• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Analisis Strukturisasi Permasalahan dan

4.4.3 Komponen-komponen Dominan dalam Kebijakan

subelemen-subelemen yang terletak pada sektor I (independent).

Setiap tindakan yang meningkatkan peranan dari sektor-sektor tersebut akan menghasilkan sukses program menuju sistem pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program.

1, 8, 10, 12 2, 6, 7, 11, 13 3 4, 9, 14, 16 5, 15 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Gambar 43. Matriks DP-D untuk subelemen tolok ukur dalam pengembangan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara

4.4.3 Komponen-komponen Dominan dalam Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Kabupaten Nunukan

A. Hasil Pembobotan pada Setiap Komponen

Dalam menganalisis komponen yang dominan dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan, digunakan model AHP untuk memilih arahan kebijakan yang tepat dan penting dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Gambar 39 merupakan diagram hirarki AHP yang telah didiskusikan dan merupakan pendapat pakar melalui wawancara yang mendalam.

Pakar yang terlibat antara lain dari Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen PU, Menpera, KLH, DPR RI, perguruan tinggi, pemda, lembaga profesi, masyarakat, swasta, dan LSM.

Independent Linkage

Gambar 44. Diagram hierarki AHP pada pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara

Hierarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas yang dimulai dari penetapan fokus pada level l yaitu fokus pada pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Level 2 adalah faktor yang terdiri atas kebijakan pemerintah, tingkat pendapatan, pendanaan pembangunan, prasarana, dan sarana. Level 3 adalah aktor terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, pakar, dan BKM/LSM setempat. Aktor tersebut terkait dengan pengembangan kawasan permukiman dan masing-masing aktor mempunyai peran, pengaruh, dan kekuatan terhadap kebijakan-kebijakan pengembangan kawasan. Level 4 adalah tujuan untuk pengembangan kawasan permukiman yang terdiri atas pengembangan dan penataan kawasan, peningkatan kesejahteraan, pengelolaan SDA dan ekosistem kawasan, pengembangan prasarana kawasan dan minimalisasi konflik. Level 5 adalah sasaran yang terdiri atas strategi pengembangan kawasan, strategi pengembangan pembiayaan, dan strategi pengembangan kelembagaan. Hasil pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan yang disampaikan kepada

Kebijakan Pemerintah 0,418 Tingkat Pendapatan 0,120 Pendanaan Pembangunan 0,271 Prasarana dan Sarana 0,191 Pemerintah 0,337 Pemerintah Daerah 0,222 Swasta 0,150 Masyarakat 0,133 Pakar 0,091 BKM / LSM 0,068 Pengembangan Dan Penataan Kawasan 0,326 Peningkatan Kesejahteraan 0,313 Pemulihan Ekosistem 0,158 Pengembangan Prasarana Kawasan 0,116 Minimalisasi Konflik 0,087 Strategi Pengembangan (Kawasan) 0,624 Strategi Pengembangan (Kelembagaan) 0,130 Strategi Pengembangan (Pembiayaan) 0,246 Faktor Stakeholders Tujuan Sasaran

pakar dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, pakar perguruan tinggi, dan BKM/LSM, kemudian diolah dengan perangkat lunak

Expert Choice. Hasil analisis AHP pada setiap level dari heirarki desain pengembangan kawasan berkelanjutan. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi (combined) dari pendapat para pakar pada setiap matriks berpasangan.

B. Pembobotan Kriteria Faktor dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi pengaruh utama dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan. Gambar 45 menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.

Keterangan :

KBPM = Kebijakan Pemerintah PDPB = Pendanaan Pembangunan PSSR = Prasarana dan Sarana TKPM = Tingkat Pendapatan

Gambar 45. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan

Berdasarkan gambar 45, hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2) kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama dengan masing-masing bobot nilai adalah 0,418 dan 0,271.

Kebijakan pemerintah akan membantu membangun pusat-pusat pertumbuhan baru kegiatan ekonomi dan perdagangan. Penyiapan perangkat kebijakan dan pendanaan pembangunan diperlukan guna pengembangan kawasan permukiman di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan maupun pada kawasan yang sangat terperinci di wilayah perbatasan negara. Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah

secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian stimulan bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Hal tersebut dilakukan agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai. Adapun, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang ditempuh adalah partisipasi masyarakat, swasta, LKM, dan LSM.

Memahami kecenderungan pertumbuhan kawasan perkotaan di wilayah perbatasan (pusat pertumbuhan baru) sangat terkait dengan 4 faktor: kebijakan,

stakeholders, perilaku masyarakat, proses dan pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2) Pola pertumbuhan merupakan cerminan dapat dilihat secara langsung hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4) Perilaku mengindikasikan kegiatan dari pelaku yang terlibat. Hasilnya adalah model pola pentahapan dan proses penyusunan kebijakan. Aturan dalam teori hierarki, memahami tiap tingkat harus mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai perbandingan hubungan yang paling dekat. Konsekuensinya untuk memahami proses adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999).

Kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia tahun 2000—2020 antara lain pengembangan lokasi kawasan permukiman dengan memerhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, pola tata guna lahan, kesehatan lingkungan, dan tersedianya fasilitas sosial dan umum. Lokasi permukiman perlu memperhatikan keserasian dengan lingkungannya. (Permenpera 1999).

Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budi daya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang.

Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) telah terjadi: (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan.

Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005).

Setelah lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, perlu dibuat rencana tapak kawasan (site planning) agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak kawasan ini penting karena akan menentukan bentuk dan pola kawasan yang dapat menciptakan suatu kawasan permukiman yang tertata sehingga kemudahan dan kenyamanan para penghuni dapat tercipta serta dapat mempengaruhi perilaku penghuni di mana pun kawasan permukiman tersebut berada termasuk di wilayah perbatasan negara.

Hasil analisis AHP selanjutnya yang menjadi prioritas adalah peningkatan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,191 dan yang menjadi prioritas yang terakhir adalah tingkat pendapatan dengan bobot nilai 0,120. Adanya peningkatan prasarana dan sarana serta peningkatan tingkat pendapatan. Diharapkan program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu dapat dilaksanakan di wilayah perbatasan negara Kabupaten Nunukan, sehingga akan memberikan keuntungan kepada pemerintah dan mensejahterakan masyarakat di sekitar kawasan tersebut.

C. Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar, tersusun stakeholder yang menjadi pengaruh utama dalam pengelolaan pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan, Gambar 46 menunjukkan urutan prioritas

Keterangan : PP = Pemerintah Pusat PD = Pemerintah Daerah ST = Swasta MY = Masyarakat PK = Pakar

Gambar 46. Urutan prioritas stakeholder dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan

Berdasarkan gambar 46 hasil analisis AHP yang merupakan stakeholder (level 3) menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mempunyai peran utama dalam pengembangan kawasan permukiman, bobot nilai masing-masing

stakeholder adalah 0,337 dan 0,222. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap penetapan alternatif kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Hal tersebut disebabkan kenyataan di lapangan maupun pada tingkat kebijakan sangat ditentukan oleh pengaruh dan peran dari aktor pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kewenangan penuh untuk mendorong percepatan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan kabupaten Nunukan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro

dan disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah, sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional.

Swasta memiliki bobot nilai sebanyak 0,150. Swasta merupakan salah satu

stakeholder yang mempunyai peran terhadap pengembangan kawasan permukiman. Swasta mempunyai peran sebagai penggalian sumber dana untuk investasi pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan permukiman, seperti pernyataan Direktorat Jendral Pemberdayaan Sosial (2005) mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggung jawab sosial swasta di antaranya dapat memberikan implikasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerja sama antara masyarakat, pemerintah dengan swasta.

Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat yang mempunyai bobot nilai 0,133. Masyarakat berperan penting untuk menjaga wilayah perbatasan. Pembangunan permukiman sangat penting dilakukan di wilayah perbatasan tersebut menyangkut keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan akan identitas nasional.

Hak-hak ulayat masyarakat perbatasan perlu diakui dan diatur keberadaannya. Keberadaan tanah ulayat secara sesungguhnya memiliki permasalahan secara administratif karena terkadang keberadaannya melintasi batas negara di dua wilayah negara. Walaupun demikian, karena hak-hak ulayat ini secara tradisional menjadi aset penghidupan sehari-hari masyarakat tersebut, keberadaanya tidak dapat dihapuskan, tetapi sebaliknya perlu diakui dan diatur secara jelas.

Stakeholder selanjutnya adalah pakar dan BKM/LSM masing-masing

stakeholder tersebut mempunyai bobot nilai 0,91 dan 0,68. Kedua stakeholder

tersebut mempunyai peran dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan terhadap sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan dan usaha-usaha penegakan hukum jika ada suatu pelanggaran dalam setiap kegiatan pembangunan.

D. Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian utama, gambar 47 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.

Keterangan : PPK = Pengembangan dan Penataan Kawasan PKS = Peningkatan Kesejahteraan

PE = Pengembangan SDA dan Ekosistem Kawasan

PRK = Pengembangan Prasarana Kawasan

MK = Minimasi Konflik

Gambar 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara

Berdasarkan gambar 47 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan pengembangan dan penataan kawasan dan peningkatan kesejahteraan mendapat priotitas utama dalam kriteria tujuan dengan masing- masing bobot nilai 0,326 dan 0,313. Pengembangan kawasan menjadi prioritas sesuai dengan GBHN 1999 mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan.

Penanganan pengembangan kawasan permukiman sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pada pasal 2 memuat penjelasan bahwa lingkup pengaturan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang

menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaataannya. Pengembangan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.

Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Indonesia berbeda dengan di Malaysia. Dalam mengembangkan kawasan permukiman, Malaysia khususnya di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier/ribbon development

(Departemen PU 2002).

Seiring meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan permukiman sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia ikut meningkat pula. Berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk berdasarkan pada tiap-tiap skenario yang direncanakan, serta dengan menggunakan asumsi bahwa setiap keluarga terdiri dari 5 orang, maka perkiraan kebutuhan minimum rumah pada tahun 2009 dan tahun 2014 berdasarkan tiap skenario dapat ditentukan seperti tertera pada Tabel 19.

Tabel 19. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014

Kawasan Skenario Jumlah Penduduk Kebutuhan Rumah (unit)

Perumahan Pesimis 2009 96.961 18.640 2014 107.053 20.579 Optimis 2009 116.784 21.429 2014 144.840 26.578 Ambisius 2009 163.171 26.264 2014 239.751 41.110 Sumber: Hasil Analisis

Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan di masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan sehingga menyebabkan minimnya prasarana dan sarana wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi

aktivitas sosial-ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan.

Kebijakan pengembangan wilayah perbatasan negara ke depan adalah dengan peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai daerah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang.

Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan pradigma saat ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan kepada aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang.

Prioritas selanjutnya adalah pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah dengan bobot nilai 0,158. Pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah sangat penting untuk dilaksanakan sehingga SDA dan wilayah tidak terdegradasi akibat adanya pembangunan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan pembangunan perlu direncanakan secara terpadu berdasarkan pada pengelolaan secara optimal potensi-potensi SDA dan ekosistem wilayah.

Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan seperti fakta adanya kawasan permukiman yang liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah, para pekerja

menyewa tempat tinggal dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan rumahanya oleh para stakeholders terkait, maka gajinya akan lebih besar untuk kebutuhan kesejahteraan sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002).

Prioritas selanjutnya yaitu pengembangan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,116 yang sangat penting dilakukan untuk pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam di kawasan tersebut. Prioritas terakhir adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,087 yang penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat dengan masyarakat negara tetangga, masyarakat dengan pemerintah daerah, dan masyarakat dengan pemerintah provinsi/pusat. Hal ini dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.

Peningkatan kerja sama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang pengelolaan perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Di era globalisasi seperti saat ini, setiap negara di saling tergantung satu sama lain.

Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamananan. Oleh karena itu, peningkatan kerja sama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat menghindari terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial-budaya maupun ekonomi. Selain itu kerja sama, antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan.

Kelembagaan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan RI - Malaysia yang ada saat ini adalah General Border Committee (GBC) yang diketuai oleh Panglima TNI. Forum ini mengadakan pertemuan setahun sekali dengan pergantian tempat antara Indonesia dan Malaysia.

Permasalahan perbatasan yang ada saat ini terjadi pada sembilan titik. Permasalahan ini sangat kompleks dan menyangkut kepastian hukum wilayah NKRI atau Malaysia, yaitu masalah (1) Tanjung Datu, (2) Batu Aum, (3)

Semilau, (4) Sungai Sinapad, (5) Sungai Semantipal, (6) Nanga Badau, (7) Sungai Buan, (8) Gunung Raya, dan (9) Pulau Sebatik.

Kerja sama di bidang sosial-ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo telah dilengkapi dengan kelompok kerja (KK). Sosek Malindo di tingkat provinsi/negeri ditujukan untuk (a) menentukan proyek- proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyek- proyek pembangunan sosial-ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerja sama pembangunan sosial-ekonomi di daerah perbatasan.

E. Pembobotan Kriteria Sasaran dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan

Hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas utama dalam keberhasilan pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan. Gambar 48 menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.

Keterangan : SPKW = Strategi Pengembangan Kawasan SPPM = Strategi Pengembangan Pembiayaan

SPKL = Strategi Pengembangan Kelembagaan

Gambar 48. Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara

Berdasarkan gambar 48 hasil analisis AHP yang merupakan sasaran (level 5) menunjukkan strategi pengembangan kawasan menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,624. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai untuk dilakukan pengembangan wilayah

perbatasan di Kabupaten Nunukan. Prioritas kedua yaitu pengembangan pembiayaan dengan bobot nilai 0,246. Hal tersebut didukung oleh adanya dukungan pembiayaan dari pemerintah untuk melakukan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Prioritas yang terakhir adalah strategi pengembangan kelembagaan dengan bobot nilai 0,130. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan perencanaan tata ruang yang partisipatif, pembentukan community-based organization (CBO), sosialisasi program pengelolaan permukiman berkelanjutan, bantuan teknis dan advokasi pengembangan desain rumah dan lingkungan, pelembagaan aktivitas sosial- kultural, peningkatan kelengkapan lingkungan (neighbourhood attachment), peningkatan investasi publik.

a. Strategi Pengembangan Kawasan

Arah pembangunan jangka panjang nasional yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perbatasan merupakan wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking. Dengan demikian, kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Adapun program pembangunan berupa penyusunan rencana pengembangan wilayah perbatasan dengan program kegiatan sebagai berikut:

- Penetapan arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan dengan orientasi mendukung pergerakan aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.

- Penetapan garis batas negara secara jelas dan benar.

- Peningkatan sarana dan prasarana pendukung terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat setempat serta guna membantu pengamanan kawasan perbatasan.

- Pengembangan wilayah perbatasan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi strategis dengan pemanfaatan sumberdaya alam setempat.

- Peningkatan kualitas sumber daya manusia agar lebih berpotensi dan profesional.

- Penetapan fungsi lembaga pengelola wilayah perbatasan sesuai dengan kapasitas.

Arah kebijakan pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan Provinsi Kalimantan Timur adalah:

- Perlu dibuka jalur transportasi yang menghubungkan wilayah perbatasan dengan daerah-daerah lainnya, baik yang menuju Indonesia maupun Malaysia untuk memudahkan pemasaran hasil-hasil bumi setempat.

- Perlu dibuka pos-pos imigrasi di wilayah perbatasan untuk melegalkan arus barang yang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia.

- Perlu dibangun pelabuhan laut yang khusus melayani arus keluar-masuk barang dari Indonesia di Wilayah Nunukan Kepulauan.

- Mempercepat tercapainya kemandirian masyarakat dan pemerintah Kabupaten Nunukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

- Mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan pembangunan antarwilayah kecamatan, wilayah pedesaan, antarsektor ekonomi, serta membuka wilayah pedalaman, perbatasan, wilayah yang terisolasi, dan kawasan tertinggal lainnya.

- Mengoptimalkan pemanfaatan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

Dokumen terkait