results are presented in frequency, cross tables, hypothesis testing and a cluster analysis.

As a result of the hypothesis test using Spearman rank, it is identified that the two X variables are at 0, 4, which means the relationship between them is stated in significant number. The hypothesis also shows variable X1 is significant at 1, 4% and X2 also significant at 0, 7%, therefore, the relationship between X variable and Y variable are significant. Based on that result, we can conclude that the alternative hypothesis accepted. The results showed that management of anxiety and uncertainty is related with intercultural communication competence. The results of this hypothesis testing are accordance with the theory of Anxiety Uncertainty Management; the theory said Anxiety and uncertainty may affect the ability of person to interact effectively in a new culture. Communication competence can be seen from their ability to manage anxiety and uncertainty. Management of anxiety and uncertainty in this research is about the fulfillment of information to interact. In addition, the results also showed respondents large enough motivation to manage anxiety and uncertainty when interacting with Indonesia citizens. Research shows that Japanese citizens as respondents have a good enough mindfulness to developing interaction with host culture.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan produk dari sebuah budaya, yang tidak pernah lepas dari aktivitas komunikasi. Melalui interaksi secara terus menerus seorang manusia juga dapat menghasilkan nilai-nilai yang dianggap sebagai makna budaya jika terjadi kesepahaman terhadap nilai itu sendiri. Budaya tidak terbatas pada sesuatu yang abstrak, karena itu secara sederhana budaya diartikan sebagai segala nilai, pemikiran, simbol yang mempengaruhi perilaku, sikap, kepercayaan dan kebiasaan seseorang dan masyarakat (Suwarman, 2004: 170).

Budaya mempunyai begitu banyak pengertian, karena kata budaya lekat dengan keseharian setiap manusia. Kebudayaan secara sederhana dapat dilihat sebagai konsep sistem nilai yang juga menjelaskan seluruh arti dan makna dari simbol (Liliweri, 2001: 4). Budaya juga dapat dimaknai sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan merupakan warisan dari generasi ke generasi (Tubbs and Moss, 1996: 237).

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena budaya tidak hanya menentukan siapa yang bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Artinya, perbendaharaan perilaku seseorang bergantung pada faktor lingkungannya (Lubis, 2012: 11).

(20)

Kebudayaan adalah elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang di masa lalu meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan pelaku dalam ceruk ekologis, dan demikian tersebar di antara mereka yang dapat berkomunikasi satu sama lainnya, karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan mereka hidup dalam waktu dan tempat yang sama (Samovar et. al., 2010: 27).

Setiap individu melakukan aktivitas komunikasi dengan latar belakang budaya berbeda sehingga dengan sendirinya harus mempunyai kemampuan untuk memahami budaya dari orang lain yang berinteraksi dengannya. Gudykunst (2003) mengasumsikan setidaknya satu orang dalam pertemuan antarbudaya adalah orang asing yang harus melalui masa krisis pada level tertentu seperti ketidakpastian, kecemasan atau bahkan tidak yakin bagaimana berperilaku. Meskipun orang asing dan anggota in-group mengalami beberapa tingkat kecemasan dan ketidakpastian dalam situasi interpersonal yang baru, mereka beranggapan efek identitas budaya pada perilaku orang di masyarakat asing terlalu tinggi, sementara perbedaan individu menjadi kabur (Griffin, 2006: 427).

Globalisasi telah membuka celah dalam pengenalan sebuah kebudayaan kepada masyarakat di luar kebudayaan tersebut. Melalui teknologi informasi yang menjadi salah satu produk globalisasi, jarak dan waktu tidak menjadi sebuah persoalan dalam proses pengenalan sebuah kebudayaan. Hal ini seakan menjadi sebuah bukti bahwa perkembangan dunia saat ini menuju apa yang disebut sebagai “global village”.

(21)

Perkembangan ini menyadarkan masyarakat bahwa setiap individu dituntut untuk mampu memahami kebudayaan di luar kebudayaannya sendiri, yaitu dengan mempelajarinya melalui komunikasi antarbudaya. Setiap individu dari kebudayaan yang sama juga akan mengalami sebuah benturan saat berinteraksi, sehingga kemungkinan ini juga akan muncul ketika individu yang berbeda ideologi, orientasi, bahasa ataupun gaya hidup bertemu dan melakukan interaksi.

Saat ini tidak sulit bagi kita untuk menemukan pekerja asing di Indonesia karena hal ini sejalan dengan arus globalisasi itu sendiri. Era globalisasi menjadi titik tolak semakin banyak pekerja asing di Indonesia. Sebaliknya, warga negara Indonesia juga dapat dengan mudah bekerja di negara lain yang sudah memberlakukan ketentuan perdagangan bebas, karena setiap orang mendapatkan peluang yang sama untuk bekerja lintas negara.

Jepang merupakan negara yang memiliki hubungan kerjasama dengan banyak negara termasuk dengan Indonesia. Kerjasama inilah yang menjadi salah satu alasan banyak orang Jepang yang datang ke Indonesia. Orang Jepang datang ke Indonesia dengan berbagai macam tujuan, ada yang bekerja di perusahaan Jepang yang memiliki cabang di Indonesia, bekerja di perusahaan swasta lain, bekerja sebagai penerjemah, guru, berwisata atau sebagai staf kantor perwakilan Konsulat Jepang di beberapa wilayah Indonesia.

(22)

penyelenggaraan the 1st Indonesia-Japan Business Forum oleh Nikkei BP dan Kompas Gramedia pada bulan Mei 2013 di Jakarta menyebutkan Jepang dan Indonesia telah membangun hubungan yang sangat erat. Terjalin melalui persahabatan yang kuat dan rasa hormat yang telah melalui waktu panjang. Indonesia saat ini merupakan sahabat sekaligus mitra yang tidak tergantikan bagi Jepang. Menurut beliau, nilai investasi langsung dari Jepang ke Indonesia meningkat dari tahun ke tahun sepanjang beliau menjabat sebagai duta besar. Selain itu, jumlah perusahaan Jepang di Indonesia juga bertambah mencapai 250 perusahaan sampai tahun 2012 yang menjadi pertanda bahwa kerjasama antara Indonesia dan Jepang akan mengalami peningkatan setiap tahunnya

(http://www.id.emb-japan.go.jp).

Sebuah penelitian studi kasus pernah dilakukan pada salah satu perusahaan di Kota Surabaya yang mempekerjakan beberapa warga Jepang. Penelitian ini menemukan bahwa culture shock yang dialami oleh pekerja Jepang di instansi pemerintah di Surabaya adalah stres yang mereka rasakan yang membuat mereka tidak bisa tidur di malam hari, marah yang membuat mereka ingin pulang ke Jepang, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Penyebab

culture shockyang dialami adalah kurangnya rasa kesadaran waktu dan etos kerja dari rekan kerja mereka. Strategi adaptasi dilakukan orang Jepang adalah melakukan beberapa persiapan sebelum pergi ke Indonesia, melakukan hobi mereka, berpikiran terbuka kepada orang-orang dalam pekerjaan dan teman, dan bergabung bersama budaya Indonesia (http://journal.unair.ac.id).

(23)

seseorang pergi dari lingkungan yang dikenalnya ke lingkungan baru yang tidak dikenal. Pada awalnya mereka merasa kaget dengan budaya baru tersebut. Kemudian mereka akan melakukan suatu tindakan untuk menghadapi gegar budaya yang mereka alami dan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka (Samovaret. al., 2010: 476).

Jepang merupakan sebuah negara dengan perpaduan kehidupan modern dan tradisional yang menjadi daya tarik bagi pihak luar dimana saat ini gaya hidup orang Jepang mencampur budaya tradisional Asia dan budaya modern Barat. Jepang juga menjadi negara Asia yang mendapat sorotan dunia karena memberikan perubahan besar di bidang teknologi.

Indonesia telah menjadi persinggahan bagi bangsa asing sebelum meraih kemerdekaan karena kekayaan alamnya. Salah satu bangsa asing yang tercatat menetap di Indonesia adalah bangsa Jepang yang menduduki beberapa wilayah di Indonesia selama tiga setengah tahun.

(24)

Generasi pertama, pada 1951 yang tak dapat kembali ke negaranya di Jepang berkumpul di Medan dengan alasan pemerintah pusat Indonesia khawatir orang Jepang akan membantu memerdekakan Aceh dari Indonesia. Jumlah mereka pada saat itu sekitar 80 orang, baik yang sudah atau belum berkeluarga. Berdasarkan responden penelitiannya, diketahui dari data 113 responden penelitiannya di Indonesia terdapat sekitar 57 orang generasi kedua dan ketiga yang tinggal di Kota Medan. Sementara itu, 113 respondennya tersebut berasal dari generasi kedua sebanyak 55 orang dan 58 orang generasi ketiga. Di Sumatera Utara, orang Jepang bermukim di daerah Binjai, Tebing Tinggi, Stabat, Limapuluh, Pangkalan Susu, Pematang Siantar dan Medan. Sebelum berdirinya Yayasan Warga Persahabatan pada 1979, terdapat perkumpulan orang Jepang di Sumut seperti Perkumpulan Keturunan Jepang Medan (1950), Perkumpulan Keturunan Jepang Pematang Siantar (19560) dan Perkumpulan Keturunan Jepang Sungai Tapanuli (1952). Adapun aktivitas yayasan ini adalah seperti arisan, pemeriksaan kesehatan, Upacara Ziarah Musim Semi, Upacara Ziarah Musim Gugur, pembersihan Makam maupun halal bi halal (Ito, 2011).

Peneliti melakukan observasi sederhana pada kegiatan Bunkasai Fakultas Ilmu Budaya USU pada bulan Maret 2013. Dari hasil observasi, peneliti menemukan bahwa orang Jepang yang tinggal di Medan sangat menghargai kegiatan kebudayaan Jepang yang diadakan oleh mahasiswa Departemen Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya USU. Hal ini ditandai dengan lebih dari 20 orang Jepang bersama-sama melakukan tarian Bon Odori saat penutupan kegiatan Bunkasai tersebut.

(25)

dirinya dapat berinteraksi dengan baik adalah dengan mempelajari bahasa Indonesia.

Komunikasi sudah sangat mudah dilakukan oleh orang yang berasal dari berbagai budaya berbeda tanpa rasa takut terjadinya kesalahpahaman dalam penerimaan pesan sekalipun dengan menggunakan bahasa tertentu ketidakpastian dalam sebuah hubungan tidak dapat dihindari begitu saja. Saat ini kita dengan mudah menemukan pasangan dari budaya yang berbeda membina rumah tangga, dimana mempunyai tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi pada awal komitmen kedua individu yang terlibat dalam pernikahan tersebut.

(26)

Melihat bagaimana sebuah konteks budaya tertentu, kita juga dapat melihat bagaimana proses interaksi yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang berasal dari konteks budaya tinggi akan mengutamakan pesan non-verbal sebagai sumber informasi tentang lawan interaksinya. Sedangkan mereka yang berbudaya konteks rendah, lebih suka mencari tahu informasi tentang lawan interaksinya dengan bertanya langsung. Artinya, terdapat variabel-variabel tertentu yang memengaruhi seseorang dari sebuah konteks kebudayaan dalam usahanya untuk menciptakan interaksi yang efektif (Littlejohn and Foss, 2009: 220-221).

Pelaku interaksi memulai pertukaran makna dari bahasa yang tersusun dari rangkaian simbol-simbol yang telah disepakati maknanya. Perbedaan bahasa, ekspresi wajah, cara makan ataupun cara bergaul menjadi hal yang harus dikompromikan agar tercipta keselarasan dalam interaksi. Nilai yang melekat pada budaya pelaku interaksi harus dikonstruksi ulang untuk mendapatkan keselarasan makna dalam rangka menciptakan mutual understanding.

Setiap interaksi yang dilakukan tentu memuat ketidakpastian yang berbeda-beda, sehingga setiap individu dituntut untuk berperan aktif melakukan pertukaran informasi mengenai budayanya dengan tujuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian tersebut. Ketidakpastian bersumber dari ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi orang lain. Salah satu kendala yang menyebabkan situasi ini terjadi dan tidak dapat dihindari adalah perbedaan bahasa.

(27)

antarbudaya dapat diminimalkan dengan mengenal budaya kedua belah pihak agar komunikasi efektif dapat tercapai.

1.2 Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penelitian ini perlu diberi batasan agar kajian tidak meluas sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun pembatasan masalah yang dapat dijabarkan pada penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini untuk melihat hubungan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya.

2. Objek penelitian ini adalah warga Jepang yang tinggal di Indonesia, atau warga Jepang yang pernah tinggal di Indonesia.

3. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei – Desember 2013.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat diajukan untuk penelitian ini berdasarkan latar belakang serta pembatasan masalah di atas adalah:

(28)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian menjadi dasar untuk mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam sebuah penelitian. Penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang diajukan maka tujuannya adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecemasan terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi positif terhadap kajian komunikasi antarbudaya, khususnya di tempat peneliti menuntut ilmu.

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Sebuah penelitian yang baik adalah penelitian yang merujuk kepada beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai masalah yang sama dengan apa yang hendak diteliti saat ini. Penelitian terdahulu diharapkan dapat memudahkan seorang peneliti untuk menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan berkaitan dengan penelitiannya.

Berdasarkan beberapa temuan, peneliti mencoba merangkum penelitian dengan kata kunci kompetensi komunikasi antarbudaya. Penelitian pertama disampaikan Freddy Kurniawan (2011) yang melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang dimiliki oleh anggota Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) baik etnis Tionghoa maupun Jawa yang mendukung keberhasilan komunikasi antarbudaya pada organisasi tersebut.

Metodologi penelitian yang digunakannya deskriptif kualitatif dengan pendekatan interpretif yang mendeskripsikan dan memahami perilaku dan praktik komunikasi informan kedua etnis di PMS. Kemudian dalam menganalisis data temuan mengacu pada teori kompetensi komunikasi antarbudaya Brian H. Spitzberg dan William B. Gudykunst. Penelitian difokuskan pada hasil kompetensi, faktor penghambat dan kompetensi komunikasi antarbudaya informan dari kedua etnis.

(30)

Etnosentrisme, stereotip dan prasangka yang dimiliki anggota PMS bukan merupakan hal yang mutlak yang dapat menjadi faktor penghambat dalam interaksi. Dengan demikian, para anggota mampu menyikapi faktor penghambat tersebut secara arif.

Amia Luthfia R. Koestoer (1999) melakukan penelitian dengan metode kualitatif observasional tentang Proses Adaptasi Peserta Training dari Indonesia di Adelaide - Australia. Peneliti berpartisipasi secara aktif di dalam kehidupan sehari-hari subyek penelitian dan situasi studi untuk melihat kompetensi komunikasi subyek penelitian.

Konsep kompetensi komunikasi dalam penelitian ini digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas komunikasi seseorang atau sekelompok orang. Dimensi effectiveness dan appropriateness digunakan untuk menilai kompetensi komunikasi subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan anggota kelompok yang belum memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik masih memerlukan bantuan anggota kelompok lain saat berinteraksi dengan orang Australia.

Situasi mindful dalam berinteraksi dapat diwujudkan jika setiap orang yang terlibat di dalamnya menyadari perbedaan dan kesamaan yang mereka miliki sebagai anggota kelompok tertentu. Turnomo Rahardjo (2004) mencoba melihat bagaimana pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian membantu terciptanya proses mindful. Penelitian ini merujuk pada teori Anxiety/Uncertainty Management dari Gudykunst untuk melihat proses mengurangi kesalahpahaman dalam berinteraksi.

(31)

antarbudaya yang memadai, yaitu kemampuan menyelaraskan motivasi, pengetahuan dan kecakapan sehingga mereka dapat berkomunikasi secara layak, efektif dan memuaskan. Peneliti juga menemukan stereotip dan prasangka memberikan kontribusi dalam terciptanya komunikasi yang mindful.

Chang (2013) juga melihat mindfulness sebagai bagian penting dalam komunikasi antarbudaya. Penelitian yang dilakukannya menunjukkan interaksi yang paling sukses tidak semata disebabkan karena peserta kuliah mampu menulis dan berbahasa Inggris dengan baik tapi lebih disebabkan karena dalam berinteraksi mereka mempunyai kesadaran yang cukup baik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner melalui email.

Ketika berinteraksi dalam konteks antarbudaya, seseorang yang terlibat di dalamnya membawa identitas etnis yang melekat dalam dirinya. Identitas etnis menjadi salah satu sumber untuk seseorang menentukan cara yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Arifah Armi Lubis (2010) pada mahasiswa asing di FK USU menunjukkan identitas etnis dapat berperan sebagai faktor pendorong ataupun penghambat dalam komunikasi antarbudaya. Identitas etnis ini dipengaruhi oleh jenis kelamin dan tempat tinggal subjek penelitian. Pada kasus ini, identitas etnis dipertahankan oleh subjek penelitian dengan tetap menampilkan ciri khas mereka saat berada di tengah lingkungannya. Misalnya, perempuan menggunakan baju kurung dan laki-laki tetap mempertahankan aksen melayu saat berbicara.

(32)

dalam interaksi antarbudaya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan semi-kualitatif. Kesalahpahaman dalam memberi reaksi terhadap identitas etnis menimbulkan ketidakpedulian, kejutan dan rasa marah. Keadaan ini ditanggapi secara beragam tergantung kepada pengalaman seseorang sebelumnya. Sterotip dan prasangka memengaruhi reaksi seseorang dalam mengatasi masalah tersebut.

Selain memahami identitas etnis dari masing-masing individu yang terlibat dalam interaksi antarbudaya, kesadaran dalam mengerti kebiasaan unik dari setiap individu juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam interaksi antarbudaya. Ikeguchi (2002) melakukan penelitian kepada sejumlah orang asing yang menetap di Jepang untuk melihat reaksi mereka terhadap kebiasaan membungkuk saat berinteraksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut menjadi salah satu penyebab kejutan budaya. Disebutkan dalam tulisannya:

A common pattern observed for all the respondents in the study: bowing has been a source of culture shock to people from different cultures. Observing Japanese bowing to each other found to be a beautiful scene from an out-group member. Some subjects reported a positive reaction to watching Japanese bow during the first few months of their stay but something starts to puzzle them gradually (Ikeguchi, 2002).

(33)

komunikasi antarbudaya dalam masyarakat China modern dan masyarakat Jepang, karena mereka menunjukkan perbedaan yang menakjubkan dalam hubungan manusia dalam budaya yang bertetangga.

Hasil penelitian menunjukkan keragaman budaya dan bahasa memberi pengaruh bagi masing-masing siswa yang menjadi responden penelitian. Kesopanan dalam interaksi antarbudaya termasuk dalam pemilihan bahasa yang digunakan dan ekspresi yang pilih untuk mengurangi konflik.

2.2. Pendekatan Positivisme

Sebuah penelitian memerlukan satu sudut pandang yang menjadi acuan, agar penelitian tidak melahirkan sebuah kesalahan dari setiap aspek yang diteliti. Penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana proses penyampaian pesan dalam proses interaksi antara orang berbeda budaya, khususnya orang Jepang di Indonesia. Interaksi di sini tentu akan dipengaruhi oleh kebiasaan dan bahasa yang dikuasai kedua pihak yang berkomunikasi karena latar belakang budaya yang berbeda.

(34)

dan obyek dalam penelitian. Secara akademik, kaidah positivism banyak memengaruhi penelitian sosial (Danandjaja, 2012: 13)

Gagasan utama pendekatan positivisme di sini adalah melihat ilmu sosial sebagai sebuah metode yang terorganisir untuk menggabungkan logika deduktif dengan observasi empiris yang tepat dari perilaku individu dalam rangka menemukan dan mengkonfirmasi satu set kausal hukum probabilitas yang kemudian dapat digunakan untuk membuat prediksi pola umum dari aktivitas manusia (Neuman, 1997: 63). Pendekatan positivisme memiliki karakteristik khusus, yaitu:

1. Alasan penelitian; untuk menemukan hukum alam sehingga orang dapat memperkirakan dan mengendalikan peristiwa tertentu.

2. Sifat realitas sosial; pola yang sudah ada sebelumnya stabil atau perintah yang dapat ditemukan.

3. Sifat manusia; mementingkan diri sendiri dan rasional individu yang dibentuk oleh faktor ekstenal.

4. Peran akal sehat; jelas berbeda dan kurang berlaku daripada ilmu pengetahuan.

5. Gambaran teori; sebuah logika, sistem deduktif dari definisi yang saling berhubungan, aksioma dan hukum.

6. Penjelasan yang benar; secara logika terhubung dengan hukum dan berdasarkan pada fakta.

(35)

8. Tempat untuk nilai; ilmu pengetahuan itu bebas nilai, dan nilai tidak memiliki tempat yang diharapkan saat memilih topik.

Paradigma positivisme adalah salah satu yang berakar pada ilmu fisika, menggunakan pendekatan scientific yang sistematis untuk penelitian. Hughes menyebutkan paradigma positivis melihat dunia sebagai yang berbasis pada tidak berubah, hukum-hukum universal dan pandangan bahwa segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita dapat dijelaskan oleh pengetahuan tentang hukum universal. Untuk memahami hukum universal ini kita perlu mengamati dan merekam peristiwa dan fenomena di sekitar kita dengan cara yang sistematis dan kemudian bekerja di luar prinsip dasar yang 'disebabkan' peristiwa terjadinya (Mukherji, 2010: 11).

Keesing menyebutkan contoh dari proses ini dalam tindakan adalah kisah Sir Isaac Newton dan Apel. Dikatakan bahwa Isaac Newton sedang berjalan di kebun apel dan melihat buah apel jatuh lurus ke bawah ke tanah. Dia mulai bertanya-tanya tentang seberapa jauh di atas bumi gaya gravitasi memiliki efek dan mulai mengembangkan teori gravitasi (Mukherji, 2010: 11).

2.3. Komunikasi Antarbudaya

(36)

umumnya sangat terikat dengan konteks komunikasi antarbudaya karena manusia yang melakukan interaksi tersebut merupakan produk dari sebuah budaya.

Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup, belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang sesuai dan tidak sesuai dengan dirinya karena di dalamnya terdapat tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai dan faktor lainnya yang diperoleh sekelompok besar orang secara turun-temurun (Lubis, 2012: 10). Budaya menuntun seseorang berperilaku dan berkomunikasi karena budaya menunjukkan siapa diri kita, bagaimana seharusnya bertindak, berpikir, berbicara dan mendengarkan (Gamble and Gamble, 2005: 39).

Komunikasi antarbudaya terdapat di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Lingkungan formal dan informal juga menjadi satu tempat pertukaran kebudayaan. Setiap individu mempunyai nilai budaya yang sudah mereka miliki sejak usia dini, karena budaya itu sendiri dapat dipelajari, dibagikan ataupun diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Samovar dan Potter menyebutkan hubungan antara budaya dan komunikasi saling timbal balik masing-masing mempengaruhi dalam banyak hal. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, menghadiri, atau mengabaikan, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya kita. Budaya tidak bisa eksis tanpa komunikasi, seseorang tidak dapat berubah tanpa menyebabkan perubahan lain (Jandt dalam Eadie, 2009: 404).

Salah satu kajian terdahulu yang dapat menggambarkannya adalah tulisan berikut:

(37)

maupun Jawa yang mendukung keberhasilan komunikasi antarbudaya di tubuh organisasi tersebut. Metodologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan interpretif yang mendeskripsikan dan memahami perilaku dan praktik komunikasi informan kedua etnis di PMS. Teknik analisis data mengacu pada teori kompetensi komunikasi antarbudaya Brian H. Spitzberg dan William B. Gudykunst. Penelitian difokuskan pada hasil kompetensi, faktor-faktor penghambat, dan kompetensi komunikasi antarbudaya masing-masing informan dari kedua etnis. penulis sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing anggota PMS baik etnis Tionghoa dan Jawa telah mampu menjalin komunikasi antarbudaya satu sama lain secara kompeten. Meskipun demikian, masih ditemukan faktor-faktor penghambat berupa etnosentrisme, stereotip, dan prasangka pada masing-masing anggota PMS. Namun, mereka berkeyakinan bahwa faktor-faktor penghambat ini bukan merupakan hal yang mutlak. Dengan demikian, mereka mampu menyikapi faktor penghambat tersebut secara arif (Kurniawan, 2011).

Perbedaan budaya antara individu yang berinteraksi adalah sebuah keharusan, karena setiap pelaku interaksi membawa nilai-nilai budaya yang dimiliki dalam kehidupan sosialnya. Perbedaan budaya ini dapat menjadi penyebab terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi karena individu yang terlibat dalam interaksi menganggap kepercayaan, perilaku dan sikap mereka yang bersumber dari nilai budayanya tersebut adalah normal.

(38)

Berikut ini merupakan beberapa pendapat ahli yang berhasil dirangkum berkaitan dengan komunikasi lintas budaya:

“The term cross-cultural communication is usually reserved for theory and research that compare specific interpersonal variables such as convertional distance, self-disclosure, and styles of conflict resolution across two or more different cultures.”

"Istilah komunikasi lintas-budaya biasanya disediakan untuk teori dan penelitian yang membandingkan variabel interpersonal seperti jarak percakapan, keterbukaan diri, dan gaya penyelesaian konflik di dua atau lebih kebudayaan yang berbeda" (Griffin, 2006: 425).

“Cross-cultural communication is normally thought of as communication that takes place between members of whole cultures in contact or between their cultural spokespersons or representatives. Cross-cultural communication is distinguished from intracultural communication, which occurs between people sharing a common culture, and intercultural communication, which refers to exchanges in interpersonal settings between individual from different cultures.”

"Komunikasi lintas-budaya biasanya dianggap sebagai komunikasi yang terjadi antara kontak seluruh anggota budaya atau antara juru bicara budaya mereka atau perwakilan. Komunikasi lintas-budaya dibedakan dari komunikasi intra-lintas-budaya, yang terjadi antara orang-orang berbagi budaya umum, dan komunikasi antarbudaya, yang mengacu pada pertukaran dalam pengaturan interpersonal antara individu dari budaya yang berbeda" (Littlejohn and Foss, 2009: 247).

Selain itu, Andrik Purwasito dalam bukunya Komunikasi Multikultural juga menyampaikan hal yang serupa dengan pernyataan di atas, terkait hal yang membedakan komunikasi antarbudaya dan komunikasi lintas budaya. Kedua konteks komunikasi tersebut mempunyai perbedaan pada kajiannya. Komunikasi lintas budaya lebih ditekankan pada analisis perbandingan fenomena satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya (Purwasito, 2003: 125).

(39)

dalam proses interaksinya terdapat ketidakpastian, karena perbedaan budaya yang dimiliki mengarah pada perbedaan tidak hanya nilai budaya semata.

Perbedaan itu juga dapat berupa perbedaan pengetahuan, status sosial yang melekat pada diri, kenyamanan dan yang paling sederhana adalah bahasa yang digunakan. Seseorang yang berinteraksi dengan orang yang berada di luar budayanya dituntut untuk mempunyai kompetensi komunikasi.

Seseorang yang berkompeten dalam komunikasi antarbudaya dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu berkomunikasi secara efektif dan berhasil. Kajian yang dapat memberi gambaran bagaimana interaksi orang yang berbeda budaya salah satunya adalah penelitian berikut:

(40)

Saat ini penggunaan komunikasi lintas budaya dan komunikasi antarbudaya lebih berfokus pada konteks penggunaannya dalam membedakan interaksi individu yang berbeda budaya berasal dari satu negara atau mereka yang berasal dari negara berbeda. Komunikasi lintas budaya mengambil beberapa sumber variasi dari nilai budaya untuk menjadi acuan penelitian. Misalnya, jarak kekuasaan, nilai individualisme-kolektivisme, cara seseorang menilai dirinya dan bagaimana tinggi-rendahnya konteks suatu budaya. Peneliti lain, Michael H. Prosser menyebutkan bahwa dampak dari teknologi dan khususnya teknologi informasi, stabilitas budaya dan perubahan budaya, imperialism budaya dan ketergantungan budaya menjadi dasar mengkaji komunikasi lintas budaya (Littlejohn and Foss, 2009: 248).

Penelitian mengenai komunikasi lintas budaya dapat mencakup beberapa aspek, salah satunya adalah komunikasi bisnis lintas budaya. Kajian ini juga mencoba melihat bagaimana proses interaksi dalam lingkup bisnis bagi orang-orang yang berbeda budaya yang terlibat di dalamnya seperti penelitian di bawah ini:

(41)

2.4. Kompetensi Komunikasi

Kegiatan berkomunikasi merupakan kegiatan yang sudah biasa dilakukan oleh siapa saja, namun hanya sedikit dari kita yang telah menguasai kompetensi komunikasi. Kompetensi secara sederhana dilihat sebagai kemampuan seseorang yang di dalamnya terdapat keterampilan, pengetahuan dan sikap dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan tertentu sesuai dengan standar yang ada.

Kompetensi komunikasi yang baik ditandai dengan adanya mindfulness

dari pelaku interaksi yang pada akhirnya akan menciptakan komunikasi yang efektif. Kemampuan seseorang untuk menyampaikan pesan dengan tepat dapat disebut sebagai kompetensi komunikasi. Sedangkan kemampuan yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dalam mengelola pertukaran pesan verbal dan nonverbal yang tujuannya untuk menciptakan kesamaan memahami pesan sehingga komunikasi efektif dapat tercapai disebut kompetensi komunikasi (Samovar et. al., 2010: 460).

Kompetensi komunikasi sebagai alat ukur dalam melihat kualitas komunikasi hingga dapat dikategorikan komunikasi efektif tergambar dalam penelitian berikut:

(42)

sangat diandalkan untuk berkomunikasi dengan orang Australia” (Koestoer, 1999).

Kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya lain dipengaruhi oleh komponen utama yang patut menjadi perhatian, seperti motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup tentang budaya, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas dan karakter.

J. H. Turner menyebutkan kebutuhan dasar dari seseorang memotivasi diri untuk berinteraksi dengan orang lain (Gudykunst and Kim, 2003: 276). Motivasi menjadi bagian hal yang penting untuk diperhatikan karena dalam interaksi dengan orang lain agar tercipta suasana yang positif harus terlihat oleh dua pelaku komunikasi motivasi dari kedua pihak. Motivasi yang logis dan alami akan membentuk persepsi tentang keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya.

Pengetahuan yang cukup tentang budaya menjadi penting karena dengan mempunyai komponen ini dengan sendirinya seseorang menyandari dan memahami peraturan, norma dan harapan yang dapat dikelompokkan dengan budaya orang-orang yang berinteraksi dengannya. Dalam usaha mencapai kompetensi dalam komunikasi, seseorang diharapkan memiliki pengetahuan konten yang meliputi pengetahuan mengenai isi pesan dan pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana proses isi pesan disampaikan dalam situasi tertentu (Samovar et. al., 2010: 462).

(43)

tujuan tertentu. Sensitivitas dalam berkomunikasi diperlukan sebagai salah satu syarat kompetensi lainnya karena dalam proses interaksi yang terdiri dari beberapa latar belakang budaya akan menimbulkan gesekan bila sensitivitas tidak diasah sebaik mungkin.

Karakter menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai kemampuan komunikasi. Karakter menjadi dasar penilaian bagi sekelompok orang karena karakter dapat diasosiakan sebagai sifat seseorang yang terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan. William Howel menyebutkan terdapat empat tingkatan dari kompetensi komunikasi, yaitu:

1. Unconscious Incompetence: Tidak sadar dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dimaksud tidak sadar adalah telah salah menafsirkan pesan atau perilaku komunikasi pihak lain secara tidak sadar. Sedangkan tidak bisa melakukan apa-apa adalah tidak cukup peduli dengan perilaku komunikasinya sendiri. Bentuk kompetensi ini adalah yang paling rendah dari bentuk lainnya.

2. Conscious Incompentence: Sadar dalam berkomunikasi, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Sadar adalah komunikasi yang dilakukannya tidak efektif dan seringkali terjebak pada salah paham, seperti penanganan konflik yang tidak produktif. Meskipun begitu, mampu melakukan apapun untuk memperbaikinya.

(44)

4. Unconscious Competence: Tidak sadar karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan mampu melakukan sesuatu. Bentuk ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam kompetensi komunikasi. Orang pada tingkatan ini memiliki kemampuan untuk menyatukan tindakan komunikasi menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari. Dia tidak perlu lagi sibuk untuk mengatur perilakunya terus menerus karena secara otomatis dirinya telah menyesuaikan (Griffin, 2006: 431).

Menurut Gudykunst, mindfulnessterdapat pada situasi kompetensi ketiga yaitu pada tahap seseorang sadar saat berkomunikasi dan mampu melakukan sesuatu. Orang tersebut dalam tahapan ini mampu mengontrol perilaku komunikasinya secara sadar dan melakukannya terus menerus sehingga menjadi komunikasi yang lebih efektif (Gudykunst and Foss, 2003: 40).

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia mencoba melihat bagaimana

mindfulness dalam interaksi Mahasiswa Berbeda Agama. Penelitian tersebut menghasilkan gambaran sebagai berikut:

(45)

Keadaan di atas disebutkan oleh Langer (1989) sebagai suatu cara berkomunikasi secara automatic pilot. Perilaku orang asing dipahami menggunakan kerangka rujukan yang dimiliki dan berusaha unutk mengevaluasinya daripada mencoba memahami perilaku tersebut. Seseorang yang

mindful tidak akan melihat hasil akhir dari komunikasi yang dilaluinya, tapi mencoba untuk fokus pada proses komunikasi itu sendiri (Gudykunst and Foss, 2003: 406).

2.5. Teori Manajemen Kecemasan dan Ketidakpastian

Ahli komunikasi seperti Gudykunst, Ting-Toomey, Samovar dan beberapa lainnya mencoba untuk memilah beberapa teori yang membahas individu dengan budaya. Mereka mencoba mengelompokkan teori antarbudaya dan lintas budaya, namun ternyata tidak mudah untuk memisahkan teori-teori tersebut. Maka kajian komunikasi antarbudaya dan lintas budaya sering menggunakan teori yang sama untuk membahas sebuah kajian. Kompetensi komunikasi antarbudaya dapat menggunakan beberapa teori yang sudah dikelompokkan ke dalam lingkup kajian lintas budaya.

(46)

Hofstede membuat empat dimensi nilai untuk mengukur secara statistik nilai budaya suatu negara. Empat dimensi nilai ini diidentifikasi atas sifat individualism/kolektivisme, menghindari ketidakpastian, pengaruh kekuasaan dan maskulin/feminin yang merupakan hasil penelitiannya terhadap 100.000 lebih manajer dalam organisasi multinasional yang berasal dari 50 negara dan 3 daerah geografis (Samovar et. al., 2010: 236).

Teori Anxiety/Uncertainty Management (AUM) dikembangkan oleh William B. Gudykunst pertama sekali pada tahun 1985 dengan perhatian awal tertuju pada proses komunikasi efektif dalam kelompok. Secara resmi teori ini diperkenalkan dengan label AUM pada tahun 1993. Pada perkembangannya teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks komunikasi antarbudaya.

Gudykunst menjadi tertarik pada penyesuaian antarbudaya ketika beliau menjabat sebagai Spesialis Hubungan Antarbudaya dengan Angkatan Laut AS di Yokosuka, Jepang. Tugasnya terlibat pada program pelatihan penyesuaian selama tiga-hari untuk personil angkatan laut dan keluarganya serta konsultasi tentang masalah-masalah hubungan antarbudaya antara personel Jepang dan angkatan laut. Program pelatihan ini dirancang untuk membantu para peserta dalam beradaptasi dengan tinggal dan bekerja di Jepang. Melalui pengalaman sebagai Spesialis Hubungan Antarbudaya tersebut Gudykunst memutuskan untuk mengejar gelar Ph.D. dalam komunikasi antarbudaya (Gudykunst, 2002: 1).

(47)

Gudykunst menilai URT masuk akal baginya; 2) URT berfokus pada ketidakpastian (misalnya, ketidakmampuan untuk memprediksi perilaku orang lain) yang dapat dihubungkan langsung ke penyesuaian antarbudaya; dan 3) Gudykunst bisa melihat aplikasi langsung dari URT untuk meningkatkan kemampuan pendatang untuk beradaptasi dengan budaya baru.

Gudykunst secara khusus ฀riter perhatian pada ฀riteria orang asing yang menjadi objek penelitiannya. Gudykunst menyebutkan ada perbedaan antara penyesuaian “pendatang” dan asimilasi atau akulturasi imigran atau pengungsi. “Sojourners” adalah pengunjung yang melakukan perjalanan ke budaya lain untuk tinggal selama jangka waktu tertentu (misalnya, beberapa bulan sampai beberapa tahun), tetapi tidak berniat untuk tinggal secara permanen dalam budaya tuan rumah. Imigran atau pengungsi adalah orang-orang yang melakukan perjalanan ke budaya lain dengan tujuan permanen yang berada dalam budaya itu.

Tujuan yang berbeda sering menyebabkan perbedaan dalam cara pendatang dan imigran beradaptasi untuk hidup dalam budaya host (misalnya, “pendatang” umumnya tidak mengubah identitas budaya mereka, sementara imigran mungkin). Teori ini terbatas pada “pendatang” melakukan penyesuaian jangka pendek terhadap budaya tuan rumah (Gudykunst, 2002: 2).

(48)

Gudykunst menyebutkan bahwa ketidakpastian itu ada pada level kognitif seseorang, sedangkan kecemasan berada di level afektif. Gudykunst coba menjelaskan pemahaman mengenai uncertainty dan anxiety melalui beberapa tulisan peneliti sebelumnya dalam bukunya Communicating with Strangers:

“Uncertainty refers to our inability to predict or explain others behavior, feelings, attitudes, or values. When we reduce uncertainty about others and ourselves, understanding is possible… Anxiety refers to the feeling of being uneasy, tense, worried, or apprehensive about what might happen. It is an affective (emotional) response, not a cognitive response like uncertainty.”

“Ketidakpastian mengacu pada ketidakmampuan kita untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain, perasaan, sikap, atau nilai-nilai. Ketika kita mengurangi ketidakpastian tentang orang lain dan diri kita sendiri, pengertian mungkin terjadi… Kecemasan mengacu pada perasaan gelisah, tegang, cemas, atau khawatir tentang apa yang mungkin terjadi. Ini adalah respon afektif (emosional), bukan respon kognitif seperti ketidakpastian” (Gudykunst and Kim, 2003: 13).

Teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana seseorang yang asing dengan budaya di sekitarnya dapat berkomunikasi secara efektif melalui manajemen mindful. Teori ini menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi bila dilakukan manajemen mindful pada tingkatan kecemasan dan ketidakpastian seseorang dalam proses interaksinya.

(49)

satu fenomena di tingkat kognitif yang melibatkan ketidakpastian yang terduga maupun ketidakpastian yang memberi penjelasan. Langer (1989) menyebutkan bahwa jika ingin menjadi seseorang yang mindful, harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu pandangan yang dapat digunakan untuk memahami atau menjelaskan bentuk interaksi dengan orang asing (Gudykunst and Kim, 2003: 40).

Sama halnya dengan teori Charles Berger yang menggunakan axioma-axioma tertentu dalam menjelaskan bagaimana suatu hubungan, teori ini juga mempunyai 47 axioma yang berkaitan dengan bagaimana konsep diri, motivasi berinteraksi, reaksi terhadap orang asing, dan poin-poin lain yang tertera dalam bagan sebelumnya.

Salah satu aksioma menyatakan peningkatan kesadaran seseorang dalam proses komunikasinya dengan orang asing, akan menghasilkan peningkatan kemampuannya untuk mengelola kecemasan dan ketidakpastian (Littlejohn and Foss, 2009: 37). Dengan kata lain, teori ini melihat bahwa kecemasan dan ketidakpastian akan muncul dalam situasi interaksi seseorang yang berbeda budaya dan mereka mencoba menguranginya dengan cara yang berbeda.

Chang (2013) menyebutkan mindfulness menjadi perhatian utama untuk mencapai kompetensi komunikasi antarbudaya. Bahkan Mindfulness tersirat sebagai faktor penentu suksesnya komunikasi antarbudaya seseorang dalam beberapa teori lain, meskipun tidak secara khusus disebutkan.

(50)

komunikasi dalam dirinya sehingga dalam interaksi dapat tercipta komunikasi yang efektif.

Gambar 2.1. Bagan teori manajemen kecemasan-ketidakpastian

Konsep Diri

Motivasi Berinteraksi Reaksi terhadap Orang Asing Kategori Sosial Orang Asing

Proses Situasional

Hubungan dengan Orang Asing Kepantasan Berinteraksi

Kompetensi Komunikasi Manajemen

Ketidakpastian

Manajemen Kecemasan

Sumber (Gudykunst and Kim, 2003: 43)

Faktor yang tergambar dalam bagan menjadi acuan peneliti dalam menyusun serangkaian pertanyaan dan dasar dalam melakukan observasi lapangan. Faktor tersebut secara spesifik digambarkan dalam aksioma milik Gudykunst berikut ini:

1. Konsep diri.

Aksioma 3, menjelaskan bagaimana kecemasan dalam interaksi dapat menurun dan mampu menciptakan kemampuan bagi seseorang untuk memprediksi perilaku lawan dengan akurat, apabila ketika berinteraksi dengan orang asing seseorang mampu meningkatkan harga dirinya.

2. Motivasi berinteraksi.

(51)

meningkatnya keyakinan pada kemampuannya untuk memprediksi tingkah laku orang asing.

3. Reaksi terhadap orang asing.

Aksioma 10, menyebutkan peningkatan kemampuan untuk memproses informasi kompleks tentang orang asing dapat menghasilkan penurunan kecemasan dan meningkatkan kemampuan dalam memprediksi perilaku lawan interaksi secara akurat.

Aksioma 13, tentang bagaimana toleransi dan ambiguitas membawa pengaruh terhadap penurunan kecemasan dalam diri seseorang.

4. Kategori sosial orang asing.

Aksioma 17, menjelaskan bagaimana kesamaan pribadi yang dirasakan seseorang terhadap orang asing dapat memengaruhi tingkat kecemasan. Artinya, ketika seseorang merasa semakin memahami kesamaan dirinya dengan orang asing dapat menurunkan kecemasan dalam diri. Keadaan ini akan meningkatkan kemampuan dirinya memprediksi perilaku lawan interaksinya dengan akurat.

Aksioma 20 juga menjelaskan tentang peningkatan kemampuan seseorang dalam memahami bahwa dirinya berbagi identitas tertentu dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan akan meningkatkan kemampuannya memprediksi perilaku.

5. Proses situasional.

(52)

6. Hubungan dengan orang asing.

Aksioma 27, berfokus pada peningkatan kemampuan untuk menarik perhatian orang asing akan meningkatkan keyakinan dalam memprediksi tingkah laku karena kecemasan sudah berkurang.

Aksioma 31, menekankan pada jaringan yang terbangun dengan orang asing memengaruhi tingkat kecemasan dan kemampuan memprediksi perilaku dengan akurat.

7. Etika berinteraksi.

Aksioma 34, menyebutkan peningkatan inklusif moral seseorang terhadap orang asing akan menghasilkan penurunan tingkat kecemasan dalam diri.

Di dalam interaksi komunikasi antarbudaya, setiap pelaku komunikasi membawa identitas dirinya sebagai individu maupun identitas dirinya sebagai bagian dari kelompok budanyanya. Identitas seseorang terbentuk atas pengalaman sehingga disebutkan bahwa identitas merupakan hal yang dinamis dan beragam. Identitas budaya terbentuk karena adanya aktivitas komunikasi antara kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda (Samovar et. al, 2010: 185).

2.5.1. Kritik untuk teori AUM

(53)

yang tertarik dengan kajian komunikasi antarbudaya salah satu orang yang menyampaikan beberapa gagasan yang mengkritik teori AUM Gudykunst.

Yohitake (2002) memulai tulisannya dengan menyampaikan uraian kritik yang disampaikan oleh Griffin dan Ting-Toomey, keduanya melihat kelemahan teori dari celah yang berbeda. Griffin mengkritik kompleksitas teori AUM, dengan menyebut aksioma teori AUM dapat dipecah menjadi lebih banyak lagi. Ting – Toomey lebih berfokus pada konten salah satunya mengenai konsep kedekatan yang sangat mengacu pada konsep budaya barat. Yoshitake setuju dengan pendapat dari Griffin dan Ting – Toomey, sehingga dalam tulisannya membahas tentang fokus yang terbatas pada komunikasi yang efektif, ketergantungan yang berlebihan pada mindfulness dan bias aksioma terhadap budaya lain.

Kritik terhadap teori AUM berkaitan dengan validasi terhadap teori tersebut karena memuat terlalu banyak aksioma sehingga akan sulit untuk melakukan validasi dengan analisis kualitatif. Gudykunst juga dinilai terlalu fokus melihat kesadaran dan kognisi sebagai bagian utama dalam membangun komunikasi, khususnya dalam konteks antarbudaya. Komunikasi sebagai sebuah proses tentu melibatkan banyak aspek yang diharapkan dapat menciptakan komunikasi efektif. Teori ini juga dinilai terlalu etnosentris dalam melihat proses pengiriman pesan.

(54)

perhatian, manajemen kecemasan/ketidakpastian). Menurut Gudykunst, penting bagi seorang kritikus memahami teori-teori sebelum mengkritiknya. 2) dalam mengkritik teori bagaimanapun harus mengevaluasi teori itu tidak menggunakan asumsi lain. 3) beberapa kritik Yoshitake tentang teori AUM didasarkan pada penalaran keliru dan salah membuat penilaian.

Bagi Gudykunst tidak ada yang salah sebuah teori dikritisi, namun menurutnya adalah hal keliru ketika kemudian kritikus mencoba untuk meruntuhkan teori. Sebagian besar kritik Yoshitake menurut Gudykunst tidak beralasan, tetapi menanggapi kritik telah membuatnya sadar bahwa elaborasi dan klarifikasi diperlukan di beberapa variabel teori AUM.

2.5.2. Kelemahan Teori AUM

Melalui kritik yang diajukan, maka Yip (2010) menyebutkan beberapa kelemahan dari teori AUM ini terdapat di beberapa bagian yaitu:

1. Sifat hubungan dalam komunikasi antarbudaya kurang menjadi perhatian teori ini. Teori ini kurang memperhatikan bahwa dalam hubungan yang sudah dibangun untuk jangka panjang, beberapa kesalahan dalam berkomunikasi dapat ditoleransi.

Gambar

Gambar 2.1. Bagan teori manajemen kecemasan-ketidakpastian
Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian
Tabel 2.1 Operasional Variabel
Tabel 4.1. Data umum responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Membangun rute perjalanan dari posisi awal ke semua kemungkinan lokasi yang ditemukan, proses ini merupakan inti dari aplikasi dimana proses simulasi semut dijalankan untuk

Tesis yang berjudul “Peningkatan Minat dan Hasil Belajar PPKn melalui Model Kooperatif Debat Peserta didik Kelas XI TPBO SMK Negeri 2 Depok Sleman Tahun

Dari hasil grafik di atas dapat di lihat hasil B/C Ratio yang diproleh menunjukkan bahwa pemberian ekstrak pegagan ( Centela asiatica ) pada air minum layak

Informasi yang dapat diperoleh dari Tabel 7 adalah kondisi hidrokimia memiliki hubungah yang sangat kuat dengan penggunaan airtanah untuk keperluan minum.. Hal ini bisa dilihat

Pada tataran operasional dilapangan mengenai realisasi wajar 9 tahun, mengalami beberapa penyimpangan, seperti mahalnya pendidikan disekolah sekolah negeri

[r]

Pendidikan dan pelatihan serta Motivasi yang diterima pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Emas Semarang memiliki pengaruh terhadap kinerja pegawai.. Hasil tersebut

dari barang butki memori volatile yang terdapat pada hardware pelaku , dari beberapa skenario difokuskan untuk perangkat komputer dan mobile, serta melalui tahapan