• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi antara lain: Edema dan asites, SBP, Perdarahan saluran cerna, Sindroma hepato-renal, Sindroma hepato-pulmoner, Hipersplenisme, dan Kanker hati.

2.6.1. Edema dan Asites

Dengan semakin beratnya sirosis hepatis,maka terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan, pada awalnya akan mengumpul dalam

jaringan di bawah kulit sekitar tumit dan kaki , karena efek gravitasi pada waktu berdiri atau duduk. Penumpukan cairan ini disebut edema atau sembab pitting (pitting edema). Pembengkakan ini menjadi lebih berat pada sore hari setelah berdiri atau duduk dan berkurang pada malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur. Kemudian dengan semakin beratnya sirosis dan semakin banyaknya garam dan air yang diretensi, air akhirnya juga akan mengumpul dalam rongga abdomen antara dinding dan perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang berakibat pembesaran perut, keluhan rasa tak enak dalam perut dan peningkatan berat badan ( Hernomo, 2007).

Dari segi epidemiologi asites adalah salah satu komplikasi utama dari sirosis hepatis

Untuk membedakan penyebab asites , dilakukan pemeriksaan SAAG (serum-ascites albumin gradient) : bila nilainya > 1.1 gram %, penyebabnya adalah penyakit non peritoneal (hipertensi portal,hipoalbuminemia, asites chyllous, tumor ovarium). Sebaliknya bila nilainya < 1,1 mg % disebabkan eksudat (keganasan, peritonitis-karena

dan hipertensi portal. Dalam waktu 10 tahun sejak diagnosis sirosis, lebih dari 50% pasien akan terjadi penimbunan cairan (asites). Perkembangan asites dikaitkan dengan prognosis buruk pada pasien sirosis hepatis, dengan mortalitas 15% dalam satu tahun dan 44% dalam lima tahun yang telah di follow-up. Oleh karena itu, pasien dengan asites harus dipertimbangkan untuk transplantasi hati, sebaiknya sebelum perkembangan disfungsi ginjal (Biecker, 2011).

TBC, jamur, amuba atau benda asing dalam peritoneum). Asites juga dibagi dalam 4 tingkatan asites, yaitu : tingkat 1, hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan seksama; tingkat 2, deteksi lebih mudah tapi biasanya jumlahnya hanya sedikit; tingkat 3, tampak jelas tetapi tidak terasa keras; dan tingkat 4, bila asites mulai terasa keras (Hernomo, 2007).

2.6.2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan kuman. Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit cairan, sehingga mampu menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga perut (biasanya dari usus), atau mengarahkan bakteri ke vena porta atau hati, di mana mereka akan dibunuh semua. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut tidak mampu lagi untuk menghambat invasi bakteri secara normal. Selain itu, lebih banyak bakteri yang mampu mendapatkan jalannya sendiri dari usus ke asites. Karena itu infeksi dalam perut dan asites ini disebut sebagai peritonitis bakteri spontan (spontaneous bacterial peritonitis) atau SBP. SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien. Beberapa pasien SBP ada yang tidak mempunyai keluhan sama sekali, namun sebagian lagi mengeluh demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tak enak di perut, diare dan asites yang memburuk (Hernomo, 2007).

Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dibagi menjadi tiga sub kelompok: (1) peritonitis bakteri spontan didefinisikan jika positif ditemukan bakteri dalam asites, bersama dengan leukosit polimorfonuklear yang meningkat dalam ascites (> 250 sel/mm3). Mikroorganisme yang menyebabkan SBP terdapat dalam 60% -70% kasus. (2) Kultur negatif asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites , CNNA) , penimbunan cairan (asites) steril, infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan dengan kultur, hanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear diatas batas 250 sel/mm3 yang terlihat. Jika sampel asites mengandung darah, SBP diagnosis dibuat dengan menemukan lebih dari satu granulosit neutrophilic per 250 eritrosit. (3) Monomicrobial non-neutrocytic bacterascites (hanya bacterascites) jarang dijelaskan. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri tidak disertai dengan peningkatan leukosit. Hal ini biasanya terungkap dalam Child-Pugh pasien kelas A. Pemulihan dari bacterascites dapat terjadi secara spontan (pada 60% -80%), atau dapat berkembang menjadi SBP khas. Bacterascites cukup sering tanpa gejala, dan antibiotik digunakan hanya jika gejala muncul dan temuan kultur persisten (Lata dkk, 2009).

2.6.3. Perdarahan Varises Esofagus

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan

aliran darah dan peningkatan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan bagian bawah atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises esofagus dan lambung. Semakin tinggi tekanan portalnya. Semakin besar varisesnya, dan makin besar kemungkinannya pasien mengalami perdarahan varises (Hernomo, 2007).

Hipertensi portal adalah peningkatan patologis dalam gradien tekanan portal (perbedaan antara tekanan dalam vena portal dan vena cava inferior). Hal ini terjadi karena peningkatan aliran darah portal atau peningkatan resistensi vaskuler atau kombinasi keduanya. Pada sirosis hepatis, faktor utama yang menyebabkan hipertensi portal adalah peningkatan resistensi aliran darah portal dan kemudian berkembang menjadi peningkatan aliran darah portal

Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat, dapat berakibat fatal. Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis. Bahan yang dimuntahkan dapat berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti kopi ( coffee grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.Buang air besar berwarna hitam dan lembek (melena) dan keluhan lemah dan pusing pada saat posisi berubah ( orthostatic dizziness atau fainting), yang disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan perubahan posisi berdiri dari berbaring. Perdarahan juga dapat timbul dari varises manapun dalam usus. Misalnya dalam kolon, meskipun ini jarang terjadi. Meskipun belum jelas mekanismenya, pasien yang masuk rumah

sakit dengan perdarahan aktif varises esofagus, berisiko tinggi untuk mengalami PBS ( Hernomo, 2007).

2.6.4. Enselopati Hepatik

Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan akan terbentuk dalam usus.Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya misalnya amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke dalam hati untuk didetoksifikasi (Hernomo, 2007).

Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan darah. Sebagai tambahan , beberapa bagian darah dalam vena porta tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi langsung masuk ke vena yang lain (bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik dalam darah tidak dapat masuk ke dalam hati. Sehingga terjadi akumulasi bahan ini di dalam darah. Apabila bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu. Kondisi ini disebut enselopati hepatik. Tidur lebih banyak pada siang dibanding malam ( perubahan pola tidur) merupakan tanda awal enselopati hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu berkonsentrasi, atau menghitung, kehilangan memori, bingung,

dan penurunan kesadaran secara bertahap. Akhirnya enselopati hepatik yang berat dapat menimbulkan koma dan kematian (Hernomo, 2007).

Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat sensitif terhadap obat-obat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi dalam hati. Dosis berapa obat tersebut harus dikurangi untuk menghindari efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat golongan sedatif dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-obat yang lain yang tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati namun lewat ginjal. Ada tiga tipe enselopati hepatik yang mendasari : tipe A, askibat gagal hati akut; tipe B, akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis dan tipe C, akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa pintasan porto-sistemik (Hernomo, 2007).

Dalam beberapa penelitian Enselopati hepatikum dikaitkan dengan status gizi. Peneltian soros dkk dengan metode prospektif mengevaluasi Enselopati hepatikum pada 128 pasien dengan sirosis hepatis dari berbagai etiologi. Enselopati hepatikum ini dievaluasi dengan menggunakan kriteria West Haven dan dua tes psikometri (number connection test A dan B). Enselopati hepatikum didefinisikan sebagai enselopati hepatikum terbuka menurut kriteria West Haven dan / atau number connection test A dan / atau B > 3 standar deviasi dari populasi umum. Status gizi dievaluasi dengan pengukuran BMI dan antropometri serta estimasi perubahan berat terakhir. Malnutrisi didefinisikan sebagai pengukuran antropometri bawah persentil ke-5 sesuai dengan nilai-nilai

standar untuk populasi umum dan / atau BMI < 20 kg/m2

dan / atau penurunan berat badan ≥ 5% -10% dalam 3-6 bulan sebelumnya. Penyakit diabetes melitus juga dinilai dengan pengukuran glukosa puasa (

Dari hasil peneltian 40% dari pasien tersebut kekurangan gizi, 26% menderita diabetes, dan 34% enselopati hepatikum. Pasien dengan malnutrisi lebih sering menderita enselopati hepatikum dibandingkan dengan mereka yang tidak kekurangan gizi (46% vs 27%, P = 0,031). Dalam analisis multivariat, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan number connection test A secara independen berkorelasi dengan umur, keparahan sirosis dinyatakan dalam skor Child-Pugh, diabetes dan malnutrisi. Dalam penelitian ini mereka tidak melaporkan seberapa banyak pasien memiliki diabetes mellitus. Namun, risiko diabetes mellitus telah dilaporkan meningkat pada pasien dengan sirosis karena hepatitis C dan mayoritas pasien yang terdaftar dalam studi ini 56% memiliki sirosis virus. Oleh karena itu tidak diketahui apakah pasien dengan enselopati hepatikum memiliki proporsi yang lebih tinggi memiliki diabetes dibandingkan dengan pasien tanpa enselopati hepatikum ( 2008).

2.6.5. Sindroma Hepatorenal

Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena

terdapat penurunan fungsi ginjal namun ginjal secasa fisik sebenarnya tidak mengalami kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif untuk membersihkan bahan-bahan toksik dai darah dan kegagalan memproduksi urin dalam jumlah adekuat,meskipun fungsi lain ginjal yang penting, misalnya retensi garam tidak terganggu (Hernomo, 2007).

Definisi dan kriteria diagnostik untuk sindroma hepatorenal dibentuk pada tahun 1994 didasarkan pada tiga konsep berikut: 1. Gagal ginjal pada sindroma hepatorenal adalah fungsional dan disebabkan oleh vasokonstriksi arteriolar intrarenal; 2. Sindroma hepatorenal terjadi pada pasien dengan disfungsi sirkulasi sistemik yang disebabkan oleh vasodilatasi ekstra-renal; 3. Ekspansi volume plasma tidak meningkatkan gagal ginjal ( Salerno

Bila fungsi hati membaik atau dilakukan transplantasi hati pasien sindroma hepatornal, ginjal akan bekerja normal lagi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa penurunan fungsi ginjal disebabkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam darah akibat hati yang tidak berfungsi. Ada dua tipe sindroma hepatorenal : tipe 1, penurunan fungsi terjadi dalam beberapa bulan, dan tipe 2, penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam wakti satu sampai dua minggu (Hernomo, 2007).

2.6.6. Sindroma Hepatopulmoner

Sindroma Hepatopulmoner adalah komplikasi yang jarang dari penyakit hati dari berbagai etiologi yang ada dan mungkin menunjukkan prognosis buruk. Oleh karena itu, diperlukan metode skrining non-invasif yang sederhana untuk mendeteksi sindroma hepatopulmoner ini. Dalam beberapa penelitian atau studi, pulse oximetry dievaluasi untuk mengidentifikasi pasien dengan sindroma hepatorenal (Deibert

Pada pasien sirosis lanjut dapat berkembang menjadi sindroma hepatopulmoner, meskipun ini jarang terjadi. Pasien-pasien ini mengalami kesulitan bernafas akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis yang lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar paru adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah kecil dalam paru yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru. Aliran darah lewat paru mengalami putusan sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara dalam alveoli. Akibatnya adalah pasien mengalami perasaan sesak nafas atau nafas pendek, terutama pada saat latihan (Hernomo, 2007).

, 2006).

2.6.7. Hipersplenisme

Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah merah, leukosit dan trombosit yang sudah tua .Darah dari limpa akan bergabung dengan aliran darah dari usus masuk ke dalam vena porta. Akibat peningkatan tekanan vena porta karena sirosis, terjadi peningkatan

blokade aliran darah dari limpa. Akibatnya terjadi aliran darah kembali ke limpa, dan limpa membesar. Terjadilah splenomegali (Hernomo, 2007).

Kadang-kadang limpa dapat membengkak hebat, hingga menimbulkan nyeri perut. Dengan pembesaran limpa ini, fungsi filtrasi terhadap terhadap sel-sel darah dan trombosit ikut meningkat, sehingga jumlahnya akan menurun.Hipersplenisme merupakan istilah yang di pakai untuk menunjukkan kondisi sebagai berikut : penurunan jumlah sel darah merah (anemia), penurunan sel darah putih (leukopenia), dan atau trombosit yang rendah (trombositopenia). Anemia menyebabkan perasaan lemah, leukopenia menyebabkan peka terhadap infeksi, trombositopenia menyebabkan pembekuan darah dan menimbulkan perdarahan yang memanjang (Hernomo, 2007).

2.6.8. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)

Sirosis, apapun penyebabnya, meningkatkan risiko kanker hati primer (hepatocellular carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati. Kanker hati sekunder merupakan kanker hati yang berasal dari penyebaran kanker dari tempat lain dalam tubuh (metastasis). Keluhan terbanyak kanker hati primer adalah nyeri perut, pembengkakan, pembesaran hati, penurunan berat badan, dan demam. Sebagai tambahan, kanker hati dapat memproduksi dan melepaskan sejumlah bahan yang menimbulkan berbagai kelainan : peningkatan sel darah

merah (eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia) dan kalsium darah yang tinggi (hiperkalsemia) (Hernomo, 2007).

Sirosis merupakan kondisi premaligna dan berhubungan dengan risiko peningkatan kanker hepatoseluler. Dari data statistik selama selama dua dekade terakhir, kejadian kanker jenis ini meningkat di Amerika Serikat, terutama karena penyebaran HBV dan HCV. Untuk itu diperlukan langkah-langkah pencegahan. Pengukuran pencegahan termasuk didalamnya skrining dengan alpha-fetoprotein dan ultrasonografi setiap 6 bulan ( Anand , 2002).

Dokumen terkait