• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pendidikan 9 tahun docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan pendidikan 9 tahun docx"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

“Ditujukan untuk memenuhi tugas”

Mata Kuliah

: Kebijakan Pendidikan

Dosen

: ENDAH RETNO SUCI

Jurusan

: Tarbiyah - PAI (V-B)

Di susun Oleh

Kelompok 10 ( Sepuluh

)

-

Femita Dila Afwinda

-

Novia Iriani

-

Siti Nafsiah

-

Tria tantra

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH

MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Kebijakan Pendidikan yang membahas “Kebijakan Pendidikan Indonesia ”.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dosen Endah Retno Suci, M.Pd mata kuliah Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.

2. Orang tua, teman dan kerabat yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.

Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan datang, khususnya dalam bidang Teori Belajar dan Pembelajaran

(3)

Tim Penyusun

Kelompok10 (Sepuluh )

(4)

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I...1

PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...1

C. Tujuan Pembahasan...1

BAB II...2

PEMBAHASAN...2

A. UU Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun...2

B. Program Wajib Belajar 9 Tahun...3

C. Kebijaka Lembaga Pendidikan...10

BAB III...12

PENUTUP...12

A. Kesimpulan...12

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang dikembangkanlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab.

Pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah tersebut, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana UU Pendidikan?

2. Bagaimana Kebijakan Pendidikan 9 Tahun ?

3. Bagaimana Kebijakan lembaga Pendidikan?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui UU Pendidikan.

2. Untuk mengetahui Kebijakan Pendidikan 9 Tahun .

(6)
(7)

BAB II

PEMBAHASAN

A. UU Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

1. Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Wajib Belajar;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB BELAJAR.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

2. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah

(8)

Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

3. Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar.

4. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disebut MI adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar, di dalam pembinaan Menteri Agama.

5. Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disebut SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan

pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.

6. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disebut MTs adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat, di dalam pembinaan Menteri Agama.

7. Program paket A adalah program pendidikan dasar jalur nonformal yang setara SD.

8. Program paket B adalah program pendidikan dasar jalur nonformal yang setara SMP.

9. Pemerintah adalah Pemerintah pusat.

(9)

11. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan nasional.2

B. Program Wajib Belajar 9 Tahun

1. Deskripsi Program belajar 9 Tahun

Secara historis, program wajib belajar dikumandangkan oleh Pemerintah Suharto yang dituangkan dalam pelitia I miskipun pelaksanaanya baru dimulai pelita IV . Pada momentun hari pendidikan Nasional 2 Mei 1984 hal tersebut dijadikan sebagai pidato politik untuk pelaksanaan program wajib belajar. Program wajib belajar tersebut ditumpukan kepada anak usia 7 sampai 12 tahun untuk dapat mengenyam pendidikan dasar baik SD, MI atau sederajat. Kewajiban yang terkandung dalam pengertian wajib belajar itu sendiri ditumpukan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dilembaga pendidikan dasar, khususnya yang berusia 7 sampai 12 tahun. Walaupun kalau dilihat lebih jauh sebenarnya program wajib belajar sudah pernah dicanangkan tahun 1950-an ketika dilangsungkanya konfrensi UNESCO di India.3

Dalam perjalananya program ini terkesan agak lambat, hanya diawal yang kelihatan bersemangat tetapi dalam pelaksanaanya banyak menemui kendala. Hal ini bisa dilihat karena setelah sepuluh tahun pemerintah baru mencanangkan kembali program wajib belajar dengan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yaitu pada pidato politik saat memperingati hari pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 1994. Rencana wajib belajar sembilan tahun yang dikumandangkan dalam pidato Poltik oleh presiden Suharto, hanya sebatas retorika politik semata, sebab sampai mundurnya tahun 1998 belum pernah dikeluarkan peraturan pemerintah tentang wajib belajar. Memang sebelumnya ada PP No.27 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, tetapi secara spesifik belum mengatur tentang pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun.

Jadi sejak di canangkanya program wajar 9 tahun oleh presiden Suharto pada tang 2 Mei 1994 sampai lahirnya PP No. 47 Tahun 2008, pelaksanakan wajib belajar 9 tahun seperti berjalan tanpa arah yang jelas, karena hanya didasarkan peraturan setingkat menteri. Sehingga terkesan pemerintah tidak serius dalam melaksanakan

2Ibid

(10)

program wajib belajar 9 tahun tersebut. Bagaimana mungkin program wajar 9 tahun dapat selesai tahun 2006, sebagaimana pidato presiden RI pada pengantar RAPBN tahun 2000 .

Seiring dengan lahirnya UU sisdiknas No. 20 Tahun 2003 sebagai pengganti UU No. 2 Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989, maka pemerintah harus segera menjabarkan pelaksanaan Undang-undang tersebut dalam tataran operasional pelaksanaan, tidak terkecuali dengan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan secara adalah dan merata. Maka sebagai konsekwensi terhadap di tetapkannya dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008, tentang Wajib Belajar 9 Tahun.

2. Keberhasilan Program Wajar 9 Tahun

Klaim pemerintah terhadap keberhasilan program wajib belajar 9 tahun memang perlu dipertanyakan, sebagaimana yang disampaikan oleh mendiknas Bambang sudibyo bahwa keberhasilan program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun telah melampau target yaitu mencapai 96,18 %. Target Nasioanal tahun 2010 hanya 95 % . Sebab data ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Kantor Komnas Perlindungan Anak ( PA ), menurut data resmi yang dihimpun dari 33 kantor Komnas Perlindungan Anak di 33 Propinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11, 7 juta jiwa Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk. Ternyata, peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat besar, pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa.4

(11)

tahun.Program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) masih dibutuhkan untuk menekan angka anak putus sekolah. Sayangnya, jumlah orang tua asuh saat ini makin berkurang.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistyo mengemukakan, pemerintah hanya bermain di angka-angka terkait keberhasilan program Wajar Dikdas 9 tahun. Padahal, data yang disodorkan pemerintah itu belum tentu benar. Sementara itu, pengamat pendidikan Winarno Surakhmad menegaskan bahwa program Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak berusia 7-12 tahun adalah program yang kental nuansa politik dan hanya membebani guru. “Usaha pemerintah patut dihargai. Akan tetapi, tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan peraturan. Wajib belajar misalnya, membutuhkan komitmen baik masyarakat maupun pemerintah, dan itu sulit diatur. Sebagai contoh, program wajar enam tahun yang pernah dicanangkan pemerintah saja keberhasilannya belum dapat dibuktikan. Program itu sudah digiring ke ranah politik, Durasi belajar jangan menjadi substansi, melainkan kompetensi yang harus dicapai peserta didik untuk menghadapi hari ini dan esok. “Wajar Dikdas selama ini lebih menjadi target pemerintah, tetapi target peserta didik luput dari perhatian. Kebijakan wajar itu harus ditempatkan dalam kerangka mencerdaskan bangsa. .5

Memang kalau kita cermati , pemerintah hanya ingin mengejar target penuntasan Wajar Dikdas pada 2008 untuk membuktikan kepada dunia internasional, bahwa Indonesia telah berhasil menuntaskan pendidikan anak usia 7-12 tahun. Padahal, program tersebut membawa konsekuensi terhadap para guru, yakni guru akan menanggung beban lebih berat karena jumlah murid yang harus ditampung dalam tiap kelas menjadi lebih banyak. Sementara kemampuan dan kompetensi yang dimiliki guru-guru di Indonesia antara satu provinsi dan provinsi lainnya belum standar. “Bagi guru-guru di daerah tertentu mungkin penambahan jumlah murid dalam setiap kelas bisa menjadi beban karena semakin banyak yang harus diperhatikan. Pada akhirnya yang diutamakan bukan lagi pada kualitas pendidikan siswa, tetapi bagaimana mengejar kuantitas murid yang dapat diluluskan. Seharusnya tidak perlu ada pembatasan untuk pelaksanaan program wajar harus enam tahun, sembilan tahun atau 12 tahun. “Wajar harus dilakukan seumur hidup,

(12)

karena penetapan target hanya akan menghasilkan angka kelulusan siswa tanpa diikuti dengan kompetensi.

Pada tataran operasional dilapangan mengenai realisasi wajar 9 tahun, mengalami beberapa penyimpangan, seperti mahalnya pendidikan disekolah sekolah negeri dengan memungut biaya mulai uang masuk, uang gedung, buku, kegiatan dan lain-lain, Padahal, dana-dana tersebut sudah dibebaskan oleh pemerintah melalui pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) kepada sejumlah sekolah. Namun, praktik di sekolah-sekolah masih menunjukkan adanya penyelewengan. Inilah kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan Wajar Dikdas terkait dengan penyediaan sarana pendidikan dasar gratis untuk seluruh lapisan masyarakat. “Kegagalan itu sebenarnya sudah dimulai dari tingkat Depdiknas, yang akhirnya menjalar menjadi berbagai penyelewengan di tingkat sekolah-sekolah. Pelaksanaan wajar Sembilan tahun jika dilihat dari realita dilapangan maka klaim pemerintah tentang pencapaian target keberhasilan memang patut dipertanyakan. Masih besarnya prosentasi anak putus sekolah yang disampaikan berdasarkan data-data stastistik memang berbanding lurus dengan realita di lapangan. Di kota-kota besar maupun kecil, kita bisa melihat dengan mata kepala telanjang di setiap lampu perempatan jalan kota baik kabupaten maupun propinsi se Indonesia, masih begitu banyak anak usia sekolah di waktu sekolah mereka berkeliaran di jalan dengan mengamen, mengemis dan menjadi pemulung dan sederet pekerjaan yang tidak patut dilakukan oleh anak usia sekolah tersebut. Hal ini dapat dijadikan indikator program wajib belajar Sembilan tahun sampai sekarang belum berhasil.

3. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi terhadap Pelaksanaan Program Wajar 9 tahun.

Kalau kita telaah terhadap pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun sejak digulirkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program ini diantaranya adalah :

6a. Faktor Sosial Budaya

(13)

mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh elemen masyarakat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program wajar 9 tahun jika ditinjau dari sudut sosial budaya adalah sebagai berikut :7

1) Faktor orang tua.

Pendidikan orang tua akan sangat mempengaruhi pola untuk mendidik anak. Sebab hal ini akan berubungan dengan persepsi orang tua terhadap sekolah itu sendiri yang dihubungkan dengan pengalaman invidu dalam mengamati sekolah dan kaitanya dengan kejadian sehari-hari di lingkunganya. Pada sebagian masyarakat kecakapan baca tulis sebagaimana kecakapan lulusan SD pada umumnya digunakan untuk mengubah standar hidup. Gambaran kehidupan semacam ini dapat membentuk opini sebagian masyarakat untuk kurang mengahargai sekolah dan lulusanya. Dalam kondisi seperti ini beberapa kemungkinan bisa terjadi, seperti tidak menyekolahkan anaknya, memperhentikan anaknya sebelum tamat, atau tidak mau tahu tentang bangunan atau keberadaan sekolah dilingkunganya.

2) Faktor Tradisi Masyarakat.

Tradisi dan kebiasaan masyarakat seringkali menghalangi partisipasi anak untuk ke sekolah. Dari beberapa daerah masih ada tradisi anak untuk ikut bepergian jauh bersama orang tuanya, misalnya mengunjungi familinya, orang tua tidak merasakan rugi miskipun mengajak anaknya untuk meninggalkan sekolah dalam jangka waktu yang lama.

Tradisi yang lain adalah masih banyaknya orang di dalam kehidupan bermasyarakat yang beranggapan mendidik anak perempuan kurang menguntungkan, sehingga orang tua enggan untuk menyekolahkan anak perempuan. Karena pada akhirnya perempuan akan menjadi Ibu rumah tangga yang hanya mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang dianggap tidak memerlukan sekolah tinggi.

Tradisi lain di masyarakat adalah tentang menikahkan anak perempuan di usia belia. Sebab jika mempunyai anak gadis yang dianggap cukup umur tetapi belum menikah dianggap perempuan yang tidak laku, hal itu menjadi beban dan aib dalam keluarga.

b. Faktor Agama

Pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru juga dapat mempengaruhi keberhasilan terhadap program wajar 9 tahun padahal partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mensuksekan program ini. Khususnya

(14)

pemeluk agama Islam yang sebagian besar pemeluk di Indonesia. Ada pemahaman yang salah yang berkembang dimasyarakat, yaitu pendidikan Agama lebih penting dari pada pendidikan umum. Contoh kasuistis yang terjadi di Malang Jawa Timur. Anak-anak tidak tamat SD karena dikehendaki orang tuanya untuk belajar di pesantren. Setelah dikirim ke pesantren anak tersebut tidak kerasan dan pulang kekampungnya, sementara sekolah tidak menerima lagi, sekolah juga kurang lentur untuk memberi kemudahan sementara orang tua kurang informasi yang cukup tentang sekolah .8

c. Faktor Ekonomi

Kemiskinan biasanya akan mempengaruhi aspek-aspek lain termasuk pendidikan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa angka kemiskinan masih menduduki prosentasi tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33%), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15%). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010) . Angka kemiskinan tersebut berbanding lurus dengan angka usia putus sekolah.

d. Faktor Politik

(15)

C. Kebijaka Lembaga Pendidikan

Kebijakan tentang kelembagaan pendidikan diatur dalam UU no 20 Tahun 2003 sebagai berikut:9

Pendidikan Nonformal Pasal 26

1. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

2. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

3. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

4. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

5. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

6. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

7. (7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(16)
(17)

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Walaupun pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya pada empat tahun pertama sejak dicanangkan dapat dikatakan berhasil, namun terdapat sejumlah masalah, disamping masalah krisis ekonomi, yang harus mendapat perhatian di masa yang akan datang.

Masalah-masalah tersebut meliputi : Kurangnya daya tampung siswa SLTP, khususnya di daerah pedesaan, terpencil, pedalaman, dan perbatasan. Tingginya angka putus sekolah tingkat SD dan SMP. Rendahnya mutu pendidikan dasar.. Rendahnya partisipasi sebagian kelompok masyarakat dalam mendukung wajib belajar, sebagai akibat adanya hambatan geografis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

UU NO. 20 Tahun 2003

Ade Irawan, Keberhasilan Wajar 9 Tahun Klaim Politis, dalam Suara Pembaharuan , Sabtu 4 April 2009.

Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1986.

Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta: Suara Bebas, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Buatlah sumbu mendatar yang menunjukkan usia anak (dalam bulan) dan sumbu tegak yang menunjukkan berat badan anak (dalam kg)2.

Hasil uji beda rataan interaksi varietas dengan pemberian beberapa bahan organik terhadap pertambahan panjang ubi jalar 5 MST dapat dilihat pada Tabel 1.. Tabel

Diprediksikan dengan pertumbuhan lahan kelapa sawit yang signifikan (jika tidak didukung adanya penambahan kapasitas pelabuhan baik perluasan atau penambahan pelabuhan baru)

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kendal Tahun 2013 merupakan pertanggungjawaban

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui komposisi tanaman di lahan HKm Desa Margosari dan mengetahui apakah hasil tanaman

RUMAH SAKIT LIRA MEDIKA KARAWANG TUGAS AKHIR PERIODE XLVI. RIA NADILA

 Ini yang disebut rezim baru yaitu No fault liability di mana dalam product liability penggugat/konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan produsen, melainkan produsen

The result of the research showed that the implementation of Acrostic poem in teaching English vocabulary is successful to improve the mastery of English vocabulary of the