• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Struktural (legal structure)

Terkait subsistem struktur hukum, atau penegak hukum, pertanyaan yang hendak dijawab adalah bagaimana pengaruh penegak hukum terhadap efektifitas pelaksanaan norma/ketentuan terkait dengan proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat ini sehingga belum dapat merwujudkan sistem peradilan pidana terpadu ? Efektif atau tidaknya pelaksanaan norma/ketentuan terkait dengan proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi ini sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukum lainya yang sama-sama memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi yakni Kepolisian dan Kejaksaan.

Sebagai salah satu subsistem hukum, tanpa penegak hukum, maka hukum akan menjadi barang mati. Meminjam istilah Lawrence M. Friedman, strukrtur hukum adalah semacam sayatan sistem hukum, semacam foto diam yang menghentikan gerak.25 Hukum tidak akan pernah bisa dijalankan jika tidak dilaksanakan oleh strukturnya. Sebaliknya, hukum akan terlaksana jika ditopang oleh aparat penegak hukum. Lebih jauh dari itu, hukum akan terlaksana efektif jika aparat penegak hukum melaksanakanya secara professional dan sesuai ketentuan yang ada.

Adapun yang dimaksud dengan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dalam       

25 Lawrence M. Friedman, Op. cit., hlm.7.

commit to user

penelitian ini adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua institusi tersebut merupakan penegak hukum yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Jadi, semua temuan yang akan dielaborasi lebih jauh terkait dengan tiga institusi tersebut.

Selanjutnya, bagaimana dengan peran aparat penegak hukum terkait dengan tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi ? Apakah peran sebagai struktur hukum sebagaimana dimaksud dalam konsepnya Lawrence

M. Friedman sudah terlaksana dengan baik.

Terkait pertanyaan di atas, dalam penelitian ini ditemukan sejumlah fakta terkait relasi antara pelaksanaan tugas penegak hukum dengan efektivitas pelaksanaan norma/ketentuan yang mengatur penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Adapun fakta-fakta yang terkait dengan persoalan-persoalan yang mempengaruhi proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga belum dapat mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu adalah sebagai berikut :

Pertama, rendahnya koordinasi dan kerjasama antara sesama penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum mampu membangun sinergitas dalam menegakan hukum, khusus terkait dengan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Lembaga penegak hukum seakan bekerja sendiri-sendiri, di mana satu sama lain seakan tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Tanpa itu, tentunya sangat sulit untuk berharap semua ketentuan terkait dengan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dapat diterapkan secara konsisten. Pada kenyataanya, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi sebetulnya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melaksanakan setiap tugasnya dan wewenang yang terkait dengan penyidikan dan penuntutan. Apalagi bila sudah terkait

commit to user

dengan penggunaan upaya paksa dalam penegakan hukum. Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi membutuhkan bantuan dari institusi Kepolisian yang memiliki personil untuk mengamankan kerja-kerja penegakan hukum yang dilakukan baik oleh Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Di lain pihak, pihak Kepolisian justru tidak cukup menyadari bahwa salah satu tugas mereka adalah memastikan bahwa proses penegakan hukum (penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi) dapat dilaksanakan dengan baik oleh institusi penegak hukum lainya.26 Sebab Kepolisian adalah bagian dari aparat penegak hukum dalam satu kesatuan sistem peradilan pidana yang ada. Sehingga sinergitas antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan harga mati untuk memberantas tindak pidana korupsi secara konsisten;

Kedua, Struktur kelembagaan penegakan hukum yang tidak terpadu,27 Institusi Kepolisian berdiri sendiri dan langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Kepolisian disamping sebagai alat negara untuk menjaga ketertiban dan keamanan juga memiliki fungsi penegakan hukum. Semua fungsi tersebut melekat pada satu institusi, Jika yang melakukan tindak pidana adalah anggota Kepolisian sendiri, maka yang akan menyidik juga aparat kepolisian. Dalam kondisi demikian, sulit berharap proses akan dilakukan secara professional, sebab pelaksanaan tugas-tugas penegakan hukum masih dalam bayang-bayang, meminjam istilah J.E. Sahetapy “korp-geet atau jiwa/mental korp.28 Semangat korp masih membentengi proses hukum terhadap aparat kepolisian yang diduga melakukan tindak pidana oleh aparat kepolisian lainya;

Ketiga, lemahnya tim inteljen penegak hukum. Keberadaan tim inteljen lembaga penegak hukum memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum. Informasi intelijen akan sangat berperan dalam       

26 Ibid., hlm. 7

27 Hasil wawancara dengan dengan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra , S.H.,M.H., di fakultas Hukum UNDIP Semarang. Pada bulan November 2014.

28 J.E. Sahetapy, Daya perusak pembusukan hukum, Jakarta, Komisi Hukum nasional Indonesia, 2012, hlm. 117.

 

commit to user

menentukan pilihan strategi yang akan digunakan dalam penegakan hukum.

Hanya saja pada faktanya, tim inteljen penegak hukum tidak jarang melakukan kelalaian29 dalam memperolah dan menganalisis informasi.

Sehingga informasi yang diberikan tidak akurat. Sehingga menyulitkan proses penegakan hukum yang dilakukan. Dengan kelemahan ini, betapapun canggihnya strategi yang dibuat, tentunya akan sangat mudah dikalahkan oleh jaringan mafia hukum yang jauh tidak kalah hebatnya dalam melakukan perlawanan terhadap penegak hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Keempat, Dari segi struktur kelembagaan, kepolisian dan kejaksaan sama sekali tidak memiliki hubungan hierarkis dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi menerapkan wewenangnya untuk melakukan koordinasi apalagi supervisi dalam penanganan suatu perkara korupsi, maka hal itu menimbulkan kesan bahwa seolah-olah kepolisian dan kejaksaan berada di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi;

Kelima, Rendahnya komitmen aparat penegak hukum. Penegakan hukum tindak pidana korupsi akan dapat dilaksanakan jika ditopang oleh komitmen pemberantasan korupsi secara total oleh setiap penegak hukum.

Mulai dari level pimpinan sampai ke level penyidik, penuntut umum, dan elemen lainya yang mendukung berjalanya proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini terungkap, jika sudah ditopang oleh sebuah komitmen yang kuat, bagaimana lemahnya rumusan norma yang ada, itu akan dapat dilaksanakan dengan baik. Kondisi-kondisi sebagaimana diuraikan di atas sebetulnya dapat dipulangkan pada dua persoalan utama yang dihadapi aparat penegak hukum, yaitu profesionalitas dan kepemimpinan. Rendahnya tingkat profesionalitas dan kepemimpinan aparat penegak hukum menjadi persoalan pokok dari semua masalah yang meliliti aparat penegak hukum.

Bagaimana menilai profesionalitas penegak hukum ? Menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu disinggung tentang apa itu yang disebut

      

29 Ibid. hlm. 118.

commit to user

profesional. Profesi adalah suatu pekerjaan yang dilakukan secara bebas dan tetap untuk memberi pelayanan berdasarkan keahlian tertentu, dan menerima imbalan tertentu atas pelayanan tersebut.30 Adapun sikap profesional diartikan sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.31

Seseorang akan disebut bekerja professional jika ia mampu memelihara, menegakan, dan mempertahankan disiplin pekerjaanya. Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) unsur disiplin yang diatur, dipelihara dan ditegakan, yaitu:32

1) menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian professional (unprofessional conduct);

2) menjaga dan memelihara integritas profesi. Integritas profesi dalam bentuk ketidakberpihakan (impartiality), perlakuan yang sama (fairness), dan menjaga kehormatan sebagai penegak hukum;

3) menjaga dan memelihara disiplin.

Jika menggunakan alat ukur profesionalitas seorang hakim, hal ini bisa dirujuk ke dalam kode Etik dan pedoman perilaku hakim yang dituangkan dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/ IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Dalam aturan tentang Kode Etik tersebut ditegaskan bahwa:

1) Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.

2) Hakim harus tekun melaksanakan tanggungjawab administrasi dan bekerjasama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.

3) Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan lain secara professional.

      

30 Bagir Manan, Menjadi Hakim yang Baik, Varia Peradilan Nomor 255 Februari 2007, hlm.

12.

31 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor:

047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

32 Bagir Manan, Op.cit., hlm. 13

commit to user

4) Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat putusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganiya.

Ukuran sikap professional di atas juga dapat diterapkan untuk mengukur kinerja apara penegak hukum lainya, seperti institusi Kepolisian Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan berbagai persoalan yang telah dibentangkan tersebut di atas, begitu terang terlihat masih rendahnya pengetahuan dan keterampilan aparat penegak hukum dalam penerapan ketentuan terkait kewenagan penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada saat bersamaan juga terlihat lemahnya komitmen untuk melaksanakan dan mentaati ketentuan terkait dengan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi tidak berjalan secara maksinal. Kondisi-kondisi seperti ini membuktikan masih rendahnya profesionalitas penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi.

Selain masih belum profesional, aparat penegak hukum juga dihadapkan dengan lemahnya kepemimpinan lembaga penegak hukum.

Kepemimpinan terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan jalannya organisasi, baik secara internal maupun ketika berinteraksi atau berhubungan dengan institusi lain. Kepemimpinan juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan pemimpin melakukan komunikasi yang optimal, sehingga ia mampu membangun kepercayaan (trust).33

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan lembaga penegak hukum, komunikasi dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat esensial bagi efektivitas hukum.34 Dengan komunikasi, pemimpin lembaga penegak hukum dapat membangun kepercayaan masyarakat. Melalui komunikasi,       

33 Achmad Ali, Op.cit., hlm. 205.

34 Ibid,

commit to user

antar lembaga penegak hukum juga dapat saling membangun kepercayaan satu sama lain.

Berkaca dari persoalan masih rendahnya komitmen menerapkan aturan, lemahnya kinerja inteljen lembaga penegak hukum dan lemahnya koordinasi antara lembaga penegak hukum menunjukan lemahnya kepemimpinan di lembaga-lembaga penegak hukum. Setidaknya, kemampuan mengkomunikasikan pelaksanaan tugas lembaga yang satu dengan lembaga yang lain sangat lemah. Persoalan ini diperparah dengan kondisi di mana lembaga penegak hukum yang satu dengan yang lainya tidak saling peduli. Bahkan yang satu merasa lebih kuat dan memiliki kewenangan yang lebih dari yang lain.

Dengan dua kelemahan utama aparat dan/atau lembaga penegak hukum diatas, sulit kiranya berharap atau terjadi perubahan signifikan dalam penerapan berbagai aturan yang ada, khususnya terkait dengan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi. Sepanjang dua persoalan tersebut belum mampu dijawab dengan melakukan reformasi pada masing-masing lembaga penegak hukum, perubahan untuk memaksimalkan penyidikan tindak pidana korupsi dalam upaya mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu akan menjadi sesuatu yang teramat sulit.

Dari berbagai persoalan ketidakefektivan penegakan hukum terkait dengan kewenangan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi pada sub-struktur hukum sebagaimana terurai di atas, persoalan intinya adalah : rancang bangun sistem peradialan pidana terpadu (integrated criminal justice), khususnya dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi belum dapat diimplementasikan dengan baik. Bahkan cenderung masih kabur. Sehingga sistem peradilan pidana terpadu itupun baru hanya sekedar “lip service” belaka.35 Sebab, pada faktanya, saat ini proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi masih terkotak-kotak sesuai dengan fungsi masing-masing institusi penegak hukum.

      

35  J.E. Sahetapy, Op.cit., hlm. 115.

commit to user C. Budaya Hukum (legal culture)

Penegakan hukum pada dasarnya adalah bagaimana negara bisa menjamin atau memberikan ketenteraman kepada warga negara, apabila tersangkut masalah hukum sesuai dengan harapan masyarakat sebagai pencari keadilan. Pada hakikatnya, penegakan hukum merupakan usaha atau upaya untuk menciptakan keadilan. Hal yang dilindungi dalam penegakan hukum meliputi seluruh tatanan sosial kemasyarakatan. Melalui penegakan hukum, maka hukum akan terwujud secara nyata secara benar dan adil sehingga tujuan hukum dalam menciptakan kepastian hukum dapat mewujudkan ketertiban masyarakat.

Lawrence Meir Friedman sebagaimana disinggung dalam landasan teori telah menegaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum adalah budaya hukum. Kultur hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapanya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitanya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

Lawrence M. Friedman dalam analisisnya terhadap sistem hukum, mengibaratkan budaya hukum itu sebagai bahan bakar yang akan menggerakan sebuah mesin yang dinamakan sistem hukum. Hidup matinya mesin akan ditentukan oleh bahan bakarnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum suatu sistem hukum itu akan terlihat seperti seekor ikan mati yang tergeletak di sebuah keranjang. Sementara suatu sistem hukum yang di

commit to user

dalamnya terdapat budaya hukum akan terlihat seekor ikan hidup yang bebas berenang di lautan.36

Friedman membedakan budaya hukum menjadi 2 (dua) yaitu budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus yang dalam penilitian ini adalah institusi Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, dan kejaksaan, sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya (masyarakat selaku adresat hukum).

Komponen budaya merupakan hal yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai budaya hukum masyarakat dalam melandasi sudut pandang dan menyikapi perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Budaya hukum menyimpang dari komponen aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi juga dapat dijadikan sebagai faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Hal ini digolongkan dalam budaya hukum internal sebagaimana dijelaskan oleh Friedman.

Profesi aparat penegak hukum polisi, jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai akses langsung dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi harus menempatkan dalam posisi yang adil dan tidak menyimpang dari kekuasaan serta kewenangan yang dimilikinya. Posisi aparat penegak hukum Kepolisian, Jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam menjalankan tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi rentan karena mempunyai kedudukan yang bebas dari campur tangan pihak manapun (bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun), harus memiliki budaya hukum dan integritas moral yang tinggi dalam penegakan hukum.

Budaya hukum dari beberapa profesi hukum menciptakan perbedaan paradigma dalam memandang korupsi dan pemberantasanya. Hambatan

      

36 Ibid, hlm. 116.

commit to user

yang terkait dengan kewenangan penyidikan dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi juga dapat terjadi dari pihak penegak hukum, disamping oleh masyarakat umum. Hal ini disebabkan karena profesi penegak hukum juga mempunyai peluang sebagai pihak yang terkait langsung dengan penangan kasus tindak pidana korupsi. Bagi oknum penegak hukum, posisi ini akan disalahgunakan dengan segala kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, sehingga dapat menghambat proses penegakan hukum dalam kasus korupsi.

Pemberantasan korupsi sangat tergantung dari indikator-indikator budaya hukum yang dianut oleh setiap institusi dan aparat penegak hukum.

Budaya anti korupsi harus dimobilisasi melalui gerakan sosial politik secara simultan. Gerakan ini harus dimotori dengan budaya integritas moral masyarakat dan aparat penegak hukum sehingga masyarakat sadar akan budaya anti korupsi dalam semua lapisan.

Bila dikaitkan dengan permasalahan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, maka aspek budaya hukum inilah yang cenderung kurang mendapatkan perhatian. Secara substansial kita telah memiliki banyak perundang-undangan yang dapat didayagunakan untuk memberantas korupsi. Mulai dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan secara struktural, kita telah memiliki banyak institusi penegak hukum untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi yaitu kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan di bidang pengawasan kita memiliki BPK, BPKP, PPATK, Inspektorat-inspektorat dan sebagainya. Melihat kondisi seperti itu, tidak salah kalau orang mengatakan bahwa Indonesia memiliki instrumen hukum paling Iengkap untuk mengenyahkan korupsi dari negeri ini.

commit to user

Dalam kenyataannya meskipun secara substansial kita telah memiliki banyak perundang-undangan yang dapat didayagunakan, korupsi bukan berkurang, malahan cenderung meningkat intensitasnya bila dibandingkan dengan kondisi pada masa lalu. Kalangan yang pada masa lalu ikut bersorak untuk memberantas korupsi, tapi sekarang justru terlibat secara hebat dalam perilaku korup. Sebut saja misalnya kalangan legislatif.

Bertolak dari fenomena tersebut di atas, maka pekerjaan yang mendesak yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membangun dan mengembangkan budaya hukum untuk memberantas korupsi dan budaya hukum untuk menopang proses penegakan hukum. Memang itu bukan pekerjaan yang mudah, namun kalau tidak kita lakukan, maka negara hukum yang dengan susah payah telah didirikan ini akan menjadi sia-sia dan tidak tertutup kemungkinan bangunan negara hukum itu menjadi runtuh. Persoalan selanjutnya yang perlu dipikirkan dan didiskusikan adalah dengan cara bagaimana budaya hukum itu dapat dibangun dan dikembangkan.

Lawrence Friedman mengatakan bahwa di dalam praktik berhukum dapat dilihat bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya juga bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum.37 Dengan demikian berdasarkan perkembanganya, pengaruh budaya hukum masyarakat dalam perbuatan pidana korupsi semakin beragam modusnya. Berikut ini akan diuraikan pengaruh budaya hukum internal yang mempengaruhi proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat ini sehingga belum dapat mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.

Pertama, dari segi sosio kultural, pemberian wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan koordinasi terutama supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan yang terkait dalam penanganan perkara korupsi, akan mudah melahirkan kesan bahwa instansi yang tugasnya disupervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang berkondisi buruk. Akhirnya, bukan mustahil hal seperti itu dapat menimbulkan problem “harga diri” dari instansi yang bersangkutan. Jika

      

37 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 140.

commit to user

sudah demikian, maka tidak tertutup kemungkinan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi akan

“menuai” implikasi berupa kendala-kendala non kooperatif dari kalangan penegak hukum konvensional tersebut.

Kedua, secara fungsional, terjadinya benturan dan tarik menarik kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan, karena adanya kecenderungan yang lebih mengedepankan cara berpikir yang bersifat instansi sentris. Cara berpikir seperti itu jelas tidak dikehendaki, dan merusak bekerjanya sistem peradilan pidana sebagai sebuah sistem. Disamping itu, cara berpikir yang bersifat instansi sentris, telah cukup pula untuk memberikan gambaran bahwa konsepsi sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice) belum terimplementasi dalam proses peradilan pidana, karena yang dikehendaki konsep tersebut adalah terciptanya kerjasama yang erat diantara subsistem peradilan pidana itu sendiri. Dalam konteks keterpaduan proses peradilan pidana harus dihindari sikap mandiri yang dapat merusak bekerjanya atau berprosesnya peradilan pidana sebagai suatu sistem. Kemandirian itu terjadi manakala suatu subsistem menganggap subsistem yang lain sebagai lingkungan sendiri, sehingga mereka tidak saling berkerjasama sebagai suatu sistem. Mereka semata-mata hanya memperhatikan atau memikirkan pekerjaan atau hasil pekerjaan lembaganya sendiri tanpa memperhatikan bagaimana pengaruh pekerjaan lembaganya itu terhadap pekerjaan atau hasil pekerjaan lembaga yang lain. Sikap seperti itulah yang disebut sebagai cara berpikir yang instansi sentris dan prakmentaris, yang sama sekali tidak dikehendaki dalam konsepsi “Sistem Peradilan Pidana terpadu (integratid criminal Justice system)”.

Ketiga, kondisinya menjadi semakin tidak kondusif dalam suasana budaya hukum yang berlaku, di mana aparat penegak hukum belum memiliki kesamaan visi dan persepsi dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, sehingga masing-masing memiliki pandangan sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya. Kadang-kadang, tidak tertutup kemungkinan budaya hukum itu dikalahkah oleh faktor-faktor lain di luar hukum.

Dokumen terkait