• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA

A. Paparan Data

3. Pandangan Hakim terhadap Penggunaan KHI

KHI sebagai rujukan putusan, akan dipaparkan dalam hasil wawancara peneliti dengan hakim di Pengadilan Agama Blitar di bawah ini. Hakim yang diwawancarai adalah Drs. Munasik, M.H., dan Drs. Muh. Zainuddin, S.H., M.H.. Drs. Munasik berposisi sebagai hakim judex facti pada perkara

nomor 2772/Pdt.G/2014/, yaitu hakim yang memeriksa langsung perkara tersebut, dimana perkara tersebut masuk kepada sampel perkara yang akan dipaparkan dalam poin berikutnya. Adapun Drs. Muh. Zainuddin adalah Wakil Ketua Pengadilan Agama Blitar, dalam wawancara ini, sebagai hakim yang pernah menangani perkara kewarisan. Untuk lebih jelas berikut adalah paparan hasil wawancara, dimana bahasa telah diolah sedemikian rupa dengan bahasa peneliti dengan tanpa merubah makna:

Pertanyaan pertama diajukan kepada Drs. Munasik, yaitu tentang rujukan hukum apa yang dipakai oleh hakim dalam menangani perkara kewarisan di Pengadilan Agama. Drs. Munasik memberikan jawaban sebagai berikut:

“Menggunakan KHI, setiap perkara kewarisan yang masuk dalam persidangan menggunakan KHI. Jika dulu menggunakan berbagai kitab, akan tetapi sekarang sudah dikompilasikan dalam KHI, jadi semua perkara waris menggunakan KHI. Hanya saja jika perkara tersebut dapat diselesaikan dalam proses mediasi, disitu apapun bisa terjadi. Para pihak dapat menyelesaikan dengan alternatif penyelesaian yang ditawarkan mediator, atau dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu, asal masing-masing telah mengetahui hak-haknya dalam hukum Islam, dan ada saling ridho antara para pihak. Walaupun pada mediasi juga ada yang meminta dibagi sesuai dengan KHI langsung. Dengan begitu, jika mediasi tersebut mencapaik kesepakatan, maka hakim akan memutus perkara tersebut dengan kesepakatan yang telah dicapai, akan tetapi jika kedua belah pihak tidak mencapai suatu kesepakatan, hakim akan menggunakan KHI dalam putusannya.”

Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada Drs. Zainuddin, jawabannya adalah sebagai berikut:

“Untuk sumber hukum formal yaitu dengan KHI, walaupun KHI baru ada jauh setelah Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk menangani kewarisan. Sebelum adanya KHI, para hakim menggunakan

kitab-kitab fiqih yang terdapat 13, lalu baru kemudian muncul KHI yang isinya sama dengan kitab-kitab tersebut dan untuk menyeragamkan hukum. Jadi anggapan bahwa KHI sumber satu-satunya kurang tepat, karena munculnya yang belakangan, daripada kewenangan PA dalam menangani kewarisan. Tidak hanya itu, yang tidak terdapat pada hukum acara formil seperti HIR dan Rbg pun juga menggambil dari fiqih. Walaupun memang ada beberapa hal yang berbeda dengan konsep hukum yang kita terima dan diterapkan di Pengadilan Agama dan hidup di masyarakat, dengan kitab-kitab yang tersebut.”

Adapun pertanyaan kedua yang diajukan adalah tentang bagaimana pandangan hakim terhadap KHI. Drs. Munasik memberikan tanggapannya sebagai berikut:

“Banyak pandangan bahwa KHI bukan lah hukum tertulis, posisinya sama seperti buku-buku biasa, kendaraan yuridisnya hanya menggunakan Inpres no.1 tahun 1991. KHI baru mempunyai kekuatan hukum jika ia dikutip dalam putusan hakim, dan KHI yang materinya merupakan perasan dari kitab-kitab fiqih, materi hukum yang ada didalamnya sesuai dengan hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama, yaitu hukum Islam.”

Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada Drs. Zainuddin, menanggapi pertanyaan tersebut, Drs. Zainuddin mengatakan:

“KHI tidak dianggap sebagai hukum tertulis. Jangankan KHI, undang-undang sekalipun jika hanya dalam tulisan adalah bersifat pasif, dia baru punya daya paksa jika dikutip dalam putusan hakim. Tak hanya KHI saja, bahkan pendapat seseorang pun, jika dikutip dalam putusan maka ia dianggap sebagai pandangan hakim dan mempunyai kekuatan hukum. Adapun materi hukum KHI sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, hingga boleh dipakai.

KHI sendiri merupakan bentuk jawaban atas dinamika perubahan masyarakat. Seperti gejolak masalah hibah, yang semula hibah tidak dibatasi, akan tetapi ternyata dalam masyarakat banyak pihak yang sebenarnya bukanlah ahli waris justru banyak menghabiskan harta warisan dengan jalan hibah, dan ini dipandang tidak adil. Oleh karena itu dalam perkembangannya hibah juga dibatasi maksimal 1/3”

Pertanyaan ketiga yang diajukan, yaitu tentang alasan hakim menggunakan KHI jika dalam putusan kewarisannya digunakan sebagai rujukan hukum. Tanggapan dari Drs. Munasik sebagai berikut:

“Pada dasarnya, dalam memutus perkara hakim tidak terikat pada undang-undang tertentu, apalagi kepada KHI yang tidak dianggap sebagai hukum tertulis. Hanya saja KHI telah dijadikan sebagai hukum terapan di lingkungan Peradilan Agama, terlebih KHI merupakan perasan dari kitab-kitab fiqih yang menjadi sumber hukum sebelumnya di lingkungan Pengadilan Agama.

Dijadikannya KHI sebagai hukum terapan terdapat pada semua tingkatan pengadilan, mulai Pengadilan Agama, hingga Pengadilan Tingga Agama, apalagi Mahkamah Agung yang menyuarakan untuk menggunakan KHI.”

Adapun tanggapan yang disampaikan Drs. Zainuddin, menanggapi pertanyaan yang ketiga, adalah sebagai berikut:

“Seperti yang dikatakan sebelumnya, hukum yang hidup pada

masyarakat maka boleh dipakai sebagai pertimbangan dalam putusan dan KHI merupakan hukum yang hidup tersebut.”

Pertanyaan keempat yang diajukan kepada hakim Pengadilan Agama Blitar, Drs. Munasik, yaitu tentang bagaimana pendapat masyarakat terhadap KHI, khususnya masyarakat yang berperkara di bidang kewarisan di Pengadilan Agama Blitar. Menjawab pertanyaan tersebut, Drs. Munasik mengatakan:

“Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang Islami, dan KHI adalah hukum yang materinya dari hukum Islam. Jika ada suara-suara yang mempermasalahkan KHI kebanyakan dari para pakar hukum, itupun yang dipermasalahkan adalah status yuridisnya, bukan ke materinya. Jika para pihak yang berperkara, selalu menerima KHI.

Hanya saja, sebagian banyak yang tidak mengerti apakah itu KHI. Istilah KHI lebih banyak diketahui di lingkungan kampus, terutama di kampus Islam, istilah tersebut kurang populer di kampung-kampung atau di kalangan pesantren. Perlu adanya sosialisasi dan penjelasan kepada masyarakat termasuk kepada tokoh agamanya mengenai apakah itu KHI, bahwa isi materi KHI adalah materi yang ada pada kitab-kitab kuning, walaupun bentuknya tidak seperti kitab.”

Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada Drs. Zainuddin, jawabannya adalah sebagai berikut:

“Masyarakat tentu menerima, seperti yang dikatakan Prof. Yahya Harahap, sebagai salah satu penyusun dari KHI, bahwa KHI tersebut merupakan bagian dari pendapat masyarakat, dan pendapat masyarakat juga merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.”