• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen dan Sistematika Penyusunan Laporan

Dalam dokumen Buku Ajar METODE PENELITIAN KUALITATIF (Halaman 94-134)

BAB 9 PENYUSUNAN LAPORAN PENELITIAN

9.1 Komponen dan Sistematika Penyusunan Laporan

Seberapapun baik dan pentingnya teori dan temuan penelitian maka tidak akan bermanfaat bagi masyarakat jika tidak dilaporkan dengan baik pula. Oleh karena itu setiap hasil penelitian harus dilaporkan dalam bentuk laporan hasil penelitian.

Menurut Mukhtar (2013) laporan hasil penelitian adalah keseluruhan temuan penelitian lapangan secara empiris yang disusun secara sistematis, prosedural dan mengikuti kaidah atau ketentuan sebuah lembaga atau institusi maupun pihak yang memberikan kebijakan

pelaksanaan sebuah penelitian dengan standar ilmiah.Itu artinya ketentuan

bagi sebuah lembaga pendidikan merujuk pada kebijakan atau pedoman lembaga pendidikan, demikian pula institusi pemerintah atau pihak mitra lainnya.

Tahap pembuatan laporan ini merupakan tahap paling puncak dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan yang dilakukan seseorang. Hal ini dikarenakan hasil laporan tidak hanya digunakan untuk

masalah dan memberikan solusi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan.

Sistematika laporan penelitian penelitian ilmiah sangat tergantung pada pendekatan dan jenis penelitian yang dilakukan. Fraenkel dan Wallen dalam Mukhtar (2013) membuat model sistematika laporan penelitian dengan pendekatan kualitatif lapangan, yag terdiri atas :

Bagian Pengantar A. Halaman judul B. Daftar isi C. Daftar gambar D. Daftar tabel Bagian pokok

A. Masalah yang diteliti

1. Tujuan penelitian

2. Pengesahan penelitian

3. Pertanyaan penelitian

4. Definisi istilah (konsep)

B. Latar belakang dan tinjauan literatur

C. Prosedur penelitian

1. Deskripsi rancangan penelitian (pendekatan)

2. Deskripsi populasi dan sampel (situasi social dan

subjek)

3. Deskripsi instrument yang digunakan

4. Keterangan langkah-langkah yang dilalui dalam

penelitian (apa, kapan, dimana dan bagaimana

penelitian itu dilakukan dan dianalisis)

D. Hasil Penelitian

E. Pembahasan

F. Ringkasan dan kesimpulan

1. Ringkasan pertanyaan penelitian secara ringkas,

langkah-langkah yang dilakukan, serta hasil yang diperoleh

2. Diskusi implikasi temuan yaitu pengertian dan

signifikansinya

3. Saran-saran bagi penelitian lanjut (rekomendasi)

G. Referensi (Bibliografi)

H. Affendiks (Lampiran-lampiran)

Penyusunan sistematika Laporan Penelitian Kualitatif seperti yang disebutkan di atas tidak bersifat mutlak. Karena hal ini sangat bergantung pada ketentuan yang dipakai pada Institusi setempat. Pada Lembaga Pendidikan seperti Perguruan Tinggi, biasanya ketentuan

tentang penyusunan Laporan penelitian tercantum dalam Buku Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

Berikut ini salah satu acuan penulisan Laporan Penelitian Kualitatif berdasarkan pengalaman penulis dalam membimbing mahasiswa yang sedang melakukan sripsi penelitian kualitatif :

Bagian Pengantar

i. Halaman judul

ii. Halaman Persembahan

iii. Halaman Motto

iv. Halaman Pernyataan

v. Halaman Pembimbingan

vi. Halaman Pengesahan

vii. Abstract

viii. Ringkasan Penelitian

ix. Daftar isi

x. Daftar Tabel

xi. Daftar gambar

xii. Daftar Arti dan Lambang

xiii. Daftar lampiran

Bagian pokok Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan penelitian 1.4 Manfaat penelitian

Bab 2. Tinjauan Pustaka

1.1 Konsep Teori sesuai topik

1.2 KerangkaTeori

1.3 Kerangka Konsep Penelitian

Bab 3. Metode penelitian

1.1 Jenis penelitian

1.2 Lokasi dan Waktu penelitian

1.3 Informan Penelitian

1.4 Fokus Penelitian dan Pengertian

1.5 Sumber Data, Tehnik dan Pengumpulan data

1.6 Tehnik Penyajian dan Data dan Analisis Data

1.7 Alur Penelitian

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

1.1 Proses Pengerjaan di Lapangan

1.2 Gambaran Umum Tempat Penelitian

1.4 Hasil dan Pembahasan berdasarkan fokus penelitian Bab 5. Kesimpulan dan Saran

1.1 Kesimpulan

1.2 Saran

Daftar Pustaka Lampiran 9.2 Rangkuman

Laporan penelitian kualitatif merupakan penyusunan laporan dari keseluruhan proses dan temuan penelitian lapangan secara empiris yang disusun secara sistematis, prosedural dan mengikuti kaidah atau ketentuan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Tahap pembuatan laporan ini merupakan tahap paling akhir dari serangkaian proses penelitian kualitatif yang dilakukan yang dilakukan seseorang peneliti, yang bertujuan untuk menginformasikan dan mempublikasikan hasil temuan penelitian dalam rangka memberikan kontribusiterhadap pemecahan masalah dan memberikan solusi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan.

9.3 Latihan/Tugas:

Proposal penelitian yang telah Anda buat di Bab 8 kembangkan menjadi laporan karya ilmiah, disesuaikan dengan materi-materi yang telah Anda pelajari di bab-bab yang terdahulu.

9.4 Pengayaan Bacaan

Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.

Avey, J. B., Luthans, F., & Jensen, S. M. 2009. Psychological capital: A positive resource for combating employee stress and turnover. Human Resource Management, 48(5), 677-693.

Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice- Hall.

Bandura, A. 2001. Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective.

Annu. Rev. Psychol, 52, 1–26. Diunduh dari

www.arjournals.annualreviews.org pada tanggal 30 Agustus 2014.

Bandura, A. 1986. The Social Foundation of Fought and Action.

Englewood Cliffs. NJ :Prentice Hall

Bandura. 1997. Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H.

Freeman and Company.

Baron, Robert A. & Donn Byrne. 2000. Social Psychology (9th edition).

USA: Allyn & Bacon.

Fatchan H.A. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: 10 Langkah Penelitian

Kualitatif : Pendekatan Konstuksi dan Fenomenologi. Malang : Universitas Negeri Malang Press.

---. 2011. Metode Penelitian Kualitatif: Beserta contoh

Proposal Skripsi, Tesis dan Disertasi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

Feist, J. & Feist, G. J. 2008. Theories of Personality. (6th ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Friedman, H. S. & Schustack, M. W. 2008. Kepribadian. (1st ed). Jakarta:

Erlangga.

Gist, M.E. and Mitchell, T.R. 1992.“Self-efficacy: a theoretical analysis

Review, Vol. 17 No. 2, pp. 183-211.

Gumilar, G. 2007. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory). http://www.gumilarcenter.com.

Hughes, R. L., Ginnettt, R. C. & Curphy, G. J. 2009. Leadership:

Enhancing theLessons of Experience. (6th ed). Singapore: McGraw-Hill.

Kahija, Y,F,L,A. 2006.Pengenalan dan Penyusunan Proposal/Skripsi

Penelitian Fenomenologis. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang.

Larsen, R.J. & Buss, D.M. 2008. Personality Psychology: Domains of Knowledge about Human Nature. New York, NY: McGraw-Hill.

Moeleong, L.J. 2004.Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya. Bandung

Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT.

Rineka Cipta.

Schultz, D., & Schultz, S.E. 1994. Theories of Personality 5th Edition.

California : Brooks/Cole.

Stajkovic, A. D., & Luthans, F. 1998b. Social cognitive theory and self-efficacy:Going beyond traditional motivational and behavioral approaches. Organizational Dynamics, 26, 62-74.

Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:

LAMPIRAN 1

Contoh Proposal Penelitian Kualitatif

(Proposal Tesis a.n : Dewi Rokhmah pada Program Magister Bidang Promosi Kesehatan FKM Universitas Diponegoro Semarang )

Judul : GAYA HIDUP SEKSUAL WARIA NON PEKERJA SEKS KOMERSIAL KOTA SEMARANG

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering kali memandang hal-hal yang diluar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Norma sendiri dibuat dan dijadikan pedoman oleh masyarakat melalui proses kesepakatan sosial dan norma-norma yang ada merujuk pada tuntunan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat. Meskipun sesungguhnya norma-norma mengalami

pergeseran-pergeseran. Pada masyarakat postmodern atau kontemporer,

terdapat kecenderungan norma-norma yang dianggap mengekang dan membatasi kehidupan individu dicoba didobrak. Pada perkembangan selanjutnya, bentuk-bentuk penyimpangan perilaku sosial dianggap

sebagai sebuah kewajaran.1)

Munculnya waria (Wanita Pria) sebagai fenomena transeksual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini menunjukan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia

sebagian besar masih homophobia (ketakutan yang berlebihan terhadap

kaum homoseksual). Padahal pada beberapa negara maju, pilihan sebagai

waria dianggap sebagai pilihan hidup individu yang wajib dihormati.1)

Di Indonesia pelaku transeksual disebut dengan istilah waria

(Wanita-Pria), wadam (Wanita-Adam), banci atau bencong. Namun

kehadiran mereka sebagai kelompok ketiga dalam struktur kehidupan

hanya mengakui dua jenis kelamin yaitu pria dan wanita. Jenis kelamin tersebut mengacu pada keadaan fisik alat reproduksi manusia. Kelly berpendapat bahwa mengenai jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus berperilaku sebagai pria (berperilaku maskulin) dan wanita harus

berperilaku sebagai wanita (berperilaku feminin). 2) Dalam perspektif

psikologi transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam

kemampuan untuk mencapai kepuasan seksual.3) Di lain pihak, pandangan

sosial beranggapan bahwa akibat dari penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan,

mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di

lingkungannya.4)

Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Satu hal yang perlu diperhatikan

dalam hal ini adalah pengertian waria (transeksual) berbeda dengan

homoseksual (perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis)

atau transvestisme (suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan seksualnya). Istilah homoseksual erat kaitannya dengan orientasi seksual seseorang dengan jenis kelamin sesamanya. Misalnya pria tertarik dengan pria atau wanita yang tertarik dengan sesama wanita. Jadi orientasi seksual mereka sama-sama homoseksual. Pria homoseksual biasanya disebut gay, sedangakan wanita homoseksual disebut lesbian atau lesbi.

Orientasi seksual waria dan homoseksual tidak memiliki perbedaan, dimana mereka tertarik pada sesama jenis. Yang membedakan keduanya adalah waria secara fisik ingin berpenampilan sebagai wanita dan secara psikologis dia mengidentifikasikan dirinya sebagai wanita. Sedangkan gay secara fisik sama seperti pria dan secara psikologis mengidentifikasikan dirinya sebagai pria.

Sementara itu, Transeksual adalah orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa

“terperangkap” di tubuh yang salah. Misalnya, seseorang yang terlahir

dengan anatomi seks pria,tetapi merasa bahwa dirinya adalah wanita dan ingin diidentifikasi sebagai wanita. Transeksual-lah yang dapat menimbulkan perilaku homo atau lesbian, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo. Bisa saja seorang pria transeksual tertarik pada pria lain karena merasa bahwa dia seorang wanita dan wanita mestinya

tertarik pada pria. 5) Seorang transeksual khususnya seorang waria hanya

Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. "Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi

seksual orangnya. Orang-orang transgender dapat saja

mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual,

biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang tepat untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup : (1) berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan, melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya (2) Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan pada alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak sempurna bagi dirinya (3) Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada dirinya pada saat kelahirannya. 6)

Dibandingkan kaum homoseksual, perilaku waria memiliki banyak permasalahan. Kaum homoseksual sama sekali tidak mengalami hambatan-hambatan sosial dalam pergaulan dan perilaku mereka, karena

tidak mengalami krisis identitas.1) Terbukti tidak sedikit kaum

homoseksual yang menempati posisi-posisi penting di berbagai profesi, baik sebagai politisi, birokrat, akademisi maupun profesional lainnya. Di dalam lingkungan sosial kaum homoseksual sama sekali tidak dapat diidentifikasi secara nyata, sehingga mereka lebih leluasa bergaul dan berperilaku sebagai mana laki-laki normal. Berbeda dengan kaum waria, disamping masih menghadapi berbagai tekanan-tekanan sosial, posisi

mereka dalam struktur masyarakat juga kurang mendapat tempat. 1)

Penolakan orang tua waria umumnya dilakukan setelah

mengalami proses ”menjadi waria” dan ”hidup sebagai waria”. Banyak

sekali waria yang pada mulanya keberadaan mereka ditentang

habis-habisan oleh keluarga mereka sendiri.1) Padahal keluarga merupakan

tempat berlindung yang paling utama dan seharusnya paling nyaman. Dalam keluarga, waria sering kali dianggap sebagai aib, sehingga waria

mengalami tekanan-tekanan sosial.2) Namun demikian, peran keluarga

sangat penting bagi perkembangan waria. Sehingga berpengaruh pada pembentukan konsep diri waria. Konsep diri kaum waria cenderung negatif dikarenakan waria masih memiliki kebingungan identitas seksual.7) Seorang waria yang dilahirkan dalam keluarga yang harmonis, taat beragama, berpendidikan, serta sikap orang tua yang akhirnya menerima keberadaan mereka akan berpengaruh baik bagi perkembangan

waria. Sebaliknya jika sikap orang tua yang tidak menerima keberadaan waria akan berpengaruh kurang baik pada waria yang bersangkutan.

Masyarakat memberikan andil untuk memberikan pendapatnya dalam hal penerimaan maupun penolakan terhadap waria. Meskipun sebagian besar masyarakat menganggap waria sebagai perilaku yang menyimpang, namun sikap mereka berbeda-beda. Pada umunya sikap masyarakat terhadap waria terbagi menjadi dua, yaitu : (1) sikap kognitif-intelektual, masih banyak orang Indonesia modern yang terpelajar merasa sulit menerima waria; (2) sikap afektif-perilaku,masyarakat mau

menerima khususnya pada dunia show-biz, designing, dan salon masih

ditoleransi. 8)

Waria memilih menjadi manusia urban (berpindah ke kota) ketika mereka tidak diterima oleh lingkungan masyarakat dan keluarga dimana mereka tinggal. Mereka mencari suatu komunitas baru yang bisa menerima keberadaan mereka, tentunya dengan orang-orang yang senasib. Mereka berharap di lingkungan baru tidak seorang pun yang pernah mengenal mereka. Di tempat tersebut mereka menciptakan

identitas baru, yang setidaknya ditandai dengan nama-nama baru. 1)

Dengan kata lain, mereka mencari teman atau populasi yang keadaanya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh, sebagaimana layaknya individu yang normal.4)

Ada empat karakteristik waria, yaitu (1) Pria menyukai pria; (2) Kelompok yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan; (3) kelompok yang karena desakan ekonomi; harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan; (4) kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaaan kelompok itu sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka.1)

Dari keempat tipe waria tersebut, kelompok kedua yaitu yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan merupakan fenomena yang ada di kalangan kehidupan para waria yang secara umum termasuk dalam kategori transeksual atau perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Ada kemungkinan kelompok ini merupakan waria yang memang secara hormonal dalam tubuh mereka ada kelainan. Sehingga sulit sekali bagi mereka untuk menjadi manusia normal yang secara utuh berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

Perlu diketahui bahwa hingga saat ini baik sektor swasta maupun pemerintah belum ada yang berani membuka peluang untuk menerima kaum waria sebagai karyawan. Peluang kerja bagi kaum waria adalah

pelayanan jasa kecantikan seperti salon, desaigner dan jasa hiburan (entertainer), dan pedagang. Berdasarkan data dari LSM Graha Mitra pada tahun 2008, dari jumlah total waria Kota Semarang beserta pekerjaannya yang berjumlah 188 orang, menunjukkan bahwa ada sekitar 42 % waria yang bekerja disektor non pelacuran yaitu sebagai entertainer, salon, guru, PNS dan karyawan swasta.

Selain kehidupan waria yang cenderung berkelompok, kehidupan seksual kaum waria memiliki tradisi yang berbeda dengan kehidupan seksual laki-laki maupun perempuan pada umumnya, bahkan diantara kaum homoseksual sekalipun. Mereka juga butuh pasangan dalam melakukan aktifitas seksual. Para waria tersebut juga memiliki pasangan

atau pacar atau ”lekong” dari pria yang sudah beristri. Walaupun hal ini

dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun fenomena ini banyak ditemukan dikalangan waria. Kehidupan seksual yang cenderung

”berbeda” ini mengakibatkan terbentuknya suatu gaya hidup (lifestyle)

seksual waria.

Gaya hidup seksual (sexual lifestyle) waria merupakan perilaku

sexual waria yang melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya. Gaya hidup seksual para waria tercermin dalam melakukan aktifitas seksualnya, seperti : bergonta-ganti pasangan, tidak menggunakan kondom serta melakukan seks anal dan oral. Dalam hal

pasangan seksual, bagi waria memiliki pacar atau ”suami” setidaknya

untuk memenuhi dua kebutuhan, yakni melepaskan nafsu seksual dan memperoleh pasangan hidup. Tidak ada perbedaan pengertian antara pacar dan suami secara formal, karena di antara mereka sama-sama tidak memiliki ikatan yang legal. Satu perbedaan mendasar antara pacar dan suami, pacar dalam pengertian mereka adalah laki-laki yang menjadi kekasih mereka dan tidak tinggal serumah. Sebaliknya, laki-laki yang menjadi kekasih waria dan kemudian tinggal serumah, biasa disebut suami.2)

Dari kondisi yang dipaparkan di atas, sebagai kelompok yang

dianggap ”menyimpang” oleh masyarakat dan keluarga mereka, dan

diperparah lagi dengan jumlah mereka yang minoritas mengakibatkan kehidupan waria tidak pernah lepas dari tekanan sosial berupa stigma dan diskriminasi baik oleh orang terdekat mereka dalam hal ini adalah keluarga maupun oleh masyarakat dalam bentuk cemooh, cibiran, pengusiran sampai dengan pelecehan seksual. Sehingga bisa dipastikan tekanan-tekanan sosial ini menyebabkan kehidupan waria sangat rentan dan beresiko dengan terjadinya kekerasan psikologis dan seksual yang

berdampak terhadap kemungkinan penularan dan penyebaran penyakit IMS dan HIV/AIDS.

Selama dasawarsa terakhir, prevalensi IMS, terutama infeksi HIV, pada komunitas waria dilaporkan meningkat secara bermakna. Di Jakarta, hasil survey seroprevalens pada pertengahan tahun 2002 terhadap

241 waria PSK menunjukkan prevalensi HIV dan early syphilis mencapai

22% dan 19,3%. Hal ini merupakan suatu peningkatan yang bermakna jika dibandingkan dengan survey waria di Jakarta pada Juli 1995, yang hanya menemukan prevalensi HIV seropositif sebesar 7,9%. Pemeriksaan seroprevalens terhadap 20 waria PSK Yogyakarta pada Bulan Oktober 2004 mendapatkan prevalensi HIV seropositif dan sifilis seropositif

(VRDL>1/4 dengan TPHA+ sebesar 30%.9) Data terbaru berdasarkan

hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa angka prevalensi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada waria sangat tinggi di tiga kota, yaitu 14% di Bandung, 25,2% di Surabaya, dan 34% di Jakarta.10)

Berdasarkan data estimasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa tengah, di Jawa Tengah pada tahun 2006 dilaporkan bahwa sebanyak 830 dari total 1058 waria terindikasi virus HIV. Dari jumlah tersebut 228 waria diantaranya positif mengidap virus HIV. Salah satu penyebab waria mudah terserang HIV/AIDS karena kehidupan seks para waria yang

menyimpang.11) Sementara di Kota Semarang, berdasarkan data estimasi

pada tahun 2006 diketahui dari 221 waria tercatat 27 orang telah mengidap HIV. Kesadaran para waria untuk test VCT masih kurang.

Hanya 30-40% yang rela dan sadar dalam melakukan test VCT.12)

Perilaku seksual seperti perilaku manusia umumnya bersifat simbolik. Pria dan wanita menggunakan beberapa simbol dan

mengartikannya berdasarkan simbol tersebut. Perilaku seksual

berhubungan dengan berbagai aktivitas, masing-masing berbeda arti (meaning), ada hubungan kedekatan tetapi tidak membatasi dalam hal mempunyai anak, pencapaian kepuasan fisik, mendapatkan kesenangan (having fun), menciptakan kedekatan, menciptakan kedekatan, pencapaian

spiritualitas, dan penggunaan kekuasaan.13)

Makna secara simbolik berhubungan dengan seksualitas mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang diri kita, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana orang lain berpikir dan berhubungan dengan kita. Tindakan manusia berkaitan dengan sesuatu berdasarkan arti atau pentingnya sesuatu tersebut bagi mereka. Sedangkan arti sesuatu adalah berasal dari sebab timbulnya, yaitu interaksi sosial, dimana seseorang menjadi anggota suatu masyarakat. Kedua maksud di

atas digabungkan dan dimodifikasi seluruhnya menjadi sebuah proses penjabaran yang digunakan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain yang ia temui. 14)

Konsep interaksi simbolik pada manusia dibentuk dan ditransformasikan pada kenyataan yang diaplikasikan pada perilaku seksual yang berarti bahwa sensasi fisik yang dibentuk oleh satu komponen dari pengalaman seksual yang tidak hanya diinterpretasikan dari sistem simbolik kita pada sensasi seksual, tetapi simbolisme seksual

juga dibentuk oleh pengalaman seksual (Gecas & Libby, 1976). 13)

Menjadi seorang waria bukan merupakan peristiwa yang tiba-tiba. Tetapi dibentuk secara historis sejak pengasuhan dia diwaktu kecil, kemudian semakin diaplikasikan pada saat usia remaja seiring dengan proses

kedewasaan seseorang dalam mengaktualisasikan dirinya pada

lingkungannya bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup (lifestyle).

Seorang waria dalam melakukan relasi seksualnya sangat dipengaruhi oleh pengalaman pertama dalam melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Hubungan seksual pertama kali menjadi hal yang sangat penting didalam proses penegasan seseorang menjadi waria. Namun diantara pengalaman yang beragam itu, hal penting yang dapat ditarik sebagai satu garis tegas adalah bahwa mereka mengalaminya dalam usia

yang relatif muda, yakni berkisar antara 11-15 tahun. 2)

Di satu sisi, penelitian yang selama ini membahas tentang kehidupan waria lebih banyak menggambarkan tentang perilaku seksual waria yang berkaitan dengan kehidupan malam dan sebagai pekerja seks. Sedangkan penelitian yang membahas tentang gaya hidup seksual waria secara utuh dan tidak berprofesi sebagai pekerja seks sangat sedikit. Padahal waria non PSK juga memiliki banyak permasalahan, diantaranya: (1) masalah terbesar dalam hidup seorang waria adalah bukan terleta pada penerimaan masyarakat, melainkan bagaimana mendamaikan jiwa dan raganya; (2) berbagai macam pandangan dan persepsi masyarakat terhadap waria yang identik dengan perilaku seks bebas, pekerja seks (PSK), dan sebagainya. Padahal tidak semua waria menjadi PSK; (3) nilai dan norma masyarakat yang masih menganggap perilaku waria sebagai suatu bentuk penyimpangan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui secara mendalam dalam memahami gaya hidup seksual pada waria non Pekerja Seks Komersial (non PSK) di Kota Semarang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut : Bagaimana gaya hidup seksual Waria non Pekerja Seks Komersial (non PSK) di Kota Semarang?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui gaya hidup seksual Waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik waria non pekerja seks komersial di

Kota Semarang.

b. Mengetahui sosialisasi waria non pekerja seks komersial di

Dalam dokumen Buku Ajar METODE PENELITIAN KUALITATIF (Halaman 94-134)

Dokumen terkait