• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi

Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner, stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes khususnya.

Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi natrium (Saseen dan Carter, 2005).

Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter, 2005).

2.3.1 Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

2.3.1.1 Terapi non farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga (Saseen dan Carter, 2005).

2.3.1.2 Terapi farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Efektif menurunkan tekanan darah.

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-hiperglikemia.

3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai, tidak meningkatkan risiko impotensi.

5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).

Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes mellitus adalah senagai berikut:

1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes. Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan

penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005).

ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril, Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray, dkk., 2006).

ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati, diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB

merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan, Telmisartan, Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

3. Diuretics

Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Anonim, 2009).

4. Beta Bocker (β-blocker)

Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes, dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

5. CCB (Calcium Chanel Blocker)

CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter, 2005).

CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB. Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini, khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin, Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Dokumen terkait