• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung"

Copied!
683
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

R. PITOJO BUDIONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh:

R. PITOJO BUDIONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Disertasi : KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

Nama Mahasiswa : R. PITOJO BUDIONO

Noomor Pokok : P.016010071

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui :

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc. Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU.

Anggota Anggota

Diketahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

®

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang

berjudul :

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA

DI PROVINSI LAMPUNG

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan

Tinggi lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh rasa tangung jawab.

Bogor, Juli 2006. Pembuat Pernyataan,

(6)

ABSTRACT

R. PITOJO BUDIONO, The Characteristic of Farmer Living Around the Forest and the Competency in Protected Forest Sustainability in 12 Villages at Lampung Province. Under the direction of AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, and DJOKO SUSANTO.

The object of this study is to analyses the competency of farmers managing the protected forest in relation to sustainable efforts and conservation farming. The benefit of the study is to find out the strategies of developing competency to answer the balance of protected forest sustainability and the farmers’ necessities. Study is carried out in Lampung Province which includes 400 respondents in 12 villages in 4 registers (Reg 19, Reg 22, Reg 38, and Reg 45 B) along the protected forest’s border. Data was collected on May to October 2005 from interviews, closed questionnaires and observations. Quantitative data underwent first step of correlation test of Konkordasi Kendall W, to further test of Path Analysis and Structural Equations Modeling (SEM). Result of study showssustainability competency owned by farmers in each area is different, for instance area of knowledge (3,12), behavior (3,04), and skills (2,73). This condition encourages farmers “to know, willing but unable to carry out” sustainability due to the imbalanced competency and direction. Result of structural equations shows that competency to sustain is influenced by 92% technical forestry factors, 100% socio-economic factors, 18% socio-cultural factors, 83% conservation techniques. In relation to that, the conservation efforts for protected forests are prioritized on economical aspects, forestry sectors, and conservation farming. Based on measurement equations, socio-cultural factors are strong potential and latent transformers to change the competency of the farmers.

_____________

(7)

ABSTRAK

R. PITOJO BUDIONO, Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung. Di bawah pengarahan AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, dan DJOKO SUSANTO.

Tujuan studi adalah mengkaji kompetensi yang dimiliki petani tepi hutan dalam mengelola lahan di kawasan hutan lindung yang terkait dengan upaya pelestarian dan pertanian konservasi. Manfaat dari studi adalah untuk menemukan strategi pengembangan kompetensi guna menjawab keseimbangan kelesatrian hutan lindung dan kebutuhan petani. Studi dilakukan di Propinsi Lampung dengan melibatkan 400 responden yang tersebar di 12 desa. yang tercakup pada empat register (Reg-19, Reg-22, Reg-38, dan Reg-45 B) yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Data dikumpulkan pada bulan Mei – Oktober 2005 melalui wawancara dengan angket tertutup dan observasi. Data kuantitatif selanjutnya diuji dengan uji korelasi peringkat Konkordasi Kendall W untuk tahap awal, dan uji lanjut dengan Path Analysis dan Structural Equations Model (SEM). Hasil studi menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh petani tepi hutan pada tiap ranah berbeda seperti kompetensi melestarikan di ranah pengetahuan (3,12), sikap (3,04), dan ketrampilan (2,73). Kondisi ini menyebabkan petani tepi hutan “tahu, mau tetapi tidak mampu” melakukan pelestarian. Hal dapat terjadi karena kompetensinya tidak seimbang dan searah. Sedangkan hasil structural equations menunjukkan Kompetensi melestarikan dipengaruhi oleh 92% faktor teknis kehutanan, 100% sosial ekonomi, 18% sosial budaya, 83% teknis konservasi. Dengan demikian upaya melestarikan hutan lindung diprioritaskan pada aspek ekonomi, teknis kehutanan dan petanian konservasi. Sedangkan hasil measurement equations, ternyata aspek sosial budaya merupakan peubah laten yang berpotensi kuat untuk mengubah kompetensi melestarikan hutan.

____________

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “KARAKTERISTIK

PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN

HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG ”.

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di empat Kabupaten di Provinsi

Lampung pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. Penyusunan disertasi

ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka penyelesaian studi program Doktor

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor.

Dengan telah diselesaikannya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Amri Jahi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Margono

Slamet, dan Prof. Dr. Ign Djoko Susanto, SKM. APU, yang telah memberikan

waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dengan penuh

dedikasi hingga akhir penulisan disertasi.

2. Prof Dr. Dudung Darusman, MA Ketua Lab. Sosek, Fak. Kehutanan IPB, selaku

penguji pada ujian tertutup dan korektor kisi-kisi penelitian.

3. Dr. Harry Santoso, MS, Direktur Pengelolaan DAS – RLPS Departemen

Kehutanan dan Dr. Sumardjo, MS, Ketua Program Studi KMP Fakultas Ekologi

Manusia IPB selaku penguji pada ujian terbuka

4. Prof. Dr. Endang Suhendang, MS., Prof. Dr. Naik Sinukaban, Prof. Dr. Sutopo

(9)

Dr. Nur Heni Wijanyanto, Dr. Affandi, Dr. Kukuh Mutrilaksono, Dr. Suryadarma,

selaku korektor dari kisi-kisi penelitian.

5. Dr. Meine van Noordwijk., Prof Dr. Bustanul Arifin., Prof. Dr. Kurniatun H,. Dr.

Suyanto,. Dr. Laxman Joshi., Beria Leimona, dan teman-teman atas saran dan

masukkannya pada Seminar Hasil Penelitian di ICRAF.

6. Prof. Dr. Muhadjir Utomo, M.Sc. selaku Rektor Universitas Lampung beserta

jajarannya atas restunya untuk melakukan studi program S3 di IPB.

7. Prof. Dr, Ida Farida Riva’i, Prof. Dr. Bambang Sumitro, MS, Prof. Dr. Sugeng P.

Haryanto, MS, Drs. Hertanto, M.Si dan Drs. Syarief Makhya, M.Si, dan

teman-teman FISIP UNILA atas rekomendasi dan dukungan morilnya.

8. Kepala Dinas Kehutanan beserta staffnya di empat kabupaten, dan masyarakat 12

kampung tepi hutan lindung serta para penyuluh lapangan, atas kesempatan, data,

informasi serta bantuan kerjasamanya saat penulis melakukan penelitian.

9. Segenap Pimpinanan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan dan

layanan yang prima serta Pengelola BPPS atas beasiswanya.

10.Dr. FX. Susilo, Dra. Sri Murwani, MSc. Mas Deden, Mas Farid, Mas Wicak, Pak

Supadi atas data dan diskusi serta suportnya selama penelitian.

11.Istri tercinta, Christine Wulandari, Ph.D serta ananda tercinta Budiasti Wulansari

(Ola) dan Budicahya Rama Bagaskara (Bagas), atas dorongan, ketabahan,

keikhlasan, pengertian, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi

program S3.

12.Orang tua tercinta, bapak Soetarno (alm.) dan ibu Sri Soedarni, bapak Soegandari

(10)

memberikan dorongan, motivasi, doa dan restunya untuk menyelesaikan studi

program S3, dan pada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama studi,

penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Sulit bagi penulis untuk dapat membalas budi baik dan bantuan yang telah diberikan oleh

bapak dan ibu sekalian, maka dari itu dengan tulus hati penulis mendoakan semoga Allah

SWT memberikan imbalan yang sesuai. Amin ya rabbal alamiin.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2006

(11)

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

R. PITOJO BUDIONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh:

R. PITOJO BUDIONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Judul Disertasi : KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

Nama Mahasiswa : R. PITOJO BUDIONO

Noomor Pokok : P.016010071

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui :

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc. Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU.

Anggota Anggota

Diketahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(14)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

®

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

(15)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang

berjudul :

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA

DI PROVINSI LAMPUNG

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan

Tinggi lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh rasa tangung jawab.

Bogor, Juli 2006. Pembuat Pernyataan,

(16)

ABSTRACT

R. PITOJO BUDIONO, The Characteristic of Farmer Living Around the Forest and the Competency in Protected Forest Sustainability in 12 Villages at Lampung Province. Under the direction of AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, and DJOKO SUSANTO.

The object of this study is to analyses the competency of farmers managing the protected forest in relation to sustainable efforts and conservation farming. The benefit of the study is to find out the strategies of developing competency to answer the balance of protected forest sustainability and the farmers’ necessities. Study is carried out in Lampung Province which includes 400 respondents in 12 villages in 4 registers (Reg 19, Reg 22, Reg 38, and Reg 45 B) along the protected forest’s border. Data was collected on May to October 2005 from interviews, closed questionnaires and observations. Quantitative data underwent first step of correlation test of Konkordasi Kendall W, to further test of Path Analysis and Structural Equations Modeling (SEM). Result of study showssustainability competency owned by farmers in each area is different, for instance area of knowledge (3,12), behavior (3,04), and skills (2,73). This condition encourages farmers “to know, willing but unable to carry out” sustainability due to the imbalanced competency and direction. Result of structural equations shows that competency to sustain is influenced by 92% technical forestry factors, 100% socio-economic factors, 18% socio-cultural factors, 83% conservation techniques. In relation to that, the conservation efforts for protected forests are prioritized on economical aspects, forestry sectors, and conservation farming. Based on measurement equations, socio-cultural factors are strong potential and latent transformers to change the competency of the farmers.

_____________

(17)

ABSTRAK

R. PITOJO BUDIONO, Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung. Di bawah pengarahan AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, dan DJOKO SUSANTO.

Tujuan studi adalah mengkaji kompetensi yang dimiliki petani tepi hutan dalam mengelola lahan di kawasan hutan lindung yang terkait dengan upaya pelestarian dan pertanian konservasi. Manfaat dari studi adalah untuk menemukan strategi pengembangan kompetensi guna menjawab keseimbangan kelesatrian hutan lindung dan kebutuhan petani. Studi dilakukan di Propinsi Lampung dengan melibatkan 400 responden yang tersebar di 12 desa. yang tercakup pada empat register (Reg-19, Reg-22, Reg-38, dan Reg-45 B) yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Data dikumpulkan pada bulan Mei – Oktober 2005 melalui wawancara dengan angket tertutup dan observasi. Data kuantitatif selanjutnya diuji dengan uji korelasi peringkat Konkordasi Kendall W untuk tahap awal, dan uji lanjut dengan Path Analysis dan Structural Equations Model (SEM). Hasil studi menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh petani tepi hutan pada tiap ranah berbeda seperti kompetensi melestarikan di ranah pengetahuan (3,12), sikap (3,04), dan ketrampilan (2,73). Kondisi ini menyebabkan petani tepi hutan “tahu, mau tetapi tidak mampu” melakukan pelestarian. Hal dapat terjadi karena kompetensinya tidak seimbang dan searah. Sedangkan hasil structural equations menunjukkan Kompetensi melestarikan dipengaruhi oleh 92% faktor teknis kehutanan, 100% sosial ekonomi, 18% sosial budaya, 83% teknis konservasi. Dengan demikian upaya melestarikan hutan lindung diprioritaskan pada aspek ekonomi, teknis kehutanan dan petanian konservasi. Sedangkan hasil measurement equations, ternyata aspek sosial budaya merupakan peubah laten yang berpotensi kuat untuk mengubah kompetensi melestarikan hutan.

____________

(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “KARAKTERISTIK

PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN

HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG ”.

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di empat Kabupaten di Provinsi

Lampung pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. Penyusunan disertasi

ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka penyelesaian studi program Doktor

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor.

Dengan telah diselesaikannya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Amri Jahi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Margono

Slamet, dan Prof. Dr. Ign Djoko Susanto, SKM. APU, yang telah memberikan

waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dengan penuh

dedikasi hingga akhir penulisan disertasi.

2. Prof Dr. Dudung Darusman, MA Ketua Lab. Sosek, Fak. Kehutanan IPB, selaku

penguji pada ujian tertutup dan korektor kisi-kisi penelitian.

3. Dr. Harry Santoso, MS, Direktur Pengelolaan DAS – RLPS Departemen

Kehutanan dan Dr. Sumardjo, MS, Ketua Program Studi KMP Fakultas Ekologi

Manusia IPB selaku penguji pada ujian terbuka

4. Prof. Dr. Endang Suhendang, MS., Prof. Dr. Naik Sinukaban, Prof. Dr. Sutopo

(19)

Dr. Nur Heni Wijanyanto, Dr. Affandi, Dr. Kukuh Mutrilaksono, Dr. Suryadarma,

selaku korektor dari kisi-kisi penelitian.

5. Dr. Meine van Noordwijk., Prof Dr. Bustanul Arifin., Prof. Dr. Kurniatun H,. Dr.

Suyanto,. Dr. Laxman Joshi., Beria Leimona, dan teman-teman atas saran dan

masukkannya pada Seminar Hasil Penelitian di ICRAF.

6. Prof. Dr. Muhadjir Utomo, M.Sc. selaku Rektor Universitas Lampung beserta

jajarannya atas restunya untuk melakukan studi program S3 di IPB.

7. Prof. Dr, Ida Farida Riva’i, Prof. Dr. Bambang Sumitro, MS, Prof. Dr. Sugeng P.

Haryanto, MS, Drs. Hertanto, M.Si dan Drs. Syarief Makhya, M.Si, dan

teman-teman FISIP UNILA atas rekomendasi dan dukungan morilnya.

8. Kepala Dinas Kehutanan beserta staffnya di empat kabupaten, dan masyarakat 12

kampung tepi hutan lindung serta para penyuluh lapangan, atas kesempatan, data,

informasi serta bantuan kerjasamanya saat penulis melakukan penelitian.

9. Segenap Pimpinanan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan dan

layanan yang prima serta Pengelola BPPS atas beasiswanya.

10.Dr. FX. Susilo, Dra. Sri Murwani, MSc. Mas Deden, Mas Farid, Mas Wicak, Pak

Supadi atas data dan diskusi serta suportnya selama penelitian.

11.Istri tercinta, Christine Wulandari, Ph.D serta ananda tercinta Budiasti Wulansari

(Ola) dan Budicahya Rama Bagaskara (Bagas), atas dorongan, ketabahan,

keikhlasan, pengertian, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi

program S3.

12.Orang tua tercinta, bapak Soetarno (alm.) dan ibu Sri Soedarni, bapak Soegandari

(20)

memberikan dorongan, motivasi, doa dan restunya untuk menyelesaikan studi

program S3, dan pada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama studi,

penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Sulit bagi penulis untuk dapat membalas budi baik dan bantuan yang telah diberikan oleh

bapak dan ibu sekalian, maka dari itu dengan tulus hati penulis mendoakan semoga Allah

SWT memberikan imbalan yang sesuai. Amin ya rabbal alamiin.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2006

(21)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

R. Pitojo Budiono dilahirkan di Purwokerto – Jawa Tengah pada tanggal 8 Mei

1964 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan (alm) Bapak R. Soetarno

dan Ibu Sri Soedarni.

Penulis menyelesaikan pendidikan SD Negeri Sokanegara 1, SMP Negeri 1,

SMA Negeri 1 di Purwokerto, lulus tahun 1983 kemudian meneruskan ke Perguruan

Tinggi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1989.

Setelah menyelesaikan S1, penulis bekerja di PANIN BANK Semarang, (1990 –

1992). Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan S2 di Program Studi

Ketahanan Nasional di Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1999. Setelah S2 penulis

ditempatkan di Jurusan Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, kemudian pada tahun

2001 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Ilmu Penyuluhan

Pembangunan (PPN) Institut Pertanian Bogor.

Selama belajar di S3 penulis aktif di Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat

(FKKM) dan di Konsorsium Kurikulum Ilmu Pengetahuan (KKIP) di Bogor yang

memiliki fokus pada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Penulis pemegang

sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) dari Lembaga

Ekolabel Indonesia. Selain itu penulis pernah menjadi konsultan lepas pada Lembaga

Konsultan - Mutu Agung Lestari (MAL) sebagai anggota tim Lembaga Penilai

(22)

DAFTAR ISI

Karakteristik Petani Tepi Hutan ………... 8

Hutan Lindung ………... 18

Pengertian Kelestarian ………... 22

Kompetensi ………... 27

Kompetensi Melestarikan yang Perlu Dikuasai oleh Petani ... 30 Kompetensi Teknis sebagai Jurutani ... 33 Kompetensi Khusus sebagai Pengelola ... 35 Kompetensi Petani Tepi Hutan yang Harus Dikuasai dalam Hubungan Karakteristik Petani Tepi Hutan dengan Kompetensi

Melestarikan Hutan Lindung ...

61

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Lokasi Penelitian ... 107 Sebaran Petani Tepi Hutan pada Sejumlah Karakteristik ………... 107 Kompetensi Petani tepi Hutan dalam Melestarikan Hutan Lindung ... 120 Hubungan Karakteristik Demografi Petani Petani Tepi Hutan

dengan Kompetensi Melestarikan Hutan Lindung. ...

123

Hubungan Karakteristik Petani dengan Pengetahuan

Melestarikan Hutan Lindung ... ...

124

Hubungan Karakteristik Petani dengan Sikap Melestarikan Hutan Lindung ...

144

Hubungan Karakteristik Petani dengan Ketrampilan

Melestarikan Hutan Lindung ...

165

Uji Parametrik Karakteristik Demografi Petani Tepi Hutan dan

Kompetensi Melestarikan Hutan ... Gambaran Singkat Kondisi Kondisi Hutan Lindung di Indonesia ... 205 Kondisi dan Permasalahan Hutan Lindung di Lampung ... 207 Penyuluhan Kehutanan di Provinsi Lampung ... 211 Kondisi Petani Tepi Hutan Lindung pada Lokasi Penelitian ... 216 Kebutuhan Lahan Petani Tepi Hutan Lindung ... 222 Model Pendekatan terhadap Pembangunan Kehutanan 224 Kebutuhan Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung ... 230 Motivasi yang Diperlukan untuk Meningkatkan Kompetensi ... 237 Potensi Petani sebagai Pelestari ... 238 Derajat Kompetensi Melestarikan pada Tiap Ranah ... 244 Derajat Pengetahuan Melestarikan ... 244 Derajat Sikap Melestarikan ... 249 Derajat Ketrampilan Melestarikan ... 254 Model Penilaian Kelestarian Hutan Berbasiskan Individu ... 262 Pola Pengembangan Kompetensi Petani dalam Melestarikan ... 268

KESIMPULAN DAN SARAN 269

Kesimpulan ... 269 Saran ... . 270

(24)

DAFTAR TABEL No

Tabel Teks Hal

1 Pengkelasan Berdasarkan Kemiringan ... 20 2 Pengkelasan Berdasarkan Intensitas Curah Hujan ... 21 3 Luas Kawasan Hutan di Provinsi Lampung Berdasarkan Fungsinya... 21 4 Ciri Petani Sub-Sisten dan Petani Komersial dalam Berusahatani... 31 5 Skema Hubungan antar Kelas Kemampuan Tanah dengan Intensitas dan

(25)

42 Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Sikap Petani ... . 151 43 Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Kompetensi Sikap Petani ... 152 44 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Sikap Petani ... 154 45 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Sikap Petani ... 156 46 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Sikap Petani ... 158 47 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Sikap Petani ... ... 160 48 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Kompetensi Sikap Petani ... 161 49 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Sikap Petani... 163 50 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Sikap Petani ... ... 165 51 Hubungan Umur dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ………... 167 52 Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Kompetensi Ketrampilan Petani 168 53 Hubungan Suku dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 170 54 Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... ... 171 55 Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 173 56 Hubungan Pendidikan Non Formal dgn Kompetensi Ketrampilan Petani .... 174 57 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Ketrampilan Petani 176 58 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 177 59 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani .. 179 60 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 180 61 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Kompetensi Ketrampilan ... 182 62 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Ketrampilan ... 184 63 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 185 64 Pengaruh langsung dan Tak Langsung X terhdap Y Kompetensi ... 198 65 Hasil Pengukuran pada Peubah Laten ... 199 66 Komparasi Kompetensi Petani dalam Melestarikan ………... 236 67 Pengetahuan Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ... 239 68 Sikap Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ... 241 69 Ketrampilan Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ... 243

(26)

15 Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Konservasi ... 253 16 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Teknis ... 255 17 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Sosek ... 256 18 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Sosbud ... 257 19 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Konservasi ... 259 20 Kompetensi Perilaku Melestarikan ... 260 21 Klasifikasi Kompetensi Petani Tepi Hutan ... 261 22 Derajat Kompetensi Petani dalam Melestarikan Hutan ... 262

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks hal

1 Kerangka Penilaian Pembangunan Berkelanjutan………. … 26

2 Garis Besar Hubungan antara X dan Y……… 86

3 Bagan Kerangka Pikir ……… 91

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

(28)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji

secara mendalam. Hal ini penting karena hutan akan lestari jika para petani yang tinggal

di sekitar hutan memiliki kompetensi yang memadai dalam melestarian hutan.

Kerusakan hutan lindung di Lampung terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal

ini menjadi semakin parah pada era Reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1997, dan

berlanjut terus pada era Otonomi Daerah pada tahun 2001. Hal ini sejalan dengan

desakan kebutuhan hidup petani yang tidak berlahan atau berlahan sempit, yang terus

meningkat sehingga mereka membuka lahan hutan lindung untuk berkebun. Selain

karena tidak mempunyai lahan, petani tertarik untuk membuka kawasan hutan lindung

karena lahan tersebut masih subur. Kesuburan tanah dibutuhkan petani untuk

mengembangkan usaha taninya seperti: tanaman kopi, coklat, tangkil, lada hitam, cabai,

timun, sayur-sayuran dan sebagainya yang harganya baik di pasar.

Sekalipun ada pengelolaan lahan hutan menjadi kebun, upaya konservasi tanah

dan air dalam bidang kehutanan harus dilakukan dengan benar agar dapat menjaga dan

meningkatkan kondisi hutan, serta memberikan manfaat bagi kehidupan. Pengelolaan

hutan harus dilakukan dengan baik dan benar agar “tidak akan menimbulkan masalah”.

Hal ini hanya bisa dicapai jika petani memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip

kelestarian hutan dan pertanian konservasi berkelanjutan. Dengan mempraktekkan

prinsip-prinsip tersebut maka kelestarian hutan lindung akan terjaga dan penggundulan

(29)

Keuntungan petani dalam mempraktekkan prinsip-prinsip kelestarian selain

terjaganya kondisi fisik hutan yang luas manfaatnya adalah terjaganya produktivitas hasil

tanaman yang mampu menopang kebutuhan hidupnya. Tingkat produktivitas dapat

terjaga dengan baik, apabila petani mampu memilih bibit unggul, merawat tanaman

dengan baik dan memelihara keseimbangan unsur-unsur hara di dalam tanah melalui

pemupukan baik organik maupun kimia dengan tepat.

Kesemuanya itu dapat berjalan dengan baik apabila petani di kawasan hutan

lindung mendapat bimbingan dan penyuluhan, antara lain dari Dinas Kehutanan, dan

Dinas Perkebunan. Dengan adanya bimbingan tersebut, pengelolaan kawasan hutan

lindung, akan terjaga dengan baik dan para petani sadar bahwa perilaku merusak hutan

lindung seperti menebang dan membuka areal tanam baru tanpa memperhatikan prinsip

kelestarian, membuka lereng-lereng terjal yang mengakibatkan erosi dan hilangnya

daerah tangkapan air, dapat dicegah dan mengurangi kerusakan lingkungan yang lebih

parah.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka menjaga dan memulihkan kualitas

hutan lindung di Lampung yang sudah rusak, diperlukan studi yang mendalam tentang

perilaku yang didasarkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung

dan melakukan pertanian konservasi di areal hutan lindung tersebut.

Rumusan Masalah

Masalah kompetensi dalam berperilaku tidak terlepas dari aspek pengetahuan,

sikap dan ketrampilan, karena sebelum orang melakukan tindakan, terlebih dahulu yang

muncul adalah predisposisi dari perilaku tersebut yakni sikap. Melalui sikap inilah

(30)

tertentu. Inti permasalahannya adalah petani yang memanfaatkan hutan lindung sebagai

tempat pemenuhan kebutuhan pada dasarnya tidak dibenarkan secara hukum, namun

telah menjadi kenyataan bahwa petani telah memanfaatkan dan mengelola hutan lindung

tanpa prinsip kelestarian dan pertanian konservasi, sehingga fungsi hutan lindung

menjadi terganggu dan menurun. Dengan demikian pertanyaan penelitian adalah:

(1) Bagaimana petani tepi hutan yang dikaji dalam penelitian ini terdistribusi pada

sejumlah karakteristik yang diamati ?

(2) Kompetensi apa yang dimiliki petani tepi hutan dalam melestarikan hutan?

(3) Sejauh mana terdapat hubungan diantara karakteristik individu petani tepi hutan

dengan kompetensi melestarikan hutan lindung ?

(4) Bagaimana pola hubungan tidak langsung kompetensi petani dalam melestarikan

hutan dengan karakteristik mereka?

Tujuan Penelitian

Mengacu pada masalah penelitian yang ada, maka tujuan umum penelitian

adalah untuk mengungkapkan dimensi kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk terukur

aspek-aspek permasalahan kompetensi melestarikan hutan lindung secara proporsional

dan ilmiah dalam perspektif ilmu penyuluhan pembangunan. Dengan demikian tujuan

penelitian adalah:

(1) Menetapkan distribusi pada sejumlah karakteristik petani tepi hutan lindung yang

diamati di Provinsi Lampung.

(2) Mengungkapkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung

(3) Menentukan derajat hubungan karakteristik petani tepi hutan dengan upaya mereka

(31)

(4) Mengungkapkan pola hubungan tidak langsung karakteristik petani tepi hutan

dengan kompetensi melestarikan.

Kegunaan Penelitian

Hasil disertasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu

penyuluhan secara teoritis khususnya tentang kompetensi petani tepi hutan lindung, serta

bagi penyuluh yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Secara

spesifik kegunaannya adalah:

Bagi Pemerintah dan LSM

(1) Sebagai masukan kepada pemerintah khususnya jajaran Departeman Kehutanan dan

Pemerintah Daerah untuk mengambil kebijakan didasarkan pada kompetensi petani

tepi hutan dalam meningkatkan kelestarian hutan lindung.

(2)Memberikan informasi tentang potensi, dan karakteristik petani tepi hutan dalam

perilaku melestarikan dan pertanian konservasi di hutan lindung.

(3) Bagi LSM dapat merupakan salah satu referensi materi dalam memerankan sebagai

community organizer (CO) Bagi Perguruan Tinggi

(1) Sebagai upaya sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu penyuluhan

pembangunan berkaitan dengan pengembangan kompetensi petani tepi hutan yang

(32)

(2) Memberikan kontribusi yang dapat menjelaskan duduk permasalahan secara

proporsional dan ilmiah, masalah kompetensi petani di hutan lindung kepada semua

pihak serta memberikan peluang kajian yang lebih intensif tentang kompetensi

sebagai dasar perilaku petani hutan dimasa akan datang.

Definisi Istilah

Pentingnya memberi batasan definisi istilah yang digunakan berkaitan dengan

peubah-peubah agar pengertian yang dibangun menjadi jelas dan tidak menimbulkan

interpretasi yang berbeda. Istilah yang digunakan meliputi:

I. Petani tepi hutan, adalah orang yang berdiam di desa-desa tepi hutan lindung dan

bermata-pencaharian pokok mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung.

II. Karakteristik demografi petani tepi hutan adalah ciri–ciri petani tepi hutan yang

melekat pada diri individu berupa: umur, lama tinggal di desa, suku, motivasi

melestarikan, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berusaha, luas

lahan garapan, status lahan, pendapatan keluarga, kekosmopolitan, jumlah anggota

keluarga dan kontak dengan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan).

(1) Umur ialah usia petani tepi hutan yang dihitung sejak lahir sampai

keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden dan diukur jumlah tahun.

(2) Lama tinggal di desa yaitu waktu lamanya tinggal petani tepi hutan yang

dihitung sejak kedatangan atau lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika

(33)

(3) Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari

kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan

kebudayan, atau bahasanya dan diidentifikasi menurut garis keturunan ayah.

(4) Motivasi melestarikan hutan ialah dorongan yang timbul dari dalam petani tepi

hutan berupa alasan datang menggarap lahan hutan dan keinginan untuk

meningkatkan kualitas fisik lingkungan hutan.

(5) Pendidikan adalah tingkat proses belajar formal yang ditempuh responden, yang

dinyatakan dalam jumlah tahun sekolah yang pernah dilalui.

(6) Pendidikan non formal ialah frekuensi pelatihan yang pernah diikuti petani

dengan materi kehutanan atau pertanian konservasi.

(7) Pengalaman berusaha ialah aktivitas yang pernah dilakukan petani tepi hutan

dalam pengelolaan lahan kering atau mengelola di kawasan hutan.

(8) Luas kepemilikan lahan garapan ialah hamparan lahan dalam satuan hektar yang

digunakan oleh petani tepi hutan untuk berusaha tani.

(9) Status kepemilikan lahan garapan, ialah hak kepemilikan lahan yang digunakan

petani untuk memenuhi kebutuhannya

(10) Pendapatan keluarga ialah besarnya konsumsi responden yang bersumber dari

usahatani maupun yang bukan, yang dihitung dalam rupiah perbulan.

(11) Tingkat kekosmopolitanyaitu keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi

dalam pelestarian hutan dengan berbagai sumber informasi.

(12) Jumlah anggota keluarga ialah banyaknya jiwa dalam keluarga petani.

(13) Kontak dengan PPL yaitu frekuensi petani tepi hutan berhubungan dengan

(34)

III. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber tata air

pada daerah sekitarnya, dan status hutan kawasan lindung ditetapkan oleh pemerintah.

IV. Kompetensi melestarikan hutan adalah sejumlah potensi untuk berperilaku secara

cerdas guna menjawab tantangan dan masalahnya dan merupakan kombinasi sinergis

antara kemampuan dari ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Dengan demikian

kompetensi melestarikan hutan lindung terkait dengan aspek teknis kehutanan,

sosial-budaya, sosial-ekonomi dan pertanian konservasi.

V. Pertanian lahan kering diartikan sebagai suatu sistem pertanian yang dilaksanakan di

atas lahan tanpa mengandalkan atau menggunakan irigasi secara permanen, sehingga

kebutuhan air bergantung pada curah hujan.

VI. Pertanian konservasi cara atau teknik pengelolan lahan untuk pertanian dengan

menekankan pada aspek tata olah lahan yang tepat, supaya lahan tetap mampu

berproduksi dan terjaga kesuburannya, sehingga mampu mencegah terjadinya erosi

atau hilangnya lapisan subur pada tanah, dengan demikian kondisi tanah tetap terjaga

produktivitasnya.

VII. Peubah laten yaitu adalah peubah yang digunakan untuk mengukur indikator namun

peubah tersebut tidak dapat diamati secara langsung sehingga diperlukan peubah tak

langsung untuk mengukurnya dan peubah laten terdapat pada analisis konfirmatory

(35)

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Tepi Hutan

Sosok petani adalah orang yang hidup di desa, dan beraktivitas sehari-harinya

berkaitan langsung dengan mengelola sawah, tegalan, ladang, ternak, maupun hutan.

Petani sebagai individu dalam masyarakat memiliki ciri yang unik dan spesifik, karena

berkaitan dengan lokasi tempat tinggal serta komoditi yang dikelolanya.

Wolf (1985:2), menyatakan bahwa petani adalah orang desa yang kegiatannya

bercocok tanam dan beternak, untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan karakter

petani tepi hutan ialah orang yang memiliki ciri-ciri tinggal di sekitar hutan dan

tergantung pada hutan untuk mencukupi kebutuhannya.

Untuk memenuhi kebutuhan, maka petani mengkonversi lahan hutan menjadi

ladang, tegalan, kebun, ataupun sawah, dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan

usaha taninya, yang dipandang memiliki peluang nilai ekonomi yang baik di pasar.

Namun demikian upaya yang dilakukan petani tepi hutan dalam mengkonversi lahan

sudah seharusnya tetap berpedoman pada asas kelestarian hutan maupun prinsip pertanian

berkelanjutan.

Menurut Hardjanto dan Hendro (2000:8-9) yang dimaksud dengan petani adalah

orang yang memiliki atau mengelola kebun, talun, ladang, dan sawah, sedangkan yang

dimaksud dengan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dengan hasil

pertanian petani mulai dari masa panen sampai pasca panen.

Berkaitan dengan hal itu, maka yang dimaksud petani tepi hutan adalah orang

(36)

lindung, akan tetapi ia hanya menanam di lahan garapannya, sehingga yang dimiliki

terbatas pada hak kelola atau pemanfaatan.

Para peneliti seperti Aziz (1995), Yani, (1995) Muliatuty (2003), dan Zulfarina

(2003) memperhatikan karakteristik demografi ketika meneliti pertanian ladang

berpindah dan pertanian pada lahan kering. Karakteristik petani yang diamati itu ialah: 1)

umur, 2) pendidikan, 3) pengetahuan, 4) pengalaman berusaha tani, 5) kekosmopolitan,

6) luas lahan garapan, dan 7) pendapatan.

Selain itu, Taufiqurrahman dkk., (2003) mengamati 1) jumlah anggota keluarga

yang menjadi tanggungan, 2) jarak rumah ke ladang di hutan, 3) jumlah jenis tanaman di

lahan, dan 4) jumlah jenis tanaman yang menghasilkan, dan Ruagadi, (1991), Permana,

(1994), Rosalia, (2000) mengamati juga karakteristik pada sisi kesukuan dan budaya

sebagai bagian dari penelitiannya.

Karakteristik suku dengan nilai budaya sangat erat kaitannya, keduanya menyatu

dan mengalami proses enkulturasi dengan nilai budaya yang hidup di masyarakatnya.

Oleh karena itu sistem nilai budaya berimplikasi pada kebiasaan, norma dan adat.

Kajian tersebut di atas, akan diamati juga pada petani tepi hutan. Dengan

demikian karakteristik petani tepi hutan dalam diklasifikasikan menjadi karakteristik

demografi yaitu: 1) umur, 2) lama tinggal di desa, 3) suku, 4) motivasi, 5) pendidikan

formal, 6) pendidikan non formal, 7) pengalaman berusaha 8) luas lahan garapan, 9)

status lahan, 10) pendapatan keluarga, 11). kekosmopolitan, 12). jumlah anggota

(37)

Umur

Umur adalah dapat dijadikan ukuran kematangan secara psikologis seseorang,

berkaitan dengan hal ini, Padmowihardjo (1994:36) menyatakan bahwa umur bukan

merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor

psikologis. Oleh karena itu terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang

berhubungan dengan umur. Faktor pertama terdiri dari: 1) mekanisme belajar dan

kematangan otak, 2) kematangan organ seksual, dan 3) kematangan otot

organ-organ tertentu. Sedangkan faktor kedua yaitu: akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk

proses belajar.

Sedangkan Klausmeier dan Goodwin (1966:97) mengemukakan bahwa umur

pelajar maupun pengajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan

dengan efisiensi belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Salkind (1985:31) yang

menyatakan bahwa umur menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk

menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur menurut kronologi relatif lebih

mudah dan akurat untuk ditentukan.

Lama Tinggal di Desa

Lama tinggal di desa dijadikan ukuran perilaku melestarikan dengan mendasarkan

bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh waktu. Padmowihardjo (1994:19-29) melihat

dimensi waktu berkaitan dengan pengalaman, dapat dinyatakan bahwa pengetahuan akan

bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dasar alasannya ialah proses perkembangan

manusia identik dengan proses belajar. Lama tinggal di desa tepi hutan akan terkait

dengan intensitas pengelolaan pertanian di tepi hutan, hal ini akan menimbulkan

(38)

sikap dan ketrampilannya. Lama tinggal juga terkait dengan kemampuan meningkatkan

pendapatan, menurut FAO dan World Bank (2001:13) mengemukakan bahwa usaha tani

selalu terkait dengan upaya peningkatan pendapatan off farm untuk sektor pertanian, dan sektor non pertanian.

Suku

Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari

kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayaan,

khususnya bahasa. Hal ini dapat diamati dari kelompok dalam masyarakat yang

menunjukkan asal orang tua dari sudut geografis dan dikuatkan dengan sistem nilai

berupa norma dan budaya yang berlaku. Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam

Mardikanto (1993:24) menyatakan bahwa suku sangat terkait dengan norma dan budaya

dengan demikian nilai budaya dan kebiasaan menjadi bagian yang penting sebagai

penciri suku asal seseorang.

Soekartawi (1988:90) menyatakan bahwa faktor kebudayaan sangat berpengaruh

terhadap proses difusi-inovasi yang berupa tata nilai dan sikap. Dengan demikian, suku

yang memiliki sistem nilai dan norma unik, yang berhubungan dengan kebiasaan petani

tepi hutan dalam melestarikan.

Motivasi

Padmowihardjo (1994:135) mengemukakan tentang motivasi yang berarti usaha

yang dilakukan manusia atau upaya yang menimbulkan dorongan berbuat atau

melakukan tindakan sesuatu, oleh karena itu setiap tindakan memiliki motif atau

(39)

menimbulkan dorongan pada dirinya untuk belajar dan bila motivasi tersebut

melestarikan hutan, maka akan terkait dengan dorongan dari dalam petani untuk

melakukan tindakan pelestarian hutan. Berkaitan dengan motivasi, Sudjana (1991:162)

menegaskan bahwa motivasi belajar terkait dengan motivasi intensif dan motivasi

tersebut menggambarkan kecenderungan manusia untuk menggerakkan, mendominasi

dan menguasai lingkungan sekelilingnya.

Menurut Suparno (2001:88-93) bahwa motivasi terkait dengan apa yang

dilakukan oleh seseorang dan berkaitan dengan nilai (value) atau manfaat. Motivasi tersebut menjadi dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Pengalaman yang

menguntungkan atau menyenangkan akan mendorong motivasi itu lebih kuat lagi, namun

sebaliknya pengalaman kegagalan akan menurunkan motivasi. Dengan demikian perlu

dijaga keseimbangan agar seseorang dapat mengatur dirinya sendiri relatif lebih bebas

dari dorongan orang lain untuk lebih mampu terhadap dirinya sendiri dan lingkungan.

Pendidikan Formal

Pendidikan adalah sebagai sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian

dalam mengambil keputusan secara tepat (Van den Ban, 2003:51). Demikian halnya

Burtona dan William dalam Padmowihardjo (1994:5) menyatakan bahwa belajar

merupakan proses perbaikan pengetahuan dan ketrampilan dengan cara mengalami

sendiri.

Sedangkan Soekartawi (1988:71) menyatakan bahwa tingkat pendidikan

berkorelasi dalam kemampuan adopsi–inovasi, begitu pula sebaliknya. Menurut Slamet

(2003:20) menegaskan bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh pendidikan

(40)

ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu dan 3) perubahan dalam sikap

mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Dengan demikian pendidikan merupakan

proses pembinaan pengetahuan, dan sikap, manusia dalam rangka mempengaruhi dan

mengubah perbuatan sesuai dengan tujuan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

pendidikan baik formal dan non formal berhubungan dengan pengetahuan dan sikap

serta perilaku petani dalam melestarikan hutan.

Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal adalah bentuk pengajaran yang dibuat secara sistematis,

diluar pendidikan formal, dan informal dalam hal ini kepada petani dan keluarganya

supaya berubah pengetahuan, sikap dan kemampuannya. Pendidikan non formal menjadi

pilihan dalam penyuluhan karena memiliki karakteristik antara lain: a) tidak mengenal

batas umur, b) tidak mengenal kurikulum yang harus diselesaikan. c) tidak mengenal

ruang tertentu, sehingga proses pendidikan dapat dilakukan dimana saja. Dengan

demikian pendidikan non formal dapat dilakukan dimana ada waktu dan kesempatan

(Sastraatmadja, 1986:13-14).

Menurut Tjondronegoro dalam Sastraatmadja (1986:28), menyatakan bahwa

pendidikan non formal merupakan perpaduan dari kegiatan mengunggah minat/

keinginan, menyebarkan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan

terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan).

Senada dengan hal di atas, Slamet (2003:18) menyatakan bahwa suatu sistem

pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan

(41)

baik, sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup berswadaya dan

memperbaiki - meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan demikian pendidikan non formal sangat berkaitan dengan tingkat

kemampuan petani tepi hutan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan melestarikan

hutan dan melakukan pertanian konservasi.

Pengalaman Berusaha

Pengalaman dalam proses belajar memiliki pengaruh yang nyata dan penting

karena melalui pengalaman yang berhasil akan menimbulkan perasaan optimis di masa

akan datang. Sedangkan pengalaman akan menimbulkan perasaan pesimis untuk dapat

berhasil walupun mendapat kesempatan untuk kembali mempelajari.

Menurut Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Mardikanto (1993:86),

menyatakan bahwa pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat

dan harapan untuk belajar lebih banyak, sehingga pengalaman dapat mengarahkan

perhatian kepada minat, kebutuhan, dan masalah-masalah yang dihadapi.

Dengan demikian pengalaman petani tepi hutan sebelum masuk dan bermukim

berhubungan dengan kompetensi melestarikan

Luas Lahan Garapan

Luas lahan garapan adalah jumlah luas lahan yang dikerjakan oleh petani tepi

hutan dalam satuan luas misal hektar (ha), di daerah Lampung satuan luas tanah biasa

dipakai istilah satu rantai (1 rantai = 400 m2). Pada ilmu usaha tani, luas lahan garapan

(42)

Pambudy, (1999:202-203) mengemukakan bahwa perilaku peternak agribisnis

sangat berhubungan dengan besaran luas lahan. Semakin luas lahannya maka semakin

tinggi jiwa wirausaha mereka. Pada kenyataannya banyak peternak ayam yang tidak

mampu mengembangkan agrisbisnis ayam karena lahan yang dikuasai sangat terbatas.

Taufiqurrahman dkk., (2003:46) menyatakan bahwa luas lahan memiliki

hubungan terhadap kenaikan pendapat petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Nusa

Tenggara Barat, demikian pula dalam pengelolaan lahan yang dinyatakan dengan

semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani semakin tidak optimal pemanfaatannya.

Dengan demikian, luas lahan garapan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan.

Status LahanGarapan

Status lahan garapan adalah merupakan hak penguasaan atas lahan yang

dikerjakan oleh petani. Status lahan garapan di dalam kawasan ini dapat berupa hak

kelola, sewa pada petani dan dapat berupa hak kelola dengan sistem bagi hasil

(Departemen Kehutanan, 1999:IX-14).

Perbedaan status lahan, dapat memberikan andil yang besar terhadap rusaknya

sistem pertanian berkelanjutan, karena status sewa akan mendorong penyewa melakukan

eksplorasi sumber daya lahan secara berlebihan untuk mengejar keuntungan (Salikin

2003:41). Hal serupa dinyatakan oleh Soekartawi (1988:93) bahwa status lahan garapan

akan berimplikasi pada pengawasan yang lebih lengkap atas usaha taninya.

Secara umum status lahan garapan tidak terlepas dari hak kelola, dan mengenai

hak akan terkait dengan beberapa status. Menurut Tjondronegoro, dalam Suhardjito

(43)

berdasarkan prinsip conservation, sehingga luas dan letak hutan tetap menjadi perhatian peruntukannya tanpa meninggalkan kenyataan kebutuhan hidup masyarakat setempat.

Dengan demikian, status lahan garapan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan

dan pertanian konservasi.

PendapatanKeluarga

Pendapatan adalah perolehan yang didapat kepala keluarga dan anggota

keluarganya dari berbagai kegiatan yang dilakukan. Indikator tingkat pendapatan

meliputi: (1) Pendapatan yang dihasilkan dari luar kawasan hutan, dan (2) Pendapatan

yang dihasilkan dari kegiatan memanfaatkan hutan (Hutagalung, 2002:26).

Selain itu Agussabti (2002:282) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat

pendapatan petani maju akan mempengaruhi tingkat kedinamisan sipetani dalam

mengembangkan usahataninya.

Menurut Wulandari (1999:11) pendapatan terkait dengan tingkat adopsi petani

dalam menerapkan teknis pertanian. Dengan demikian, pendapatan keluarga berhubungan

dengan perilaku melestarikan hutan.

Tingkat Kekosmopolitan

Kekosmopolitan yaitu keterbukaan petani pada informasi melalui hubungan

mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Kekosmopolitan individu

dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain di dalam

komunitasnya, yaitu: 1) individu tersebut memiliki status sosial, 2) partisipasi sosial lebih

(44)

media massa, 5) memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga

yang berada di luar komunitasnya (Rogers, 1989:27).

Mosher (1987:34) berpendapat bahwa keterbukaan seseorang berhubungan

dengan penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan perbaikan

usahatani mereka. Menurut Agussabti (2002:178-179) perilaku petani dalam mengelola

usahatani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif

mereka berinteraksi maka semakin banyak mendapatkan informasi baru untuk

mengembangkan usahataninya. Demikian pula pendapat Pambudy (1999:186-187) bahwa

keterbukaan terhadap informasi peternak berhubungan dengan perilaku mereka.

Dijelaskan pula bahwa semakin banyak media massa yang dipergunakan dan semakin

banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan

cara-cara untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan berhubungan

dengan perilaku melestarikan hutan, karena berkaitan dengan banyaknya informasi yang

didapatkan oleh petani.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan jiwa dalam satu rumah tangga menjadi tanggungjawab atas

pemenuhan kebutuhan untuk sejahtera (Hernanto, 1989:27). Jumlah anggota keluarga

berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi suatu keluarga (Asdi, 1996:12).

Menurut Soekartawi (1988:34-35) jumlah tanggungan keluarga berhubungan

dengan tingkat pendapatan bersih usahatani. Semakin banyak jumlah tanggungan

keluarga maka semakin banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan kosumsi

(45)

tanggungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan

pekarangan secara lestari di Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Lampung Utara

(Wulandari, 1999:103). Dengan demikian, jumlah tanggungan keluarga berhubungan

dengan perilaku melestarikan hutan lindung.

Kontak dengan PPL

Menurut Soekanto (2002:65-66) hubungan yang terjadi antara seseorang dengan

orang lain bersifat primer dan sekunder. Hubungan yang bersifat primer terjadi apabila

seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan berhadapan muka.

Sedangkan hubungan yang bersifat sekunder memulai perantara baik orang lain maupun

alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya. Sedangkan menurut FAO (1998:229),

Wiraatmadja (1990:30), dan Suparno (2001:135), menyatakan inti dari kegiatan

penyuluhan adalah kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi dua arah antara

penyuluh dan petani, dan secara spesifik FAO menyatakan bahwa jasa penyuluhan

memegang peranan penting dalam gerakan diseminasi (implementasi) terhadap uji

peningkatan usaha tani (on-farm).

Hutan Lindung

Hutan di Indonesia pada dasarnya memiliki tiga fungsi yaitu: 1) ekonomi, 2)

ekologi, dan 3) sosial. Berkaitan dengan ketiga fungsi tersebut, Djajapertjunda, (2002:

63), Darusman (2002:31-35), Wiyono dan Awang (2001:17-18), menyatakan bahwa

kebijakan pengurusan hutan diatur oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Hal

(46)

bertujuan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan, baik secara langsung,

tanpa mengorbankan asas kelestarian.

Pemanfaatan dan penguasaan hutan sudah dimulai sejak jaman Pemerintahan

Belanda, hal ini ditunjukkan oleh terbentuknya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini menjadi cikal bakal perundang-undangan kehutanan Indonesia.

Menurut Djajapertjunda (2002:29-33), klasifikasi hutan yang didasarkan pada

penguasaan terdiri atas: 1) hutan negara yaitu hutan yang sudah dikuasai negara dan diurus oleh pemerintah, 2) hutan cadangan yaitu hutan yang belum ditetapkan

pengurusannya, 3) hutan swapraja, 4) hutan swasta, 5) hutan persekutuan adat, dan 6)

hutan milik atau hutan adat.

Hutan negara memiliki fungsi dan peruntukan yang khusus. Hutan negara

meliputi: 1) hutan lindung yang berperan melindungi tata air, mengurangi erosi, mencegah bahaya banjir, dan memiliki pengaruh yang baik terhadap iklim di

sekelilingnya, 2) hutan produksi yaitu hutan yang ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon yang

dapat dipungut kayunya secara komersial, 3) hutan suaka alam yaitu hutan yang keadaan

alamnya memiliki sifat yang sangat khas yang digunakan untuk perlindungan hayati flora

maupun fauna, dan 4) hutan wisata yaitu kawasan hutan yang memiliki keindahan dan

dikembangkan menjadi taman wisata, yang perlu dilestarikan.

Menurut Departeman Kehutanan (1999:II-34) penetapan kawasan hutan lindung

meliputi: 1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, intensitas

hujan, 2) kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih (sesuai

(47)

penyempurnaan dari SK Mentri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980 yang menetapkan

kriteria lereng lapangan 45 % atau lebih). 3) kawasan hutan yang mempunyai ketinggian

2.000 m di atas permukaan laut (dpl).

Kriteria hutan lindung di atas, secara implisit mengindikasikan bahwa hutan

lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber tata air pada daerah

sekitarnya karena berkaitan sebagai daerah hydrologis. Sedangkan kriteria hutan lindung ditinjau dari kemiringan adalah seperti dalam tabel berikut:

Tabel 1. Pengkelasan Berdasarkan Kemiringan

Kelas Lereng dalam prosentase Kategori

1 0 – 8 Datar

2 8,1 – 15 Landai

3 15,1 – 25 Agak curam

4 25,1 – 45 Curam

5 45,1 atau lebih Sangat curam

Sumber: Departemen Kehutanan, 1999:II-35

Selain faktor kemiringan yang menjadi perhatian dalam pengelolaan hutan

lindung, adalah dengan memperhatikan intensitas hujan, dan hal ini sesuai dengan fungsi

dari hutan lindung sebagai daerah tangkapan air atau catchments area.

Besarnya intesitas curah hujan akan berpengaruh terhadap cepat lambatnya

pertumbuhan bibit pohon yang ada di hutan, dan hal ini sangat mendukung kembalinya

kondisi hutan serta terjaganya fungsi hutan lindung sebagai daerah sumber air.

Kondisi umum hutan di Provinsi Lampung adalah hampir separuhnya berupa

kawasan hutan lindung, namun ada beberapa wilayah hutan lindung yang kondisinya

tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung lagi, karena fungsi sebagai daerah

(48)

lindung. Berkaitan dengan hal tersebut, klasifikasi berdasarkan curah hujan seperti tabel

berikut.

Tabel 2. Pengkelasan Berdasarkan Intensitas Curah Hujan

Kelas Intensitas Hujan Kategori

1 13,6 atau kurang Sangat rendah

2 13,7 – 20,6 Rendah

3 20,7 – 27,6 Sedang

4 27,7 – 34,6 Tinggi

5 34,8 atau lebih Sangat tinggi

Sumber: Departemen Kehutanan, 1999:II-36

Sebagai gambaran, luas wilayah Provinsi Lampung ialah 3.301.784 ha yang

merupakan luas daratan, dan luas kawasan hutan mencapai 1.004.735 ha atau sekitar

30,43 %. Memperhatikan batasan kawasan hutan yang ada pada Tabel 3, maka yang

dimaksud dengan hutan lindung adalah suatu kawasan hutan yang memiliki fungsi

sumber air untuk wilayah sekitar atau yang lain, yang telah ditetapkan dan dikukuhkan

dalam RPPH (Rencana Pengelolaan dan Pengukuhan Hutan) atau TGHK (Tata Guna

Hutan Kesepakatan) sebagai kawasan lindung. Distribusi kawasan hutan di Lampung:

Tabel 3. Luas Kawasan Hutan di Lampung Berdasarkan Fungsinya

No. Fungsi Luas (ha) Prosentase

1. Kawasan Suaka Alam dan Hutan Wisata (darat dan perairan)

462.030 30,43

2. Hutan Lindung 317.615 31,61

3. Hutan Produksi terbatas 33.358 3,32

4. Hutan produksi tetap 191.732 19,08

5. Hutan produksi yang dapat dikonversi * 153.459 15,56

Jumlah 1.004.735 100

Sumber: SK Menhutbun: 256/Kpts-II/2000 tanggal 23-08-2000 Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Lampung tahun 2002

(49)

Pengertian Kelestarian Hutan

Konsep lestari (sustainable) mengacu pada Webster’s New World Dictionary (1995) adalah “to provide for the the support of ”, yang berarti menyediakan dan membantu untuk kelangsungan sesuatu. Oleh karena itu memaknai konsep kelestarian

memerlukan upaya pemahaman dalam hubungannya antara manusia dengan alam.

Helms (Suhendang, 2004:11) mendefinisikan kelestarian sebagai “sustainable forest management development is the practice of meeting the forest resources needs and value of the present with out compromising the similar capability of future generation”, yang dapat diartikan bahwa dalam pengelolaan hutan lestari, pemanfaatan hasil dan

nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan

kemampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk

generasi yang akan datang.

Pendapat ini sejalan dengan Komisi Dunia Lingkungan Hidup atau The World Commission on Environment and Development (1987) yang menyatakan:

sustainable development is a process of change in which the exploitation of resources, the direction of investments, the orientation of technological and institusional change are all in harmony and enhance both current and future potential to meet human needs and aspiration” (FAO, 1993:2).

yang dapat dimaknai bahwa kelesatrian adalah sebuah proses perubahan yang

didalamnya memanfaatkan suberdaya untuk diarahkan sebagai investasi, orientasi

teknologi dan perubahan lembaga guna peningkatan keselarasan secara keseluruhan

antara kondisi saat ini dan potensi yang akan datang untuk mempertemukan kebutuhan

(50)

berkelanjutan adalah sebagai suatu proses pengelolan hutan untuk mencapai satu tujuan

atau lebih secara lebih jelas yaitu produksi hasil hutan dan jasa secara berkelanjutan tanpa

mengurangi nilai dan produktivitas di masa mendatang dan tanpa efek negatif baik fisik

maupun sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Higman et al., secara rinci sebagai berikut:

“Sustainable forest management is process of managing forest to achieve one or more clearly spesified objectives of management with regard to the production of a continuous flow of desired forest products and services, without undue reduction of its inherent values and future productivity and without undue undersirable effects on the physical and social enviroment” (Higman et al., 1999:4)

Konsep lestari (sustainable) mengandung dimensi waktu jangka panjang, yang berimplikasi pula pada sistem pengelolaan (management). Pembangunan berkelanjutan dalam pelestarian hutan telah didefinisikan cukup beragam oleh berbagai institusi dan

para pakar, sesuai dengan latar belakang kepakarannya serta tujuannya, oleh karena itu

muncul inisiatif standart kelestarian dari tingkat internasional seperti: International Tropical Timber Organization (ITTO), Forest Stewerdship Council (FSC), African Timber Organization (ATO), Canadian Standards Association (CSA) dan ditingkat nasional seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Center for International Forestry Research (CIFOR) dan ICRAF yang telah berganti menjadi World Agroforestry Research.

Upton dan Bass (2002:9) menegaskan bahwa setiap lembaga memiliki kriteria

kelestarian yang saling melengkapi, namun demikian ada prinsip yang penting yakni

prinsip lokalitas. Melalui prinsip lokalitas yang diterapkan CSA, maka ukuran kelestarian

(51)

akomodatif. Namun demikian walaupun menerapkan prinsip lokalitas, Upton dan Bass

(2002:10) tetap melihat bahwa pentingnya kelestarian dalam arti yang lebih luas.

Paradigma pembangunan di bidang kehutanan yang baru, menekankan pada

aspek ekologinya, biologi, dan sosial. Menurut Kellomaki (2003) dari University of

Joensuu, Jepang, yang menyoroti kelestarian hutan dalam dimensi sosial menyatakan:

The sustainable social development of any society closely relates to the sustainable management of natural resources. Management of natural resources is sustainable whenever current use considers the needs of future generation” (Kellomaki, 2003:12).

Dengan demikian masalah kelestarian yang diungkapkan oleh Kollomaki

menekankan bahwa keberlanjutan pembangunan sosial pada berbagai kelompok sosial

berkorelasi dengan pelestarian sumber daya alam (SDA). Pengelolaan SDA akan lestari

bila pemanfaatannya mempertimbangkan kebutuhan masa mendatang.

Pemahaman kelestarian hutan pada awalnya selalu diidentikan dengan terjaganya

produksi kayu secara kontinyu dan terjaganya satwa, namun demikian, seiring dengan

perkembangan zaman, ilmu dan teknologi, maka pemahaman tentang kelestarian hutan

berkaitan pula dengan lahan hutan (lands forest) telah berubah yakni kelestarian dilihat dari manfaat bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan itu batasan kelestarian termasuk

di dalamnya keanekaragaman hayati (biodiversity), produktivitas, ekosistem, ekologi, ekonomi, dan fungsi sosial (Suhendang, 2002:19).

Bruenig, (Suhendang 2002:20) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan secara

(52)

bermanfaat bagi petani tepi hutan, karena petani mendapat manfaat ekonomi dari hutan.

Penerapan prinsip ini bertujuan ganda, yaitu untuk kelestarian hutan dan manusianya.

Penerapan prinsip kelestarian yang mengacu pada prinsip pengelolan hutan

lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM) mempengaruhi cara pandang dari hutan sebagai penghasil kayu, menjadi hutan bermanfaat ganda (multiple use of the forest principle). Pada masa sebelum PHL, kayu dianggap sebagai hasil utama, dan tujuan pengelolaan hutan adalah memproduksi kayu, namun setelah adanya PHL semua

hasil hutan adalah utama dan dikelompokkan ke dalam fungsi ekonomi, ekologi, dan

sosial (Suhendang, 2002:236).

Berkaitan dengan kelestarian hutan, lebih lanjut Kellomaki (2003) menyatakan

ada tiga prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan terkait dengan upaya konservasi

yang harus dilakukan yaitu:

The genetical resources of forests require conservation in whatever form they are contributing to the biodiversity of the forests and forest ecosystem (Principle of

Biodiversity) - Sumberdaya genetis hutan memerlukan konservasi yang kemudian

berkontribusi pada keanekaragaman hayati hutan dan ekosistemnya.

The capacity of the forest ecosystem to intercept solar energy and subsequent cycle of material (water, carbon, nitrogen, mineral nutrients) requires maintenance (Priciple

of Ecological Balance) – Kapasitas ekosistem hutan untuk jadi media energi dan

materi lain seperti air, karbon, nitrogen, nutrisi mineral memerlukan adanya pemeliharan.

The capacity of forest ecosystem to produce timber and other items and services requires conservation (Principle of Multi Use)” - Kapasitas ekosistem hutan untuk memproduksi kayu dan lainnya serta jasa, memerlukan konservasi. (Kellomaki, 2003:14).

Cara kerja dari ketiga prinsip tersebut saling mendukung dan berkaitan satu sama

(53)

spesifik adalah upaya-upaya konservasinya. Ekologi yang tidak didukung kondisi

ekonomi dan sosial, akan ada kesenjangan, maka sistem kelestarian akan tidak berjalan

(collaps). Berkaitan dengan hal ini Becker (Purnomo, 2003:9) menggambarkan keterkaitan antara sistem yang mendukung pengembangan pelestarian.

Sistem nilai sosial budaya

Daya Dukung Ekonomi

Sumber : Backer, Purnomo, 2003

Gambar 1. Konsep Kerangka Kerja untuk Penilaian Kelestarian

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perpotongan (irisan) dari ketiga

bagian utama menggambarkan keterkaitan langsung faktor-faktor dalam pengembangan

kelestarian seperti, daya dukung ekonomi (economic viability), biofisik dan lingkungan (biophysical and environmental), dan kadaan sosial ekonomi (socio-economic well-being), sedangkan garis putus-putus, di luar ketiga kotak tersebut menggambarkan lingkungan yang kondusif berupa sistem nilai yang turut memberikan pengaruh dan arah

dari kelestarian. Selain itu Rammel dan Markus (2004:13) menegaskan bahwa kunci

untuk mengembangkan pembangunan berkelanjutanadalah stabilitas dalam arti luas. Keadaan Sosial-ekonomi

PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

Biofisik dan lingkungan

(54)

Dengan demikian untuk menilai suatu kelestarian hutan, tidak dapat dilakukan

pada satu aspek saja, karena bila mengandalkan satu aspek saja, maka yang terjadi adalah

justru ketimpangan kebutuhan dan ekosistem atau hubungan antara manusia dan alam.

Prinsip kelestarian yang mengacu pada ketiga hal (ekologi, ekonomi, dan sosial),

justru memberikan keseimbangan dalam pengelolaan, pemanfaatan yang tetap lestari.

Oleh karena itu untuk dapat melakukan pelestarian hutan lindung maka dibutuhkan

kemampuan atau kompetensi dari petani, maupun stakeholder terkait.

Kompetensi

Definisi kompetensi menurut Spencer, (1993:9) yaitu: “A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion referenced effective and for superior, performance in a job or situation”. Oleh karena itu kompetensi berkaitan pula, dengan hal-hal yang mendasari dari sebagian kepribadian, yang kemudian

dapat-mampu memperkirakan situasi perilaku dan tugas. Sedangkan dalam competency dictionary mendefinisikan “competencies are general of the behaviour or action needed to successfully perform within a particular [work] context (e.g. job, group of job, function, etc)” – yang intinya bahwa kompetensi adalah perilaku umum yang diperlukan untuk keberhasilan dalam kerja.

Lasmanhadi (2002) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai

aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia mencapai kerja yang

superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap

pengetahuan dan ketrampilan. Kompetensi-kompetensi tersebut akan mengarahkan pada

tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Golmen (2004)

Gambar

Gambar 1.   Konsep Kerangka Kerja untuk Penilaian Kelestarian
Tabel 5.  Skema Hubungan antar Kelas Kemampuan Tanah dengan Intensitas                 dan Macam Penggunaannya
Gambar 3  BAGAN KERANGKA PIKIR
Tabel 8. Perincian Sampel  Petani Tepi Hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

saja yang masih bertahan. Ada pula yang mencoba meningkatkan outlet mereka dengan cara lebih mengembangkan produk-produk batik yang mereka jual. Pemilihan lokasi

Kuman yang dapat menyebabkan penyakit sifilis dapat memasuki tubuh dengan menembus selaput lendir yang normal dan mampu menembus plasenta sehingga dapat menginfeksi

Politeknik Sains & Teknologi Wiratama Maluku Utara merupakan salah satu instansi yang bergerak di bidang pendidikan yang menerapkan teknologi informasi dalam membantu

(jadul), komunitas living history, para penggemar kendaraan antik dsb yang ingin bertukar pengetahuan, informasi, koleksi terutama mengenai sejarah. Penggiat sejarah

Didalam tiap siklusnya peneliti selalu melaksanakan tahapan-tahapan berikut ini: (1) perencanaan, di dalam perencanaan ini peneliti dan guru melakukan kegiatan

penataan organisasi Perangkat Daerah dilingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dengan menempatkan fungsi manajemen kepegawaian yang semula dilaksanakan oleh

Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni, beladiri, cara menyulam.

Ilmu psikologi merupakan ilmu yang secara mendalam mempelajari perilaku manusia serta proses mental yang melatarbelakangi perilaku tersebut.. Berbagai pendekatan dan