• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pati tersusun atas dua jenis unit polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua fraksi tersebut menyusun pati dalam rasio dan struktur

sedangkan amilopektin dikenal sebagai fraksi bercabang. Menurut Chen (2003) struktur dan komposisi kedua fraksi tersebut berperan penting dalam menentukan sifat pati. Kandungan amilosa pada kebanyakan pati berkisar antara (15-30%) (Swinkles, 1985).

1. Amilosa

Amilosa pada umumnya diasumsikan sebagai polimer linier dari

α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α -1-4. Tidak semua amilosa terdapat dalam bentuk linier, sebagian amilosa juga bercabang. Namun cabang pada amilosa sangat panjang dan sangat sedikit, sehingga molekul amilosa dianggap berperilaku sebagai kesatuan yang tidak bercabang (Swinkles, 1985).

Struktur linier amilosa bisa tersusun dari lebih dari 6000 unit glukosa. Sedangkan amilosa yang bercabang biasanya mengandung 3- 20 cabang dengan panjang rata-rata cabang berkisar 500 unit glukosa (Swinkle, 1985). Bobot molekul amilosa sendiri berkisar antara 250.000. Bobot molekul amilosa bervariasi antar spesies bahkan dalam satu spesies dan sangat tergantung dari tingkat kematangan tanaman (Hoseney, 1998).

Struktur amilosa yang panjang dan linier memberikannya beberapa karakteristik yang unik. Amilosa mampu membentuk komplek dengan alkohol organik, iodin, dan asam. Amilosa membentuk komplek yang tidak larut dengan alkohol dan iodin. Komplek amilosa dan iodin memberikan warna biru. Komplek warna biru yang terbentuk sering dijadikan indikator keberadaan pati yang mengandung amilosa. Selain itu, struktur linier amilosa juga bertanggungjawab terhadap sifat amilosa yang cenderung berikatan satu sama lain dan membentuk endapan. Amilosa dapat stabil dalam larutan bila pH larutan dipertahankan dalam kondisi basa. Menurut Hoseney (1998) hal ini disebabkan adanya muatan positif yang diinduksi grup OH, dan muatan ini pada rantai berdekatan menolak satu sama lain.

2. Amilopektin

Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hoseney, 1998). Tingkat percabangan amilopektin sangat tinggi. Rantai percabangan amilopektin rata-rata terdiri dari 20-25 unit glukosa. Tiap cabang hanya dipisahkan oleh satu unit glukosa. Bobot molekul amilopektin sendiri sangat besar yakni 108 (Hoseney, 1998). Bobot molekul ini termasuk yang terbesar yang pernah ditemukan di alam.

Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin

Sifat Amilosa Amilopektin

Struktur molekul Linier (α-1-4) Bercabang (α-1-4,

α-1-6) Bobot molekul 106 Dalton 108 Dalton Derajat polimerisasi 1500-6000 3 x 105, 3 x 106 Komplek helik Kuat Lemah

Komplek warna dengan Iodin

Biru Ungu-kemerahan Kelarutan Tidak stabil Stabil

Retrogradasi Cepat Lambat Sifat gel Keras, tidak dapat

balik

Lembut, dapat balik Sifat film Kuat Lemah dan rapuh Sumber: Chen (2003)

Struktur bercabang amilopektin menyebabkan molekul ini lebih stabil dalam larutan (Balagopalan, 1988). Amilopektin membentuk komplek berwarna ungu dengan iodin. Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi

tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976). Beberapa karakteristik fisikokimia yang membedakan amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.

C. SIFAT-SIFAT PATI

Rasio amilosa dan amilopektin pada pati memegang peranan penting dalam penentuan sifat pati. Identifikasi sifat pati penting dalam menentukan proses, kondisi penyimpanan, atau pemilihan jenis pati yang tepat untuk diaplikasikan.

1. Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Syarat utama terjadinya gelatinisasi adalah adanya pati, air, dan pemanasan. Namun tidak semua kombinasi ketiga faktor tersebut menghasilkan gelatinisasi. Terdapat minimum jumlah air dan suhu pemanasan tertentu yang harus tercapai.

Pati murni bersifat tiak larut dalam air dingin atau air dengan suhu di bawah suhu gelatinisasinya. Saat pati ditambahkan pada air dingin, molekul air akan berpenetrasi secara bebas ke dalam granula pati. Dalam kondisi ini, pati hanya mampu menyerap air sebanyak 30% dari bobot keringnya (Hoseney, 1998). Granula pati hanya akan sedikit mengembang dalam air dingin (sekitar 10-15% dari diameter semula). Pengembangan granula pati dalam air dingin bersifat dapat balik. Jika pati dikeringkan kembali, granula akan menyusut dan kembali ke ukuran semula.

Ketika granula pati dipanaskan dalam air, air akan masuk ke dalam granula pati. Seiring dengan naiknya suhu pemanasan, jumlah air yang terserap akan semakin meningkat. Penyerapan air bersifat dapat balik hingga tercapai suhu tertentu (suhu awal gelatinisasi) dimana penyerapan air bersifat tidak dapat balik (Eliasson dan Gudmunsson,

1996). Penyerapan air menyebabkan pengembangan granula pati. Pengembangan pertama terjadi di daerah amorphus, karena ikatan hidrogen pada daerah ini lebih lemah dibandingkan daerah kristalin. Selanjutnya pengembangan granula mulai mengganggu keteraturan struktur granula pati, yang menyebabkan mulai hilangnya sifat birefringence. Menurut Winarno (2002), suhu dimana sifat

birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Seiring mengembangnya ukuran granula pati, fraksi amilosa mulai keluar dari granula. Namun granula pati belum pecah karena masih tertahan oleh misel yang belum terganggu atau rusak oleh hidrasi air dan pemanasan. Viskositas larutan meningkat karena semakin banyak air yang terperangkap dalam granula. Hidrasi air berkelanjutan mulai merusak struktur kristalin. Rusaknya struktur kristalin menyebabkan hilangnya ikatan yang mampu menahan struktur granula pati. Sifat birefringence hilang, granula pati mulai pecah, dan viskositas larutan akan menurun. Hilangnya sifat birefringence menunjukkan gelatinisasi telah terjadi secara sempurna. Secara singkat perubahan fisik yang terjadi selama gelatinisasi adalah mengembangnya granula pati yang diiringi dengan hilangnya sifat birefringence, meningkatnya kekentalan, terlarutnya fraksi amilosa pati (bobot molekul rendah).

2. Suhu Gelatinisasi

Gelatinisasi terjadi jika suhu gelatinisasi telah tercapai. Suhu gelatinisasi menurut Whistler dan Daniel (1996) adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi biasanya berupa kisaran suhu. Hal ini disebabkan bervariasinya ukuran bentuk, dan energi yang diperlukan untuk pengembangan granula pati. Umumnya granula pati berukuran besar akan tergelatinisasi terlebih dahulu kemudian diikuti granula pati dengan ukuran yang lebih kecil. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan (Collison,1968). Menurut Wirakartakusumah (1981),

keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya.

Suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut. Greenwood (1979) menyatakan bahwa semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulernya. Suhu gelatinisasi tidak mempunyai hubungan jelas dengan kandungan amilosa pati, karena pati normal dan waxy starches dari spesies yang sama memiliki rentang suhu gelatinisasi yang sama (Balagopalan, 1988). Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan amilopektin (Juliano, 1985). Derajat gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

Jenis pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Suhu gelatinisasi (oC) Jagunga 28 72 62-72 Kentanga 21 79 58-68 Ganduma 28 72 58-64 Tapiokaa 17 83 59-69 Sorghuma 28 72 68-78 Sagua 27 73 60-72 Garuta 20 80 62-70 Kacang hijau 32-35b 65-68b 63-69c

Keterangan : a : Swinkles (1985), b: Chen et al., (1988), c : Lii et al., (1988)

3. Retrogradasi

Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa. Lebih lanjut, Swinkle (1985) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1). meningkatnya viskositas, 2). meningkatnya kekeruhan, 3). terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 4). terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 5). terbentuknya gel, dan 6). keluarnya air dari pasta (sineresis).

Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1985). Terjadinya peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan sangat lambat pada pH dibawah 2.

Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200

unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin.

Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioka. Menurut Swinkle (1988) hal ini disebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200- 1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.

Dokumen terkait