• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2

DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI

RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM LANGSA

TAHUN 2011

SKRIPSI

OLEH:

FAZRINA ZAHARA

NIM 101524059

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2

DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI

RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM LANGSA

TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FAZRINA ZAHARA

101524059

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM LANGSA TAHUN 2011

OLEH:

FAZRINA ZAHARA NIM 101524059

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 08 Agustus 2012

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Drs. Wiryanto, M.S., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt NIP 195110251980021001 NIP 195301011983031004

Pembimbing II, Drs. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 195110251980021001

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 1978021520008122001 NIP 195111021977102001

Drs. David Sinurat, M.Si., Apt. NIP 194912281978031002

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi ini yang bejudul “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada

penderita diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap

Rumah Sakit Umum Langsa Tahun 2011”. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Drs. Wiryanto, M.S., Apt., dan Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.,

yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama

penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga

sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan

Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama

perkuliahan di Fakultas Farmasi.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga

tercinta terutama Ayahanda Alm. Suharna Zainan, Ibunda Fazillah serta adik yang

telah mendoakan setia dan selalu memberikan semangat tiada hentinya kepada

penulis selama ini. Bapak Direktur RSUD Langsa dr. Doli Diapari Siregar yang

telah memberi izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan

penyelesaian penelitian. Bapak Prof. Urip Harahap, Apt., selaku ketua penguji

dan Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. David Sinurat,

M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk

(5)

Terimakasih kepada teman-teman mahasiswa/i Farmasi khususnya

Ekstensi Farmasi 2010 yang selalu mendoakan dan memberi semangat selama ini

kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis

menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012

Penulis,

(6)

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM LANGSA TAHUN 2011

ABSTRAK

Diabetes merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat dan menjadi ancaman bagi umat manusia karena dapat menyebabkan komplikasi, salah satunya komplikasi hipertensi. Penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi membutuhkan pengobatan yang tepat agar tidak berlanjut pada komplikasi yang lebih lanjut seperti gagal jantung dan gagal ginjal. Pengontrolan secara menyeluruh perlu dilakukan untuk mendapatkan efek terapi yang diharapkan, salah satunya dengan memperhatikan kejadian Drug Related Problems (DRPs).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif. Bahan dan sumber diperoleh dari rekam medik yang berupa resep dan kelengkapan data pasien. Data diambil dari 32 pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi, dimana disajikan dalam bentuk persentase dan hasil yang didapat dianalisa dengan mengidentifikasi

Drug Related Problems (DRPs) .

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Langsa yang terdiri dari 15,61% butuh terapi tambahan, 40,62% terapi obat yang tidak perlu, 50% terapi obat yang tidak efektif, 3,12% dosis terlalu rendah, 31,24% reaksi obat merugikan, 6,25% dosis terlalu tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi Drug Related Problems (DRPs) pada Instalasi Rumah Sakit Umum Langsa.

(7)

IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) IN PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS WITH COMPLICATION OF

HYPERTENSION AT GENERAL HOSPITAL INPATIENT LANGSA THE YEAR 2011

ABSTRACT

Diabetes is a disease that affects many people and is a threat to mankind because it can lead to complications, one of the complications of hypertension. Patients type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension requires prompt treatment in order not to continue to further complications such as heart failure and treatment success required kidney. Overall control needs to be done to obtain the expected therapeutic effect, one of which with respect to the incidence ofDrugRelated Problems (DRPs).

Cross-sectional and retrospective are used in this research. Materials and resources were obtained from medical records of prescriptions and completeness of patient data. Data taken from 32 patients with type 2 diabetes mellitus complications of hypertension, which is presented in the form of percentage and the results are analyzed by identifying Drug Related Problems (DRPs).

From the research, there are Drug Related Problems (DRPs) in patient type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension At General Hospital inpatient Langsa consisting of need of additional drug therapy 15.61%, unnecessary drug therapy 40.62%, ineffective drug 50%, dose too low 3.12%, adverse drug reaction 31.24 %, dose too high 6.25%. It can be concluded that there Drug Related Problems (DRPs) in the Installation General Hospital Langsa.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Kerangka Pikir Penelitian ... 3

1.3Perumusan Masalah ... 4

1.4Hipotesis ... 4

1.5Tujuan ... 4

1.6 Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Diabetes Mellitus ... 5

2.1.1 Jenis-jenis diabetes mellitus ... 5

2.1.1.1 Diabetes mellitus tipe 1 ... 5

(9)

2.1.1.3 Diabetes mellitus gestasional ... 7

2.1.2 Diagnosis diabetes mellitus ... 7

2.1.3 Penatalaksanaan diabetes mellitus ... 7

2.1.3.1 Terapi non farmakologi ... 8

2.1.3.2 Terapi farmakologi ... 9

2.2 Hipertensi ... 13

2.2.1 Jenis-jenis hipertensi ... 13

2.2.1.1 Hipertensi primer ... 13

2.2.1.2 Hipertensi skunder ... 13

2.2.2 Klasifikasi tekanan darah ... 14

2.2.3 Pengelolaan hipertensi ... 15

2.2.3.1 Terapi non farmakologi ... 15

2.2.3.2 Terapi farmakologi ... 15

2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi ... 15

2.3.1 Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi ... 16

2.3.1.1 Terapi non farmakologi ... 16

2.3.1.2 Terapi farmakologi ... 17

2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) ... 20

2.5 Drug Related Problems (DRPs) ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Metode Penelitian ... 25

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

3.3 Sampel ... 25

(10)

3.5 Pengolahan Data ... 26

3.6 Langkah-Langkah Penelitian ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Penggunaan Obat Antidiabetik ... 28

4.2 Penggunaan Obat Antihipertensi ... 29

4.3 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) ... 30

4.3.1 Butuh terapi tambahan ... 31

4.3.2 Terapi obat yang tidak Perlu ... 33

4.3.3 Terapi obat tidak efektif ... 35

4.3.4 Dosis terlalu rendah ... 36

4.3.5 Reaksi obat merugikan ... 37

4.3.6 Dosis terlalu tinggi ... 38

4.3.7 Kepatuhan pasien ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus ... 7

2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC ... 14

4.1 Karakteristik pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

berdasarkan usia ... 27

4.2 Frekuensi penggunaan obat antidiabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

di instalasi rawat inap RSUD Langsa ... 28

4.3 Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di

instalasi rawat inap RSUD Langsa ... 29

4.4 Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada penderita diabetes melllitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember

2011 ... 31

4.5 Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang terjadi pada pende rita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari

2011 – Desember 2011 ... 32

4.6 Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap

RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011 ... 34

4.7 Terapi obat yang tidak efektif yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalisasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari

2011 – Desember 2011 ... 35

4.8 Reaksi obat yang merugikan yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Tabel rekapitulasi data penelitian ... 43

(14)

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM LANGSA TAHUN 2011

ABSTRAK

Diabetes merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat dan menjadi ancaman bagi umat manusia karena dapat menyebabkan komplikasi, salah satunya komplikasi hipertensi. Penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi membutuhkan pengobatan yang tepat agar tidak berlanjut pada komplikasi yang lebih lanjut seperti gagal jantung dan gagal ginjal. Pengontrolan secara menyeluruh perlu dilakukan untuk mendapatkan efek terapi yang diharapkan, salah satunya dengan memperhatikan kejadian Drug Related Problems (DRPs).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif. Bahan dan sumber diperoleh dari rekam medik yang berupa resep dan kelengkapan data pasien. Data diambil dari 32 pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi, dimana disajikan dalam bentuk persentase dan hasil yang didapat dianalisa dengan mengidentifikasi

Drug Related Problems (DRPs) .

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Langsa yang terdiri dari 15,61% butuh terapi tambahan, 40,62% terapi obat yang tidak perlu, 50% terapi obat yang tidak efektif, 3,12% dosis terlalu rendah, 31,24% reaksi obat merugikan, 6,25% dosis terlalu tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi Drug Related Problems (DRPs) pada Instalasi Rumah Sakit Umum Langsa.

(15)

IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) IN PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS WITH COMPLICATION OF

HYPERTENSION AT GENERAL HOSPITAL INPATIENT LANGSA THE YEAR 2011

ABSTRACT

Diabetes is a disease that affects many people and is a threat to mankind because it can lead to complications, one of the complications of hypertension. Patients type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension requires prompt treatment in order not to continue to further complications such as heart failure and treatment success required kidney. Overall control needs to be done to obtain the expected therapeutic effect, one of which with respect to the incidence ofDrugRelated Problems (DRPs).

Cross-sectional and retrospective are used in this research. Materials and resources were obtained from medical records of prescriptions and completeness of patient data. Data taken from 32 patients with type 2 diabetes mellitus complications of hypertension, which is presented in the form of percentage and the results are analyzed by identifying Drug Related Problems (DRPs).

From the research, there are Drug Related Problems (DRPs) in patient type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension At General Hospital inpatient Langsa consisting of need of additional drug therapy 15.61%, unnecessary drug therapy 40.62%, ineffective drug 50%, dose too low 3.12%, adverse drug reaction 31.24 %, dose too high 6.25%. It can be concluded that there Drug Related Problems (DRPs) in the Installation General Hospital Langsa.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang terus meningkat jumlahnya

dan merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad

21 (Novitasari, dkk., 2011). Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia sangat

tinggi, ada hampir 4 juta kematian akibat diabetes setiap tahun dan diabetes

mellitus termasuk lima besar penyebab kematian dibanyak negara. Diabetes

mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang paling banyak ditemukan dari pada

diabetes mellitus tipe 1. Hal ini disebabkan banyaknya faktor resiko yang

berkaitan dengan diabetes mellitus tipe 2 tersebut seperti obesitas, gaya hidup,

dan pola makan yang buruk (Charles dan Ivar, 2011).

Menurut WHO di Indonesia diperkirakan akan terjadi peningkatan

penderita diabetes mellitus dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta

pada tahun 2030 (Novitasari, dkk., 2011). Peningkatan insidensi diabetes mellitus

menyebabkan peningkatan insidensi komplikasi akibat diabetes tersebut, salah

satu contohnya dapat mengakibatkan komplikasi hipertensi. Hipertensi banyak

dijumpai dua kali lebih banyak pada penderita diabetes dibandingkan pada

penderita tanpa diabetes (Waspadji, 2010). Menurut Yulianto (2012), jumlah

penderita diabetes dengan hipertensi di Indonesia berada di peringkat 12 dunia,

bahkan diperkirakan pada beberapa tahun mendatang Indonesia akan naik diposisi

6 dunia.

Munculnya hipertensi pada diabetes disebabkan hiperglikemia pada

(17)

menyebabkan hipertensi, dengan timbulnya hipertensi dapat menyebabkan

komplikasi yang lebih lanjut seperti jantung koroner, nefropati diabetes, dan

retinopati diabetes (Novitasari, dkk., 2011).

Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak

diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat. Penelitian

di University of Tolouse Perancis, menemukan bahwa 8,37% penyebab orang

dirawat inap dirumah sakit adalah karena reaksi obat yang merugikan yang

merupakan salah satu dari Drug Related Problems (DRPs) (Olivier, dkk., 2009).

Penelitian lain di University of Leicester Inggris menunjukan bahwa dari jumlah

total pasien yang diteliti, 14% nya mengalami Drug Related Problems (DRPs)

(Yarda, 2010). Selain itu, menurut Elmiati (2007) dalam penelitian Drug Related

Problems Pada Pasien Rawat Inap Diabetes Mellitus Dengan Komplikasi

Hipertensi Rumah Sakit Umum Kabuten Karanganyar diperoleh 26,7% pasien

menerima obat yang salah.

Diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi merupakan dua penyakit kronik

yang banyak ditemukan dalam masyarakat serta sering ditemukan secara

bersamaan karena kedua penyakit tersebut merupakan penyakit degeneratif, yaitu

penyakit yang diakibatkan karena fungsi atau struktur dari jaringan atau organ

tubuh yang secara progesif menurun dari waktu ke waktu karena usia atau pilihan

gaya hidup. Tanpa penanganan yang adekuat keduanya akan berakhir dengan

komplikasi yang sama yaitu kematian karena kardioserebrovaskular dan gagal

ginjal (Waspadji, 2010). Kadang dengan adanya penyakit komplikasi seperti

(18)

diabetes dapat memperburuk keadaan hipertensinya atau obat hipertensi dapat

meningkatkan kadar glukosa darah pasien.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas menunjukkan bahwa

pentingnya pemilihan obat terutama pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi untuk menghindari atau menurunkan angka terjadinya Drug

Related Problems (DRPs). Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk

melakukan penelitian lebih lanjut tentang Drug Related Poblems (DRPs) pada

pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi agar tercapai suatu

keberhasilan terapi.

1.2Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang kejadian Drug Related Problems

(DRPs) di Rumah Sakit Umum Langsa. Adapun kerangka pikir penelitian ini

ditunjukan Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1. Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat.

• Tidak mendapatkan terapi tambahan

• Mendapatkan terapi obat yang tidak perlu

• Terapi obat yang tidak efektif

• Dosis kurang

• Reaksi obat yang merugikan

• Dosis terlalu tinggi

• Kepatuhan pasien

Drug Related Poblems

(DRPs) Pasien diabetes tipe 2

(19)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu

permasalahan yaitu apakah terjadi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien

diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Langsa tahun 2011.

1.4 Hipotesis

Terjadi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes mellitus tipe

2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Langsa tahun 2011.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Drug Related

Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa tahun

2011.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan agar kejadian dari Drug Related Problems

(DRPs) di Instalasi Rawat Inap dapat menurun secara signifikan sehingga

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar

gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein

sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.1 Jenis-jenis diabetes melitus 2.1.1.1Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,

diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun.

Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu

sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi

glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun

demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain

defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1

juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon

yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia

(21)

tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,

hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan

ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila

tidak mendapatkan terapi insulin.

2.1.1.2 Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih

banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang

dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara

normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul

gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.

Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun

sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin

pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.

Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,

merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian

besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan

kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar

dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu

defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap

glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua

kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang

(22)

2.1.1.3 Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama

masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi

karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin

(Tandra, 2008).

2.1.2Diagnosis diabetes mellitus

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,

polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126

mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus

Glukosa plasma puasa

Glukosa Plasma 2 jam setelah makan

Normal <100 mg/dl <140 mg/dl

Diabetes ≥126 mg/dl ≥200 mg/dl

2.1.3 Penatalaksanaan diabetes mellitus

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah

raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,

dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi

obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

(23)

2.1.3.1 Terapi non farmakologi 1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam

hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati

kadar normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus,

yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang

optimal dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1,

perhatian utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk

mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah

dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β

terhadap stimulus glukosa.

2. Olah raga

Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah

tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal

dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,

(24)

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2005).

2.1.3.2 Terapi farmakologi 1. Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam

merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino

tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri

dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam

pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa

dari darah ke dalam sel.

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah

setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.

2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di

cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah.

Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng

atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan

mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:

(25)

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan

memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien

yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi

metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah

insulin (Waspadji, 2010).

2. Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien

diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan

menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2005).

a. Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas,

oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat

berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian

senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh

kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa

baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami

ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Sulfonilurea generasi pertama

Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati.

Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung,

2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini

diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan

(26)

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,

masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi

1-hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada

asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan

masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).

Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam

hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat

albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa

hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).

Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan

efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah

pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).

Sulfonilurea generasi kedua

Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali

lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak

efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya

berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu

menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan)

(Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit

diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko

dan Suharto, 1995).

Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme

dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan

(27)

Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling

rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif

dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya

waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk

yang tidak aktif (Katzung, 2002).

b. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan

glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan

menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga

berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang

overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan

berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan

bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan

glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan

dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa

menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas.

Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase

alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia

(28)

hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose

(Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2 Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan

tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg lama). Menurut

WHO, tidak bergantung pada usia, pada keadaan istirahat batas normal teratas

untuk tekanan sistolik 140 mmHg, sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah

batas yang harus diamati bila sistolik 140-149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg

(Anonim, 2008).

2.2.1 Jenis-jenis hipertensi

2.2.1.1 Hipertensi primer (essensial)

Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien

hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Oleh karena itu,

upaya penanganan hipertensi primer lebih mendapatkan prioritas. Peninggian

tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer.

Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda,

kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala

setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung.

2.2.1.2 Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit

komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada

kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular

adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara

(29)

hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

2.2.2 Klasifikasi tekanan darah

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,

prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada Tabel

2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC

KlsifikasiTekanan Darah

TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Keterangan : TDS = Tekanan Darah Sistolik TDD = Tekanan Darah Diastolik

2.2.3 Pengelolaan hipetensi 2.2.3.1 Terapi non farmakologi

Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seseorang.

Semua pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu dinasehati

mengenai gaya hidup, seperti menurunkan kegemukan, asupan garam (total, < 5

g/hari), asupan lemak jenuh dan alkohol (pria < 21 unit dan perempuan < 14 unit

(30)

yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah dapat

menurunkan penggunaan obat-obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.2.3.2 Terapi farmakologi

Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah

obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan

beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan

organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau

faktor risiko lain.

Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin

Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor), Angiostensin Reseptor Blocker

(ARB), Beta Blocker (BBs), Calcium Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi

dan Alkes, 2006).

2.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi

Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada

populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan

memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,

stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat

diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi

merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes

dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes

khususnya.

Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi

insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah

(31)

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi

natrium (Saseen dan Carter, 2005).

Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak

berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali

bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul

selama beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul.

Hiperinsulinemia memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan

ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada

sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui

hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari hipertensi (<130/80 mmHg)

mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular

(Saseen dan Carter, 2005).

2.3.1 Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

2.3.1.1 Terapi non farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam

penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus

seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia,

hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati

autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan

asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga

(32)

2.3.1.2 Terapi farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan

memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus

mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus

sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Efektif menurunkan tekanan darah.

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap

hipo-hiperglikemia.

3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,

tidak meningkatkan risiko impotensi.

5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).

Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes

mellitus adalah senagai berikut:

1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan

angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah

vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2006).

ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini

merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.

Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi yang

(33)

penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan

antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,

2005).

ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi

arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat

mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek

pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril,

Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung

reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,

pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan

konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat

pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai

sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara

farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent

arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray,

dkk., 2006).

ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,

(34)

merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal

pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan,

Telmisartan, Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

3. Diuretics

Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus

kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan

sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat

kalium adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa

menyebabkan kehilangan kalium dalam urin (Anonim, 2009).

4. Beta Bocker (β-blocker)

Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,

dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling

tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal

perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan

Carter, 2005).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang

kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada

penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi

penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada

dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas

relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif

(35)

5. CCB (Calcium Chanel Blocker)

CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada

pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme

glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes

dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular

dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif

yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter,

2005).

CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB

dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB.

Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena

kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk

mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,

khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin,

Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien dimana

dalam pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan pasien terkait obat.

Pelaksanaan pelayanan kefarmasian bertanggung jawab dalam terapi obat pasien

untuk mencapai hasil (outcomes) yang lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas

hidup pasien (Cipolle, dkk., 2004).

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

(36)

pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan kefarmasian terus berkembang tidak terbatas hanya penyiapan obat dan

penyerahan obat pada pasien tapi juga memerlukan interaksi dengan pasien dan

professional kesehatan lainnya.

Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang

paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat

kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien diharapkan juga mendapatkan

pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh farmasi sehingga pasien

mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional bermutu, dan

terjangkau (Anomim, 2011).

2.5 Drug Related Problems (DRPs)

DRPs adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh

pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan cenderung

mengganggu kesembuhan yang pasien inginkan. Drug Related Problems

mempunyai dua komponen utama:

1. Peristiwa yang tidak diharapkan atau resiko dari peristiwa yang dialami oleh

pasien. Kejadian ini dapat memberikan bentuk dari keluhan medis, gejala,

diagnosis, penyakit, ketidakmampuan, atau sindrom. Peristiwa tersebut dapat

disebabkan oleh kondisi psikologi, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.

2. Adanya gejala antara kejadian yang tidak diharapkan pasien dan terapi obat.

Keterkaitan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, saran yang berkaitan

dengan sebab dan efek atau kejadian yang memerlukan terapi obat untuk

(37)

Jenis-jenis Drug Related Problems (DRPs) dan penyebabnya menurut

Cipolle, dkk., (2004) disajikan sebagai berikut:

1. Membutuhkan terapi tambahan obat

a. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada

obat.

b. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat

berkesinambungan.

c. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan parmakoterapi

kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi.

d. Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang

dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada terapi obat

dan / atau tindakan pramedis.

2. Terapi obat yang tidak perlu

a. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada

waktu itu.

b. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari

obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.

c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.

d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.

e. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya

satu terapi obat yang terindikasi.

f. Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat

dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan

(38)

3. Terapi obat salah

a. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.

b. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

c. Bentuk sediaan obat tidak tepat.

4. Dosis terlalu rendah

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada

pasien.

b. Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang

diharapkan.

c. Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan respon

yang diinginkan.

5. Reaksi obat yang merugikan

a. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

b. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau

makanan pasien.

c. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki

yang tidak terkait dengan dosis.

d. Penggunaan obat yang kontraindikasi.

6. Dosis terlalu tinggi

a. Dosis terlalu tinggi untuk pasien.

b. Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik obat

yang diharapkan.

c. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.

(39)

7. Kepatuhan

a. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan,

pengobatan, pemberian, pemakaian).

b. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.

c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

d. Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang

mengerti.

e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara pendekatan observasi, pengumpulan data sekaligus pada

satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2010).

Bahan dan sumber data dari penelitian ini diperoleh dari catatan rekam

medis, dan resep di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa periode

Januari 2011 sampai dengan Desember 2011.

2.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Studi resep dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April 2012 di

Rumah Sakit Umum Kota Langsa.

2.3 Sampel

Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan

ke dalam penelitian. Yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah pasien diabetes

mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa

selama bulan Januari 2011 – Desember 2011.

Kriteria eksklusi:

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang

(41)

eksklusi meliputi pesien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi selain

hipertensi.

2.4 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data melalui pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap

Rumah Sakit Umum Langsa meliputi resep dan kelengkapan data pasien (seperti

umur, jenis kelamin, diagnosa, hasil pemeriksaan laboratorium).

2.5. Pengolahan Data

Data diperoleh dibuat rekapitulasi dalam sebuah tabel yang memuat

identitas pasien, diagnosis penyakit, obat yang diperoleh beserta aturan pakai dan

dosis, dan lama hari perawatan, kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk

mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi disajikan dalam

bentuk tabel.

2.6 Langkah-langkah Penelitian

Langkah penelitian yang dilaksanakan:

a. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin

penelitian di Rumah Sakit Umum Langsa.

b. Menghubungi direktur Rumah Sakit Umum Langsa untuk mendapatkan

izin melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari

fakultas.

c. Melaksanakan penelitian di bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum

Langsa, dengan mengambil data periode Januari 2011-Desember 2011.

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari buku catatan rekam medis di RSUD

Langsa periode Januari 2011-Desember 2011 diperoleh data seluruh pasien

diabetes mellitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUD Langsa sebanyak 91 pasien.

Data yang didapatkan dari rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi

sebanyak 32 orang yakni pasien yang terdiagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi sedangkan 59 orang tidak memenuhi syarat sebagai subjek

(eksklusi), sehingga total subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 32

pasien, yang terdiri dari pasien laki-laki sebanyak 16 pasien dan pasien wanita

berjumlah 16 pasien. Karakteristik pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi berdasarkan usia

No Usia (Tahun) Jumlah Pasien %

1 40-49 8 25

2 50-59 14 43,75

3 60-69 7 21,87

4 70-79 3 9,3

Total 32 100

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien yang berusia 40-49

tahun sebanyak 8 pasien dengan persentase 25%, pasien yang berusia 50-59 tahun

sebanyak 14 pasien dengan 43,75%, pasien yang berusia 60-69 tahun sebanyak 7

pasien dengan persentase 21,87%, dan pasien yang berusia 70-79 tahun sebanyak

3 pasien dengan persentase 9,3%, dari data tersebut dapat dilihat bahwa pasien

(43)

50-59 tahun. Data ini sejalan dengan penelitian di Makasar tahun 2004 menemukan

persentase pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi terbesar pada

kelompok umur 50-59 tahun (Fasli, dkk., 2008).

4.1 Penggunaan Obat Antidiabetik

Frekuensi penggunaan antidiabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan

Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Frekuensi penggunaan obat antidiabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa

NO Nama Obat Frekuensi %

1 Antidiabetik Parenteral a. Actrapid

2 Antidiabetika Oral a. Glucodex (gliklazid)

Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa ditemukan 50 penggunaan obat

antidiabetik, dan dapat dilihat ada pasien yang mendapatkan lebih dari satu

macam obat antidiabetik. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pasien

banyak mendapatkan obat antidiabetik oral (64%) dari pada terapi insulin (36%).

Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2

hanya bersifat relatif, jadi dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan

(44)

4.2 Penggunaan Obat Antihipertensi

Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus

tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama

bulan Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa

NO Nama Obat Frekuensi %

1 Antihipertensi Parenteral

Furosemid Injeksi 5 8,62

Jumlah 5 8,62

2 Antidiabetika Oral a. Captropil i. Adalat oros (Nifedipine) j. Spironolakton

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa ditemukan 58 penggunaan obat

antihipertensi, dari tabel dapat kita lihat ada penderita yang mendapatkan obat

antihipertensi lebih dari satu macam obat. Berdasarkan tabel di atas diketahui

bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi banyak

mendapatkan captropil sebagai antihipertensi. Penggunaan captropil pada pasien

diabetes mellitus tipe 2 dapat mencegah kardiovaskular dan memperlambat

(45)

4.3 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs)

Kriteria Drug Related Problems (DRPs) yang dinilai pada penelitian ini

adalah menurut Cipolle, dkk., (2004) yaitu:

1. Butuh terapi tambahan

2. Terapi obat yang tidak perlu

3. Terapi obat tidak efektif

4. Dosis terlalu rendah

5. Reaksi obat yang merugikan

6. Dosis terlalu tinggi

(46)

Hasil identifikasi masing-masing kriteria Drug Related Problems (DRPs)

dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada penderita diabetes melllitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011

No Jenis-jens DRPs DRP (+) DRP (-) Total Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Butuh terapi tambahan 5 15,61 27 84,37 32 100 2 Terapi obat yang tidak perlu 13 40,62 19 59,37 32 100

3 Terapi obat yang tidak

efektif 16 50 16 50 32 100

4 Dosis terlalu rendah 1 3,12 31 96,87 32 100

5 Reaksi obat merugikan 10 31,24 22 68,75 32 100

6 Dosis terlalu tinggi 2 6,25 30 93,75 32 100

7 Kepatuhan pasien - - - - - -

Keterangan : DRPs (+) = Terjadi Drug Related Problems DRPs (-) = Tidak terjadi Drug Related Problems

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat kriteria Drug Related Problems

(DRPs) yang ditemukan adalah butuh terapi tambahan 15,61%, terapi obat yang

tidak perlu (40,62%), terapi obat yang tidak efektif (50%), dosis terlalu rendah

(3,12), reaksi obat merugikan (31,24%), dosis terlalu tinggi (6,25%).

4.3.1 Butuh terapi tambahan

Butuh terapi tambahan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan

(47)

Tabel 4.5 Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011

No Penyebab Obat Jumlah %

Butuh terapi tambahan untuk mendapatkan efek sinergisme

Keterangan KGDS I : Kadar Gula Dalam Darah Sewaktu hari pertama masuk rumah sakit (mg/dl).

KGDS II : Kadar Gula Dalam Darah Sewaktu hari kedua di rumah Sakit (mg/dl).

TD I : Tekanan Darah hari pertama masuk rumah sakit. TD II : Tekanan Darah hari kedua masuk rumah sakit.

Pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pasien yang membutukan terapi

tambahan untuk mencapai efek sinergisme adalah 15,61%. Pasien dengan kondisi

kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek

sinergisme pada penelitian ini didapatkan 3 kasus pada pasien dengan kadar gula

darah sewaktu yang tinggi waktu pertama masuk rumah sakit yang diberikan

terapi obat tunggal antidiabetik oral glucodex (KGDS 347 mg/dl), metformin

(KGDS 311 mg/dl) dan antidiabetik parenteral (insulin) actrapid injeksi (KGDS

531 mg/dl) hari kedua dirumah sakit kadar gula darah pasien tidak menunjukkan

(48)

efek sinergisme. Kombinasi insulin dan sulfonilurea ternyata lebih baik daripada

hanya insulin, dan dosis insulin yang diperlukan ternyata lebih rendah. Dengan

memberikan insulin kerja sedang dimalam hari produksi glukosa hati di malam

hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat lebih rendah.

Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian

sulfonilurea. Kombinasi sulfonilurea dan metformin juga merupakan kombinasi

yang rasional karena keduanya memiliki cara kerja yang berbeda dan saling aditif,

sehingga dapat menurunkan kadar glukosa lebih banyak daripada pengobatan

tunggal (Soegondo, 2010).

Pada penelitian ini juga didapatkan 2 kasus pasien yang tidak

mendapatkan tambahan terapi obat pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi

waktu pertama masuk rumah sakit diberikan terapi obat tunggal captropil (TD

190/100 mm/Hg dan 180/90 mm/Hg), hari kedua pasien dirumah sakit juga tidak

menunjukkan penurunan tekanan darah secara berarti. Sebaiknya pasien diberikan

terapi kombinasi, karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau

lebih terapi kombinasi antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah

optimal. Pada pasien yang membutuhkan terapi kombinasi, Calcium Chanel

Blocker (CCB) merupakan obat yang berguna untuk dikombinasikan dengan

antihipertensi yang lain (Saseen dan Carter, 2005).

4.3.2 Terapi obat yang tidak perlu

Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2

dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan

(49)

Tabel 4.6 Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011

No Penyebab Obat Jumlah %

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa terapi obat yang tidak perlu

didapatkan 13 kasus yang disebabkan oleh penggunaan obat tidak sesuai dengan

kondisi penyakit 40,62%.

Pada Tabel 4.6 penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit

yaitu pemberian antibiotik, antibiotik seharusnya tidak diberikan karena

berdasarkan rekam medik tidak ada data yang menunjukkan pasien mengalami

infeksi. Antibiotik adalah senyawa yang digunakan untuk menghambat dan

membunuh bakteri, oleh karena itu hanya diberikan antibiotik jika mengalami

penyakit yang disebabkan oleh infeksi (Anonimᵈ, 2011). Penggunaan antibiotik

yang berlebihan akan menyebabkan resistensi, sehinnga harus diberikan sesuai

dengan kondisi yang dialami pasien (Katzung, 2004). Berdasarkan hal tersebut,

sebaiknya pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi yang

(50)

Penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit juga ditemukan

pemberian obat saluran cerna (lansoprazole, omeprazole, ranitidine) berdasarkan

rekam medik pasien tidak mengalami gangguan lambung.

4.3.3 Terapi obat tidak efektif

Terapi obat tidak efektif yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan

Januari 2011 – Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Terapi obat yang tidak efektif yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalisasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011

No Penyebab Obat Jumlah %

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa terapi yang tidak efektif yang

terjadi disebabkan oleh pemberian obat yang diberikan bukan yang paling efektif

yaitu 15 kasus dengan persentase 46,87%.

Tabel 4.7 menunjukkan pemberian obat bukan yang paling efektif sebagai

antihipertensi yang paling banyak ditemukan adalah furosemid tablet pada 7

pasien 21,87% dan furosemid injeksi pada 5 pasien 15,61%. Furosemid dapat

menyebabkan gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes, ini disebabkan

karena efek samping dari furosemid yaitu hipokalemia. Hipokalemia dapat

mengakibatkan gangguan respon insulin terhadap glukosa pada fase 1 dan fase 2

(51)

hal tersebut maka pemberian furosemid sebaiknya diganti dengan diuretik lain

yaitu spironolakton tanpa dikombinasi dengan captropil.

Pemberian obat bukan yang paling efektif juga terjadi pada pemberian

terapi hidroklortiazid sebagai antihipertensi. Hidroklortiazid dapat menghambat

pengeluran insulin dari pankreas sehingga dapat menaikkan kadar gula darah

(Stockley, 1999). Berdasarkan hal tersebut maka pemberian hidroklortiazid

diganti dengan dengan diuretik yang lain seperti spironolakton tanpa dikombinasi

dengan captropil.

Terapi obat yang tidak efektif ditemukan juga pada pemberian captropil

yang diketahui dengan diagnosa awal pasien mengalami batuk kering (lihat

lampiran 1, no.9), captropil mempunyai efek samping berupa batuk kering,

penyebabnya mungkin adalah baradikinin dan prostaglandin di saluran nafas dan

paru-paru, yang seharusnya dirombak oleh Angiostensin Converting Enzim (ACE)

tetapi akibat penghambatannya berakumulasi disitu (Tjay dan Kirana, 2002).

Berdasarkan hal tersebut sebaiknya captropil diganti dengan valsatran karena

tidak mempunyai efek samping berupa batuk kering.

4.3.4 Dosis terlalu rendah

Dosis terlalu rendah yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan januari

2011 – Desember 2011 ditemukan 1 kasus dengan persentase 3,12%.

Dosis terlalu rendah pada penelitian ini disebabkan frekuensi yang tidak

tepat pada pemberian terapi asam folat. Meningkatnya kadar glukosa yang tidak

terkontrol pada penderita diabetes akan menyebabkan komplikasi, faktor risiko

(52)

hipermosistein (Hcy), dengan pemberian asam folat dengan dosis yang tinggi akan

menurunkan kadar hipermosistein (Hcy) dan akan meningkatkan fungsi endotel

arteri secara signifikan (Rahayu, 2011). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya

frekuensi pemberian asam folat diberikan tiga kali sehari.

4.3.5 Reaksi obat yang merugikan

Reaksi obat merugikan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan komplikasi hipertensi ditemukan ditemukan 5 kasus dengan persentase

28,12% di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 –

Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Reaksi obat yang merugikan yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan Januari 2011 – Desember 2011.

No Penyebab Obat Jumlah %

1 Interaksi Obat Propanolol - Glucodex 2 6,25 Captropil -

Spironolakton 2 6,25

Diltiazem-Bisoprolol 1 3,12

Jumlah 5 15,62

2 Kontraindikasi dengan penderita hipertensi

NaCL 0,9%

5 15,62

Berdasarkan Tabel 4.8 reaksi obat yang merugikan pada penelitian ini

ditemukan karena interaksi obat antara propanolol dan glucodex (gliklazid) 2

kasus ( 6,25%). Propanolol dapat menyebabkan peningkatan kerja dari glucodex

dalam menurunkan kadar glukosa darah karena propanolol dapat menstimulasi

beta 2 yang menyebabkan stimulasi sekresi insulin sehingga akan terjadi

hipoglikemia (Haryono, 2006). Berdasarkan hal di atas sebaiknya propanolol

(53)

Pada penelitian ini juga ditemukan interaksi obat antara captropil dan

spironolakton yang ditemukan 2 kasus (6,25%). Interaksi captropil dan

spironolakton dapat menyebabkan hiperkalemia. Captropil dapat mengurangi

aldosteron dan dapat menaikkan konsentrasi kalium sedangkan spironolakton

merupakan diuretik hemat kalium yang mempunyai efek samping hiperkalemia

interaksi kedua obat ini dapat menyebabkan meningkatnya hiperkalemia (Ditjen

Bina Farmasi dan Alkes, 2006). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya captropil

dikombinasi dengan antihipertensi yang lain seperti valsartan.

Interaksi obat ditemukan juga pada pemberian terapi kombinasi

antihipertensi yang kurang tepat yaitu pemberian bisoprolol yang merupakan

golongan beta blocker dan diltiazem golongan antagonis kalsium, kombinasi ini

akan menyebabkan meningkatnya risiko heart blok. Apabila penyekat beta seperti

bisoprolol harus dikombinasi dengan antagonis kalsium, sebaiknya dipilih

dihidropirin untuk mencegah terjadinya peningkatan heart blok (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2006).

Reaksi obat yang merugikan juga didapatkan karena kontraindikasi yang

diberi terapi NaCl 0,9%. NaCl 0,9% dapat menaikkan tekanan darah pada pasien

diabetes dengan hipertensi. Ion natrium mengakibatkan retensi air sehingga

volume darah bertambah menyebabkan tekanan darah meningkat (Tjay dan

Rahardja, 2002).

4.3.6 Dosis terlalu tinggi

Dosis terlalu tinggi yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan

(54)

tidak tepat pada pemberian terapi glibenklamide dua kali sehari. Glibenklamide

mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian

jangka lama misalnya lebih dari 12 minggu masa paruhnya memanjang sampai 12

jam (Soegondo, 2010). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya frekuensi pemberian

glibenklamide diberikan satu kali sehari saja.

4.3.7 Kepatuhan pasien

Kepatuhan pasien pada penelitian ini tidak dapat diteliti, hal ini disebabkan

karena penelitian ini menggunakan data yang lalu (retrospektif). Kepatuhan pasien

Gambar

Gambar 1.1. Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat.
Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC
Tabel 4.1 Karakteristik pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi        berdasarkan usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

DDPABTDMDN PSNDIDIIGN NASIONAI., RBPIIBTIK I1IDONDSIA. UNIYDRSITAS NDGDRI

Ada pepatah “tak ada gading yang tak retak” begitulah dalam penyus unan laporan ini, dan pada kesempatan ini kami dari Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru

Rektor Liniversitas Negeri Yogyakarta memberikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih, kepada :. Nama : Bambang Sulistyo,

KESATU : Menghapus dari daftar Inventaris Barang Milik Daerah Berupa Bangunan/Gedung, Bagian Atap Kantor Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul senilai

[r]

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Dekomposisi beberapa tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah, serta pertumbuhan dan produksi jagung pada ultisol Lampung.Thesis.. Program

Total Leukosit Dan Diferensial Leukosit Itik Peking Jantan Yang Diberi Tambahan Probiotik (Starbio) Pada Ransum Kering Dan Basah. Proceeding Seminar Nasional “Peran Serta