HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi Jenis
Sifat komunitas hutan sangat tergantung pada karakteristik ekologis lokasi, keanekaragaman jenis, dan status regenerasi jenis pohon. Informasi kuantitatif tentang komposisi, distribusi, dan kelimpahan pohon adalah kunci penting untuk memahami bentuk dan struktur komunitas hutan dan juga untuk perencanaan dan implementasi strategi konservasi komunitas. Keanekaragaman pohon adalah semua jenis-jenis pohon yang ada di dalam hutan. Hutan alam cenderung secara alami memiliki berbagai macam jenis vegetasi. Keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi membantu hutan tetap menjaga keseimbangan ekologi. Kajian
kelestarian hutan tidak lepas dari keberadaan komunitas pohon (Safe i et al., 2018). Dalam kasus ekosistem hutan, pohon bertanggung jawab atas
keseluruhan struktur fisik habitat, dan karenanya pohon secara mendasar dianggap sebagai cetakan untuk kompleksitas struktural dan heterogenitas lingkungan (Malik dan Bath, 2016).
Desa Papaso merupakan salah satu habitat pasak bumi yang terletak di bukit (Sipara-para) dengan areal hutan seluas 500 Ha. Kawasan hutan ini termasuk pada kawasan register 40 dan dikategorikan pada Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Hasil penelitian awal yang dilakukan Susilowati et al. (2019a) menemukan bahwa pasak bumi ditemukan di bukit Sipara-para pada ketinggian 280-700 mdpl dan dominan pada ketinggian 450-700 mdpl. Dari Iklim mikro pada habitat pasak bumi memiliki kisaran dari 27-30oC, sementara kelembabannya antara 60-89%.
Adanya aktifitas pengambilan pasak bumi yang berlebihan dapat menyebabkan terancamannya keberadaan pasak bumi dari pendekatan struktur vegetasi dan status regenerasi. Sebagai satu kesatuan kompleksitas, diduga kondisi tersebut juga mengancam jenis lainnya pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan 41 jenis vegetasi. Jenis yang dominan berdasarkan INP pada tingkat semai secara berurut adalah yaitu pasak bumi, meranti bunga, hapinis, kandis babi, rao-rao, meranti kuning, meranti bosi, baja-baja, dan ubahan (Tabel 4).
Tabel 4. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat semai
No Nama jenis Nama latin K memiliki nilai kerapatan yang sama yaitu 6316 individu/ha dengan kerapatan relatif yaitu 10,28. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pasak bumi, meranti
bunga dan hapinis merupakan jenis yang memiliki persebaran luas dan mendominasi pada hampir seluruh lokasi penelitian (Arrijani et al., 2006).
Pada tingkat pancang ditemukan 44 jenis. Meranti bunga merupakan jenis dengan nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 23,24 dan kemudian diikuti oleh hapinis, kandis babi, meranti kuning, rao-rao, meranti bosi, ubahan, pasak bumi, baja-baja, dan modang (Tabel 5). Pada tingkat pancang jumlah pasak bumi menurun drastis, hal ini disebabkan oleh perubahan lingkungan yang terjadi secara alami ataupun pengambilan pasak bumi hingga sampai pada tingkat pancang. Gangguan gangguan yang terjadi pada suatu jenis yang ada di hutan baik itu biotik, abiotik ataupun antropogenik akan mempengaruhi keanekaragaman yang ada dan mempengaruhi kekayaan jenis dan kemerataan
jenis serta keberlangsungan vegetasi yang ada di hutan tersebut (Susilowati et al., 2019a).
Tabel 5. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat pancang
No Nama jenis Nama latin K yang paling dominan berdasarkan nilai penting dari setiap jenis (Tabel 6). Jenis tersebut adalah meranti bunga hapinis, kandis babi, meranti bosi, rao-rao, meranti kuning, meranti udang, baja-baja, palangas dan modang. Sepuluh jenis yang dominan di tingkat ini memiliki nilai penting akumulatif sebesar 159,948 %, hal ini termasuk besar dikarenakan melebihi setengah dari total INP maksimum pada tingkat tiang yaitu 300 %.
Pada tingkat tiang, meranti bunga masih menjadi jenis yang paling mendominasi. Beberapa faktor seperti kemampuan adaptasi jenis sangat
semai ke tingkat pertumbuhan berikutnya yaitu pancang, tiang, dan selanjutnya hingga tumbuh menjadi pohon besar. Secara umum, jenis-jenis vegetasi pada tingkat sebelumnya yang mempunyai INP tertinggi akan tumbuh menjadi vegetasi pada tingkat setelahnya (Gunawan et al., 2011).
Tabel 6. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat tiang.
No Nama
Bunga Shorealeprosula 216 17,6
7 0,68 10,4 jenis dominan tersebut diantaranya meranti bunga, hapinis, meranti kuning, kandis babi, rao-rao, meranti bosi, ubahan, baja-baja, meranti udang, dan barangan (Tabel 7). Sepuluh jenis dominan yang disajikan memiliki nilai penting akumulatif yang cukup besar yaitu 164,25% dari total INP maksimum tingkat pohon yaitu sebesar 300%. Nilai penting ini bahkan melebihi setengahnya. Hal ini menunjukkan bahwa sepuluh jenis tersebut merupakan tumbuhan yang dominan berperan penting dalam komunitas tumbuhan. Sepuluh jenis tersebut belum mencakup seluruh jenis yang ada di areal hutan yang diteliti, masih terdapat beberapa jenis yang diperoleh dan tidak semuanya memiliki nilai penting tinggi.
Berdasarkan dominansi jenis pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon terlihat bahwa meranti bunga menjadi jenis dominan pada semua tingkatan tersebut. Penguasaan lahan pada jenis ini di setiap tingkatan tetap konsisten.
Kerapatan yang dimiliki jenis ini adalah 49 individu/ha dengan kerapatan relatif
sebesar 14,92 dan frekuensi relatif yang dimiliki pada jenis ini yaitu 10,37, untuk dominansi relatif yang dimiliki yaitu 2,72. Hal ini membuktikan jenis meranti bunga menjadi jenis yang paling tinggi daya adaptasi dengan segala perubahan lingkungan sekitarnya. Jenis yang memiliki INP tinggi berarti spesies tersebut lebih menguasai wilayah khususnya dalam memanfaatkan sumberdaya atau lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan jenis yang memiliki INP rendah, berarti jenis tersebut kurang dapat beradaptasi, baik dari segi memanfaatkan unsur hara maupun menyesuaikan dengan iklim seperti cahaya, suhu, curah hujan dan angina (Siappa et al., 2016)
Tabel 7. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat pohon.
No Nama Pada tingkat tiang dan pohon, tidak ditemukan adanya pasak bumi. Menurut penelitian sebelumnya oleh Susilowati et al. (2019) pemanenan yang berlebihan pada tahap dewasa menyebabkan jenis ini menghilang pada tingkat tiang dan pohon di hutan Tor Siparapara. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Kartikawati (2014) di hutan lindung gunung Ambawang-Pemancingan, eksploitasi yang berlebihan dan waktu yang lama untuk berkecambah serta lambatnya pertumbuhan menyebabkan kelangkaan pasak bumi. Hal ini dapat terjadi karena banyak nya manfaat yang dihasilkan dari tumbuhan pasak bumi
khususnya sebagai obat-obatan. Menurut Zulfahmi et al. (2015) yang melakukan penelitian di zona Alaman Kuyang, Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio, rendahnya jumlah pasak bumi ukuran pancang dan tiang dikarenakan besarnya minat masyarakat terhadap pasak bumi yang berukuran besar karena semakin besar ukuran pasak bumi maka semakin tinggi pula nilai jualnya dan biasanya tanaman pasak bumi yang berdiameter besar dibuat produk berupa gelas tempat minum yang diharapan bahan aktif yang terkandung dalam kayu pasak bumi terekstrak dan bermanfaat untuk kesehatan.
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
Nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) d a a a e (Tabe 8) ditemukan pada tingkat pancang (3,218) dan terendah ditemukan pada tingkat pohon (3,050). Namun secara keseluruhan nilai indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkatan pertumbuhan tergolong tinggi (H >3). Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis ini juga berbanding lurus dengan jumlah jenis yang ada pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan Mawazin dan Subiakto (2013) yang mengatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas dipengaruhi oleh besarnya kerapatan jumlah batang/ha, banyaknya jumlah jenis dan tingkat penyebaran masing-masing jenis. Tingginya keanekaragaman jenis pada hutan alam Desa Papaso ini menggambarkan kompleksnya komunitas serta variasi jenis tumbuhan yang ada di hutan tersebut. Deviyanti (2010) mengatakan bahwa tingginya keanekaragaman menunjukan kompleksitas yang tinggi karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antar jenis yang tinggi.
Tabel 8. Indeks keanekaragaman jenis
No Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis Indeks Keanekaragam Jenis
1 Semai 41 3,172
2 Pancang 44 3,218
3 Tiang 35 3,209
4 Pohon 36 3,050
Indeks kemerataan jenis (E)
Nilai indeks kemerataan (Tabel 9) tertinggi pada lokasi penelitian dijumpai pada tingkat tiang (0,902) sedangkan indeks terendah dijumpai pada tingkat pancang (0,850). Indeks kemereataan jenis untuk seluruh tingkatan pertumbuhan tergolong tinggi (E> 0.6). Hal ini menunjukkan kestabilan keanekaragaman jenis
dalam komunitas dengan sebaran meratanya pada semua wilayah (Kuswandi et al., 2015)
Tabel 9. Indeks kemerataan jenis
No Tingkat Pertumbuhan Indeks Kemerataan Jenis
1 Semai 0,854
2 Pancang 0,850
3 Tiang 0,902
4 Pohon 0,851
Indeks kekayaan Jenis (R)
Indeks kekayaan jenis menunjukkan kekayaan jenis pada suatu komunitas.
Kekayaan jenis tertinggi (Tabel 10) dijumpai pada tingkat pancang (7,113) dan terendah pada tingkat tiang (6,242). Jenis yang ditemukan pada pancang lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal tersebut menyebabkan nilai indeks kekayaannya juga tinggi. Tingginya nilai kekayaan pada permudaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan maupun penebangan liar sehingga cahaya dapat tembus hingga lantai hutan yang mengakibatkan melimpahnya permudaan pada tingkat semai ataupun pancang (Haryadi, 2017).
Tabel 10. Indeks kekayaan jenis
No Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis Indeks Kekayaan Jenis
1 Semai 41 6,508
2 Pancang 44 7,113
3 Tiang 35 6,242
4 Pohon 36 6,348
Indeks kesamaan komunitas
Indeks kesamaan komunitas menggambarkan tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis penyusun tegakan dari dua komunitas yang dibandingkan.
Mawazing dan Subiakto (2013) mengatakan bahwa apabila nilai indeks kesamaan jenis semakin tinggi maka komposisi jenis tegakan yang menyusun akan semakin serupa. Dan sebaliknya semakin rendah nilai indeks kesamaan jenis yang ada maka komposisi jenis semakin berlainan. Nilai indeks kesamaan berkisar 0-100%.
Semakin tinggi nilai indeks kesamaan komunitas maka semakin tinggi pula tingkat kemiripan jenis antara dua komunitas yang dibandingkan (Odum, 1996).
Kusmana dan Istomo (1993) dalam Wahyu (2002) mengatakan dalam
relatif serupa jika memiliki nilai IS minimal 75 %. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat semua komunitas tingkat pertumbuhan relatif berbeda kecuali tiang-pohon (IS 82,76 %).
Perbedaan komunitas pada tingkat pertumbuhan yang relatif berbeda dapat terjadi dikarenakan faktor lingkungan seperti kelebaban, pH tanah ataupun suhu (Kusmana dan Susanti, 2017). Aktitas manusia ataupun bencana alam seperti kebakaran hutan juga dapat menyebabkan perubahan struktur tegakan dan komposisi jenis penyusun hutan khususnya dalam tingkatan pertumbuhan.
Sedangkan komunitas pada pada tingkat tiang-pohon dikatakan relatif sama dapat terjadi dikarenakan stabilnya komposisi penyusun tegakan yang berada pada tingkat tiang dan pohon sehingga komunitas diatara keduanya tidak jauh berbeda.
Tabel 11. Indeks kesamaan komunitas di lokasi penelitian
Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon
(%) (%) (%) (%)
Kerapatan individu per hektar (N/Ha) dari beberapa tahapan pertumbuhan (Gambar 3) menunjukan bahwa tingkat semai memiliki jumlah individu tertinggi (61447 ind/ha). Sedangkan terendah dijumpai pada tingkat pohon (326 ind/ha).
Gambar 3. Struktur Kerapatan Individu/ha
Berdasarkan Gambar 3, kurva yang diperoleh memiliki bentuk f J terbalik. Bentuk kurva ini merupakan suatu bentuk umum ataupun normal yang terjadi di hutan hujan tropis. Istomo dan Dwisutomo (2016) mengartikan bentuk tersebut sebagai kurva eksponensial J terbalik, artinya semakin besar kelas diameternya maka semakin kecil kerapatannya. Ketersediaan tegakan pada hutan bertipe normal sangat tinggi sehingga dapat memperbaiki struktur dan komposisi hutan serta dapat menjamin kelangsungan tegakan di masa mendatang sehingga kehilangan pohon yang berdiameter besar di masa mendatang akibat kerusakan atau kematian akan tergantikan (Suwardi et al., 2013).
Pada areal kawasan hutan alam Desa Papaso berdasarkan informasi masyarakt pernah mengalami kerusakan akibat penebangan. Hal ini dapat memicu pertumbuhan permudaan yang dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur tegakan. Haryadi (2017) mengatakan tingginya jumlah vegetasi tahap anakan pada area hutan yang terdegradasi karena perubahan lingkungan yang terjadi akibat terbukanya tajuk yang berpengaruh terhadap masuknya cahaya matahari dan kurangnya dominasi dari tingkatan pertumbuhan pohon, sehingga anakan yang sangat membutuhkan cahaya matahari untuk pertumbuhannya
mendapat cukup cahaya dan tumbuh optimal. Kemudian Kusmana dan Susanti (2017) mengatakan jenis yang dominan pada suatu
tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain.
Semakin bertambahnya waktu, jenis tersebut mengalami persaingan, baik antara individu sejenis maupun beda jenis dalam mendapatkan sinar matahari yang cukup, mineral dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti hama dan penyakit.
Persaingan ini terus berlanjut dan terjadilah proses seleksi alam.
Struktur Horizontal
Secara keseluruhan struktur tegakan pohon adalah hubungan antara banyaknya pohon dengan kelas diameter (Wahyuni dan Mokodompit, 2016).
Struktur tegakan di lokasi penelitian dapat digambarkan dalam grafik sebaran diameter dengan interval 5 cm (Gambar 4). Jumlah pohon terbanyak terbanyak terdapat pada kelas diameter <10 cm (889 individu), kemudian terjadi penurunan pada kelas diameter 10-14,9 (61 individu.) Pada kelas diameter 15-19,9 terjadi
individu yang ditemukan mencapai 182 individu, pada kelas diameter 25-29,9 ditemukan 56 individu dan pada kelas diameter 30-34,9 individu ditemukan 10 individu.
Kurva sebaran setiap kelas diameter menunjukkan bentuk kurva J terbalik (menyerupai bentuk L). Hal ini menunjukkan bahwa populasi pohon yang berdiameter besar relatif menurun drastis seiring dengan pertumbuhan kelas diameter bentuk tersebut mengikuti sebaran umum pada hutan alam. Hal tersebut sesuai dengan Heriyanto dan Subiandono (2012) yang menyatakan bahwa pada umumnya grafik sebaran diameter pada hutan alam yang normal memiliki bentuk
a J e ba .
Hutan dengan pengaruh intensitas penebangan yang tinggi akan memberikan kondisi bagi pertumbuhan yang lebih besar dengan terbentuknya
ruang-ruang tumbuh (Saridan dan Soegiharto, 2012). Menurut Wardani dan Susilo (2017) faktor-faktor seperti pohon tumbang, bencana
alam (kebakaran, gempa bumi/longsor, serangan hama/ penyakit), dan lain-lain dapat memengaruhi permudaan alam. Adanya perubahan struktur tegakan tersebut dimungkinkan adanya perbedaan kemampuan pohon dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara/mineral dan air, serta sifat kompetisi.
Gambar 4. Struktur tegakan horizontal di lokasi penelitian
Beberapa jenis seperti damar, meranti ataupun kruing merupakan jenis pohon yang umumnya dicari oleh masyarakat sekitar, yang menyebabkan
889
keberadaannya sudah jarang ditemukan. Untuk pasak bumi, umumnya masyarakat lokal hanya memanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti obat malaria.
Sedangkan berdasarkan informasi masyarakat, pengambilan pasak bumi secara besar-besaran umumnya dilakukan oleh pendatang. Beberapa jenis seperti meranti udang, kandis babi, kompas ataupun meranti bunga kurang diminati oleh masyarakat sekitar, hal tersebut menyebabkan jenis ini menjadi dominan dilokasi menyebabkan pertumbuhan dan perkembang jenis jenis minoritas terhambat.
Struktur vertikal (Stratifikasi tajuk)
Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis pohon dominan dan jenis-jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran) (Mulyasana, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan, secara keseluruhan di lokasi penelitian (Gambar 5) terdapat 3 stratum yaitu yaitu stratum B, stratum C, dan stratum A. Diantara hal tersebut stratum C yang termasuk pada kelas 4-20 meter memiliki jumlah terbanyak kemudian diikuti oleh stratum B dengan kelas 20-30 meter dan stratum A dengan kelas tinggi diatas 30 meter.
Keterangan : Stratum A = >30 m Stratum D = 1-4 m Stratum B = 20-30 m Stratum E = 0-1 m Stratum C = 4 20 m
Gambar 5. Struktur tegakan vertikal di lokasi penelitian.
Struktur vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipandu oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan
33
Stratifikasi tajuk komunitas hutan di Hutan Alam Desa Papaso tersusun atas stratum yang lengkap mulai stratum A hingga E. Adanya persaingan mengakibatkan jenis tertentu akan lebih mendominasi sehingga dapat terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan. Untuk mencapai stratum A, hanya pohon yang berumur tua dari jenis pohon klimaks saja yang mampu, sehingga jumlah pohonnya sedikit dan muncul diskontinyu. Persaingan yang tinggi baik dari segi air, tanah ataupun dalam memperoleh cahaya serta waktu yang dibutuhkan cukup lama untuk mencapai stratum A menyebabkan hanya beberapa pohon saja yang dapat melewatinya. Kusmana dan Susanti (2015) mengatakan untuk mencapai stratum A, hanya pohon yang berumur tua dari jenis pohon klimaks saja yang mampu, sehingga jumlah pohonnya sedikit dan muncul diskontinyu.
Sedangkan stratum B dan C banyak ditempati oleh pohon-pohon muda, dimana untuk mencapai startum tersebut biasanya memerlukan waktu yang lebih pendek. Lapisan B dan C yang umumnya merupakan pohon banyak cabang serta memiliki tajuk yang kontinyu. tidak seragamnya tajuk-tajuk pohon (stratum) di kawasan Hutan Alam Desa Papaso, atau dengan kata lain di hutan ini terdapat perbedaan kelas umur dari setiap vegetasi. Hal ini disebabkan karena pada hutan hujan tropis, faktor lingkungan berfluktuasi. Seperti yang umum dijumpai pada tegakan hutan alam di hutan hujan tropis bahwa stratifikasi (pelapisan tajuk hutan) berkembang dengan baik sehingga hutan hujan tropis yang sempurna akan memiliki lima strata atau lapisan tajuk hutan, yaitu strata A, B, C, D dan E.