• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen-Komponen yang Mempengaruhi Sifat Lateks 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Komponen-Komponen yang Mempengaruhi Sifat Lateks 13

Komponen-komponen bukan karet didalam lateks sangat mempengaruhi sifat lateks, diantaranya ada yang berakibat bagus tetapi ada juga yang berakibat buruk terhadap lateks. Adapun komponen-komponen tersebut yaitu protein, karbohidrat dan ion-ion logam.

Protein

Kandungan protein yang terdapat dalam lateks segar berkisar antara 1,0-1,5% (b/v) dan sekitar 20% dari protein tersebut teradsorbsi pada partikel karet, dan sebagian larut dalam serum. Protein yang teradsorbsi pada permukaan partikel karet berfungsi sebagai lapisan pelindung, dimana protein akan memberikan muatan negatif yang mengelilingi partikel karet sehingga mencegah terjadinya interaksi antara sesama partikel karet, dengan demikian sistem koloid lateks akan tetap stabil. Namun dengan adanya mikroorganisme maka protein tersebut akan terurai sehingga lapisan pelindung partikel karet akan rusak dan terjadilah interaksi antara partikel karet membentuk flokulasi atau gumpalan.

Karbohidrat

Karbohidrat yang terdapat dalam lateks adalah sukrosa, glukosa, galaktosa dan fruktosa. Ini merupakan sumber energi dan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, sebagai akibatnya akan terbentuk asam lemak. Asam lemak ini menurunkan kemantapan mekanik dan pH lateks. Jika pH berada pada titik isoeletrik maka lateks menggumpal. Untuk menghindarkan aktivitas mikroba biasanya ditambahkan bahan pengawet seperti amonia, natrium sulfit dan formaldehid.

Ion-ion Logam

Ion-ion logan seperti Ca2+ dan Mg2+ yang terdapat di dalam lateks dapat menetralkan muatan negatif dari partikel dan menyebabkan terganggunya kemantapan lateks serta rusaknya kestabilan sistem koloid lateks. Pecahnya partikel koloid lateks akan menyebabkan terbentuknya flokulasi dan lateks menggumpal. Oleh karena itu kandungan ion logam dari lateks sebaiknya rendah karena selain dapat mengganggu kemantapan, juga mengganggu kestabilan sistem koloid lateks tersebut (Zahara, 2005).

2.7. Sistem Koloid Lateks

Sistem koloid lateks terbentuk karena adanya lapisan lipida yang teradsorpsi pada permukaan partikel karet (lapisan primer) dan lapisan protein pada lapisan luar (lapisan sekunder) memberikan muatan pada permukaan partikel koloid. Lapisan pelindung lipida, protein, dan lapisan sabun asam lemak tersebut bertindak sebagai pelindung partikel karet dengan molekul air menghasilkan sistem dispersi koloid yang mantap. Jika terjadi pembentukan gel, flokulasi, koagulasi maka hal ini menunjukkan bahwa stabilitas koloid lateks terganggu atau rusak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks adalah sebagai berikut : 1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air

(serum) misalnya asosiasi komponen-komponen bukan karet pada permukaan partikel karet

2. Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri (Ompusunggu, 1989).

2.8. Penggumpalan Lateks

Untuk memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan. Hal ini pertama-tama

dengannya. Selain dari kemungkinan terjadinya pengotoran lateks oleh kotoran-kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran-kotoran tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya prakoagulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk diolah.

Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Dalam keadaan tertentu, pada saat penggumpalan lateks biasa juga menggunakan obat anti koagulasi (anti koagulan) untuk mencegah terjadinya prakoagulasi. Tetapi pemakaian anti koagulan ini harus dibatasi sampai batas sekecil-kecilnya, karena biayanya cukup besar dan kadang-kadang lateks yang dibubuhi anti koagulan memerlukan obat koagulan (misalnya asam semut) yang terpaksa kadarnya harus dinaikkan. Penambahan asam yang berlebihan dapat juga menghambat proses pengeringan (Setyamidjaja, 1993).

Penggumpalan dengan cara penetralan muatan dalam lateks dapat juga terjadi dengan sendirinya akibat kontaminasi dengan mikroba yang terdapat disekelilingnya. Mikroba ini merombak senyawa-senyawa bukan karet seperti karbohidrat, protein atau lipida menghasilkan lemak eteris (asam asetat dan asam propionat). Penggumpalan dapat juga terjadi dengan cara dehidrasi yaitu dengan menambahkan alkohol yang bersifat menarik air. Penggumpalan dapat juga dilakukan dengan penambahan larutan elektrolit bermuatan positif yang dapat menetralkan muatan negatif dari sistem koloid seperti kalsium dan magnesium (Roberts, 1988).

Adapun bahan-bahan pengumpal lateks yang sering digunakan adalah asam asetat (CH3COOH) dan asam formiat ( HCOOH). Pada waktu penggumpalan lateks, harus diperhatikan hal-hal berikut :

1. Jumlah asam yang harus sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 20 ml CH3COOH 2,5 % atau 20 ml HCOOH 2% tiap 1 liter lateks.

2. Pengadukan harus hati-hati dan sempurna karena dapat menyebabkan gelembung udara, ketebalan dan kekerasan koagulum yang tidak merata.

2.8.1. Asam Asetat

Asam asetat (CH3COOH) berbentuk cairan yang tidak berwarna dengan bau yang menusuk. Zat ini korosif terhadap kulit manusia. CH3COOH dapat dibuat dengan cara sintetis dan dengan cara fermentasi. Secara fermentasi asam asetat dapat dibuat melalui proses pengubahan karbohidrat atau bahan-bahan yang mengandung gula dengan bantuan mikroba (Zahara, 2005).

Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3COOH atau CH3CO2H. Asam asetat murni (asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C. Asam asetat adalah senyawa kimia dengan rumus molekul CH3COOH, berupa cairan jernih tidak berwarna, berbau tajam, dan berasa asam. Bahan kimia ini memiliki titik didih sekitar 117,9 C pada tekanan 1 atm, dan pada konsentrasi tinggi akan menimbulkan korosif pada berbagai jenis logam.

Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam formiat. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daurulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati (Wagner,1978).

2.9. Bahan Pengisi (Filler)

mengurangi biaya. Bahan pengisi dapat digunakan sebagai penguat, perbaikan temperatur deformasi termal, pelindung, ketahanan cuaca dan perbaikan sifat pencetakan (Surdia, 1992).

Ada dua macam bahan pengisi dalam proses pengolahan karet.

1. Bahan pengisi yang tidak aktif, hanya menambah kekerasan dan kekakuan pada karet yang dihasilkan, tetapi kekuatan dan sifat lainnya menurun. Biasanya lebih banyak digunakan untuk menekan harga karet yang dibuat karena harga ini berharga murah. Contohnya kaolin, tanah liat, kalsium karbonat, magnesium karbonat, barium sulfat dan barit.

2. Bahan pengisi aktif atau penguat, untuk menambah kekerasan, ketahanan sobek, ketahanan kikisan serta tegangan putus yang tinggi pada karet yang dihasilkan. Contohnya karbon hitam, silika, aluminium silikat dan magnesium silikat.

(Tim penulis, 1992).

Tanah liat adalah salah satu bahan pengisi non arang yang sering dipakai sebagai bahan pengisi pada industri karet. Tanah liat adalah mineral murah dan telah menjadi bagian penting dalam industri karet dimana penggunaannya sebagai bahan pengisi ekonomis untuk memodifikasi penciptaan dan performa karet alami maupun karet sintetis. Ada banyak jenis tanah liat, tapi montmorillonite mempuyai catatan panjang sebagai bahan anorganik paling penting yang ditambahkan sebagai bahan pengisi ke dalam lateks alami (Frounchi et al, 2006; Dong et al, 2006).

Arang merupakan suatu padatan berpori yang terdiri dari karbon yang berbentuk amorf. Karbon amorf meliputi sejumlah besar senyawa yang bagian terbesarnya adalah karbon, termasuk didalamnya arang, arang aktif dan karbon black. Arang diperoleh dari hasil pembakaran bahan-bahan yang mengandung karbon dengan udara terbatas pada suhu tinggi. Arang bukan merupakan karbon murni tapi masih mengandung hidrokarbon dari abu yang terabsorpsi pada permukaannya. Besarnya kandungan karbon yang terdapat dalam arang tergantung pada bahan baku dan cara pembuatannya. Arang yang bermutu baik biasanya mengandung 75 % atau lebih karbon dengan kandungan hidrokarbon tidak lebih dari 28 % (Ganda Tua, 2004).

Arang adalah residu hitam berisi karbon tidak murni yang dihasilkan dengan menghilangkan kandungan air dan komponen volatil dari hewan atau tumbuhan. Arang umumnya didapatkan dengan memanaskan kayu, gula, tulang, dan benda lain. Arang yang hitam, ringan, mudah hancur, dan menyerupai batu bara ini terdiri dari 85% sampai 98% karbon, sisanya adalah abu atau benda kimia lainnya. Arang gas adalah suatu bentuk dari karbon yang tidak berbentuk dan mempunyai area permukaan yang tinggi dibandingkan dengan volumenya. Arang digunakan sebagai suatu pigmen dan penguat dalam karet dan produk plastik.

Arang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Arang atau kayu dibakar di dalam generator gas kayu untuk menggerakan mobil dan bus. Di Perancis pada saat Perang Dunia II, produksi kayu dan arang untuk kendaraan bermotor meningkat dari 50.000 ton sebelum perang menjadi 500.000 ton pada tahun 1943 (Chris Pearson, 1944).

Adapun proses pembuatan arang aktif terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Dehidrasi : proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170 °C.

2. Karbonisasi : pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu diatas 170°C akan menghasilkan CO, CO2 dan asam asetat. Pada suhu 275°C, dekomposisi menghasilkan “ter”, metanol dan hasil samping lainnya. pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400 – 600 0C.

3. Aktifasi : dekomposisi ter dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktifator.

Proses aktifasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud dengan aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul – molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Menurut SII No.0258 -79, arang aktif yang baik mempunyai persyaratan seperti yang tercantum

Tabel 2.2. Spesifikasi karbon aktif

Jenis Persyaratan

Bagian yang hilang pada pemanasan 950 oC Maksimum 15%

Air Maksimum 10%

Abu Maksimum 2,5%

Bagian yang tidak diperarang Tidak nyata

Daya serap terhadap larutan I Minimum 20%

Ada dua macam tipe karbon aktif yaitu : 1. Arang aktif sebagai pemucat

Biasanya berbentuk serbuk yang sangat halus dengan diameter pori mencapai 1000 A0 yang digunakan dalam fase cair. Umumnya berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan dan membebaskan pelarut dari zat – zat penganggu dan kegunaan yang lainnya pada industri kimia dan industri baru. Arang aktif ini diperoleh dari serbuk – serbuk gergaji, ampas pembuatan kertas atau dari bahan baku yang mempunyai densitas kecil dan mempunyai struktur yang lemah.

2. Arang aktif sebagai bahan penyerap uap

Biasanya berbentuk granula atau pellet yang sangat keras dengan diameter pori berkisar antara 10-200 A0. Tipe porinya lebih halus dan digunakan dalam fase gas yang berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut atau katalis pada pemisahan dan pemurnian gas. Umumnya arang ini dapat diperoleh dari tempurung kelapa, tulang, batu bata atau bahan baku yang mempunyai struktur keras.

Sehubungan dengan bahan baku yang digunakan dalam pembuatan arang aktif untuk masing- masing tipe, pernyataan diatas bukan merupakan suatu keharusan.

2.9.1 Kemiri (Aleurites moluccana)

Kemiri (Aleurites moluccana), adalah tumbuhan yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan rempah-rempah. Dalam perdagangan antar negara dikenal sebagai

candleberry, Indian walnut, serta candlenut. Pohonnya disebut sebagai varnish tree atau kukui nut tree. Minyak yang diekstrak dari bijinya berguna dalam industri untuk digunakan sebagai bahan campuran cat dan dikenal sebagai tung oil.

Tanaman ini sekarang sudah tersebar luas di daerah-daerah tropis. Tinggi tanaman ini mencapai sekitar 15-25 meter. Daunnya berwarna hijau pucat. Biji yang terdapat di dalamnya memiliki lapisan pelindung yang sangat keras dan mengandung minyak yang cukup banyak, yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lilin. Kemiri adalah tumbuhan resmi negara bagian Hawaii (http://www.sallys-place.com/food/cuisines/indonesia.htm).

Kemiri dalam bahasa Inggris disebut Candlenut banyak tumbuh di daerah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan Sumatera. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian produksi kemiri Nasional terus meningkat dari 74317 ton pada tahun 2000 menjadi 89155 ton pada tahun 2003. Kemiri mempunyai dua lapis kulit yaitu kulit buah dan cangkang, dari setiap kilogam biji kemiri akan dihasilkan 30% inti dan 70% cangkang (Amstrong, 2006).

Jenis-jenis kemiri yang tersebar di dunia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Aleurites Moluccana Willd

Jenis kemiri ini tersebar luas di berbagai daerah tropis dan sub tropis. Kabarnya, tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Maluku. Itulah sebabnyan memakai spesies moluccana. Meskipun begitu, banyak ahli yang tidak sependapat. Menurut mereka, Aleurites moluccana berasal dari Semenanjung Malaka. Tanaman Aleurites moluccana dapat mencapai tinggi 39 m dengan diameter batang 110 cm. Tanaman ini tumbuh liar di pinggir hutan atau telah dibudidayakan. Di Jawa, tanaman kemiri ini pernah ditanam sebagai tanaman reboisasi untuk menutupi bukit-bukit berpasir. Buah kemiri ini banyak dimanfaatkan sebagai bumbu masak. Minyak berkualitas cukup baik dan mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran. Di Philipina minyak tersebut dikenal sebagai lumbang oil.

2. Aleurites trisperma Blanco

Tanaman ini tumbuh pada tanah yang agak bergelombang di dataran menengah dapat tumbuh di daerah yang kurang subur tanahnya. Kemiri Aleurites trisperma yang berasal dari Philipina dan dikenal dengan nama lumbang banucalag dulu pernah ditanam di daerah Karawaci dan Cilongol (Tanggerang), tetapi tidak berkembang. Sekarang kemiri ini, yang di Jawa Barat dinamakan kemiri cina atau muncang cina, tumbuh tersebar di Karawang, Tanggerang, Cianjur, Jasinga, dan di daerah sekitarnya. Tanaman Aleurites trisperma mencapai tinggi sekitar 15 m, bertajuk penuh dan berdaun hijau tua. Kemiri ini dapat berbuah mulai umur 8 tahun, walaupun dalam jumlah sedikit. Buahnya apabila dikeringkan begitu saja, akan menjadi keriput. Tempurungnya mudah dipisahkan dari daging bijinya bila dipecah. Apabila dagingnya dimakan mulut terasa terbakar, diikuti tenggorokan dan perut, sehingga menyebabkan muntah-muntah. Dari daging bijinya yang beracun dapat dihasilkan sekitar 56% minyak pakal. Karena kulit bijinya tipis maka biji tersebut harus cepat diolah agar rendemen minyaknya tidak berkurang. Kualitas minyak ini kurang begitu baik karena tidak tahan disimpan. Jika disimpan lama, warna minyaknya menjadi merah gelap dan akan berbau busuk, serta terasa perih dan menyebabkan luka bila kena kulit. Oleh karena itu, meski berkhasiat sebagai racun serangga, minyak kemiri jenis ini kurang diminati.

3. Aleurites Fordii Hemsley

Kemiri ini berasal dari Cina Tengah dan tersebar paling luas di perbukitan dekat sungai Yangtze di Propinsi Hupeh. Di daerah asalnya kemiri ditanam di pekarangan, daerah perbukitan, serta lereng-lereng gunung yang tidak menguntungkan untuk tanaman lain. Jenis ini juga merupakan jenis yang paling banyak ditanam di Cina (90% dari seluruh tanaman kemiri Cina) karena minyaknya yang bermutu tinggi. Selain di Cina, jenis ini banyak pula ditanam di Florida, USA. Namun, sayangnya tanaman ini tidak dapat dibudidayakan di dataran rendah. Tinggi tanaman kemiri jenis ini lebih dari 10 m. Habitatnya seperti semak dengan daun duduk, berbentuk hati, dan berwarna kemerahan. Pada ujung tangkai daun terdapat kelenjar. Buah kemiri ini berbentuk bulat, mengkilap. Minyak kemiri dari jenis ini merupakan minyak kemiri yang berkualitas paling baik dibandingkan dengan minyak kemiri lainnya. Oleh karena itu, minyak ini laku keras di pasaran.

Sebutannya minyak tung (tung oil), chinese houtolie, atau minyak kayu cina. Minyak tung ini tahan terhadap cuaca dan air dengan kualitas sangat tinggi serta mengandung asam elaeostearik yang tinggi (76-82 %)

4. Aleurites Montana Wilson

Kemiri Aleurites Montana tumbuh di daerah subtropis dan diduga berasal dari Cina Selatan dan Inducina. Tanaman ini bisa mencapai tinggi 18 m, berbatang kurus dengan percabangan teratur, daunnya berkeluk, tajuk daun putih dengan tulang daun yang kelihatan jelas dan memmpunyai 3-5 tangkai daun yang mengandung kelenjar. Dari hasil pengamatan Balittro di Kebun Percobaan Cibinong diketahui bahwa kemiri jenis ini telah mulai berbuah pada umur 2 tahun. Pada umur 4 tahun produksinya sudah mencapai lebih dari 10 kg perpohon. Minyak dari tanaman ini juga berkualitas baik karena mengandung asam elaeostearik sebesar 70-78 % (mirip minyak tung). Oleh karena itu, dalam perdagangannya, kedua minyak ini tidak dibedakan. Minyak ini juga disebut chinese houtolie karena banyak dipakai sebagai pernis (pengilapan kayu). Minyak kayu cina pada suhu 250 0C akan berubah menjadi suatu gumpalan padat yang tidak larut sehingga sulit dipalsukan. 5. Aleurites Cordata Robert.

Tanaman ini berasal dari Jepang, banyak tumbuh di pulau-pulau dekat Tokyo. Tanaman yang di Jepang disebut abura-giri ini tidak mempermasalahkan iklim tumbuhnya, tetapi hanya menghendaki tanah yang baik dan kaya unsur hara. Di Indonesia, tanaman ini dapat ditemui di Kebun Raya Bogor dan Cipanas. Di Kualalumpur jenis ini pernah dicoba ditanam, tetapi gagal. Minyaknya dikenal dengan tung oil. Minyak ini digunakan sebagai bahan bakar lampu dan digunakan dalam industri mesin. Selain itu, juga digunakan untuk mengawetkan kayu meskipun kualitasnya rendah karena hanya mengandung sedikit asam elaeostearik. Minyak ini kurang memiliki arti penting dalam perdagangan dunia karena cepat sekali mengental (Paimin, 1997).

2.9.2. Kegunaan kemiri

Kemiri memiliki kesamaan dalam rasa dan tekstur dengan macadamia yang juga memiliki kandungan minyak yang hampir sama. Kemiri sedikit beracun ketika mentah. Kemiri sering digunakan dalam masakan Indonesia dan masakan Malaysia. Di Pulau Jawa, kemiri juga dijadikan sebagai saus kental yang dimakan dengan sayuran dan nasi. Beberapa bagian dari tanaman ini sudah digunakan dalam obat-obatan tradisional di daerah-daerah pedalaman. Minyaknya digunakan sebagai bahan tambahan dalam perawatan rambut (untuk menyuburkan rambut). Bijinya dapat digunakan sebagai pencahar. Di Jepang, kulit kayunya telah digunakan untuk tumor.

Di Sumatera, bijinya dibakar dengan arang, lalu diolesi di sekitar pusar untuk menyembuhkan diare. Di Jawa, kulit batangnya digunakan untuk diare atau disentri. Di Hawai, pada masa kuno, kemiri yang dinamai kukui dibakar untuk menghasilkan cahaya. Kemiri disusun berbaris memanjang pada sebuah daun palem, dan dinyalakan salah satu ujungnya, dan akan terbakar satu demi satu setiap 15 menit atau lebih. Ini juga berguna sebagai alat pengukur waktu. Misalnya, seseorang bisa meminta orang lain untuk kembali ke rumah sebelum kemiri kedua habis terbakar.

Di Tonga, sampai sekarang, kemiri yang sudah matang (tuitui) dijadikan pasta (tukilamulamu), digunakan sebagai sabun dan shampoo. Kemiri juga dibakar dan dicampur dengan pasta dan garam untuk membuat bumbu masak khas Hawai yang disebut inamona. Inamona adalah bumbu masak utama untuk membuat poke tradisional Hawai (http://www.sallys-place.com/food/cuisines/indonesia.htm).

2.10. Pengujian Mutu Lateks

2.10.1.Plastisitas

Suatu bahan yang plastisitasnya tinggi mudah sekali berubah bentuk atau dengan kata lain mudah sekali mengalir, sehingga telah didefenisikan, bahwa plastisasi adalah kepekaan terhadap deformasi, pengertian ini merupakan kebalikan dari pada

ketahanan terhadap deformasi. Metode pengujian viskositas umumnya bersifat mengukur konsistensi (ketahanan terhadap deformasi) (Kartowardoyo, 1980).

Plastisitas awal adalah plastisitas karet mentah yang langsung di uji tanpa perlakukan khusus sebelumnya. Akibat jika Po Rendah adalah :

Plastisitas awal (Po) menggambarkan kekuatan karet. Kegagalan pemenuhan syarat Po dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bahan baku yang telah mengalami degradasi akibat perlakuan yang tidak tepat seperti perendaman dalam air, penggunaan formalin sebagai pengawet lateks kebun dan umur bahan olah yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan nilai Po.

Nilai Po rendah juga bisa disebabkan oleh pengeringan pada suhu terlalu tinggi (lebih dari 130 0C) dalam waktu yang lama dan pengeringan ulang karet yang kurang matang. Pemeraman dapat menyebabkan karet menjadi keras dengan disertai peningkatan nilai viskositas atau Po, serta penurunan PRI.

Nilai Po crumb rubber juga dipengaruhi oleh karakter bahan baku, yaitu lateks kebun. Lateks kebun dari klon yang berbeda memiliki nilai Po atau viskositas yang mungkin berbeda. Jenis bahan penggumpal berpengaruh baik terhadap nilai Po maupun ketahan karet terhadap pengusangan (PRI)

Plastisitas retensi indeks adalah cara pengujian untuk mengukur ketahanan karet terhadap degradasi oleh oksida pada suhu tinggi. Plastisitas retensi indeks dapat ditentukan dengan Wallace Plastimer. Dengan alat ini ditentukan (plastisitas dari karet sebelum dipanaskan pada suhu 1400C selama 30 menit). Akibat jika PRI rendah adalah :

PRI menggambarkan ketahanan karet terhadap proses pengusangan. Proses penggumpalan yang tidak tepat, seperti menggunakan bahan penggumpal tawas, pupuk atau asam sulfat dapat mengakibatkan karet tidak tahan proses pengusangan karena panas dan cahaya.

Koagulum yang diperoleh dari lateks encer (KKK rendah) cenderung menghasilkan crum rubber dengan PRI rendah, karena lateks encer menyebabkan semakin banyak bahan antioksidan alami tercuci dan terbuang.

(Cu, Mn, Fe, Ca) ke dalam bahan olah untuk produksi crumb rubber bisa mengakibatkan penurunan PRI.

Hasil percobaan lain menunjukkan perlakuan penjemuran (sinar matahari), KKK, dosis amonia, lama predrying, jenis koagulan, garam oksida logam dan jumlah penggilingan dengan kreper berpengaruh nyata terhadap sifat pengusangan (PRI).

Penjemuran di bawah sinar matahari selama 6 jam bagi lum yang masih basah tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai PRI crumb rubber yang dihasilkan.

Dokumen terkait