• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

B. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Katolik

2. Kompetensi Pedagogik Guru PAK

a. Kompetensi Pedagogik Guru PAK Menurut Undang-Undang

Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 10, ayat 1) menyatakan yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Konsep ini mengandung beberapa hal penting yaitu pertama, guru harus mengetahui dan memahami tahap-tahap perkembangan peserta didik sehingga mampu menciptakan suasana yang menjadikan siswa siap mental sekaligus menimbulkan perhatian siswa terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari. Kedua, guru menguasai materi sehingga mampu menyajikan materi pembelajaran secara terorganisir dan sistemik. Ketiga, guru dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif, inovatif dan kreatif. Keempat, guru berusaha untuk mengoptimalkan kemampuan menjelaskan materi melalui pemberian pertanyaan kepada siswa. Kelima, guru dapat memberi penguatan yakni suatu respons secara positif yang diberikan guru kepada siswa yang melakukan perbuatan baik atau kurang baik. Keenam, guru mampu membuat variasi, yakni guru dapat menghilangkan kebosanan siswa dalam menerima pelajaran melalui gaya mengajar, penggunaan media, pola interaksi kegiatan siswa dan komunikasi nonverbal (suara, mimik, kontak mata, dan semangat). Ketujuh, guru dapat mengakhiri proses pembelajaran dengan baik.

Sementara itu, Asmani (2009: 59-60) mengatakan bahwa kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang guru agar pembelajaran yang dilakukan

efektif dan dinamis adalah kompetensi pedagogik. Guru harus belajar secara maksimal untuk menguasai kompetensi pedagogik ini secara teori dan praktek. Dari sinilah, perubahan dan kemajuan akan terjadi dengan pesat dan produktif.

Selanjutnya Asmani mengemukakan 10 indikator kompetensi pedagogik, yang m enurut penulis dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran PAK di sekolah, yakni:

1. Menguasai cakupan materi pelajaran PAK dengan baik, utuh, dan

menyeluruh

Guru PAK diharapkan menguasai bidang kajian materi tentang bahan ajar yang akan disampaikan kepada siswanya. Cakupan materi yang dimaksud adalah tentang pengenalan secara mendalam terhadap pribadi peserta didik, Yesus Kristus dan Gereja serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari bersama masyarakat.

Dalam lokakarya di Malino, ditegaskan bahwa materi/bahan merupakan sarana, bukan tujuan. Bahan ditentukan sejauh membantu pergulatan dan penghayatan hidup beriman. Ini berarti proses pembelajaran PAK tidak menitikberatkan pada penyelesaian bahan, melainkan pada kemendalaman pemahaman, sehingga diharapkan bahan ditentukan sangat minimal (sangat mungkin terselesaikan dalam waktu yang tersedia dengan proses yang mendalam) atau bahan disediakan sedemikian rupa sehingga mewakili seluruh aspek kehidupan peserta didik, namun tidak hanya itu, semampunya para guru agama memilih bahan yang relevan dengan situasi kelas.

Meskipun bahan merupakan sarana namun bukan berarti bahan itu bahan mati, abstrak dan tidak menyentuh kehidupan peserta didik. Guru PAK harus mengolah bahan menjadi bahan hidup yang mendukung siswa dalam pergulatan dan penghayatan hidup beriman, maka bahan dikemukakan sebagai yang bersaksi atas hidup beriman. Bahan yang hidup dapat menjadi partner dialog. Bahan yang dipilih pun harus memuat dan menampilkan nilai-nilai, sehingga terjadi pergulatan pilihan nilai dalam diri peserta didik beserta akibat-akibat pilihannya.

2. Memahami Psikologi Pendidikan dan Perkembangan

Memahami psikologi pendidikan misalnya tentang tahapan perkembangan siswa, memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, serta teori-teori belajar dan mengajar. Selain itu guru PAK harus mengenal fungsi dan program bimbingan dan konseling di sekolah. Seorang guru PAK tidak diharapkan menjadi seorang konselor yang profesional, namun diharapkan dia dapat memberikan pelayanan agar masing-masing peserta didik dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat mereka. Adapun fungsi pelayanan bimbingan dan konseling antara lain:

a. Pencegahan, yakni mencegah timbulnya masalah yang berkaitan dengan mata pelajaran PAK.

b. Penyaluran, yakni membantu peserta didik mendapat penyaluran diri ke arah kegiatan yang dapat menunjang perkembangan dirinya.

c. Penyesuaian, yakni membantu terciptanya penyesuian diri peserta didik dengan mata pelajaran yang ditekuni.

d. Perbaikan, yakni membantu peserta didikmemecahkan masalah yang berkaitan dengan pelajaran PAK.

e. Pengembangan, yakni membantu peserta didik mengembangkan keseluruhan pribadinya secara terarah dan berkelanjutan.

3. Mengembangkan Kurikulum yang Terkait dengan PAK

Guru PAK diharapkan memiliki keterampilan dalam merencanakan, menyusun dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan tuntuan kurikulum yang berlaku. Guru mampu menyusun dan menentukan langkah- langkah pembelajaran yang sistematis dan mencakup keseluruhan bidang kajian PAK sehingga para siswapun dapat menerima penyampaian bahan ajar PAK dengan baik.

Guru PAK dalam mengembangkan kurikulum PAK, harus memperhatikan tiga unsur pokok pendidikan iman., yaitu pengalaman hidup peserta, visi dan kisah hidup kristiani serta komunikasi antara pengalaman hidup peserta dengan visi dan kisah hidup kristiani. Ketiga unsur ini saling terkait dan merupakan syarat yang bersifat konstitutif (yang harus ada) supaya suatu kegiatan dapat disebut sebagai pendidikan iman. Selain itu, ketiga unsur ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan unsur-unsur yang harus ada di dalam persiapan dan proses penyelenggaraan pendidikan iman di sekolah.

a. Pengalaman Hidup Peserta

Pengalaman hidup peserta mencakupi segala kegiatan hidup harian, termasuk kegiatan rohani mereka seperti hidup doa, perayaan iman, dll. Di samping itu, di dalamnya terdapat permasalahan, kesulitan, keprihatinan dan persoalan hidup mereka, tetapi juga kegembiraan, sukses, cita-cita serta harapan mereka. Dengan kata lain, pengalaman hidup mencakup seluruh kenyataan hidup peserta. Kenyataan hidup yang menjadi salah satu unsur kontitutif pendidikan iman menggarisbawahi pengertian dasar pendidikan dalam iman sebagai komunikasi pengalaman. Kehidupan konkret peserta menjadi titik tolak dan sekaligus medan bagi peserta didik untuk menghayati imannya. Melalui refleksi terhadap pengalaman hidupnya, peserta didik mengenali kehadiran Allah yang menyatakan diri dan mengundang mereka untuk menanggapinya. Melalui interpretasi dan hermeneutik peserta didik dibantu menemukan makna dari pergualatan hidupnya, dan dibantu juga untuk menempatkan iman di dalam pergualatan hidup sehari-hari. Berangkat dari pengalaman hidup yang berbeda- beda yang menjadi titik tolak dalam pergulatan hidup selama mengikuti proses pembelajaran PAK, diharapkan pembelajaran PAK menjadi relevan dan menyentuh kehidupan peserta.

b. Visi dan Kisah Hidup Kristiani

Visi dan kisah hidup kristiani menjadi kerangka untuk menafsirkan pengalaman hidup konkret peserta, agar peserta menyadari makna pengalamannya, dan mereka dihantar untuk sampai pada pengakuan iman kristiani

yang lebih personal dan otentik. Visi dan kisah hidup kristiani dapat menjadi peneguh, kritik, dan dapat merupakan dorongan inspiratif ke arah perkembangan baru yang lebih baik. Visi dan kisah hidup kristiani digali dari sumber utamanya yaitu Kitab Suci dan harta kekayaan iman Gereja (tradisi). Kedua sumber ini karena penting, maka harus digunakan secara serentak. Tradisi dipahami sebagai pengalaman jemaat yang menghidupi dan menghayati sabda Tuhan yang hidup. Menjadi kerangka penafsiran, karena visi dan kisah hidup kristiani yang bersifat normatif (di dalamnya terkandung nilai-nilai pengalaman dasar kristiani yang bersifat kumulatif) membantu peserta untuk memantapkan identitas kekristianiannya dan sekaligus memperteguh rasa memiliki mereka sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jemaat kristiani.

c. Komunikasi Kehidupan Konkret Peserta dengan Visi dan Tradisi Kristiani Pendidikan iman menjadi kegiatan yang bernilai edukatif dan transformatif kalau pengalaman hidup konkret didialogkan dengan visi dan tradisi kristiani. Dialog ini membantu peserta didik agar menghayati imannya di dalam kebudayaan dan cara berpikirnya sendiri. Melalui interpretasi peserta dibantu untuk menafsirkan pengalamannya sendiri maupun harta kekayaan iman kristiani. Dari sini, peserta dibantu untuk sampai pada penghayatan iman yang otentik yang membawa mereka pada kedewasaan iman. Salah satu tugas utama PAK adalah mendialogkan, mempertemukan antara pengalaman hidup dengan harta kekayaan iman kristiani. Di dalam fungsi ini PAK dapat dipahami sebagai proses interpretasi pada keduanya dengan maksud supaya diketemukan maknanya yang

bersifat transformatif. Menemukan makna merupakan kegiatan mendasar dari hidup manusia.

4. Menyelenggarakan Pembelajaran yang Mendidik dan Dialogis;

Guru PAK diharapkan mampu mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran. Guru mampu mengelola program pembelajaran agar pembelajaran dapat berlangsung secara “Paikem”, yakni “Pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan”. Guru PAK diharapkan terus menemukan aneka model pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didiknya, sehingga peserta didik yang adalah subyek belajar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mampu membentuk interaksi dan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran. Seorang guru harus memahami hakekat belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar, bagaimana proses belajar berlangsung dan ciri-ciri belajar dalam berbagai bidang yakni pengetahuan, pemahaman, minat, sikap, nilai, dan keterampilan. Dengan demikian ia akan mampu menentukan jenis interaksi yang bagaimana dan pola interaksi yang seperti apa yang sekiranya dapat menarik minat anak untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

5. Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Guru PAK dapat memanfaatkan media dan sumber belajar yang mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Media dan sumber belajar dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa dalam proses belajar

termasuk pembelajaran PAK (Sadiman, 2008: 13). Media tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu guru dalam mengajar, tetapi lebih sebagai alat penyalur pesan kepada siswa-siswi. Sehingga diharapkan baik guru maupun media dapat memberikan kemudahan belajar bagi siswa guna memperoleh pengetahuan yang luas, mendalam, jelas, sistematis, dan menarik.

6. Memfasilitasi Pengembangan Potensi Peserta Didik

Guru PAK harus menyadari bahwa peserta didik bukanlah botol kosong yang siap menampung apa saja dari proses pembelajaran. Peserta didik adalah pelaku belajar itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pewartaan iman, Santo Yakobus menuliskan kepada kita bahwa “Hendaklah kamu menjadi pelaku firman” (Yak 1:22). Oleh karena subyek belajar adalah peserta didik itu maka sudah sepantasnyalah proses pembelajaran PAK dikelola untuk memenuhi kebutuhan dalam hal ini minat siswa itu sendiri, agar mereka sungguh-sungguh tumbuh dalam iman dan penghayatan hidup beriman.

7. Menyelenggarakan Penilaian, Evaluasi Proses dan Hasil Belajar

Guru PAK diharuskan untuk mampu melaksanakan kegiatan pengukuran dan penilaian serta evaluasi prestasi peserta didik secara bertanggung jawab, sehingga guru dapat memperoleh umpan balik yang berharga untuk pengembangan pengajaranya dan perkembangan peserta didiknya serta dapat memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi demi peningkatan kualitas pembelajaran PAK.

8. Melakukan Tindakan Reflektif untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Seorang guru PAK tidak hanya mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa, namun juga dapat mengevaluasi kinerjanya sendiri demi peningkatan kualitas dan keberhasilannya dalam mengajarkan PAK. Penekanannya pada apakah guru PAK telah berhasil melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan rencana ataukah belum, apa saja yang perlu diperbaiki. Selain itu guru agama dapat mengikuti kegiatan ret-ret atau rekoleksi guna menyegarkan kembali panggilan yang dijalani dan tugas yang diembannya sehingga guru PAK tetap bersemangat dalam menjalankan misi Gereja di dunia.

b. Kompetensi Pedagogik Guru Agama Katolik menurut Dokumen Gereja

Dokumen Gereja menggarisbawahi pentingnya pendidikan untuk siapa saja, khususnya bagi generasi muda yang masih harus berkembang, tetapi juga bagi orang dewasa dalam arti pendidikan seumur hidup. Ditegaskan bahwa pedidikan merupakan hak azasi setiap orang, karena siapa saja berhak memperkembangkan dan menyempurnakan hidup menuju kepada kepenuhannya. Pendidikan merupakan jalannya. Pendidikan juga merupakan cara bagi manusia untuk menemukan dan memantapkan identitas dirinya di tengah-tengah perubahan dan perkembangan zaman. Dengan begitu manusia diharapkan dapat lebih berperan aktif di dalam kehidupan sosial mengusahakan kesejahteraan bersama (Gravissimum Educationis, art. 1).

Gereja di dalam sejarah hidupnya berperan aktif dalam bidang pendidikan dengan maksud untuk mengambil bagian di dalam memperkembangkan kehidupan (memperjuangkan budaya kehidupan [budaya pro life]) untuk mengalahkan budaya kematian. Dengan cara itu Gereja mewartakan Injil kehidupan yaitu Kristus yang membebaskan dan menyelamatkan. Gereja menggarisbawahi dua tujuan pendidikan yang saling berkaitan erat: pertama, memperkembangkan pribadi manusia dan kedua, memperjuangkan kesejahteraan umum.

Gereja sangat menyetujui arah pendidikan yaitu demi memperkembangkan dan menyempurnakan hidup manusia di dalam segala aspeknya. Dengan pendidikan manusia diharapkan menyadari kemandiriannya (otonomi, hak-hak azasinya, misalnya berpikir, mempertimbangkan, memilih dan memutuskan secara bebas nilai hidup yang diyakini). Tetapi perlu juga dipahami bahwa kemandirian manusia bersifat relasional. Ini berarti, orang akan semakin menjadi dirinya sendiri kalau ia secara terbuka dan tulus berkomunikasi dengan sesamanya, semakin ia membuka diri maka jalan unutk menjadi dirinya sendiri semakin terbuka. Setiap manusia di satu pihak, merupakan pribadi yang bersifat otonom, tetapi di lain pihak, juga bersifat sosial. Pendidikan berusaha mewujudkan tercapainya keseimbangan dan keterpaduan keduanya. Yang jelas, siapapun berhak untuk hidup bahagia dan menyempurnakan kehidupannya sesuai dengan maksud ia diciptakan.

Oleh karena itu Gereja menegaskan bahwa setiap orang Kristen berhak menerima pelayanan kerohanian dan moral dari Gereja. Dari kacamata lain,

Gereja menyadari kewajibannya unutk menyelenggarakan reksa rohani dan moral bagi semua warganya agar mereka dapat memperkembangkan kehidupannya berdasar pada nilai-nilai injili (nilai-nilai yang mengacu pada hidup Yesus Kristus sendiri).

Gereja menyadari bahwa tanggungjawab penyelenggara pendidikan Kristen yang pertama adalah orang tua (keluarga). Peranan mereka sangat perlu dihormati dan memang tidak tergantikan. Di samping itu, Gereja mengakui peranan/kewajiban pemerintah (masyarakat) untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakatnya demi mencerdaskan bangsa dan memperjuangkan kesejahteraan umum (bonum commune). Pemerintah juga berkewajiban untuk menghormati dan membantu terselenggaranya pendidikan bagi kaum muda terutama yang telah diusahakan oleh orang tua dan lembaga-lembaga pendidikan swasta lainnya. Ditegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menghormati prinsip subsidiaritas. Selain itu juga ditekankan peranan Gereja sendiri. Gereja memiliki kompetensi untuk mewartakan dan memperjuangkan keselamatan,mengkomunikasikan hidup dalam kesatuan dengan Yesus Kristus. Gereja bercita-cita supaya hidup setiap orang beriman Kristen diresapi oleh semangat dan sikap Yesus Kristus sendiri (Gravissimum Educationis, art. 3).

Gereja berkeyakinan bahwa katekese dalam arti pendidikan di dalam iman merupakan upaya yang khas untuk mewujudkan tujuan pendidikan Katolik. Di samping itu, Gereja juga berusaha ikut aktif dalam komunikasi sosial dan di dalam kelompok-kelompok kaum muda dan terutama sekolah-sekolah.

Dalam dokumen Gravissimum Educationis, ditegaskan bahwa salah satu unsur pokok yang perlu ditekankan oleh sekolah-sekolah Katolik adalah dimensi religius, tentu saja menyusut iman kristiani. Segi ini bagi sekolah menjadi cara hidup yang perlu senantiasa diusahakan supaya mereka dapat mendidik siswa- siswinya menurut nilai-nilai kristiani, dimensi tersebut terdapat dalam: suasana pendidikan, perkembangan pribadi semua peserta didik (personal dan komunal), hubungan yang terjalin erat antara kebudayaan dan Injil, serta penerangan segala pengetahuan oleh cahaya iman.

Dimensi religius menjadi serangkaian usaha yang terus diupayakan Gereja dalam tugas pewartaannya. Dalam hal ini, dimensi ini ingin diwujudkan dalam proses pembelajaran, yakni pembelajaran pendidikan agama di sekolah. Pembelajaran pendidikan agama di sekolah harus sungguh-sungguh memperhatikan suasana belajar yang harus diciptakan, yakni suasana yang sungguh-sungguh Katolik. Suatu suasana yang dijiwai oleh Roh cinta kasih dan kebebasan injili, suasana belajar yang diresapi oleh semangat dan sikap hidup Yesus sendiri (Gravissimum Educationis, art. 25). Suasana belajar semacam ini akan membuat para peserta didik merasa martabatnya dihormati, permasalahan hidupnya dipahami, pertanyaan dan keluhannya diperhatikan. Mereka juga dibantu untuk menemukan identitas dan perannya di dalam kehidupan bersama. Di samping itu, proses pembelajaran yang diharapkan tidak hanya dibatasi pada perkembangan segi intelektual tetapi juga menyangkut perkembangan perasaan, dan tindakan konkret. Hal ini membantu peserta didik untuk berkembang ke arah kebijaksanaan hidup, pendidikan yang bersifat utuh.

Dokumen Gereja Katolik memang tidak secara ekspilisit menjelaskan kompetensi pegagogik seorang guru agama/katekis. Namun, profesi guru agama dapat dilihat dari sudut pandang panggilan kaum awam dalam hal ini untuk menjadi guru agama/katekis yang muncul dalam Sakramen Permandian, dan dikuatkan oleh Sakramen Krisma. Melalui kedua sakramen ini, kaum awam mengambil bagian dalam “pelayanan Tri tugas Kristus sebagai imam (menguduskan), nabi (mengajar), dan raja (menggembalakan)” dengan bantuan Roh Kudus (Budi Kleden, 2005:49). Tri tugas Kristus ini menyatu dalam tugas mengajar oleh Gereja yang dilaksanakan oleh para guru agama di sekolah agar siswa yang mendapat pengajaran dapat berkembang dalam iman dan menjadi pewarta menurut kesaksian hidupnya dan semakin mengenal Kristus serta dimampukan untuk tumbuh dalam iman dan menjadi saksi-Nya yang hidup. Karena ciri khas status hidup kaum awam yakni: hidup di tengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil oleh Allah, untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia (Apostolicam Actuositatem, art. 2).

Dalam Gereja terdapat perbedaan dalam hal pelayanan tetapi satu tubuh. Dari Kristus “seluruh Tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat- urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya” (Kol 2:9). Tuhan membagi-bagikan karunia-karunia pelayanan dalam tubuhNya (Lumen Gentium art. 7). Satu dari karunia pelayanan yang dianugerahkan dan diawali oleh Yesus sendiri ialah katekese. Pelayanan katekese tidak boleh dipisahkan dengan Gereja dan merupakan hati kepada semua pelayanan dalam Gereja. Dokumen Gereja

tentang katekese, “Catechesi Tradendae” menyatakan bahwa dalam semua pelayanan Gereja, katekese mendapat tempat yang paling utama dan istimewa (CT art. 13). Katekese merupakan kegiatan pendampingan iman yang mempersiapkan umat Allah untuk hidup dalam komunitas dan mengambil bagian secara aktif di dalam kehidupan misi Gereja.

Berdasarkan beberapa dokumen Gereja, didapat beberapa penjelasan siapakah katekis dan peranannya. Pertama, Catechesi Tradendae (1977): Katekis adalah umat awam yang telah melalui pembentukan/kursus dan hidup sesuai Injil. Maksudnya katekis adalah seorang yang telah diutus oleh Gereja, sesuai dengan keperluan setempat, yang tugasnya adalah untuk membawa umat untuk lebih mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus. Kedua, Redemptoris Missio (1990): Menggambarkan katekis sebagai “pelayan, saksi, penginjil dan tulang punggung Komunitas Kristiani, terutama bagi Gereja-Gereja yang masih muda”. Ketiga, General Directory for Catechesis (1997): Katekis sebagai guru, pendidik, dan saksi iman (Boli Kotan, 2011:17-18).

Sebagai seorang pendidik iman, guru PAK di sekolah diharapkan mampu menempatkan peserta didik sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Adapun hal yang harus diperhatikan dan menjadi landasan pelaksanaan pembelajaran PAK di sekolah adalah sebagai berikut:

a. Guru PAK Membantu Meneguhkan Pribadi dan Jati Diri Peserta Didik Sebagai pendidik kita wajib meneguhkan sifat dasar peserta didik yang sungguh baik. Dengan tulus guru Pak harus menghormati martabat mereka yang

mulia, menghargai segala talenta dan keunikan mereka serta mempercayai (mengagumi) kemampuan mereka. Sikap meneguhkan dan menghormati kita jadikan sebagai sikap dasar untuk mendorong dan memberdayakan mereka agar mereka sendiri dapat memperkembangkan hidupnya. Kita pun sebagai guru PAK, dapat membantu mereka agar mereka memiliki peluang yang selebar-lebarnya untuk dapat memiliki warisan kekayaan ilmu, kebudayaan, nilai-nilai kemanusiaan, seni, dan kebijaksanaan. Guru PAK harus mampu memadukan antara sikap mempercayai dan menghormati dengan sikap memberdayakan dan menantang. Di sini kita dapat memfokuskan perhatian kita kepada kemampuan dan bakat-bakat, minat mereka, bukan kepada kekurangan, kesalahan dan kelemahan serta kenakalan mereka. Sikap sebagai seorang guru PAK, bila menghadapi peserta didik adalah bermurah hati, memiliki hati untuk mendampingi dan selalu ada untuk peserta didik.

b. Tetap Yakin dan Penuh Harap pada Peserta Didik

Seorang guru PAK adalah pribadi yang tidak pernah kehilangan kesabaran dan keyakinan bahwa peserta didiknya semua dapat berkembang sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, yang mereka terima dari-Nya, mereka semua dapat sampai pada hidup di dalam kelimpahan dan kepenuhan. Tentu lebih mudah bagi kita untuk mengelompokkan para peserta didik menurut kategori pandai dan sangat berbakat, cukup dan dapat lulus, sisanya tidak ada harapan dan hampir pasti gagal. Tetapi pengelompokkan ini sering berat sebelah, tidak adil dan penuh prasangka, yang akhirnya sangat merugikan proses belajar peserta didik.

c. Mengasihi Semua Peserta Didik Tanpa Terkecuali

Meneguhkan berarti mempercayai peserta didik, yakin dan penuh harap bahwa mereka dapat berkembang, juga yang tidak kalah pentingnya adalah mengasihi mereka. Beriman, berharap dan mengasihi para peserta didik itulah yang menjadi sikap, tekad, kesadaran yang wajib kita wujudkan dalam menunaikan tugas panggilan sebagai seorang guru agama di sekolah. Dengan kasih yang sedia berkorban, guru agama dapat menjadikan Yesus sebagai teladan dalam mengasihi semua manusia. Kasih Yesus mendatangkan mukjizat seperti penyembuhan, pertobatan dan pembebasan. Dengan cinta yang bersifat agapik tersebut, guru menyatukan diri dengan hidup peserta didik; guru berada bersama mereka dalam kesulitan, kekurangan, juga dalam pengharapan dan kegembiraan serta cita-cita mereka. Kasih juga dapat kita wujudkan dengan jalan menuntut, menantang dan memberdayakan mereka. Tetapi segala yang keras dan berat itu tetap dialami sebagai ungkapan kasih guru kepada peserta didiknya.

d. Menghormati Peserta Didik Sebagai Subyek

Dokumen terkait