• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia

Salah satu perwujudan transformasi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia adalah munculnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adanya KHI ini merupakan angin segar bagi kebutuhan umat Islam di Indonesia akan adanya suatu peraturan tertulis yang memuat hukum Islam, mengingat di Indonesia sebgai negara yang menganut system hukum Eropa Kontinental, adanya hukum tertulis sebagai sumber hukum di peradilan adalah suatu kebutuhan yang penting.

Latar belakang munculnya KHI adalah adanya problematika di Pengadilan Agama tentang hukum materiil yang harus diterapkan oleh Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan. Yahya Harahap mengatakan bahwa dalam Pengadilan Agama asas yang digunakan adalah asas personalitas keislaman. Asas personalitas keislaman maksudnya adalah bahwasanya yang dapat tunduk dan ditundukkan pada lingkungan kekuasaan Pengadilan Agama adalah mereka yang beragama Islam.57

Hukum materiil dalam Pengadilan Agama adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan hukum

yang terdapat dalam kedua sumber tersebut bersifat global sehingga memerlukan interpretasi dalam bentuk fiqh. Istilah fiqh sendiri memiliki dua pengertian yaitu yang pertama, fiqh sebagai ilmu yang membahas syariat Islam yang dijabarkan dalam pembahasan yang sistematis, sehingga mudah untuk mempraktikkannya. Yang kedua, fiqh sebagai aturan hukum yang dihasilkan melalui proses interpretasi sebagaimana disebutkan diatas.

Problematika yang muncul terkait hal tersebut diantaranya adalah para hakim menggunakan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan dalam memutuskan perkara. Luasnya fiqh dan hukum Islam menimbulkan kesimpangsiuran dalam menetapkan pijakan hukum bagi hakim dalam mengambil keputusan. Keberadaan kitab-kitab fiqih yang beragam dapat pula mempengaruhi pertimbangan hakim yang beragam, hal tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam putusan yang dihasilkan oleh hakim di Pengadilan Agama, bahkan dalam perkara yang sejenis. Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan kebingungan dalam masyarakat yang mencari keadilan di Pengadilan Agama. Selain itu, di lingkungan peradilan agama sendiri sebelumnya berpedoman pada 13 kitab fiqh yang semuanya bercorak madzhab Syafi’i, hal ini mengacu pada Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 No.B/I/735, kitab-kitab tersebut diantaranya: (1) al-Bajuri; (2) Fatkhul Mu’in; (3) Syarqawi ‘ala Tahrir; (4) Qalyubi wa Umairah/al-Mahali; (5) Fatkhul Wahbah; (6)Tuhfah; (7)Targhib al-Mustaq;(8) Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;(9)Qawanin

Musytarsyidin; (12) Fiqh ala Madzahib Arba’ah; (13)Mughni al-Muhjaj.58 Penentuan ketiga belas kitab tersebut setidaknya berhasil mengurangi kesimpangsiuran sumber hukum di lingkungan peradilan agama, akan tetapi belum dapat dikatakan mencapai keseragaman hukum. Hal inilah yang kemudian memotivasi dirumuskannya KHI sebagai unifikasi hukum Islam.

Sebagaimana Pengadilan Agama, adanya KHI sendiri juga merupakan bentuk politik hukum Islam. KHI adalah sekumpulan hukum Islam praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci,59 yang terdiri atas tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan, buku II Hukum Kewarisan, dan buku III Hukum Perwakafan. Proses pembuatannya, KHI merupakan hasil dari proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI dan Departemen Agama RI melalui Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985. Hanya saja, untuk dapat diterapkan di lingkungan peradilan, KHI tersebut memerlukan landasan yuridis sebagaimana peraturan perundang-undangan lain. Dalam pembentukan KHI ini melalui proses yang tidak melalui badan legislatif, sebagai badan yang berwenang melahirkan undang-undang. Landasan yuridis dari KHI ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 1991 tentang instruksi penyebarluasan KHI kepada Menteri Agama, lalu diteruskan dengan Keputusan Menteri Agama

58 Amrullah Ahmad, et.al..Dimensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional: mengenang 65 th.

Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H..(Jakarta: Gema Insani Press. 1996) hlm. 11

59 Rini M.S, dan Yufi Wiyos. “Pandangan Politik Hukum Islam Terhadap KHI di Indonesia”Jurnal

Asas Vol 3, 1 (2011) hlm. 31.http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/asas/article/ view/56,

RI No.154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No.1 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991 yang menginstruksikan kepada instansi-instansi di bawah Departemen Agama dan juga instansi terkait agar menyebarluaskan KHI, termasuk Pengadilan Agama yang saat itu masih dalam pengawasan Menteri Agama. KHI diakui sebagai jalan pintas dalam penetapan dan mempositifkan hukum Islam, sebab penyusunan rancangan undang-undang tentang hukum perdata Islam untuk diajukan kepada badan legislatif tidak mungkin dilakukan saat itu. KHI juga dapat dikatakan sebagai pelengkap adanya UU No.7/89 tentang Peradilan Agama karena UU tersebut tidak dapat dioperasionalkan secara sempurna tanpa adanya peraturan yang dapat dijadikan acuan pengambilan keputusan hakim di Pengadilan Agama.60

Lalu timbul permasalahan mengenai posisi Inpres tersebut dalam sistem hukum di Indonesia. Peraturan perundang-undangan di Indonesia dibentuk oleh lembaga yang diberi kewenangan, diantaranya lembaga legislatif, lembaga eksekutif dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan lembaga lainnya dalam rangka tugas fungsinya dan yang bersifat mengatur. Lembaga-lembaga tersebut dituntut untuk merespon kepentingan publik untuk dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.61

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat hierarki yang telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan itu

60Rini dan Wiyos.Jurnal Asas. hlm.30

sendiri, diantaranya dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 disebutkan urutannya sebagaimana berikut:

1) UUD RI 1945, 2) TAP MPRS,

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, 4) Peraturan Pemerintah,

5) Keputusan Presiden,

6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.

Lalu dalam ketetapan MPR lainnya, yaitu pada TAP MPR Nomor IIl/MPR/2000 isinya:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3) Undang-Undang;

4) Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang; 5) Peraturan Pemerintah;

6) Keputusan Presiden; 7) Peraturan Daerah.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,isinya sebagaimana berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/peraturan pemerintah pengganti Undang-undang; 3) Peraturan pemerintah;

4) Peraturan presiden; 5) Peraturan Daerah.

Adapun dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU ini merupakan pengganti UU No.10 tahun 2004, isinya sebagaimana berikut:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden;

6) Peraturan Daerah Provinsi;

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dari beberapa ketentuan di atas, tidak disebutkan bahwasanya Inpres termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Terkait hat tersebut, terdapat perbedaan pendapat dalam memandang posisi Inpres dalam peraturan perundang-undangan, yang pertama berpendapat bahwa Inpres tidak termasuk dalam peraturan tertulis. Yang kedua, berpendapat bahwa posisi Inpres adalah peraturan yang tidak mengikat secara umum, akan tetapi hanya mengikat kepada yang diberi instruksi dalam Inpres tersebut. Pendapat lain yang mengatakan, bahwa keberadaan KHI terkait dengan teori eksistensi, yaitu eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional. KHI menunjukkan bahwa hukum Islam hidup dalam sistem hukum dan diakui kewibawaannya oleh

hukum nasional, mengingat KHI adalah pengembangan dari hukum Islam yang telah diunifikasi.62