• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Melestarikan Hutan, ialah kemampuan yang dimiliki petani tepi hutan berupa sejumlah potensi untuk melestarikan hutan pada ranah pengetahuan, sikap dan

KERANGKA PIKIR

II. Kompetensi Melestarikan Hutan, ialah kemampuan yang dimiliki petani tepi hutan berupa sejumlah potensi untuk melestarikan hutan pada ranah pengetahuan, sikap dan

ketrampilan.

(1) Pengetahuan petani sebagai pelestari hutan meliputi pengetahuan dalam hal teknis melestarikan, yang terdiri dari delapan indikator kompetensi yaitu: 1) Kemampuan dalam pembibitan tanaman keras, 2) Kemampuan dalam membuat bibit tanaman keras, 3) Kemampuan dalam menyimpan benih, 4) Kemapuan dalam penenaman benih, 5) Kemampuan dalam hal pemilihan kualitas benih dan pemeliharaan 6) Kemampuan dalam mengenal hama penyakit, 7) Kemampuan dalam hal pengendalian hama penyakit, 8) Kemampuan dalam menentukan pola tanam. Pengetahuan dalam hal sosial ekonomi, meliputi: 1) Kemampuan dalam merencanakan biaya produksi, 2) Kemampuan dalam memutuskan pengelolaan, 3) Kemampuan dalam memilih waktu jaul, (4) Kemampuan dalam menjual hasil usahatani, 5) Kemampuan dalam memilih teknik menjual, 6) Kemampuan dalam menggunakan teknologi yang efisien, 7) Kemampuan dalam menjaga kelestarian usahataninya, 8) Kemampuan dalam mengelola tenagakerja. Pengetahuan dalam hal sosial budaya, yang meliputi: 1) Kemampuan mempersepsikan kelestarian, 2) Kemampuan dalam hal berinteraksi, 3) Kemampuan dalam hal berpartisipasi, 4) Kemampuan dalam menghadapi resiko, 5) Kemampuan dalam mempertahankan sistem nilai adat, 6) Kemampuan dalam menggali pengetahuan lokal, 7) Kemampuan dalam melakukan adopsi, 8) Kemampuan dalam menjaga keamanan dan kelestarian hutan dan pengetahuan dalam hal pertanian konservasi meliputi: 1) Kemampuan dalam mengelola lahan, 2) Kemampuan dalam menentukan rotasi tanaman, 3) Kemampuan dalam menjaga kesuburan tanah, 4) Kemampuan dalam melakukan tindakan konservasi, 5) Kemampuan

dalam menetapkan jenis teras berdasarkan kontur, 6) Kemampuan dalam memilih jenis tanaman penahan erosi, 7) Kemampuan dalam mengelola air (drainase) dan 8) Kemampuan menentukan perubahan penggunaan lahan. Kategori yang digunakan dalam hal mengukur pengetahuan adalah, bila jawaban betul lebih dari 75 % = sangat tinggi, bila jawaban betul antara 65 % - 75 % = tinggi, bila jawaban betul antara 50 % - 64 % = sedang, dan bila kurang dari 50 % = kurang,

(2) Sikap petani sebagai pelestari, yaitu sikap petani tepi hutan sebagai pengelola dalam hal teknis, sosial ekonomi, sosial budaya, dan pertanian konservasi, dengan indikator: 1) Orientasi pada lingkungan, 2) Orientasi masa depan, 3) Pekerja keras, 4) Kreatif. Pengukuran dikategorikan menjadi 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju.

(3) Ketrampilan petani sebagai pelestari hutan meliputi pengetahuan dalam hal teknis melestarikan, yang terdiri dari delapan indikator kompetensi yaitu: 1) Trampil dalam pembibitan tanaman keras, 2) Trampil dalam membuat bibit tanaman keras, 3) Trampil dalam menyimpan benih, 4) Trampil dalam penenaman benih, 5) Trampil dalam hal pemilihan kualitas benih dan pemeliharaan 6) Trampil dalam mengenal hama penyakit, 7) Trampil dalam hal pengendalian hama penyakit, 8) Trampil dalam menentukan pola tanam. Pengetahuan dalam hal sosial ekonomi, meliputi: 1) Trampil dalam merencanakan biaya produksi, 2) Trampil dalam memutuskan pengelolaan, 3) Trampil dalam memilih waktu jaul, 4) Trampil dalam menjual hasil usahatani, 5) Trampil dalam memilih teknik menjual, 6) Trampil dalam menggunakan teknologi yang efisien, 7) Trampil dalam menjaga kelestarian usahataninya, 8) Kemampuan dalam mengelola tenagakerja. Pengetahuan dalam hal sosial budaya, yang meliputi: 1) Trampil

mempersepsikan kelestarian, 2) Trampil dalam hal berinteraksi, 3) Trampil dalam hal berpartisipasi, 4) Trampil dalam menghadapi resiko, 5) Trampil dalam mempertahankan sistem nilai adat, 6) Trampil dalam menggali pengetahuan lokal, 7) Trampil dalam melakukan adopsi, 8) Trampil dalam menjaga kemanan dan kelestarian dan pengetahuan dalam hal pertanian konservasi meliputi: 1) Trampil dalam mengelola lahan, 2) Trampil dalam menentukan rotasi tanaman, 3) Trampil dalam menjaga kesuburan tanah, 4) Trampil dalam melakukan tindakan konservasi, 5) Trampil dalam menetapkan jenis teras berdasarkan kontur, 6) Trampil dalam memilih jenis tanaman penahan erosi, 7) Trampil dalam mengelola air (drainase) dan 8) Trampil menentukan perubahan penggunaan lahan. Skor 4 = sangat trampil, skor 3 = trampil, skor 2 = tidak trampil, dan skor 1 = sangat tidak trampil.

Instrumentasi

Instrumen atau alat ukur yang dipakai yaitu sebuah kuesioner yang berisi butir- butir pertanyaan yang mengukur peubah-peubah yang dikaji. Dari berbagai kajian informasi kepustakaan yang dilakukan, maka disusunlah sebuah instrumen yang terdiri dari 5 bagian, yaitu: 1) berisi identitas responden, 2) berisi peubah bebas 3) berisi peubah terikat, 4) mengukur sikap petani tepi hutan dalam melestarikan dan pertanian konservasi, 5) mengukur ketrampilan petani tepi hutan dalam melestarikan dan melakukan pertanian konservasi. Untuk mendapatkan instrumen yang valid, telah dilakukan telaah pustaka yang mendalam, pertama, mencari hasil penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan oleh para peneliti pendahulu dan mencari publikasi jurnal, di perpustakaan CIFOR. LSI IPB, Perpustakaan Kehutanan IPB, Perpustakaan hasil-hasil penelitian bidang pertanian

Bogor, Perpustakaan Pertanian Jurusan Tanah IPB, Perpustakaan Badan Penelitian Tanah di Bogor. Tabel pembobotan pada jenjang skala yang digunakan dalam pengukuran:

Tabel 9. Model Pembobotan

Bobot Unsur Kompetensi

Positip Negatip Pengetahuan Sikap Ketrampilan

4 1 Sangat Baik Sangat Setuju Sangat Trampil

3 2 Baik Setuju Trampil

2 3 Sedang Tidak Setuju Tidak Trampil 1 4 Rendah Sangat Tidak Setuju Sangat Tidak Trampil

Kedua, penelusuran melalui internet, ketiga, konsultasi intensif pada Guru Besar Biometrika atau ahli dalam hal pengkuruan dari Fakultas Kehutanan IPB, konsultasi dengan Guru Besar ahli dalam bidang konservasi tanah dan air dari Fakultas Pertanian IPB serta konsultasi dengan ahli peneliti hutan lindung dari Departemen Kehutanan, LITBANG Kehutanan di Bogor. Selain itu juga mengikuti kursus Sertifikasi Pengelolaan Hutan yang Berbasis Masyarakat yang Lestari, (PHBML) diselenggarakan oleh LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) pada tahun 2004 di Yogyakarta dan Workshop teknik produksi bibit tanaman bermikoriza di Lab. Bioteknologi IPB.

Keterandalan Kuesioner. Keterandalan atau validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan dapat mengukur apa yang diukur. Ada beberapa cara untuk mengukur validitas (kesahihan), seperti validitas konten, validitas konkruen, atau prediktif, dan validitas konstruk (Black and Champion, 1999:195). Sedangkan menurut Kerlinger (2003:731) validitas terdiri dari validitas isi dan validitas konstruk, yang menekankan pada validitas muatan untuk mengetahui memadai tidaknya sampling yang terdapat dalam substansinya sebagai alat / instumen pengukur.

Tahap selanjutnya membuat butir-butir item calon kisi-kisi dalam bidang kehutanan dan pertanian konservasi. Uji validitas kisi-kisi dilakukan oleh para pakar pada bidangnya sebagai juri. Bidang kehutanan yang berjumlah lima orang yang terdiri dari dua guru besar dan tiga doktor, demikian halnya pada pertanian konservasi dilakukan uji pakar sebagai juri yang terdiri dari dua guru besar dan tiga doktor dalam bidang ilmu tanah, seperti yang tersaji dalam tabel halaman berikut:

Tabel 10. Para Juri Kelestarian dan Pertanian Konservasi

No Juri Kehutanan + Jabatan Juri Pertanian Konservasi + Jabatan

1 Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan dan Kepala Lab. Biometrika. dosen/peneliti Fak. Kehutanan IPB.

Guru Besar Ilmu Tanah, bidang Konservasi Tanah dan Air, dosen/ peneliti Fak. Pertanian IPB 2 Guru Besar dan Kepala Lab. Politik,

Ekonomi, dan Sosial fak. Kehutanan IPB

Guru Besar Biologi Tanah, - dosen/ Peneliti Fak. Pertanian Jurusan Tanah Univeritas Lampung

3 Ahli dalam bidang Agroforestry - dosen/ Peneliti Fak. Kehutanan IPB

Ahli dalam bidang Fisika Tanah, dan ketua Lab. Fisika dan Konservasi Tanah -dosen/ peneliti Fak. Pertanian Jurusan Tanah Universitas Lampung.

4 Ahli dalam bidang Antropoligi

Ekologi,dan Pengelola Harian Program Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan Masyarakat (P3KM-IPB) dosen/ peneliti, Fak. Kehutanan IPB

Ahli dalam bidang DAS (Daerah Aliran Sungai) Pengelola program S1 – dosen/ peneliti, Fak. Pertanian IPB

5 Ahli dalam bidang Kebijakan – dosen/ peneliti Fak. Kehutanan .IPB

Ahli bidang Kimia Tanah, Sekretaris STORMA (Kerjasama Jerman - IPB) – dosen/ peneliti Fak. Pertanian IPB 6 Ahli dalam bidang silvikultur,- Ketua

Departemen Menejemen Hutan, dosen/ peneliti Fak. Kehutanan IPB

Hasil uji dari kesepuluh pakar, dinyatakan bahwa dari 296 item yang diuji kepada para pakar, maka ada 6 butir item atau 10 % dari item pertanian konservasi yang dinyatakan salah atau 0,02 % dari keseluruhan item. sedangkan pada kelestarian hutan, semua pakar kehutanan menyatakan banar

Memperhatikan item yang diujikan masih dipandang terlalu banyak maka dilakukan reduksi beberapa kali, pada tahap pertama menjadi 152 item, reduksi kedua menjadi 116 item, reduksi ketiga menjadi 91 item, reduksi keempat menjadi 85 item, reduksi kelima menjadi 76 item, dan dianggap cukup ideal. Langkah selanjutnya menjadi butir-butir item yang dinyatakan valid untuk bakal menjadi kuesioner. Tahap berikutnya adalah melakukan reduksi terhadap butir-butir yang dianggap paling tidak sesuai dengan topik, sekaligus mendapatkan benang merah penelitian.

Hasil validitas yang telah diuji oleh para juri dari Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertanian Jurusan Tanah, kemudian dijadikan pedoman dalam pembuatan kuesioner atau pertanyaan. Daftar pertanyaan dibuat dalam bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka. Selain itu dilakukan pula pembuatan check list untuk melihat dan mengobservasi kemampuan petani tepi hutan dalam hal ketrampilan melestarikan dan melakukan pertanian konservasi.

Realibilitas Kuesioner. Realibitas adalah suatu pengertian yang menguatkan bahwa suatu instrumen dapat dipercaya sebagai alat ukur untuk pengumpulan data. Tujuan dilakukan uji realibilitras adalah untuk mendapatkan: konsistensi, kemantapan/ stabilitas, keterpercayaan (dependability) prediktabilitas/ keteramalan dan ketelitian (accuracy) atau ketepatan – akurasi (Kerlinger, 2003:708-709).

Instrumen penelitian telah diujicobakan pada 40 petani tepi hutan dari dua Umbulan atau Desa Sumber Agung (Register 19) Provinsi Lampung. Uji realiabilitas menggunakan prosedur pada Uji Cronbach (Cronbach Alpha) dengan nilai korelasi minimal 0,75 Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

n v 2 ∑ v2 i α = ( __n___ ) (_ t - i = 1) n – 1 v2 t Keterangan :

α = koefisien realibilitas Cronbach Alpha. n = jumlah item

v2i = varian setiap item, dari item 1 sampai n. v2 = varian dari skor total

t

Berdasarkan rumus di atas, dilakukan uji realibilitas terhadap kuesioner perilaku petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung di Provinsi Lampung. Uji coba realibilitas dilakkan menurut prosedur Gronbach Alpha, dilakukan terhadap 44 petani tepi hutan di desa Sumber Agung Kabupaten Lampung Selatan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa koefisien realibilitas yang diperoleh pada ranah pengetahuan 94,73 % , pada ranah sikap sebesar 99,08 %, dan ranah ketrampilan sebesar 99,31 % . atau rata-rata dari ketiga ranah tersebut yang merupakan kompetensi dari perilaku yaitu sebesar 97,07 %. Realibilitas yang tinggi, selanjutnya digunakan untuk mengumpulkan data.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2005, dan semua data primer, baik pokok maupun pendukung dikumpulkan melalui

(1) Penyampaian daftar pertanyaan tertutup yang diisi oleh responden; (2) Wawancara langsung, menggunakan panduan wawancara;

(3) Focus group discussion (kelompok diskusi terarah);

Untuk mendapatkan data yang baik, maka dalam pengisian dilakukan pengawasan yang lebih cermat untuk menghindari tidak terisinya jawaban, di samping itu diasediakan pula tenaga enumerator yang berpengalaman guna mengawal proses secara baik.

Data sekunder dikumpulkan dengan pencermatan/ pemilihan informasi yang ditindaklanjuti dengan wawancara dan pencatatan/ photocopy.

Analisis Data

Data yang terkumpul diupayakan menggunakan skala tertinggi seperti skala interval atau skala rasio, walapun ada data-data yang tetap menggunakan skala ordinal karena tidak memungkinkan diubah ke jenjang yang lebih tinggi. Keunggulan skala tinggi adalah dalam uji statistik memungkinkan dioprasionalkan dalam model parametrik, dan bila akan turun/ ke bawah, tetap memenuhi syarat.

Pada tahap awal, setelah didapatkan data dari lapangan, dan diolah, maka analisis yang digunakan untuk menjawab distribusi responden dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, dengan memperhatikan frekuensi dan prosentasi tiap sub populasi. Pada tahap kedua dilakukan analisis guna mengungkapkan kompetensi petani dalam berperilaku melestarikan hutan lindung (Y1)

Pada tahap selanjutnya dilakukan uji parametrik pada peubah langsung dan peubah tidak langsung. Hal ini dilakukan karena peubah bebas berupa karakteristik petani hubungannya dengan peubah tak bebas berupa kompetensi melestarikan dan pendapatan (Y1 & Y2) memiliki peubah laten atau turunan sehingga untuk menguji korelasi X terhadap Y melalui sub.peubah yang ada. Model uji statistik ini relatif baik untuk melihat hubungan tidak langsung karena adanya peubah laten, adalah alat uji SEM (Structural Equations Model) atau analisis faktor konfirmatory.

Alasan menggunakan SEM yaitu adanya “peubah laten”, yang tidak dapat diamati secara langsung, sehingga melalui peubah antara. Software aplikasi dari program ini SPSS Ver.11.5 untuk uji awal dan uji lanjut menggunkana program LISREL 8.50

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Lokasi Penelitian

Secara geografis, Provinsi Lampung berada di ujung Selatan Pulau Sumatra dan sebagai pintu gerbang memasuki Pulau Sumatra dari Pulau Jawa. Provinsi Lampung memiliki luas wilayah 3.301.784 hektar yang terdiri atas luas daratan dan laut. Sedangkan luas kawasan hutan mencapai 1.004.735 hektar atau sekitar 30,43 % dari total luas luas wilayah Provinsi Lampung. Luas kawasan hutan lindung mencapai 317.615 hektar atau 31,61 % dari luas daratan dan sekitar 10 % dari luas keseluruhan wilayah Provinsi Lampung. Topografi Provinsi Lampung berbukit dari 0 – 800 m di atas permukaan laut (dpl) dan sebagian besar merupakan lahan kering. Sedangkan secara administrasi pemerintahan, Provinsi Lampung terdiri atas delapan kabupaten yaitu: 1) Kabupaten Lampung Selatan, 2) Kabupaten Lampung Tengah, 3) Kabupaten Lampung Utara, 4) Kabupaten Lampung Timur, 5) Kabupaten Lampung Barat, 6) Kabupaten Tanggamus, 7) Kabupaten Tulang Bawang, 8) Kabupaten Way Kanan dan dua kota yaitu Kota Bandar Lampung dan Kota Metro.

Kawasan hutan di Lampung terbagi atas 52 register (wilayah – Belanda) dan kawasan hutan lindung ada 25 register di 6 kabupaten. Penelitian ini melingkupi 4 kabupaten, 4 register yang terdiri dari Kabupaten Lampung Tengah – Register 22 Way Waya seluas 9.623 hektar, Kabupaten Lampung Selatan – Register 19 Gunung Betung seluas 22.249 hektar, Kabupaten Lampung Barat – Register 45 B Bukit Rigis seluas 8.295 hektar, dan Kabupaten Lampung Timur – Register 38 Gunung Balak seluas 24.248 hektar. Gambaran kondisi hutan di Lampung dapat dinyatakan bahwa tingkat kerusakan

lingkungan di dalam dan luar kawasan hampir seperempatnya (23,43 %) dalam kondisi rusak. Berikut disajikan kondisi lahan kritis di tiap kabupaten.

Tabel 11. Profil Lahan Kritis di Provinsi Lampung Kabupaten Luas Wilayah (ha) Lahan Kritis di Dalam Kawasan (ha) Lahan Kritis di Luar Kawasan (ha) Jumlah (ha) Tingkat Kerusakan (%) Lampung Selatan 318.083 24.226 52.473 76.663 24,10 Lampung Tengah 478.981 22.580 22.566 45.146 9,43 Lampung Utara 272.563 13.960 6.740 20.700 7,59 Lampung Barat 495.040 74.086 148.086 222.172 44,80 Lampung Timur 378.484 148.913 159.398 309.311 81,38 Way kanan 392.163 17.530 7.830 25.360 6,47 Tanggamus 335.661 60,672 19.937 80.609 24,02 Jumlah 3.498.478 375.467 444.074 819.541 23,43

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (Subdin RRH tahun 2003-2004)

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Umur

Umur yang dimaksud ialah usia petani tepi hutan yang dihitung sejak lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden penelitian ini, diukur dalam jumlah tahun. Umur petani diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) muda, (2) sedang dan (3) tua. Adapun kategori muda berkisar dari 19 tahun sampai dengan 35 tahun, kategori sedang berikisar dari umur 36 tahun sampai dengan 47 tahun dan kategori tua berkisar dari 48 tahun sampai dengan 75 tahun. Hasil penelitian sebaran berdasarkan umur:

Tabel 12. Sebaran Petani Berdasarkan Umur

Kategori n % Muda 135 33,75 Dewasa 123 30,75 Tua 142 35,50 Total 400 100

Tabel 12 menunjukkan sebaran responden petani tepi hutan berdasarkan umur, menginformasikan bahwa 33,75 % berumur muda, 30,75 % berumur sedang, dan 35,50 % berumur tua. Tabel tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar responden termasuk kategori tua.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Lama Tinggal di Desa

Lama tinggal di desa yang dimaksud ialah waktu lamanya tinggal petani tepi hutan yang dihitung sejak kedatangan atau lahir sampai keulangtahunan terdekat ketika menjadi responden diukur dalam jumlah tahun. Lama tinggal di desa petani diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) baru, (2) sedang, dan (3) lama. Adapun kategori muda berkisar dari 3 tahun sampai dengan 25 tahun, kategori sedang berkisar dari umur 26 tahun sampai dengan 34 tahun dan kategori tua berkisar dari 35 tahun sampai dengan 71 tahun. Hasil penelitian tentang sebaran petani berdasarkan lama tinggal di desa dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 13. Sebaran Petani Berdasarkan Lama Tinggal di Desa

Kategori n % Baru 132 33,00 Sedang 120 30,00 Lama 148 37,00 Total 400 100

Keterangan: Mean = 29 tahun Min = 3 tahun Max= 71 tahun

Tabel 13 menunjukkan sebaran responden petani tepi hutan berdasarkan lama tinggal di desa, menggambarkan bahwa 33 % merupakan petani pendatang baru yang tinggal di desa, 30 % kategori sedang, dan 37 % merupakan petani yang sudah lama tinggal di desa, sehingga responden termasuk kategori penduduk lama.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Suku

Suku yang dimaksud dalam penelitian ialah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayaan atau bahasanya, yang diidentifikasi menurut garis keturunan ayah (sistem budaya patrilineal). Suku dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) Jawa, (2) Sunda dan (3) suku lainnya. Suku Jawa meliputi: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Serang. Suku Sunda melingkupi wilayah Jawa Barat. Sedangkan suku lainnya yaitu Suku Bali, Lampung, Semendo, dan Ogan Komring Ulu.

Tabel 14 menunjukkan sebaran responden petani tepi hutan berdasarkan suku, mengungkapkan bahwa 71 % merupakan petani tepi hutan yang berasal dari Suku Jawa, 22 % kategori sedang berasal dari Suku Sunda , dan 7 % merupakan petani yang berasal selain dari kedua suku tersebut, seperti dari Suku: Semendo, Bali, Ogan Kemiring Ulu, Batak, dan Lampung.

Tabel 14. Sebaran Petani Berdasarkan Suku

Kategori n % Jawa 284 71,00 Sunda 88 22,00 Yang Lain 28 7 Total 400 100

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pendidikan Formal

Pendidikan formal yang dimaksud ialah pendidikan pada lembaga formal tertinggi yang telah diselesaikan sebelum menjadi petani. Pendidikan formal diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah tidak sekolah sampai dengan 4 tahun atau setara SD kelas 4, kategori sedang berkisar 5 tahun atau setara SD kelas 5 sampai dengan kelas 6, dan kategori tinggi berkisar 7 tahun sampai dengan 14 tahun atau setara SMP kelas 1 sampai perguruan tinggi program diploma. (lihat Tabel 15).

Tabel 15. Sebaran Petani Berdasarkan Pendidikan Fomal

Kategori n % Rendah 108 27,00 Sedang 167 41,75 Tinggi 125 31,25 Total 400 100

Keterangan: Min = 0 tahun Max = 12 tahun Mean = 6 tahun

Tabel 15 memberikan informasi bahwa petani tepi hutan sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak, 27 % berpendidikan rendah 41,75 % berpendidikan sedang dan 31,25 % berpendidikan tinggi.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal yang dimaksud ialah frekuensi pelatihan yang pernah diikuti dengan materi kehutanan atau pertanian konservasi pada lembaga formal atau non formal selama 12 bulan terakhir saat menjadi responden. Pendidikan non formal yang

identik dengan pelatihan kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kategori: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. (lihat Tabel 16).

Tabel 16. Sebaran Petani Berdasarkan Pendidikan Non Formal

Kategori n % Rendah 268 67,00 Sedang 115 28,75 Tinggi 17 4,25 Total 400 100

Keterangan: Mean = 1 kali Min= 0 kali Max= 4 kali Selama 12 bulan terakhir

Adapun kategori rendah adalah tidak pernah sampai satu kali, kategori sedang berkisar dua sampai tiga kali, dan kategori tinggi adalah 4 kali dalam setahun terakhir. Tabel 16 memberikan informasi bahwa pendidikan non formal petani tepi hutan sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak, 67 % berpendidikan non formal rendah atau sebagian besar belum pernah mengikuti pelatihan apapun, 28,75 % berkategori sedang atau pernah mengikuti pelatihan 2 kali dalam setahun terakhir, dan 4,25 % berpendidikan non formal tinggi atau pernah mengikuti pelatihan.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Motivasi Melestarikan Hutan

Motivasi melestarikan hutan yang dimaksud ialah dorongan yang timbul dari dalam petani tepi hutan berupa alasan datang untuk menggarap lahan hutan. Motivasi melestarikan hutan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori motivasi rendah adalah membuka lahan dan tidak pernah sampai satu kali melakukan pembibitan dan penanaman tanaman keras di hutan, kategori sedang menggarap lahan yang terlantar berkisar 2 sampai 3 kali melakukan pembibitan

dan penanaman, dan kategori tinggi adalah mengelola lahan kritis dan 4 kali atau lebih dalam setahun terakhir melakukan pembibitan dan penanaman (lihat Tebel 17).

Tabel 17. Sebaran Petani Berdasarkan Motivasi Melestarikan Hutan

Kategori n % Rendah 140 35,00 Sedang 133 33,25 Tinggi 127 31,75 Total 400 100

Keterangan: Mean = skor 3,03 Min = skor 1 Max= skor 4

Tabel 17 memberikan gambaran bahwa motivasi petani dalam melestarikan hutan diketahui sebanyak 35 % rendah 33,25 % memiliki motivasi sedang dan 31,75 % memiliki motivasi tinggi.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pengalaman Berusaha

Pengalaman berusaha tani di kawasan hutan yang dimaksud ialah aktivitas yang pernah dilakukan petani tepi hutan dalam pengelolaan lahan kering atau mengelola di kawasan hutan.

Pengalaman berusaha tani di kawasan hutan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah tidak pernah mengelola sampai pernah melakukan pengelolaan lahan di kawasan hutan selama 4 tahun, kategori sedang berkisar 5 tahun sampai 8 tahun, dan kategori tinggi adalah berkisar mulai dari 9 tahun sampai 47 tahun (lihat Tabel 18).

Tabel 18. Sebaran Petani Berdasarkan Pengalaman Berusaha Kategori n % Rendah 125 31,25 Sedang 137 34,25 Tinggi 138 34,50 Total 400 100

Keterangan: Mean= 8 tahun Min = 0 tahun Max= 47 tahun

Tabel ini menunjukkan bahwa 31,25 % petani pengalaman usahataninya rendah, 34,25 % menunjukkan berusaha tani di kawasan dalam kategori sedang dan 34,50 % menunjukkan pengalaman berusaha tani di kawasan dalam kategori tinggi.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Luas Lahan Garapan

Luas lahan garapan petani di kawasan hutan yang dimaksud ialah luas lahan dalam satuan luas hektar yang digunakan oleh petani tepi hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Luas lahan garapan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) sempit, 2) sedang, dan 3) luas. Adapun kategori sempit adalah luas lahan garapan antara 0,1 hektar sampai dengan 1 hektar, kategori sedang, lahan garapan berkisar antara 1,1 hektar hingga 1,7 hektar, dan kategori luas berkisar mulai dari 1,8 hektar hingga 12,5 hektar (lihat Tabel 19).

Tabel 19. Sebaran Petani Berdasarkan Luas Lahan Garapan

Kategori n % Sempit 94 23,50 Sedang 166 41,50 Luas 140 35,00 Total 400 100

Keterangan: Min = 0,10 hektar Max = 12,50 hektar Mean = 1,62 hektar

Sebanyak 23,50 % merupakan petani yang berlahan sempit (1000 m2) atau dua rantai setengah (1 rantai = 400 m2, Lampung), 41,50 % menunjukkan petani memiliki luas lahan garapan di kawasan dalam kategori sedang dan 35 % memiliki luas lahan garapan di kawasan dalam kategori luas.

Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Status Lahan Garapan

Status lahan garapan petani di kawasan hutan yang dimaksud ialah kepemilikan lahan yang digunakan petani untuk memenuhi kebutuhannya. Status lahan garapan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) milik sendiri, 2) sewa atau bagi hasil, dan 3) milik pemerintah.

Adapun kategori milik sendiri adalah status lahan garapan yang tidak ada hubungannya dengan kepemilikan pihak lain, status sewa atau bagi hasil adalah hak

Dokumen terkait