• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Komponen Aktif

Komponen aktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis (Kannan et al. 2009). Penapisan komponen aktif ini dapat dilakukan dengan metode uji fitokimia. Fitokimia merupakan senyawa aktif yang terdapat dalam

tumbuhan dan dapat memberikan kesehatan bagi tubuh manusia (Hasler 1998 diacu dalam Kristiono 2009). Uji firokimia yang dilakukan dalam

penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Kandungan flavonoid pada tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu cahaya, infeksi dan stres, sedangkan faktor internal yaitu substrat, enzim dan hormon. Selain itu, umur serta tingkat perkembangan jaringan juga ikut mempengaruhi (Goodwin 1976). Hasil uji fitokimia biomassa C.gracilis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil uji fitokimia pada Chaetoceros gracilis

Uji Fitokimia Hasil Standar warna

Alkaloid: a. Dragendorff b. Meyer c. Wagner + + +

Endapan merah atau jingga Endapan putih kekuningan Endapan coklat

Steroid/terpenoid + Perubahan dari merah menjadi biru/hijau

Flavonoid - Lapisan amil alkohol berwarna

merah/kuning/hijau

Saponin - Terbentuk busa

Fenol Hidrokuinon - Warna hijau atau hijau biru Molisch (karbohidrat) + Warna ungu antara 2 lapisan

Benedict (gula pereduksi) + Warna hijau/kuning/endapan merah bata

Biuret (peptida) - Warna ungu

Ninhidrin (asam amino) + Warna biru

Keterangan: - = Tidak terdeteksi + = Terdeteksi

Chaetoceros gracilis yang dikultivasi di luar ruangan menggunakan media pupuk NPSi memiliki kandungan fitokimia berupa alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, dan asam amino. Komponen alkaloid merupakan golongan senyawa organik yang paling banyak ditemukan di alam. Alkaloid umumnya dapat didefinisikan sebagai substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1987). Alkaloid dapat dideteksi dengan menggunakan pereaksi Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil pegujian biomasa Chaetoceros gracilis kering positif untuk ketiga jenis pereaksi, artinya Chaetoceros gracilis yang dikultivasi di luar ruangan dengan menggunakan media pupuk NPSi mengandung alkaloid.

Menurut Kutchan (1995), alkaloid digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya. Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang memiliki aktivitas fisiologis pada

kesehatan manusia sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan (Harborne 1987). Kokain merupakan salah satu jenis alkaloid tropan, yaitu

alkaloid yang mengandung satu atom nitrogen dengan gugus metilnya (N-CH3). Kokain memiliki fungsi sebagai analgetik narkotik yang menstimulasi pusat syaraf, selain itu juga berfungsi sebagai antiemetik dan midriatik. Zat ini berasal dari daun tumbuhan Erythroxylum coca, E. rusby dan E. novogranatense (fam: Erythroxylaceae). Kokain lebih banyak disalahgunakan (drug abuse) oleh sebagian orang dengan nama-nama yang lazim dikalangan mereka seperti snow, shabu-shabu, crak dan sebagainya (Lenny 2006).

Jenis alkaloid lain yang memiliki peran penting untuk manusia adalah morfin. Morfin merupakan salah satu jenis alkaloid quinolin, yaitu alkaloid yang memiliki dua cincin karbon dengan satu atom nitrogen. Morfin biasa digunakan dalam dunia kedokteran sebagai obat penahan rasa sakit atau nyeri yang hebat, seperti rasa sakit pasca operasi. Morfin diperoleh dari biji dan buah tumbuhan Papaver somniferum dan P. Bracheatum (fam : Papaveraceae) (Lenny 2006).

Menurut Porto et al. (2009), alkaloid juga memiliki aktivitas antioksidan dan juga berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C) seperti yang ditemukan pada daun Psychotria brachyceras. Pada Chaetoceros gracilis belum diketahui pasti jenis alkaloid dan fungsi fisiologisnya pada manusia. Menurut Harborne (1987) perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui jenis alkaloid dengan menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS dan NMR)

Terpenoid merupakan senyawa alam yang terbentuk dengan proses

biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan (Sirait 2007 diacu dalam Kristiono 2009). Uji steroid/terpenoid pada sampel

Chaetoceros gracilis menunjukkan hasil yang positif, ditandai dengan terbentuknya warna hijau. Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi terpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard (Harborne 1987).

Terpenoid terbagi atas dua kelas utama, yaitu karotenoid dan non karotenoid (Astawan & Kasih 2008). Terpenoid yang terdeteksi pada sampel Chaetoceros gracilis diduga termasuk dalam kelas karotenoid. Aryandani (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa C. gracilis yang dikultivasi menggunakan lampu TL memiliki kandungan karotenoid total sebesar 27%.

Terpenoid jenis ini diduga memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan dari karotenoid ditunjukkan oleh hasil penelitian Aryandani (2010), bahwa karotenoid yang diekstrak dari Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas antioksidan, dengan persen daya hambat sekitar 51,42%. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan dari Stahl et al. (1996) & Paiva et al. (1999) diacu dalam Aryandani (2010), yang menyatakan bahwa karoten merupakan pigmen yang memiliki aktivitas antioksidan di samping pigmen klorofil. Aktivitas antioksidan dari karotenoid didasarkan pada kemampuan karoten dalam menangkal singlet oxygen maupun kemampuannya dalam menangkap radikal peroksil.

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol (Astawan & Kasih 2008). Kandungan flavonoid dapat diuji dengan melarutkan sampel dalam metanol dan dipanaskan. Setelah itu dilakukan penambahan H2SO4, apabila larutan berwarna merah menandakan adanya kandungan flavonoid pada sampel (Egwaikhide & Gimba 2007 diacu dalam Kristiono 2009). Pengujian kandungan flavonoid pada sampel Chaetoceros gracilis menunjukkan hasil yang negatif. Saponin juga tidak ditemukan pada sampel Chaetoceros gracilis. Hal ini terlihat dengan hilangnya busa setelah penambahan HCl 2 N.

Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati), transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa) (Harborne 1987). Pengujian karbohidrat secara kualitatif dapat menggunakan pereaksi Molish. Hasil pengujian Molish terhadap sampel Chaetoceros gracilis menunjukkan hasil yang positif. Hal ini ditandai dengan terbentuknya warna ungu diantara 2 lapisan. Hasil pengujian fitokimia ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat pada Chaetoceros gracilis yaitu sebesar 15,63%.

Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan pereaksi Molisch ini diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula pereduksi pada sampel Chaetoceros gracilis menggunakan pereaksi Benedict. Hasil pengujian menunjukkan terbentuknya endapan merah bata pada sampel yang telah diberi pereaksi Benedict. Jenis gula pereduksi yang terdeteksi pada sampel Chaetoceros gracilis diduga termasuk jenis aldosa, bukan jenis ketosa.

Aldosa merupakan monosakarida yang memiliki gugus aldehid, contohnya glukosa, galaktosa, ribosa, dan deoksiribosa (Fessenden & Fessenden 1982). Glukosa merupakan monosakarida yang memiliki peranan penting dalam tubuh, yaitu sebagai nutrien utama sel (Campbell 2002). Ribosa dan deoksiribosa merupakan gula pentosa penyusun asam nukleat, yaitu DNA dan RNA (Lehninger 1982). Pada pereaksi Benedict yang tidak alkali, hanya komponen aldosa yang dapat terdeteksi sedangkan komponen ketosa tidak terdeteksi. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja, seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah bata (Fennema 1996).

Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim (Fennema 1996). Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin 0,10% menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis positif mengandung asam amino, ditandai dengan terbentuknya warna biru. Hasil pengujian ini didukung oleh hasil penelitian dari Vega & Saavedra (2009) mengenai kandungan asam amino pada Chaetoceros muelleri. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Chaetoceros muelleri mengandung 11 asam amino esensial (leusin, fenilalanin, arginin, valin, treonin, lisin, metionin, prolin, isoleusin, histidin, dan triptofan) dan 6 asam amino non esensial (aspartat, alanin, serin, sistin, dan glisin). Akan tetapi untuk memastikan kandungan asam amino pada Chaetoceros gracilis yang dikultivasi di luar ruangan dengan menggunakan media pupuk NPSi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini tidak didahului dengan hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada sampel Chaetoceros gracilis. Tidak terdeteksinya komponen-komponen yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang terdeteksi pada uji Ninhidrin. Pembentukan ikatan peptida memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi, sehingga

reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).

Berdasarkan kandungan senyawa bioaktif yang terkandung dalam C. gracilis, maka C. gracilis memiliki potensi sebagai antioksidan. Hal ini terkait

dengan kandungan alkaloid dan terpenoid pada C. gracilis yang diduga memiliki aktifitas antioksidan.

Dokumen terkait