• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 8 10 12 14 16

Penanaman I Penanaman II Penanaman III

p ro d u kt iv itas (t o n /h a) Gabah Jerami

Gambar 11. Produktivitas gabah dan jerami budidaya padi organik

Dari Gambar 11 dapat dilihat hasil produksi pada penanaman I sebesar 4,8 ton/ha gabah dan 14,1 ton/ha jerami. Produksi ini termasuk tinggi pada masa itu karena adanya pengaruh anomali cuaca yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada masa penanaman II produksi gabah menurun menjadi 1,6 ton/ha dan jerami 12 ton/ha. Pada penanaman III hasil gabah menjadi 4,1 ton/ha dan jerami 11,4 ton/ha.

Jerami dari ketiga penanaman padi menunjukkan kecenderungan menurun dari musim tanam pertama. Hal ini dikarenakan pola penanaman benih padi yang tidak beraturan, sehingga pada beberapa titik terlihat kosong dan ada beberapa titik yang renggang. Produktivitas gabah yang dihasilkan juga menurun pada penanaman kedua. Selain adanya pengaruh anomali cuaca pada waktu penanaman tersebut, penurunan bobot gabah juga disebabkan adanya gangguan burung yang memakan gabah padi serta adanya gabah yang kosong dan rontok pada saat budidaya padi.

4.1Kompos Jerami

Kematangan kompos jerami sebagai produk akhir dari pengomposan ditandai dengan perubahan bentuk yang menyerupai dan berbau tanah, warna yang berubah menjadi kehitaman dan suhu yang hampir sama dengan suhu lingkungan. Pengukuran temperatur pada kompos dilakukan untuk melihat masa

27 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 60 Tem p e ratu r ( oC) Waktu (hari)

Jerami cacah tanpa campuran

Jerami cacah dengan kot. ayam

Jerami cacah dengan kot. kambing

biodegradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Pengukuran temperatur pada metoda aerob dilakukan pada sistem tumpukan, aerasi dan silinder. Pengukuran temperatur pada metoda aerobik dijelaskan pada bagian berikut.

Perubahan temperatur pada sistem tumpukan (Gambar 12), jerami cacah dengan kotoran ayam dan jerami cacah dengan kotoran kambing menunjukkan kecenderungan penurunan dari awal pengomposan. Jerami cacah dengan kotoran ayam mencapai temperatur maksimum 47oC sedangkan jerami cacah dengan kotoran kambing mencapai temperatur 42oC pada awal pengomposan dan turun pada hari berikutnya. Temperatur kemudian naik kembali pada hari ke-7, tetapi kemudian menunjukkan kecenderungan turun sampai hari ke-48. Setelah itu temperatur cenderung stabil.

Pada pengomposan jerami cacah tanpa campuran, temperatur awalnya mencapai 35oC, tetapi kemudian turun pada hari ke-4 menjadi 32oC. Setelah hari ke-20, temperatur menunjukkan kecenderungan meningkat hingga mencapai 41oC, tetapi kemudian turun kembali. Temperatur menunjukkan kecenderungan datar (stabil) mulai hari ke-48. Sampai hari ke-58, terlihat bahwa pada pengomposan dengan sistem tumpukan temperatur kompos sudah mulai stabil.

Gambar 12. Temperatur sistem tumpukan

Dari Gambar 12 dapat dilihat pola perubahan temperatur antara jerami cacah dengan kot. ayam/kambing berbeda dengan jerami cacah tanpa campuran. Pada awal pengomposan jerami cacah dengan kot. ayam/kambing mencapai temperatur diatas 40oC. Penambahan campuran berupa kot. ayam dan kot.

28 20 25 30 35 40 45 0 10 20 30 40 50 60 Tem p e ratu r ( oC) Waktu (hari)

Jerami cacah dengan EM4

Jerami cacah dengan kot. ayam

Jerami cacah dengan kot. kambing

Jerami dengan kot. kambing

kambing dimana pada kedua bahan tersebut terdapat bakteri aerobik yang membutuhkan carbon (C) sebagai bahan makanannya. Pencampuran dekomposer dengan jerami menyebabkan bakteri yang ada pada kotoran tersebut melakukan aktivitas mikroorganisme dengan mendegradasi bahan organik yang terdapat pada jerami.

Aktivitas mikroorganisme menyebabkan meningkatnya temperatur dari campuran homogen tersebut. Sedangkan pada jerami cacah tanpa campuran hanya mengandalkan bakteri yang terdapat pada jerami, sehingga peningkatan temperatur lebih lambat dari kedua campuran yang lainnya. Bakteri mikroorganisme juga mendapat suplai oksigen dari proses pembalikan campuran kompos yang dilakukan dua atau tiga hari sekali sekaligus pemberian air untuk menjaga kelembabannya. Dengan tersedianya bahan organik, oksigen, dan bakteri aerobik maka terjadi biodegradasi pada campuran tersebut.

Perubahan temperatur pada sistem aerasi (Gambar 13), baik untuk campuran jerami cacah dengan kotoran ayam maupun untuk campuran jerami cacah dengan kotoran kambing menunjukkan kecenderungan yang sama, dengan kedua campuran tersebut pada sistem tumpukan.

Gambar 13. Temperatur sistem aerasi

Pada Gambar 14 dapat dilihat temperatur awal jerami cacah dengan kotoran kambing mencapai 42oC, lebih tinggi dari jerami cacah dengan kotoran ayam yang hanya mencapai 38oC. Kemudian kedua campuran menunjukkan kecenderungan penurunan temperatur dan mulai stabil pada hari ke-48. Pada

29 25 27 29 31 33 35 37 39 0 10 20 30 40 Tem p e ratu r ( oC) Waktu (hari) di luar naungan di dalam naungan

jerami cacah dengan campuran EM4, temperatur awal mencapai 34oC, kemudian turun dan mulai menunjukkan kenaikan temperatur mencapai 36oC pada hari ke-18. Setelah hari ke-20, grafik menunjukkan kecenderungan penurunan temperatur dan mulai stabil pada hari ke-48. Sedangkan jerami tanpa cacah dengan kotoran kambing menunjukkan perubahan grafik yang relatif datar dari awal pengomposan.

Seperti halnya campuran kompos pada sistem tumpukan, dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa campuran jerami cacah dengan kot. ayam/kambing memiliki pola yang sama dengan campuran jerami dengan kot. ayam/kambing pada sistem tumpukan. Pada dasarnya, tumpukan jerami memiliki panas yang mempengaruhi peningkatan temperatur pada campuran kompos.

Tingkat kepadatan campuran homogen juga mempengaruhi temperaturnya. Pengaruh kepadatan tumpukan dapat dilihat pada temperatur campuran jerami tidak dicacah dengan kot. kambing menunjukkan grafik yang relatif datar dari awal pengomposan. Kondisi campuran yang lebih renggang dari campuran lainnya menyebabkan temperaturnya tidak mengalami peningkatan. Namun campuran tersebut tetap menjadi kompos dikarenakan adanya proses pembalikan dan pemberian air serta suplai oksigen dari tunnel sehingga bakteri dapat melakukan aktivitas biodegradasi.

Gambar 14. Temperatur sistem silinder

Pada Gambar 14 dapat dilihat temperatur pengomposan campuran jerami dengan kotoran kambing menggunakan teknik pengomposan silinder yang

30 0 50 100 150 200 250 23/11/10 28/11/10 03/12/10 08/12/10 13/12/10 18/12/10 Gaya (N ) Tanggal pengukuran di luar naungan di dalam naungan

diletakkan di dalam naungan menunjukkan perubahan temperatur yang stabil. Pada awal pengomposan, temperatur berada pada temperatur 34oC dan naik menjadi 35oC pada hari kedua dan stabil sampai hari kelima dan mulai menunjukkan penurunan temperatur yang bergerak perlahan dan mulai stabil pada hari ke-24 sampai hari ke-36.

Pada pengomposan silinder di luar naungan pada umumnya temperatur pengomposan lebih rendah dibandingkan dengan yang berada di dalam naungan. Pada awal pengomposan, temperatur mencapai 32oC dan naik menjadi 34oC dan turun ke 32oC pada hari ke-4, kemudian naik ke 34,5oC dan setelah hari ke-9 menunjukkan penurunan yang tajam sampai hari ke-15, kemudian grafik manunjukkan perubahan temperatur yang relatif datar. Hal ini dikarenakan campuran kompos pada silinder yang di luar naungan lebih banyak mendapatkan air dari air hujan yang turun, sehingga membuat campuran kompos menjadi lebih lembab. Temperatur mulai bergerak stabil pada hari ke-24 sampai hari ke-36.

Pengomposan dengan bentuk silinder diharapkan untuk memperoleh kemudahan dalam hal pembalikan kompos. Pengukuran gaya yang dibutuhkan untuk membalik kompos dilakukan tiga kali. Hasil pengukuran gaya dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Gaya yang dibutuhkan untuk membalik kompos berbentuk silinder Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa gaya yang dibutuhkan untuk membalik kompos menunjukkan kecenderungan peningkatan gaya dari pengukuran gaya yang pertama. Hal ini dikarenakan pemadatan yang terjadi

31 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 0 10 20 30 40 50 60 Tem p e ratu r ( oC) Waktu (hari) di dalam tong di dalam terpal

karena proses biodegrdasi, dan permukaan bawah pengomposan silinder yang rata dengan lantai penopangnya. Material yang digunakan dalam proses pengomposan berubah bentuk seiring dengan proses degradasi material kompos yang ada di dalamnya.

Hal yang berbeda terlihat pada proses pengomposan metoda anaerob. Bahan yang digunakan pada pengomposan anaerob ini adalah jerami yag tidak dicacah dicampur dengan kotoran kambing sebagai dekomposernya. Campuran tersebut diletakkan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di dalam tong tertutup rapat dan di atas tanah terbungkus terpal. Perubahan temperatur pengomposan dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Temperatur kompos metoda anaerobik

Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa campuran di dalam terpal menunjukkan peningkatan temperatur pada awal-awal pengomposan. Pada hari pertama pengomposan, temperatur menunjukkan 35oC dan naik mencapai 37,6oC pada hari ke-3, kemudian kembali turun perlahan. Penurunan yang tajam terjadi pada hari ke-11 pada temperatur 27oC kemudian kembali naik ke 32oC dan kembali bergerak turun perlahan mencapai 30oC dan mulai bergerak stabil pada temperatur antara 29-30oC mulai hari ke-35.

Pengomposan dengan metoda anaerob di atas tanah terbungkus terpal membutuhkan waktu pengomposan sekitar 40 hari atau 1,5 bulan untuk mencapai temperatur yang stabil dan menjadi kompos. Hal ini ditandai dengan grafik temperatur setelah hari ke-35 telah menunjukkan tingkat yang stabil.

32 39 39,2 39,4 39,6 39,8 40 40,2 40,4 40,6 40,8 41 0 10 20 30 40 50 60 M assa (k g ) Waktu (hari)

Namun demikian, hal yang berbeda ditunjukkan pada proses pengomposan di dalam tong. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa temperatur pada masa awal pengomposan cenderung turun dari temperatur 35oC ke 30oC dan turun signifikan pada hari ke-11 pada 24,5oC. Kemudian temperatur naik kembali dan bergerak naik turun diantara temperatur 25-32oC.

Sampai hari pengomposan ke-58, grafik belum menunjukkan kondisi stabil. Walaupun temperatur pengomposan berada pada fase mesofilik, namun setelah 8 minggu pengomposan, campuran belum menunjukkan perubahan yang berarti dan belum menjadi kompos. Hal ini juga ditunjukkan dengan perubahan massa kompos yang stabil (Gambar 17) dan pengamatan secara visual juga menunjukkan campuran belum menjadi kompos.

Gambar 17. Perubahan massa material kompos secara anaerobik di dalam tong Pada umumnya proses pengomposan dengan metoda aerobik dan anaerobik berada pada fase mesofilik, yaitu kisaran temperatur 28-45oC. Hanya campuran jerami dengan kotoran ayam sistem tumpukan yang mencapai fase termofilik. Proses pengomposan metoda aerobik juga dipengaruhi oleh pemberian air untuk mempertahankan kelembaban kompos dan juga pembalikan agar campuran kompos lebih merata dalam mendapatkan oksigen.

Kompos mengalami dinamika perubahan temperatur dan bergerak stabil mulai hari ke-48 setelah pengomposan pertama pada sitem tumpukan dan aerasi, setelah hari-24 pada sistem silinder, dan setelah hari ke-35 pada pengomposan anaerob di atas tanah terbungkus terpal. Grafik temperatur kompos yang telah

33

stabil menunjukkan bahwa kompos telah matang (Cayuela et al., 2009; Li et al., 2009).

Dengan membandingkan dari beberapa teknik pengomposan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan teknik pengomposan yang efektif dan efisien dilakukan dalam mengomposkan jerami adalah dengan metoda anaerobik di atas tanah terbungkus terpal. Hal ini berdasarkan waktu pengomposan yang lebih cepat dari teknik pengomposan lainnya dan tidak memerlukan energi yang besar dalam pelaksanaannya.

Dokumen terkait