• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYIDIKAN"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB V

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEHINGGA BELUM DAPAT MEWUJUDKAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU.

Bila hendak mengukur efektif atau tidaknya pelaksanaan sebuah norma hukum berarti ingin mengetahui sejauh mana aturan itu ditaati atau tidak ditaati.1 Jika atauran hukum ditaati oleh semua subyek yang menjadi target pengaturan, maka aturan tersebut dapat dinilai efektif. Sebaliknya, jika tidak ditaati berarti hukum tersebut tidak efektif.

Untuk mengukur efektifitas tersebut, hukum mesti dilihat sebagai satu kesatuan sistem dimana antara satu subsistem dengan subsistem lainnya akan saling berkaitan untuk berjalanya hukum secara baik. Sebab, baik dalam sistem anglo-american legal sistem/common law sistem maupun dalam sistem continental Europe legal system/civil law sistem, di dalamnya selalu terdapat beberapa subsistem yang merupakan komponen sistem hukum sebagai satu kesatuan. Oleh Lawrence M. Friedman, Komponen tersebut terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu substansi (substance), atau isi/materi hukum, struktur (structure) atau instansi penegak hukum, dan budaya (culture) hukum.

Substansi hukum dipahami sebagai keseluruhan aturan hukum, baik tertulis maupun tidak, termasuk putusan pengadilan yang menjadi panduan dalam pelaksanaan hukum. Sedangkan struktur hukum mencakup semua lini institusi penegak hukum, yaitu : penyidik, penuntut, lembaga peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Sementara kultur hukum diartikan sebagai daya pikir, kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan, baik masyarakat maupun penegak hukum sendiri tentang hukum. Ketiga subsistem tersebut semuanya

      

1 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicalprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence), Kecana, Jakarta, 2012, hlm.375.

(2)

commit to user

merupakan satu kesatuan yang utuh, bukan bagian-bagian yang terpisah satu sama lain.

Selain ketiga subsistem di atas, Achmad Ali menambahkanya dengan dua subsistem lain, yaitu : profesionalisme dan kepemimpinan.2 Profesionalisme diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan secara personal dari sosok penegak hukum. Sedangkan kepemimpinan diterjemahkan sebagai kemampuan dan keterampilan, khususnya kalangan petinggi hukum.3

Menghubungkan dengan apa yang disampaikan Friedman, tambahan yang dikemukakan Achmad Ali tersebut pada prinsipnya sudah dicakup oleh subsistem yang kedua, yaitu struktur hukum. Sebab, profesionalisme dan kepemimpinan lebih menekankan pada aspek sikap pribadi yang menuntut harus ada pada setiap penegak hukum. Keharusan sikap profesional dan memiliki jiwa kepemimpinan merupakan keharusan agar hukum berjalan dengan baik. Sehingga pemisahan keduanya menjadi subsistem tersendiri tidaklah terlalu penting untuk dilakukan. Melainkan cukup menjadi indikator untuk menilai apakah subsistem struktur hukum telah berjalan dengan baik atau tidak. Dalam arti, sikap professional dan kepemimpinan akan menjadi tolok ukur untuk menilai berjalan atau tidaknya subsistem struktur hukum.

Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh bagaimana ketiga subsistem hukum tersebut menjadi objek utama dalam menilai efektif pelaksanaan hukum, maka akan dapat digunakan indikator sebagai berikut:4

1. Pengetahuan tentang substansi perundang-undangan. Hal ini berkenaan dengan kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum. Apakah norma hukum dapat dengan mudah dipahami oleh target diberlakukanya hukum;

2. Bagaimana lahirnya suatu perundang-undangan, apakah dibentuk secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan dan karenanya berkualitas buruk atau dilahirkan melalui proses legislasi yang telah memperhatikan kebutuhan masyarakat;

      

2 Ibid., hal. 376

3 Ibid., hal. 377

4 Indikator ini diolah dari indikator atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas perundang-undangan. Hal ini dikemukakan oleh C.C. Howard dan R.S. Mumers dalam Achmad Ali .,..ibid.

(3)

commit to user

3. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap hukum tersebut sangat memungkinkan karena tindakan yang diatur dan diancam sanksi memang konkrit, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan penyidikan, penuntutan dan penghukuman;

4. Optimal dan professional atau tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakan aturan tersebut. Dalam arti penerapan aturan untuk kasus konkrit.

5. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan dalam masyarakat. Hal ini terkait dengan standar hidup masyarakat yang memungkinkan efektifitas hukum akan terwujud secara optimal;

6. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum.

Enam indikator di atas akan dijadikan tolok ukur untuk melihat efektivitas pelaksanaan norma Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), khusus terkait ketentuan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Tiap-tiap indikator akan dilihat dalam masing-masing subsistem yang ada dan relevan dengan indikator dimaksud.

A. Substansi Hukum (legal substance)

Penegakan hukum pidana menurut Muladi, dilakukan dalam tiga tahapan sebagai berikut :5

1) Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto olah badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif;

2) Tahap Aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari tindakan penyidikan sampai Pengadilan.

Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap yudikatif;

3) Tahap eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.

Tahap Formulasi adalah tahap yang sangat menentukan, karena pada tahap inilah peraturan hukum pidana dibentuk. Perbuatan yang dianggap merugikan individu, masyarakat, dan negara dirumuskan sebagai perbuatan       

5 Muladi, Op., cit, hlm. 13.

(4)

commit to user

yang dilarang sekaligus sanksi pidananya. Oleh karena itu tidaklah dapat disangkal bahwa substansi hukum, yang dibentuk pada tahap formulasi ini, sebagai salah satu elemen dari sistem hukum,6 berpengaruh besar pada penegakan hukum tahap pertama ini, baik dan adil, sesuai dengan perasaan hukum dan nilai keadilan dalam masyarakat, maka akan mudah pula bagi penegak hukum mewujudkan keadilan in abstracto itu ke dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara in concreto.

Meski demikian tidak ada jaminan bahwa hukum yang baik dan adil itu, dengan sendirinya (vanzelf sprekend) akan menghadirkan penegakan hukum yang baik dan adil pula. Elemen hukum yang lain (struktur hukum dan budaya hukum) tetap memberikan pengaruh pada tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekutif/administratif. Hal ini disebabkan penegakan hukum tidak berlangsung dalam sebuah ruang vakum/hampa, melainkan di dalam masyarakat, sehingga faktor-faktor sosiologis, disamping faktor hukum, juga berperan.

Dalam hukum pidana, substansi hukum meliputi hukum pidana materiil (ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana dan sanksi pidana), hukum pidana formil (ketentuan yang mengatur cara hukum pidana materiil itu dilaksanakan atau cara menjalankan proses peradilan pidana), dan hukum pelaksanaan pidana (hukum penintensier, atau ketentuan hukum yang mengatur cara pelaksanaan pidana). Terkait dengan masalah penelitian ini, maka substansi hukum yang menjadi obyek kajian adalah hukum pidana formil, yaitu Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan penyidikan dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan KUHAP sebagai ketentuan umum (lex generali), dari hukum acara pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

      

6 Lawrence Friedman, Loc. cit. 

(5)

commit to user

Pemberantasan Tindak pidana Korupsi yang memuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Untuk menjawab permasalahan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga belum dapat mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu (Integrated criminal justice system), berikut ini akan dibahas dan dianalisis mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dibandingkan dengan lembaga lain dalam sistem peradilan pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

1) Kewenangan Penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Dibandingkan Dengan Institusi Kepolisian dan Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Proses penanganan perkara korupsi dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada prinsipnya tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan umum (lex generali), dan berdasrkan Undang-Undang Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang tidak diatur tersendiri dalam Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (2) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi yang rumusannya adalah sebagai berikut :

Pasal 38 ayat (1)

Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

(6)

commit to user

tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 39 ayat (1)

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Penyimpangan pengaturan hukum acara pidana dalam Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi secara umum memberikan kewenangan khusus bahkan luar biasa bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi, sehingga lembaga tersebut juga dijuluki sebagai lembaga superbody.

Wewenang luar biasa yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

a. Komisi Pemberantasn Korupsi Dalam Melaksanakan Tugas Koordinasi dan supervisi Berwenang Mengambil Alih Penyidikan Dari lembaga Kepolisian Atau Kejaksaan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak memberikan definisi khusus mengenai koordinasi. Pengertian koordinasi menurut Kamus bahasa Indonesia adalah mengatur suatu organisasi dan cabang-cabangnya sehingga peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur.7 Jika merujuk draf Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan koordinasi adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan       

7 Kamus Besar bahasa Indonesia, balai Pustaka, edisi ke-2, Jakarta, 1997, hlm.523.

(7)

commit to user

kerjasama dengan instansi terkait dengan kegiatan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.8 Jika dihubungkan dengan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, definisi di atas sangat relevan. Sehingga sekalipun tidak dimuat dalam undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak keliru juga bila definisi tersebut menjadi rujukan dalam membahas tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan koordinasi.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, diatur dalam Pasal 7 Undang- Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang rumusanya adalah sebagai berikut:

Pasal 7

a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Lahirnya tugas koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi tidak terlepas dari tekat pembuat undang-undang untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kondisi dimana pembentukan suatu lembaga baru berakibat mandulnya peranan lembaga penegak hukum lainnya.9 Bila Komisi Pemberantasan Korupsi diberikan tugas yang persis sama dengan lembaga penegak hukum lain tanpa ada pembedaan, tentunya akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat memandulkan salah satu lembaga. Sehingga

      

8 Rancangan Penjelasan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, September 2001, tanggal 5 Juli 2001.

9 Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Pemandangan Umum atas Rancangan Undang- Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 11 September 2001, hlm.4.

(8)

commit to user

bila sebuah lembaga penegakan hukum dibentuk, maka mesti ada spesifikasi tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini ditujukan agar :

a) tidak terjadi tumpang tindih kewenangan;

b) lembaga yang satu tidak mereduksi keberadaan lembaga yang lain, melainkan harus saling mendukung;

c) jangan sampai terjadi konflik atau tarik menarik kewenangan.

Dalam hal ini, spesifikasi tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan koordinasi dan supervisi. Khusus untuk tugas koordinasi dalam pemberantasan korupsi dapat dimaknai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan koordinator dalam pemberantasan korupsi. Merujuk ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi koordinator untuk penindakan tindak pidana korupsi, dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Dalam hal penindakan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, Penindakan seluruh tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh institusi Kepolisian dan Kejaksaan berada dibawah koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahkan dalam proses pembahasan undang- undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sempat terbersit usulan dari Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) agar diterapkannya kebijakan satu pintu (one gate policy) dimana kewenangan penyidikan dipercayakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan selanjutnya Komisi Pemberatasan Korupsilah yang menetapkan keterlibatan kepolisian dan atau kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan Tindak pidana korupsi.10

Dalam konteks mengkoordinir proses penindakan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk meminta informasi tentang seluruh kegiatan penindakan tindak pidana korupsi kepada instansi kepolisian dan kejaksaan. Lebih-lebih lagi bila penindakan itu dilakukan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor       

10 Fraksi Partai demokrasi kasih Bangsa, Pandangan Umum mengenai Rancangan Undang- Undang tentang komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 21 September 2001, hlm. 2.

(9)

commit to user

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang rumusanya adalah sebagai berikut:

Pasal 11

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sekalipun bertindak sebagai koordinator dalam penindakan dan pencegahan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah sebuah lembaga super body sebagaimana disampaikan oleh Fraksi Golkar dalam pandangan umumnya ketika membahas Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melainkan menjadi pendorong dan penuntas proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah untuk mendorong agar institusi- institusi penegak hukum yang ada tapi “lumpuh” atau belum berfungsi sebagaimana adanya, kelak menjadi sebuah institusi penegak hukum yang mampu dan berfungsi kembali seperti apa yang diharapkan oleh publik.11

Dalam konteks itulah posisi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang menjadi pemicu dan pemberdayaan institusi penegak hukum yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism), maka Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tidak memonopoli penanganan kasus korupsi di institusinya.

Sama halnya dengan tugas koordinasi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan defenisi khusus bagi tugas supervisi. Defenisi supervisi hanya ditemukan dalam draf Penjelasan rancangan undang-undang komisi       

11 Fraksi Partai Golongan Karya, Pandangan Umum atas Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, 11 September 2001, hlm. 6.

(10)

commit to user

pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam draf penjelasan tersebut dikatakan bahwa supervisi adalah tindakan pemantauan, pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.12

Supervisi merupakan salah satu tugas Komisi Pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan sebagai berikut :

Pasal 8

(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

      

12 Rancangan Penjelasan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 11 September 2001, tanggal 5 Juli 2001.

(11)

commit to user

Dalam konteks melakukan tugas pengawasan di atas, tentunya keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai watchdog terhadap lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah ada,13 baik kepolisian, kejaksaan dan lembaga lainnya. Dalam pelaksanaan pengawasan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan penganbil alihan perkara yang sedang ditangani dari institusi kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengambilalihan sebuah perkara dari kejaksaan atau kepolisian dapat dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi bila terdapat kondisi atau alasan tertentu. Alasan tersebut mengacu ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu :

Pasal 9

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggundawabkan.

Pasal 10

Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Enam alasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan sebuah perkara dari kejaksaan atau kepolisian di atas dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu :

      

13 Pendapat akhir Fraksi PKB DPR RI, terhadap Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 29 Nopember 2002, hlm. 2.

(12)

commit to user

1. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambil alih perkara apabila penyidik kepolisian atau kejaksaan dinilai tidak mampu melaksanakannya. Ketidakmampuan tersebut bisa saja disebabkan hambatan internal lembaga terkait, atau bisa juga karena adanya intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kepolisian atau kejaksaan.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambil alih perkara karena kepolisian atau kejaksaan dinilai tidak mau menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketidakmauan bisa saja karena alasan penanganannya mengandung unsur korupsi atau dapat juga karena secara internal tidak ada niat baik untuk menindaklanjuti perkara tertentu.

Bila dua alasan tersebut terjadi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun bila Komisi Pemberantasan Korupsi menilai kepolisian atau kejaksaan dapat menjalankan penindakan perkara korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi hanya akan melakukan supervisi, yaitu memastikan proses hukum yang dijalankan sesuai dengan aturan hukum dan strategi pemberantasan korupsi.

Ketentuan ini bertujuan menghasilkan hubungan kerja yang jauh lebih efektif dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambilalih penanganan tindak pidana korupsi dari lembaga kepolisian atau kejaksaan, maka diharapkan dapat memotivasi dan memacu kedua institusi penegak hukum tersebut dalam menangani perkara korupsi.

Dalam melakukan tugas penindakan, Komisi Pemberantasan Korupsi mengkoordinasikan dan mensupervisi berbagai lembaga, baik instansi penegak hukum (Kejaksaan dan kepolisian) dan instansi pengawas fungsional pemerintah (Inspektorat Jenderal, BPKP, dan Bawasda) dengan mengoptimalkan peran dan fungsinya. Pelaksanaan tugas koordinasi terutama dilakukan terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh

(13)

commit to user

kepolisian dan kejaksaan. Bentuk kegiatan koordinasi yang dilakukan, yaitu :14

a. Menetapkan sistem pelaporan penanganan perkara dari kepolisian dan kejaksaan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);

b. Meminta/mendapatkan informasi ke/dari kepolisian dan kejaksaan tentang telah dilaksanakannya penyidikan perkara tindak pidana korupsi dengan media informasi berupa penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke/dari kepolisian dan kejaksaan;

c. Meminta/mendapatkan informasi ke/dari kepolisian dan kejaksaan tentang perkembangan penanganan perkara yang telah dilakukan penyidikan (misalnya, perkembangan pelaksanaan penyidikan, pelimpahan berkas perkara ke penuntut umum, pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, dan dihentikannya penyidikan/SP3); dan;

d. Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan jajaran kepolisian dan kejaksaan secara periodik.

Untuk tugas supervisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengelompokanya menjadi dua macam, yaitu supervisi umum dan supervisi khusus. Supervisi umum terhadap kepolisian dan kejaksaan dilakukan bersamaan dengan waktu pelaksanaan koordinasi. Sedangkan supervisi khusus terhadap perkara-perkara yang ditangani kejaksaan dan kepolisian dilakukan atas permintaan kepolisian atau kejaksaan dan/atau atas inisiatif dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang didasarkan atas pertimbangan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun pertimbangan pimpinan tersebut tersebut didasarkan pada :15

a. Perkara/perkara yang melibatkan aparat penegak hukum dan/atau penyelenggara negara.

b. Perkara/perkara yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.

c. Perkara/perkara yang menyangkut kerugian negara sangat besar, atau d. Pertimbangan lainnya.

Pada masa ini, koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kepolisian dan kejaksaan difokuskan pada kerjasama ketiga pihak dalam menangani perkara korupsi. Termasuk di dalamnya membahas hambatan       

14 Laporan Tahunan KPK Tahun 2004: Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi, hlm. 9 dan Hasil wawancara dengan Penyidik Komisi Pemberantsan korupsi di Jakarta, pada bulan Oktober 2014.

15 Ibid,. 

(14)

commit to user

sekaligus upaya pemecahannya. Komisi Pemberantasan Korupsi juga berusaha menempatkan diri sebagai pemicu dan pemberdaya institusi yang merupakan “counterpartner” yang kondusif bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membangun kebersamaan pemberantasan korupsi. Sementara pelaksanaan tugas supervisi umum masih dilaksanakan pada saat bersamaan dengan pelaksanaan koordinasi. Sedangkan supervisi khusus dilakukan terhadap 11 perkara yang terdiri dari perkara korupsi perbankan, korupsi dalam pengadaan barang, penjualan aset, proyek pembangunan, pelepasan kawasan hutan, dan lain sebagainya.

Pada tahap berikutnya, Komisi pemberantasan Korupsi terus mengembangkan pelaksanaan tugas koordinasinya. Pada tahun 2006, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan rapat koordinasi (Rakor) yang dihadiri oleh Ketua Komisi Pemberantasan korupsi, Kapolri, Jaksa Agung dan Kepala Kejaksaan Tinggi seIndonesia. Dalam rakor tersebut ditandatangi Peraturan Bersama Kapolri, Jaksa Agung Nomor Pol: 2 tahun 2006 – Nomor KEP-019/A/JA/03/2006 tanggal 7 Maret 2006, yang isinya menetapkan koordinasi penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.16

Disamping melakukan rapat koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga melakukan kegiatan koordinasi lain seperti:17

a. Mengirimkan rekapitulasi data Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kapolri dan Jaksa Agung setiap bulan, serta secara periodik setelah 3 (tiga) bulan meminta laporan hasil perkembangan penyidikan yang telah dilakukan.

b. Meneruskan laporan pengaduan masyarakat tentang kemacetan, kelambatan, dan adanya penanganan perkara yang tidak tepat oleh kepolisian dan kejaksaan berdasarkan SPDP yang telah dilaporkan.

Selain itu Komisi Pemberantasan korupsi juga secara aktif meminta laporan perkembangan penanganan perkara yang sedang dilakukan.

c. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

      

16 Laporan tahunan KPK Tahun 2006 hlm. 42.

17 Idem, 

(15)

commit to user

Komisi Pemberantasan Korupsi memang tidak didesain untuk menangani semua perkara korupsi dan tidak boleh memonopoli penanganan perkara korupsi. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tugas koordinasi dan supervisi merupakan tugas utama Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Penjelasan disebutkan

“Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:18

1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner"

yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;

2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;

3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada alam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);

4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan

Dari beberapa ketentuan di atas, terlihat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Selanjutnya apabila Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan hal-hal yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi "tidak beres", maka Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.

Dalam KUHAP ataupun di berbagai peraturan perundangan di Indonesia, ketentuan yang mengatur tentang kewenangan untuk "mengambil       

18 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

(16)

commit to user

alih" suatu kekuasaan menangani perkara tidak ditemui. Apabila ada yang mirip dengan ketentuan hal tersebut tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang isinya adalah sebagai berikut :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Yang dimaksud dengan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah Pejabat POLRI dan yang dimaksud dengan Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam hal ini, Penyidik POLRI yang memang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap seluruh tindak pidana "hanya" berwenang untuk "mengkoordinasi dan melakukan pengawasan" terhadap penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dan tidak berwenang untuk "mengambil alih" penyidikan.

Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)

ditentukan :

(1) Tim Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mempunyai tugas dan wewenang mengkoordinasikan penyidikan dan penuntutan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya.

(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dibebankan kepada Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan Jaksa.

Dengan demikian Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga hanya berwenang untuk " mengkoordinasikan " penyidikan dan penuntutan itupun hanya terhadap tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Oleh karena itu, kewenangan " mengambil alih " penyidikan dan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dari lembaga Kepolisian atau Kejaksaan merupakan suatu hal yang baru dan luar biasa. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang proses hukumnya belum selesai sebelum terbentuknya

(17)

commit to user

Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 68 Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan rumusan sebagai berikut :

" Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ".

Hal tersebut menjadi lebih luar biasa mengingat Kepolisian atau Kejaksaan tidak dapat mengambil alih kewenangan penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepolisian atau Kejaksaan hanya dapat diberi limpahan hasil penyelidikan dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 44

(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dengan adanya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi seperti merupakan lembaga yang berada di atas Kepolisian dan Kejaksaan. Hal tersebut juga tampak dari kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Pasal 50

(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(18)

commit to user

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian danlatau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Apabila memperhatikan ketentuan dalam Pasal 50 Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang pada intinya menyatakan apabila lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan dan/atau Kepolisian melakukan penyidikan secara bersamaan terhadap suatu tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi adalah penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tersebut, semakin menimbulkan kesan yang kuat bahwa seolah-olah Kepolisian dan Kejaksaan hanya merupakan sebuah lembaga sub ordinat atau berada di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberantasan korupsi.

Ketentuan dalam Pasal 50 Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut kemungkinan dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindihnya penanganan perkara yang dilakukan antara Kepolisian dan/atau Kejaksaan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga dapat tercapai suatu kepastian hukum terhadap penanganan suatu perkara tindak pidana korupsi khususnya terhadap pihak-pihak yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Prinsipnya adalah, lembaga yang pertama kali melakukan penyidikan merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan penanganan perkara tindak pidana korupsi. Namun adanya kewajiban memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan merupakan sebuah kesan kuat bahwa Komisi Pemberantasan korupsi merupakan sebuah lembaga yang seolah-olah superior dibandingkan dengan lembaga Kepolisian atau Kejaksaan.

Dari sisi aturan hukum yang mengatur tugas dan wewenang Komisi Pemberantas Korupsi, terlihat jelas bahwa tugas koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantas Korupsi tampak sangat besar. Di mana Komisi Pemberantas Korupsi adalah komandan di antara lembaga penegak

(19)

commit to user

hukum yang ada dalam proses pemberantasan korupsi. Akan tetapi tugas koordinasi dan supervisi belum digunakan secara maksimal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dari lima tugas yang dimilikinya, Komisi Pemberantasan Korupsi dikatakan sukses dalam melaksanakan tugas ketiga atau yang disebut juga dengan tugas penindakan, yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang ditanganinya sendiri.

Walaupun demikian, ternyata prestasi Komisi Pemberantan Korupsi dalam melaksanaan tugas lain tidaklah cukup menggembirakan. Dalam pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mengalami perkembangan berarti dalam pelaksanaan tugas tersebut, sekedar tidak mengatakan gagal.

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hubungannya dengan kepolisian dan kejaksaan justru mengalami fase-fase ketegangan yang sangat mencemaskan. Dalam beberapa perkara, seperti perkara Antasari Azhar, perkara Anggodo dan Bibit-Chandra, yang tampak ke permukaan tak lebih dari pertarungan sengit antar lembaga-lembaga tersebut. Komisi Pemberantan Korupsi sebagai koordinator tak mampu mengambil “kendali” atas kedua lembaga tersebut. Alih-alih mengambil kendali koordinasi, yang terjadi justru disharmoni dalam hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kepolisian dan kejaksaan.

Dalam konteks ini, terlepas apakah karena kejaksaan dan kepolisian tidak ingin berada pada posisi subordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi, namun yang pasti mandat Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tugas koordinasi belum mampu dilaksanakan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan baik. Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menempatkan diri sebagai pemicu dan pemberdaya institusi yang merupakan “counterpartner” yang kondusif bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membangun kebersamaan pemberantasan korupsi belum membuahkan hasil.

Bila dibandingkan antara pelaksanaan tugas penindakan dengan tugas koordinasi dan supervisi, anggapan bahwa pelaksaan tugas koordinasi

(20)

commit to user

dan supervisi merupakan tugas “kelas dua” benar adanya. Sedangkan tugas penindakan diposisikan sebagai tugas “kelas satu”. Kondisi tersebut merupakan wujud kesenjangan yang terjadi dalam pelaksanaan tugas-tugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini berarti bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh perhatian lebih pada pelaksanaan tugas penindakan dibandingkan tugas koordinasi dan supervisi.

Sekalipun terjadinya kesenjangan pelaksanaan tugas juga disebabkan karena besarnya ekspektasi masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penindakan dan penangkapan terhadap para pelaku korupsi.19 Namun kondisi tersebut tidak dapat menjadi alasan pembenar untuk menomor-duakan tugas koordinasi dan supervisi.

Sebab tugas tersebut merupakan tugas speksifik milik Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak dimiliki kejaksaan dan kepolisian. Tugas itu pula yang menjadi salah satu pemicu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Oleh karenanya, Komisi Pemberantasan Korupsi mesti lebih concern untuk tugas koordinasi dan supervisi.

b) Melakukan Penyitaan Tanpa Memerlukan Ijin/Persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 47 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan sebagai berikut : Pasal 47

(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.

(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- Undang ini.

      

19 Johan Budi, dkk. (Ed.) Empat Tahun KPK; Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, Komisi Pemberantasan Korupsi,

 

(21)

commit to user

Dengan demikian, tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilakukan tanpa memerlukan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal tersebut merupakan suatu penyimpangan yang sangat ekstrim dari tindakan penyitaan yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 38, karena dalam Pasal 38 KUHAP dijelaskan :

(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Apabila melihat Pasal 38 KUHAP tersebut di atas, maka ijin ataupun persetujuan ketua pengadilan negeri merupakan syarat mutlak dalam suatu tindakan penyitaan di tahap penyidikan, sehingga dalam menangani suatu perkara korupsi, penyidik Kepolisian atau Kejaksaan harus meminta ijin atau setidak-tidaknya meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri dalam melakukan tindakan penyitaan. Namun hal tersebut tidak diperlukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat melakukan tindakan penyitaan dalam suatu perkara korupsi.

c) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Pejabat tanpa melalui prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 46 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagai berikut :

" Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini."

Ketentuan dalam Pasal 46 Undang Undang tersebut merupakan suatu ketentuan yang "menerobos" batasan untuk melakukan tindakan penyidikan

(22)

commit to user

terhadap tersangka yang menjabat sebagai Kepala Daerah atau anggota legislatif. Hal tersebut misalnya terlihat ketika muncul Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya memuat ketentuan sebagai berikut :

Pasal 55 ayat (1)

“ Tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden”.

Pasal 28 ayat (1)

“ Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilaksanakan atas persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Provinsi dan Gubernur bagi anggota DPRD Kabupatenupaten dan Kota, kecuali jika yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan ".

Ketentuan tersebut di atas selanjutnya " diperkuat " dengan Undang- Undang Pemerintahan Daerah yang Baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan :

Pasal 36 ayat (1)

" Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik ".

Pasal 53 ayat (1)

" Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD provinsi dan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD kabupatenupaten/kota ".

Dengan demikian, terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang Kepala Daerah atau para anggota legislatif dengan tempus delicti dari tanggal 9 Mei 1999 sampai dengan saat ini, maka dalam hal melakukan tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah atau anggota legislatif berkaitan dengan perkara tindak korupsi, haruslah mendapat persetujuan terlebih dahulu, yaitu:

(23)

commit to user

1) Untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden;

2) Untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD Provinsi harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri;

3) Untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD Kabupatenupaten dan Kota harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur.

Bahwa yang dimaksud dengan tindakan penyidikan, mengacu pada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah tindakan pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Dengan demikian, apabila terdapat Kepala Daerah atau anggota DPRD yang berkaitan dengan pengungkapan perkara korupsi, maka hanya untuk melakukan pemeriksaan saja pada tahap penyidikan, baik sebagai saksi maupun tersangka, sudah diperlukan ijin tertulis dari Presiden untuk Kepala Daerah, ijin Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Provinsi dan ijin Gubernur bagi anggota DPRD Kabupaten dan Kota.

Namun ketentuan tersebut hanya berlaku apabila lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang melakukan penyidikan, sedangkan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi ketentuan tersebut tidak berlaku dengan adanya Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dijelaskan di atas. Hal tersebut merupakan salah satu kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai super body dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bahwa semua tindakan penyidikan harus dilakukan dengan berorientasi pada pembuktian di muka persidangan, sehingga semua bukti yang dikumpulkan pada tahap penyidikan harus dapat digunakan untuk meyakinkan Majelis Hakim dalam membuktikan adanya suatu perkara korupsi. Dalam tahap penyidikan inilah alat-alat bukti suatu perkara korupsi dirumuskan, sehingga segala alat-alat bukti yang diperoleh dalam tahap penyidikan ini akan dijadikan sebagai " amunisi " bagi Penuntut Umum untuk membuktikan di muka Majelis Hakim bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

(24)

commit to user

korupsi. Oleh karena itu, KUHAP memberikan wewenang dalam tahap penyidikan berupa upaya paksa seperti, penggeledahan, penyitaan, penangkapan dan penahanan. Namun dengan adanya ketentuan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, timbul suatu hal yang kontra produktif dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam prakteknya, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut cukup mempersulit proses pengungkapan perkara korupsi oleh aparat Kejaksaan atau Kepolisian RI dalam tahap penyidikan. Hal tersebut disebabkan :

1) Ijin tertulis dari Presiden, Menteri Dalam Negeri atau dari Gubernur dimaksud seringkali memakan waktu yang cukup lama, sehingga jalannya proses penyidikan menjadi terhambat dan tidak jarang fokus penyidikan menjadi buyar, terlebih apabila Kepala Daerah atau anggota legislatif yang akan dilakukan tindakan penyidikan mempunyai keterangan yang krusial dalam pengungkapan perkara korupsi tersebut.

2) Kesulitan dalam melakukan tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah atau anggota legislatif menjadi bertambah apabila data-data atau dokumen-dokumen yang akan dijadikan sebagai alat bukti atau barang bukti di persidangan juga berada dalam Iingkup Sekretariat Daerah, Pemerintahan daerah atau dalam lingkup DPRD, karena untuk melakukan penyitaan terhadap data-data atau dokumen tersebut juga harus memerlukan ijin, sehingga ketika ijin untuk melakukan penyitaan telah turun, barang bukti tersebut kemungkinan telah hilang atau dihilangkan apabila tersangkanya adalah Kepala Daerah atau para anggota legislatif sendiri.

3) Bahwa dalam tindak pidana korupsi pada umumnya terdapat saling keterkaitan baik dengan organisasi, atasan, maupun dengan teman-teman pelaku (subyek hukum), bahkan dalam kasus-kasus tertentu, korupsi dilakukan berdasarkan kebijaksanaan organisasi atau atasan atau juga memang merupakan kerjasama atau kolusi antara atasan dan pelaku atau antara pelaku dan teman-teman seorganisasi. Dalam hal ini, apabila

(25)

commit to user

pelaku korupsi adalah seluruh anggota DPRD maka untuk saling menutupi perbuatannya, masing-masing pelaku akan pelaku berusaha untuk melindunginya dengan jalan menghindar atau tidak bersedia memberikan data atau fakta yang diperlukan sehubungan dengan adanya temuan. Apabila terdapat salah satu tersangka pelaku korupsi yang ditangani, maka akan terjadi paranaoid solidarity atau solidaritas ketakutan dari pelaku yang lain bahwa dirinya akan ikut menjadi tersangka, sehingga pihak-pihak ini (baik atasan, bawahan maupun partner) akan berusaha sedapat mungkin melindungi tersangka pelaku korupsi.

Dengan adanya kesulitan tersebut di atas, proses pengungkapan perkara korupsi oleh aparat Kejaksaan atau Kepolisian kadang kala membutuhkan waktu yang relatif lama, sementara seringkali desakan masyarakat sangat kuat untuk segera menuntaskan penanganan perkara korupsi yang melibatkan Kepala Daerah atau anggota DPRD. Hal tersebut berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga super body yang tidak memerlukan prosedur khusus untuk melakukan tindakan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat tertentu, sehingga proses penyidikannya dapat dilakukan secara cepat.

d) Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki "Tambahan Kewenangan"

tindakan dalam penyidikan dan penuntutan yang tidak dimiliki oleh lembaga Kejaksaan dan Kepolisian dalam melakukan Pemberantasan Korupsi.

Di dalam KUHAP Pasal 7 ayat (1) KUHAP, Penyidik mempunyai kewenangan sebagai berikut :

a. menerima laporan dan/atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana ;

b. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

(26)

commit to user

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Sedangkan tindakan dalam penuntutan, berdasarkan Pasal 14 KUHAP Penuntut Umum mempunyai wewenang

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;

b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;

j. melaksanakan penetapan hakim.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan adanya penyimpangan dalam tindakan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu :

1) Penyidik berwenang meminta kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa (Pasal 29 ayat (1) Undang Undang Korupsi) 2) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank

untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi (Pasal 29 ayat (4) Undang Undang Korupsi)

3) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai

(27)

commit to user

mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. (Pasal 30 Undang Undang Korupsi)

4) Dalam hal Penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada inatansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan (Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Korupsi)

5) Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Penyidik segara menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya (Pasal 33 Undang Undang Korupsi).

Dengan demikian, lembaga penegak hukum yang berwenang menangani pemberantasan korupsi (Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi), selain dapat melakukan tindakan penyidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP juga dapat melakukan tindakan penyidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut.

Selanjutnya patut diperhatikan Pasal 26 A Undang Undang Korupsi yang berbunyi sebagai berikut :

Alat Bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Mara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana Korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiki makna.

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Selanjutnya dalam 188 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa

(28)

commit to user

petunjuk sebagai alat bukti yang sah hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Apabila memperhatikan Pasal 26A Undang Undang Korupsi tersebut, maka alat bukti Petunjuk dalam suatu perkara tindak pidana korupsi tidak hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam 188 ayat (2) KUHAP, namun juga dapat diperoleh dari informasi dan dokumen dalam bentuk kemajuan teknologi yang sudah ada.

Selain kewenangan-kewenangan tersebut di atas, masih terdapat kewenangan-kewenangan lain yang hanya dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan tidak dipunyai oleh Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan pengungkapan perkara korupsi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan ;

b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri ;

c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa ;

d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait ;

e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya;

f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubunganya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

(29)

commit to user

i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.20

e) Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penghentian penuntutan.

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Penyidikan dan Penuntutan, tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.21 Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa apabila terdapat perkara korupsi yang sudah dilakukan penyidikan atau penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka perkara korupsi tersebut akan tetap dilimpahkan di persidangan, yaitu di Pengadilan Tipikor.

Artinya seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, otomatis juga sudah menjadi terdakwa. Hal ini berbeda bagi tersangka perkara tindak pidana korupsi yang penanganan perkaranya dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan yang mempunyai kewenangan dalam penghentian penyidikan atau penuntutan.

Dalam KUHAP, wewenang mengadakan penghentian penyidikan oleh Penyidik diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf I, jo. Pasal 109 ayat (2), sedangkan wewenang menghentikan penuntutan oleh Penuntut Umum diatur dalam Pasal 14 huruf h, jo. Pasal 140 ayat (2),

Atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) Hukum Acara Pidana (KUHAP), Polisi Negara RI dan Jaksa sebagai penyidik mempunyai wewenang untuk menghentikan penyidikan tindak pidana korupsi dengan alasan yang sama dengan alasan dari Jaksa sebagai Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan seperti yang terdapat dalam Pasal

      

20 Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137.

21 Lihat Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia,Tahun 2002 Nomor 137.

(30)

commit to user

140 ayat (2) huruf a Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu dengan alasan sebagai berikut:22

a. tidak terdapat cukup bukti, artinya setelah penyidik melakukan penyidikan atau setelah Jaksa sebagai Penuntut Umum menerima dan meneliti hasil penyidikan dari penyidik, ternyata tidak semua unsur dan ketentuan pidana yang disangkakan kepada tersangka dipenuhi oleh perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, atau ;

b. perbuatan yang dilakukan oleh tersangka bukan merupakan tindak pidana, artinya setelah penyidik melakukan penyidikan atau setelah Jaksa sebagai Penuntut Umum menerima dan meneliti hasil penyidikan dari penyidik, ternyata perbuatan yang dilakukan oleh tersangka adalah perbuatan perdata, meskipun terdapat cukup alat buktinya, atau

c. dihentikan demi hukumi, artinya setelah penyidik melakukan penyidikan atau setelah Jaksa sebagai Penuntut Umum menerima dan meneliti hasil penyidikan dari penyidik, ternyata :

a. perkara tindak pidana yang menyangkut diri tersangka adalah perkara yang nebis in idem (Pasal 76 KUHP) ;

b. tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)

c. hak untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka telah gugu:

(Pasal 78 KUHP).

Penghentian penyidikan tersebut dilakukan dengan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penyidikan, demikian pula penghentian penuntutan dilakukan dengan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan. Perlu untuk diketahui, meskipun menurut penyidik hasil penyidikan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan tidak ada alasan untuk menghentikan penyidikan, yang kemudian hasil penyidikan tersebut diserahkan kepada Penuntut Umum, belum tentu oleh Penuntut Umum dilimpahkan ke Pengadilan, jika setelah diteliti ternyata menurut pendapat Penuntut Umum terdapat alasan untuk menghentikan penuntutan scbagaimana dimaksud oleh Pasal 140 ayat (2) huruf a Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Berbeda dengan penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Jaksa penyidik, dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mempunyai       

22 Abdul Hakim G. Nusantara dkk., KUHAP, Cetakan ke-3, Jambatan, Jakarta, 1996, hlm.

hlm. 243, 286-287.

 

(31)

commit to user

wewenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Artinya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mempunyai wewenang untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan dalam perkara tindak pidan korupsi, meskipun di Komisi Pemberantasan Korupsi terdapat juga Polisi Negara RI sebagai penyidik dan Jaksa sebagai Penuntut Umum, karena Polisi Negara RI dan Jaksa tersebut sudah diberhentikan sementara sebagai penyidik dan Penuntut Umum dari kepolisian dan kejaksaan dan diangkat menjadi penyidik dan Penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Oleh karena itu, sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyidikan, penyelidikan harus dilakukan secara maksimal, apalagi Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri sebenarnya telah menentukan bahwa penyidikan harus didahului oleh penyelidikan. Bukankah Pasal 1 angka 5 Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menentukan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981. Jadi, jika penyelidikan sudah dilaksanakan secara maksimal dan temyata terdapat alasan yang menjurus dihentikan penyidikan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 109 ayat (2) Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka penyelidikan tersebut tidak perlu ditingkatkan atau dilanjutkan dengan penyidikan. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak ada keharusan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan, karena di dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak ada ketentuan yang mengatur tentang penghentian penyelidikan. Akan tetapi, demi adanya kepastian hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat saja mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan, karena tidak dilarang, yang dilarang adalah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.

Meskipun dari hasil penyidikan menunjukkan terdapat cukup alat buktinya, belum tentu seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, perkaranya selalu dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke pengadilan, karena menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Januari 1958 Nomor

(32)

commit to user

255 KJ Kr/19571), hak dari Penuntut Umum untuk menuntut seseorang dengan jalan melimpahkan perkaranya ke Pengadilan adalah merupakan kebijaksanaan dari Penuntut Umum. Kebijaksanaan untuk tidak menuntut seseorang dengan jalan tidak melimpahkan perkaranya ke pengadilan hanya ada pada Jaksa Agung saja sebagaimana terdapat dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menentukan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kepada Polisi Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak diberikan pula tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum.

Penjelasan Pasal 35 huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menyebutkan: "Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan in:

merupakan pelaksanaan asas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Yang dimaksud dengan "menyampingkan perkara demi kepentingan umum-dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah jika ditinjau dari sudut kepentingan umum, tidak menuntut seseorang dengan tidak melimpahkan perkaranya ke pengadilan justru lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menuntut seseorang dengan cara melimpahkan pengadilan. Penyampingan perkara demi kepentingan umum tersebut dilakukan oleh Jaksa Agung dengan mengeluarkan Keputusan Jaksa Agung tentang Penyampingan Perkara. Terhadap penyampingan perkara demi kepentingan umum dimaksud tidak tersedia adanya suatu upaya hukum.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan tugas penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana Korupsi, harus lebih berhati- hati dan lebih profesional, sebab Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian penyidikan dan Penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, ketentuan mengenai larangan

(33)

commit to user

ini terdapat dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Oleh karena itu, setiap perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi harus berakhir di pengadilan. Hal ini tentunya akan menjadi semacam rambu atau peringatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi agar berhati-hati dan serius dalam menangani kasus korupsi, sebab jika tidak cukup bukti dan dipaksakan, akhirnya banyak tersangka korupsi yang dibebaskan pengadilan, dan tentu hal ini akan mempengaruhi kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dengan ketentuan dalam Pasal 40 Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut, tampak pesan yang hendak disampaikan pembentuk undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tidak melanjutkan penyelidikan hingga ke tingkat penyidikan, lebih-lebih penuntutan, jika Komisi Pemberantasan Korupsi belum yakin benar bahwa bukti-bukti untuk itu sudah mencukupi. Logikanya menjadi jelas manakala dikaitkan dengan ketentuan Pasal 44 Ayat (3) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan, "Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan."

Namun yang masih menjadi persoalan adalah, bagaimana jika terjadi keadaan ternyata dugaan tindak pidana tidak disertai alat bukti yang cukup baru diketahui ketika proses telah memasuki tahap penyidikan atau penuntutan, sementara Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Dalam hal ini Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi tetap berkewajiban untuk membawa terdakwa ke depan persidangan dengan mengajukan tuntutan untuk membebaskan terdakwa. Hal tersebut lebih baik daripada memberi kewenangan kepada Komisi Pemberantasan korupsi untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), baik dari perspektif kepentingan terdakwa, dari perspektif kepentingan publik, maupun dari perspektif kepentingan aparat penegak hukum pada Komisi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mencipta tubuh, Allah telah memberikan lebih banyak penghormatan kepada bahagian yang kurang memilikinya, 25 supaya tidak ada perpecahan dalam tubuh, tetapi semua

Namun tempat pemakaman yang di kelola oleh masyarakat itu belum sesuai dengan pasal 8 (delapan) Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2012 yang berbunyi tempat pemakaman

(3) terdapat hubungan yang positif antara motivasi belajar mata pelajaran akidah akhlak dan sikap sosial siswa terhadap sesama manusia pada siswa kelas VIII MTs

Transformasi sawijine karya sastra saka naskah dadi prosesi utawa ora bisa ditindakake kanthi sekabehane. Ana perangan saka karya sastra kasebut kang ditambahi

Sehubungan dengan pelelangan pekerjaan paket tersebut diatas, maka Pokja memerlukan klarifikasi dan verifikasi terhadap Dokumen Penawaran dan Kualifikasi saudara

IFN menginduksi ekspresi lebih dari 300 Interferon-Stimulated Genes (ISGs) yang memblok replikasi virus. ISGs ini sangat efektif melawan varian virus karena

Family Therapy dalam menangani Kesenjangan Komunikasi antara anak dengan Ayah Di Desa Bohar Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo.. Untuk mengetahui hasil akhir proses

Penempatan unsur tembung „kalimat‟ pada fungsi subjek dalam wujud tembung iki „kalimat ini‟ pada kalimat (2) dan tembung kang pada „kalimat yang sama‟ pada kalimat