(Eurycoma longifolia), HUTAN ALAM BATANG LUBU SUTAM, KABUPATEN PADANG LAWAS
SKRIPSI
RIO AFANDI 151201114
DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KABUPATEN PADANG LAWAS
SKRIPSI Oleh : RIO AFANDI
151201114
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rio Afandi NIM : 151201114
Judul Skripsi : Komposisi, Struktur dan Status Regenerasi Jenis di Habitat Pasak Bumi (Eurycoma longifolia), Hutan Alam Batang Lubu Sutam Kabupaten Padang Lawas
Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan- pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Medan, September 2020
Rio afandi 151201114
ABSTRAK
RIO AFANDI: Komposisi, Struktur dan Status Regenerasi Jenis di Habitat Pasak Bumi (Eurycoma longifolia), Hutan Alam Batang Lubu Sutam, Kabupaten Padang Lawas. Di bawah bimbingan ARIDA SUSILOWATI
Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) merupakan salah satu tumbuhan obat yang memiliki banyak manfaat. Pengambilan akar pasak bumi secara illegal, alih fungsi lahan menjadi perkebunan serta proses regenerasi yang rendah menyebabkan populasi pasak bumi di alam semakin menurun, dan sejak 2006 telah dinyatakan sebagai tanaman yang dilindungi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis komposisi, struktur tegakan dan mendapatkan infomasi mengenai status regenerasi jenis di hutan Batang Lubu Sutam yang merupakan habitat pasak bumi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dimana plot diletakan secara acak setelah ditemukan pasak bumi dengan cara petak tunggal. Hasil penelitian menemukan 41 jenis pada tingkat semai, 44 jenis pada tingkat pancang, 35 jenis pada tingkat tiang dan 36 jenis pada tingkat pohon.
Jenis meranti bunga merupakan jenis yang dominan dihampir semua tingkatan pertumbuhan sedangkan pasak bumi hanya ditemukan pada tingkat semai dan pancang. Struktur tegakan yang tebentuk menunjukkan pola umum dengan bentuk J terbalik (bentuk L). Indeks keanekaragaman hayati pada hutan alam Desa Papaso untuk semua tingkat pertumbuhan dikategorikan tinggi. Status regenerasi dari 48 jenis yang ditemukan menunjukan 30 e a da a a e ba , 10 e a a e ba be e e e a , 4 e a a e b da 4 je a a e be a da be e e e a . Sementara itu pasak bumi
e a ba be e e e a
Kata Kunci: Komposisi, struktur tegakan, status regenerasi, pasak bumi
ABSTRACT
RIO AFANDI: Composition, Structure and Status of Stand Regeneration in the Habitat of longjack (Eurycoma longifolia), Natural Forest of Papaso Village, Batang Lubuk Sutam District, Padang Lawas Regency.
Supervised by ARIDA SUSILOWATI
Eurycoma longifolia Jack is one medicinal plants with various utilization.
Illegal harvesting for its root, land conversion and lower natural regeneration causing decrease of longjack population, so that since 2006 this species classified into protected plant. The purpose of this study are to analyze the species composition, stand structure and to obtain information about regeneration status of species in the Batang Lubu Sutam forest which is a habitat of longjack. The study was conducted using a purposive sampling technique where the plot was randomly placed after longjack found using a single plot. The results showed that 41 species found in seedlings stage, 44 species found in saplings stage, 35 species found in poles stage and 36 species found in of tree stage. Species composition dominated by Meranti bunga in all growth stage, whereas lomgjack are only found at seedling and sapling stage. Stand structure formed shows a general pattern with an inverted J or L form. Biodiversity Index on natural forests of Papaso Village classified into high. Regeneration status of 48 species found showed 30 species classified into "good", 10 species classified into "new regenerated", 4 species classified into "poor" and 4 species classified into "none".
whereas longjack classified into a "new regeneration"
Keywords: Species composition, stand structure, regeneration status, Eurycoma longifolia Jack
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 11 Mei 1997 sebagai anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Nano (Alm) dan Ibu Misiatik. Pada Tahun 2009 penulis lulus dari SDN 060930 Medan. Penulis kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri 28 Medan dan lulus pada tahun 2012. Lalu penulis lulus pada tahun 2015 dari SMA YPK Medan. Pada tahun 2015, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Tahun 2016 penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dikawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Pondok Buluh. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah KPH Kedu Utara pada tanggal 23 Juli sampai 23 Agustus 2018.
Penulis aktif di organisasi Rain Forest sebagai anggota English club, Ikatan Mahasiswa Peduli Masyarakat (IMPM) sebagai anggota divisi dana dan usaha, Korps Mahasiswa Pencinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup Universitas Sumatera Utara (KOMPAS USU) sebagai staf operasional. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Komposisi, Struktur dan Status Regenerasi Jenis di Habitat Pasak Bumi (Eurycoma longifolia), Hutan Alam Batang Lubu Sutam Kabupaten Padang Lawas dibawah bimbingan Dr. Arida Susilowati S.Hut., M.Si
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Komposisi, Struktur dan Status Regenerasi Jenis di Habitat Pasak Bumi (Eurycoma longifolia), Hutan Alam Batang Lubu Sutam, Kabupaten Padang Lawas . Penulisan skripsi ini merupakan syarat dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Penulis banyak menerima bimbingan, motivasi, saran dan juga doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Teristimewa dari kedua orang tua dan kakak penulis yang sangat sayangi yang tidak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa, dukungan, juga nasihat yang tulus sampai sekarang ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Arida Susilowati, S.Hut., M.Si selaku komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D sebagai Ketua Departemen Budidaya Hutan dan Ibu Dr. Deni Elfiati, SP., MP selaku Sekretaris Departemen Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Irawati Azhar, S.Hut, M.Si. Ridahati Rambey, S,Hut., M.Si. M.Si. Dr.
Anita Zaitunah, S.Hut, M.Sc. selaku dosen penguji ujian sidang meja hijau yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menulis dan menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh sahabat penulis yaitu Tim Penelitian, Tim PKL KPH Kedu utara,teman teman KOMPAS-USU, HUT D 2015, BDH 2015 dan seluruh teman teman dan adik-adik junior yang telah membantu dan memberi semangat dalam proses penelitian.
Penelitian ini terlaksanakan atas bantuan hibah penelitian dosen skema Penelitian Dasar dengan Sumber Dana Talenta USU 2018. penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat ke berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, September 2020
Rio afandi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Kegunaan Penelitian... 2
TINJAUAN PUSTAKA Pasak Bumi ... 3
Struktur Tegakan ... 4
Status Regenerasi ... 6
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 8
Alat dan Bahan ... 8
Prosedur Penelitian... 8
Metode pengumpulan data ... 9
Analisi data ... 9
Indeks Nilai Penting ... 10
Indeks Keanekaragaman Jenis (H´) ... 11
Indeks Kekayaan Jenis (R) ... 11
Indeks Kemerataan Jenis (
E
) ... 12Indeks Kesamaan Komunitas (IS) ... 12
Struktur Tegakan ... 13
Analisis Data Regenerasi ... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi jenis ... 14
Indeks Keanekaragaman Jenis ... 19
Indeks Kemerataan Jenis ... 20
Indeks Kekayaan Jenis ... 20
Indeks Kesamaan Komunitas (IS) ... 21
Struktur Tegakan ... 21
Struktur Kerapatan individu ... 21
Struktur Tegakan vertikal ... 24
Status Regenerasi ... 25
KESIMPULAN Kesimpulan ... 29
Saran ... 29
DAFTAR PUSTAKA ... 30
LAMPIRAN ... 36
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Kriteria indeks keanekaragaman jenis ... 11
2. Kriteria indeks kekayaan jenis ... 12
3. Kriteria indeks kemerataan jenis ... 12
4. Sepuluh jenis tumbuhan tingkat semai dengan INP tertinggi pada lokasi penelitian ... 15
5. Sepuluh jenis tumbuhan tingkat pancang dengan INP tertinggi pada lokasi penelitian tingkat pancang... 16
6. Sepuluh jenis tumbuhan tingkat tiang dengan INP tertinggi pada lokasi penelitian tingkat tiang ... 17
7. Sepuluh jenis tumbuhan tingkat pohon dengan INP tertinggi pada lokasi penelitian tingkat pohon ... 18
8. Indeks keanekaragaman jenis ... 19
9. Indeks kemerataan jenis ... 20
10. Indeks kekayaan jenis ... 20
11. Indeks kesamaan komunitas ... 21
12. Status regenerasi ... 26
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Peta lokasi penelitian ... 8
2. Bentuk dan ukuran petak contoh ... 9
3. Struktur kerapatan individu/ha ... 22
4. Struktur tegakan horizontal... 24
5. Struktur tegakan vertikal... 24
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Halaman
1. Tally sheet analisis vegetasi ... 36 2. Hasil analisis vegetasi di hutan alam Batang Lubu Lutam, Kabupaten
Kadang Lawas ... 37 3. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis, kekayaan jenis,
kemerataan jenis ... 41 4. Dokumentasi analisis vegetasi pasak bumi ... 45
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara dengan pusat penyebaran keanekaragaman hayati. Tidak kurang dari 82 % jenis tumbuhan obat hidup di hutan tropika dengan ketinggian dibawah 1000 meter dari permukaan laut. Salah satu jenis tumbuhan obat yang terancam kelestariannya karena banyak dieksploitasi adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) (Zuhud, 2015).
Eurycoma longifolia Jack (Simaroubaceae) adalah semak asli yang tumbuh di tanah berpasir di Asia Tenggara. Tumbuhan Ini disebut "Tongkat Ali", yang secara harfiah dikaitkan dengan akar yang panjang bengkok dan akarnya telah digunakan oleh masyarakat adat sebagai obat tradisional untuk beberapa penyakit, terutama demam malaria dan secara bersamaan, pasak bumi adalah obat tradisional kuat yang memiliki khasiat yang baik pada diabetes (Tsai et al., 2020).
Senyawa kimia menunjukkan bahwa daun pasak bumi mengandung beberapa senyawa penting, yaitu: canthin (anti-kanker), etanol (afrodisiak), anti-malaria (eurycomanone), dan anti-HIV (quainoid), sedangkan senyawa aktif lainnya adalah saponin, tanin, dan alkaloid sangat baik untuk meningkatkan sirkulasi darah (Supartini et al., 2020) dan mengurangi pengeroposan tulang serta dapat memanajemen menopause (Chinnappan et al., 2020)
Pada masyarakat Batak, pasak bumi dimanfaatkan sebagai obat demam, malaria, sakit perut, dan penambah stamina. Pasak bumi di Sumatera Utara ditemukan di hutan primer atau agroforestry karet yang telah lama ditinggal petani (Silalahi, 2015). Umumnya pasak bumi biasanya tumbuh di bawah kanopi vegetasi sekitarnya (Fithria, 2020). Hutan primer, hutan sekunder dan hutan bekas tebangan memiliki perbedaan struktur, komposisi jenis dan nilai potensi.
Gangguan alam dan atau antropogenik dalam kurun waktu tertentu juga akan menyebabkan perbedaan yang signifikan pada struktur dan komposisi jenisnya.
Secara umum struktur tersebut digambarkan dengan kerapatan, luas bidang dasar, distribusi dan kelas diameter (Wahyuni dan Mokodompit, 2016).
Regenerasi sangat berkaitan dengan struktur dan komposisi hutan.
Regenerasi adalah suatu proses dimana pohon melewati siklus hidupnya di dalam
hutan untuk bertahan hidup pada lingkungan yang berbeda beda. Status regenerasi dapat dilihat dengan melihat ketersediaan individu pada tingkat pohon dan generasi dibawahnya. Pengetahuan tentang regenerasi hutan memiliki peranan penting untuk pengelolaan hutan dan menjadi salah satu bidang pendorong kehutanan (Pokhriyal et al., 2010).
Kawasan hutan Kecamatan Batang Lubu Sutam merupakan salah satu habitat pasak bumi dan menjadi kawasan strategis yang kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sangat berpotensi untuk menjadi kawasan strategis lingkungan hidup. Namun, deforestasi, fragmentasi habitat kebakaran dan tekanan antropogenik menjadi ancaman serius bagi konservasi keanekaragaman hayati khususnya tumbuhan pasak bumi. Pengambilan pasak bumi di alam liar telah menyebabkan kelangkaan populasinya serta regenerasi alami pasak bumi dan jenis disekitarnya dapat terganggu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini berusaha mengisi celah informasi terkait komposisi, struktur dan status regenerasi di habitat pasak bumi.
Informasi tersebut sangat diperlukan dalam membantu pengelolaan hutan secara lestari maupun kegiatan konservasi habitat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis komposisi jenis tumbuhan di habitat pasak bumi, Hutan Batang Lubu Sutam, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara
2. Menganalisis struktur tegakan di habitat pasak bumi, Hutan Batang Lubu Sutam, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara
3. Mendapatkan informasi mengenai status regenerasi jenis yang berada di habitat pasak bumi
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk :
1. Memberikan kontribusi informasi ilmiah mengenai komposisi, struktur tegakan dan status regenerasi di sekitar habitat pasak bumi yang diperlukan sebagai landasan dasar dalam pengelolaan hutan secara lestari oleh pihak pihak terkait
TINJAUAN PUSTAKA
Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)
Menurut Angiosperm Phylogeny Group (2003), Pasak bumi memiliki taksonomi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Famili : Simaroubaceae
Genus : Eurycoma
Spesies : Eurycoma longifolia Jack.
Pasak bumi memiliki habitus pohon kecil hingga 15 meter namun umumnya dijumpain di hutan berbentuk semak, dengan komposisi daun majemuk menyirip ganjil. Daun majemuk yang diatas lebih padat dari yang di batangnya. Panjang daun dapat mencapai 1 m, dengan ciri khas adanya serat-serat pada daging daun (Setyaningrum et al., 2017). Pasak bumi memiliki bunga dengan komposisi
tandan majemuk dan mulai berbunga pada umur antara 2-3 tahun (Zulfahmi, 2015). Untuk pasak bumi asal Sumatera biasanya berbunga dan
berbuah terbanyak pada bulan September-Nopember, sedangkan di Kalimantan masa berbunga dan berbuah terbanyak pada bulan Juli-Agustus. Pasak bumi memiliki warna kulit buah merah kehitaman saat mulai masak (Susilowati, 2008).
Jumlah individu dewasa sedikit dijumpai karena pengambilan akar pasak bumi pada tingkat dewasa. Pengambilan pasak bumi secara terus menerus berpotensi mengakibatkan kelangkaan karena mematikan pohon induk (Kartikawati, 2014).
Pasak bumi memiliki beberapa senyawa aktif dalam kelompok terpenoid dan alkaloid. Senyawa-senyawa memiliki potensi, seperti pada seksual aktivitas, antikanker dan antimalaria (Rahmalia et al., 2011). Akar pasak bumi yang juga mengandung senyawa turunan saponin, tannin dan lainnya. Pada masyarakat
pedesaan tanaman ini digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti sakit perut, demam dan luka di gusi (Damayanti dan Sukesi, 2014). Pasak bumi juga digunakan juga untuk mengobati tapal untuk sakit kepala, luka, borok, bisul, ketombe dan sipilis (Padua et al., 1999). Daun pasak bumi dipakai sebagai obat disentri, sariawan, dan meningkatkan nafsu makan (Heriyanto et al., 2006).
Pasak bumi tumbuh di hutan tropis bersama dengan jenis dipterocarpaceae lainnya dengan curah hujan yang cukup tinggi namun dengan tanah yang tidak tergenang air dan lebih menyukai kondisi tanah yang miring dengan aerasi yang baik ataupun banyak mengandung pasir. Pasak bumi lebih menyukai tanah yang memiliki pH agak asam dan berpasir ditemukan pada daerah dengan ketinggian 0 700 mdpl. Tanah tempat tumbuh pasak bumi umumnya adalah tanah yang miskin hara seperti podsolik merah kuning dengan tekstur tanah lempung liat berpasir (Sinambela et al., 2017).
Struktur Tegakan
Secara keseluruhan struktur tegakan didefinisikan sebagai hubungan antara banyaknya vegetasi dengan kelas diameter dalam kawasan hutan tropika (Heriyanto dan Subiandono, 2012). Dalam mempelajari struktur tegakan hutan, individu kelas diameter batang dapat dijadikan indikatornya, yang umumnya sebaran kelas diameter batang jumlah individu terbesar dicapai oleh kelompok ukuran diameter batang paling kecil, sedangkan jumlah individu sedikit biasanya terdapat pada kelas diameter batang lebih besar (Sadili, 2012).
Nilai kerapatan suatu jenis vegetasi menunjukkan jumlah individu jenis vegetasi bersangkutan pada satuan luas tertentu, maka nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah jenis vegetasi tersebut pada masing-masing tipe ekosistem/tipe vegetasi hutan. Namun demikian, nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran distribusi dan pola penyebaran suatu jenis vegetasi (Gunawan et al., 2011).
Nilai kehadiran ataupun distribusi suatu jenis menunjukkan penyebaran jenis tersebut pada habitatnya. Jenis-jenis yang menyebar secara luas akan mempunyai nilai kehadiran relatif yang tinggi, demikian pula sebaliknya jenis- jenis yang penyebarannya sempit akan mempunyai nilai kehadiran relatif yang rendah. Untuk tumbuhan yang mempunyai toleransi yang lebar, akan terdistribusi
sangat luas sehingga nilai kehadiran relatifnya akan lebih tinggi dari yang lain (Martono, 2012). Nilai dominasi dari suatu jenis vegetasi dapat dihitung bedasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan vegetasi tersebut dan ukuran rata-rata diameter batang (Arrijani et al., 2006).
Indeks nilai penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi pada setiap jenis vegetasi. Keadaan indeks nilai penting pada suatu kawasan akan menggambarkan pola dominansi suatu jenis utama dalam suatu tegakan hutan, yaitu menunjukan suatu tegakan hutan hanya dikuasai oleh satu jenis saja atau terjadi pemusatan pada satu jenis pohon (Odum, 1971).
Biodiversitas atau juga dikenal dengan istilah keanekaragaman hayati e d a a a e a e a aa e (R), ea e a a a a e (H ) dan kemerataan jenis (E) (Magurran, 1988). Keanekaragaman jenis adalah suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis. Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang tinggi (Deviyanti, 2010).
Pada hutan dengan kanopi yang rapat berkurangnya sinar matahari yang masuk dapat menyebabkan biji yang ada di dalam hutan tidak berkembang dengan baik. Hal tersebut mempengaruhi tingkat keanekaragaman pada beberapa tingkatan pertumbuhan khususnya semai dan pancang (Siappa et al., 2016).
Sedangkan tingginya keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas menunjukan bahwa semakin tinggi kemampuan jenis lain untuk tumbuh berkembang pada kawasan tersebut. Hal ini disebabkan karena vegetasi hutan yang beranekaragam mempunyai variasi terhadap kondisi fisik dan kimia tanah. Keanekaragaman yang lebih tinggi menunjukan rantai makanan yang lebih panjang dan lebih banyak,
serta tingkat simbiosis semakin banyak sehingga komunitas yang ada di hutan tersebut semakin baik (Putra et al., 2017).
Indeks kemerataan jenis adalah perataan penyebaran individu dari jenis organisme yang menyusun komunitas, dan menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Untuk menilai kemantapan atau kestabilan jenis dalam suatu komunitas dapat digunakan nilai indeks kemerataan jenis. Semakin tinggi nilai kemerataan, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas semakin stabil dan semakin rendah nilai kemerataan, maka kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin rendah (Kuswandi et al., 2015).
Indeks kekayaan jenis menunjukkan kekayaan jenis pada suatu komunitas.
Kekayaan jenis pada setiap tingkatan pertumbuhan berbeda-beda. Jenis yang dapat tumbuh adalah jenis-jenis yang bisa beradaptasi atau cocok tumbuh dengan lingkungan sekitar hutan tersebut. Pengaruh lingkungan seperti cahaya yang masuk hingga ke lantai hutan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tingkat semai ataupun pancang. Namun, hutan dengan tajuk yang rapat sehingga cahaya yang masuk tidak sampai lantai hutan juga mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan muda sehingga jumlah individu pada tingkat semai ataupun pancang lebih banyak pada hutan dengan tajuk tidak terlalu rapat yang memungkinkan cahaya masuk hingga ke lantai hutan (Haryadi, 2017).
Status regenerasi
Regenerasi adalah kemampuan suatu jenis untuk menyelesaikan siklus hidup dan proses kunci untuk keberadaan jenis dalam suatu komunitas di bawah kondisi lingkungan yang berbeda-beda (Khumbongmayum et al., 2005). Status regenerasi tegakan pohon dapat diketahui dengan membandingkan kekayaan jenis dan keanekaragaman jensi antara tingkat pohon dan generasinya yaitu pancang dan semai. Fase semai dan anakan pohon fase pancang merupakan fase paling kritis dalam siklus hidup individu suatu jenis tumbuhan karena pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi (Utami et al., 2014). Menurut Sukumar et al. (1992), regenerasi pohon dipertimbangkan dan diklasifikasikan berdasarkan banyaknya bibit dan dibandingkan dengan kondisi tahap dewasa.
Tahap ini merupakan masa seleksi untuk dapat menentukan jenis apa yang mampu tumbuh dan bertahan hidup, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
komposisi dan keragaman jenis komunitas hutan tersebut (Utami et al., 2014).
Kehadiran jumlah bibit yang memadai menandakan perekrutan dan perkecambahan spesies yang lebih baik di hutan. Di sisi lain, dominasi bibit dan anakan yang tumbuh di bawah pohon dewasa juga mempengaruhi komposisi komunitas di masa depan. Ketiadaan bibit dan anakan jensi pohon di hutan merupakan petunjuk menuju regenerasi yang buruk (Susilowati et al., 2019b).
Studi umum tentang regenerasi pohon tropis hanya berfokus pada tahap pembibitan, yang biasanya lebih berlimpah daripada tahap dewasa (Tripathi dan Khan 2007).
Status regenerasi suatu d d da a d ba eda a ba (good) , b (poor) , c (fair) , ba be e e e a (new) da da beregenerasi (none) (Ha d et al., 2017). Pada jenis-jenis yang memiliki status regenerasi ba (good) e e -spesies tersebut memiliki jumlah anakan yang baik juga, sedangkan jenis-jenis yang tidak beregenerasi kemungkinan dikarenakan akumulasi serasah yang tebal yang dapat mengurangi perkecambahan biji pada sebagian besar jenis dihutan. Tegakan hutan yang dicirikan oleh banyaknya jenis dewasa atau tidak adanya atau populasi bibit dan anakan yang sangat rendah diperkirakan akan menghadapi kepunahan lokal (Pokhriyal et al., 2010).
Jenis yang memiliki status regenerasi dalam kategori "buruk (poor)" dan
"tidak beregenerasi (none)" mungkin telah terjadi karena gangguan yang ada di hutan seperti, penggembalaan yang berlebihan, pengumpulan kayu bakar dan potensi biotik yang buruk dari spesies pohon yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih atau keberhasilan konversi pembibitan ke tahap anakan (Bogale et al., 2017). Sedangkan kategori baru beregenerasi mungkin dapat terjadi dikarenakan individu dewasa sangat miskin dan telah ditebang oleh penduduk setempat tetapi benih tetap sebagai bank benih yang berkecambah selama musim yang menguntungkan. Di sisi lain, regenerasi suatu spesies dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cahaya, kerapatan kanopi, kelembaban tanah, nutrisi dan tekanan antropogenik (Sarkar dan Devi, 2014).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2019.
Penelitian ini dilakukan di kawasan Bukit Sipara-para Batang Lubu Sutam, Padang Lawas, Sumatra Utara
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer, Global Positioning System (GPS), kamera digital, pita ukur, patok, phiband, hagameter, parang, tali rafia, kertas koran, label, kompas, dan alat tulis, tally sheet, peta lokasi penelitian, kantung plastik besar/keranjang. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seluruh vegetasi dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang terdapat dalam petak contoh.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap, yaitu pengambilan data di lapangan berupa analisis vegetasi dan analisis data. Variabel-variabel yang
diamati dalam penelitian ini yaitu jumlah individu dari vegetasi tingkat semai dan pancang, serta diameter dan tinggi dari vegetasi berkayu tingkat tiang dan pohon.
1. Metode pengumpulan data
Kegiatan analisis vegetasi di lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dimana plot-plot tersebut dipilih setelah ditemukan adanya pasak bumi dengan cara petak tunggal yang diletakan secara acak berdasarkan informasi keberadaanya oleh masyarakat. Petak contoh berukuran 20 m x 20 m untuk fase pohon dan di dalam petak contoh ini dibuat sub-sub plot berukuran 10 m x 10 m untuk fase tiang, 5 m x 5 m untuk fase pancang dan 2 m x 2 m untuk fase semai.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan be a de a d a e e ba a 20 c ; a ada a e daa pohon dengan diameter batang antara 10-20 cm; pancang adalah permudaan pohon dengan diameterbatang < 10 cm dan tinggi di atas 1,5 m; semai adalah permudaan pohon mulaidari kecambah sampai dengan tinggi 1,5 m. Desain unit contoh vegetasi di lapangan secara detail dapat dilihat pada Gambar 1.
Keterangan : Petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan pohon.
Petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengamatan tiang.
Petak berukuran 5 m x 5 m untuk pengamatan pancang.
Petak berukuran 2 m x 2 m untuk pengamatan semai.
Gambar 2. Bentuk dan ukuran petak contoh 2. Analisis Data
Data hasil analisis vegetasi yang peroleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan perhitungan indeks nilai penting (INP), indeks keanekaragaman jenis, indeks kekayaan jenis, dan indeks kemerataan jenis. Indeks kesamaan komunitas, struktur tegakan, dan status regenerasi.
A. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi (penguasaan) suatu jenis dalam komunitas tertentu dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) darisuatu jenis (Soerianegara dan Irawan, 1982) yang dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
a. Kerapatan suatu jenis (K) (ind/ha) K = Individu suatu jenis
Luas petak contoh
b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) (%) KR = Kerapatan suatu jenis
× 100%
Kerapatan seluruh jenis c. Frekuensi suatu jenis (F)
F = S b e a d e a a suatu jenis Se b e a c
d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) (%) FR = Frekuensi suatu jenis
× 100%
Frekuensi seluruh jenis
e. Dominansi suatu jenis (D) (m2/ha). D hanya dihitung untuk tingkat tiang dan pohon.
D = Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak contoh
Luas bidang dasar (LBDS) suatu pohon yang digunakan dalam menghitung dominansi jenis didapatkan dengan rumus:
LBDS = * R2
Seluruh sub petak contoh
Dimana R adalah jari-jari lingkaran dari diameter batang; D adalah DBH. LBDS yang didapatkan kemudian dikonversi menjadi m2
f. Dominansi relatif suatu jenis (DR) (%) DR = D suatu jenis
× 100%
D seluruh jenis
g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)
Untuk tingkat pohon dan tiang adalah INP = KR + FR + DR
Untuk tingkat semai, pancang dan tumbuhan bawah adalah INP = KR + FR
B. Indeks Keanekaragaman Jenis (H´)
Untuk menghitung indeks keanekaragaman jenis pada suatu komunitas dapat menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Soerianegara dan Irawan, 1982) dengan rumus sebagai berikut:
H′ ∑= 𝑃𝑖 ln 𝑃𝑖 ;𝑃𝑖 Keterangan:
H´ = Indeks keanekaragaman jenis
Pi = Rasio antara jumlah spesies i (ni) dengan jumlah spesies individu total dalam komunitas (N)
ni = Jumlah individu suatu jenis N = Jumlah seluruh individu
Kriteria komunitas berdasarkan indeks kekayaannya disajikan padaTabel 1.
Tabel 1. Kriteria Indeks Keanekaragaman Jenis
Kriteria Indeks keanekaragaman jenis
Tinggi > 2.0
Sedang 2.0
rendah < 1.0
C. Indeks kekayaan jenis (R)
Pada penelitian ini untuk menghitung indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas dapat menggunakan indeks margalef (Soerianegara dan Irawan, 1982) sebagai berikut :
R=
−Keterangan:
R = Indeks kekayaan jenis S = Jumlah jenis spesies N = Jumlah individu spesies
Kriteria komunitas berdasarkan indeks kekayaannya jenis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Indeks Kekayaan Jenis
Kriteria Indeks kekayaan jenis
Tinggi >5.0
Sedang 3.5-5.0
Rendah < 3.5
D. Indeks Kemerataan Jenis (
E
)Untuk mengetahui struktur komunitas pohon dalam plot penelitian maka dihitung nilai indeks kemerataan antar jenis atau indeks Evennes (E) (Soerianegara dan Irawan, 1982) dengan rumus sabagai berikut:
E =
´Keterangan:
E = Indeks kemerataan jenis
H´ = Indek Shannon
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Kriteria komunitas berdasarkan indeks kemerataan jenis disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria Indeks kemerataan Jenis
Kriteria Indeks kemerataan jenis
Tinggi >0.6
Sedang 0.3-0.6
Rendah < 0.3
E. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)
Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas tumbuhan dari dua tegakan yang dibandingkan pada setiap tingkat pertumbuhan. Nilai IS dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan, 1982):
IS= x 100 % Keterangan:
IS = Indeks Kesamaan Komunitas
A = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam komunitas A yang dibandingkan
B = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam komunitas
W =Jumlah nilai kuantitatif yang sama atau terendah dari dua jenis-jenis yang terdapat dalam dua komunitas dibandingkan
Nilai IS berkisar antara 0 100% dimana semakin tinggi nilai IS, maka komposisi jenis semakin sama.
F. Struktur Tegakan
Untuk melihat struktur tegakan horizontal dan vertikal, data hasil analisis vegetasi dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan bantuan microsoft excel.
Struktur horizontal dibuat dengan menghubungkan semua jenis pohon yang dijumpai dengan dengan kelas diameternya. Sementara itu struktur vertikal dikuantifikasi dengan menggunakan melihat tinggi pohon dan kerapatan pohon.
Pengukuran dan perhitungan struktur tegakan ini mengacu kepada (Wahyu, 2002) G. Stratus Regenerasi
Status regenerasi dianalisis dengan menghitung proporsi permudaan (semai dan pancang) dengan potensi pohon dewasa (tiang dan pohon). Parameter status
regenerasi mengacu pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh Sarkar dan Devi (2014); Hamid et al. (2015); Malik dan Bhatt (2016);
Bogale et al. (2017); Rawat et al. (2018) yaitu :
1. Baik (good) apabila jika ada jumlah semai a ca de a a 2. Cukup (fair) apabila jumlah semai pancang dewasa
3. Buruk (poor) apabila jika suatu spesies hanya bertahan dalam tahap anakan, tetapi tidak sebagai semai (meskipun anakan mungkin kurang dari, lebih dari, atau sama dengan dewasa);
4. Tidak beregenerasi (none) apabila tidak ada spesies baik pada tingkat pancang maupun anakan
5. Baru regenerasi (new) bila tidak terdapat dewasa tetapi hanya pada tingkat pertumbuhan anakan dan tingkat pertumbuhan pancang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Informasi mengenai komposisi jenis dan pola keanekaragaman merupakan hal mendasar untuk konservasi kawasan alam dan pola-pola ini sering menjadi fokus studi ekologi. Pengetahuan tentang komposisi jenis dari komunitas tumbuhan adalah prasyarat untuk memahami keseluruhan struktur dan fungsi ekosistem (Susilowati et al., 2019a).
Analisis kuantitatif suatu keanekaragaman dan status regenerasi spesies yang pada penelitian ini dapat memberikan informasi dasar untuk merumuskan strategi konservasi dan pengelolaan untuk hutan alam Desa Papaso yang merupakan habitat pasak bumi. Belum diperoleh data terdahulu mengenai kondisi habitat pasak bumi di hutan alam Desa Papaso berdasarkan keragaman, pendekatan struktur vegetasi dan status regenerasinya.
Hasil analisis vegetasi menemukan distribusi dan konsistensi rangking yang berbeda antar individu penyusun hutan di Desa Papaso pada tingkat semai, pancang, tiang maupun pohon. Konsistensi rangking tersebut didekati dengan menggunakan nilai INP. Adanya keanekaragaman biasanya dianggap sebagai fungsi dari distribusi relatif individu di antara jenis. Keragaman spesies diatur oleh faktor jangka panjang seperti stabilitas komunitas dan waktu evolusi karena heterogenitas mikroklimat dan makroklimat mempengaruhi diversifikasi di antara komunitas yang berbeda (Verma et al., 2004).
A. Komposisi Jenis
Sifat komunitas hutan sangat tergantung pada karakteristik ekologis lokasi, keanekaragaman jenis, dan status regenerasi jenis pohon. Informasi kuantitatif tentang komposisi, distribusi, dan kelimpahan pohon adalah kunci penting untuk memahami bentuk dan struktur komunitas hutan dan juga untuk perencanaan dan implementasi strategi konservasi komunitas. Keanekaragaman pohon adalah semua jenis-jenis pohon yang ada di dalam hutan. Hutan alam cenderung secara alami memiliki berbagai macam jenis vegetasi. Keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi membantu hutan tetap menjaga keseimbangan ekologi. Kajian
kelestarian hutan tidak lepas dari keberadaan komunitas pohon (Safe i et al., 2018). Dalam kasus ekosistem hutan, pohon bertanggung jawab atas
keseluruhan struktur fisik habitat, dan karenanya pohon secara mendasar dianggap sebagai cetakan untuk kompleksitas struktural dan heterogenitas lingkungan (Malik dan Bath, 2016).
Desa Papaso merupakan salah satu habitat pasak bumi yang terletak di bukit (Sipara-para) dengan areal hutan seluas 500 Ha. Kawasan hutan ini termasuk pada kawasan register 40 dan dikategorikan pada Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Hasil penelitian awal yang dilakukan Susilowati et al. (2019a) menemukan bahwa pasak bumi ditemukan di bukit Sipara-para pada ketinggian 280-700 mdpl dan dominan pada ketinggian 450-700 mdpl. Dari Iklim mikro pada habitat pasak bumi memiliki kisaran dari 27-30oC, sementara kelembabannya antara 60-89%.
Adanya aktifitas pengambilan pasak bumi yang berlebihan dapat menyebabkan terancamannya keberadaan pasak bumi dari pendekatan struktur vegetasi dan status regenerasi. Sebagai satu kesatuan kompleksitas, diduga kondisi tersebut juga mengancam jenis lainnya pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan 41 jenis vegetasi. Jenis yang dominan berdasarkan INP pada tingkat semai secara berurut adalah yaitu pasak bumi, meranti bunga, hapinis, kandis babi, rao-rao, meranti kuning, meranti bosi, baja-baja, dan ubahan (Tabel 4).
Tabel 4. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat semai
No Nama jenis Nama latin K
(ind/Ha) KR
(%) F FR
(%)
INP (%) 1 Pasak Bumi Eurycoma longifolia 6316 10,28 1,00 11,73 22,01 2 Meranti Bunga Shorea leprosula 6316 10,28 0,68 8,02 18,30 3 Hapinis Soletia elongata 6316 10,28 0,63 7,41 17,69 4 Kandis Babi Garcinia dioica 5395 8,78 0,63 7,41 16,19 5 Rao-Rao Dracintomelon dao 3947 6,42 0,47 5,56 11,98 6 Meranti Kuning Shorea multiflora 3553 5,78 0,53 6,17 11,95 7 Meranti Bosi Shorea spp 3289 5,35 0,42 4,94 10,29 8 Baja-Baja Spatholobus littoralis 2237 3,64 0,32 3,70 7,34 9 Modang Blumeodendron kurzii 2105 3,43 0,32 3,70 7,13 10 Ubahan Archidendron sp 1447 2,36 0,32 3,70 6,06 128,94 Sepuluh jenis dominan pada tingkat semai memiliki nilai penting akumulatif yang besar yaitu 128,94. Pasak bumi, meranti bunga dan hapinis memiliki nilai kerapatan yang sama yaitu 6316 individu/ha dengan kerapatan relatif yaitu 10,28. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pasak bumi, meranti
bunga dan hapinis merupakan jenis yang memiliki persebaran luas dan mendominasi pada hampir seluruh lokasi penelitian (Arrijani et al., 2006).
Pada tingkat pancang ditemukan 44 jenis. Meranti bunga merupakan jenis dengan nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 23,24 dan kemudian diikuti oleh hapinis, kandis babi, meranti kuning, rao-rao, meranti bosi, ubahan, pasak bumi, baja-baja, dan modang (Tabel 5). Pada tingkat pancang jumlah pasak bumi menurun drastis, hal ini disebabkan oleh perubahan lingkungan yang terjadi secara alami ataupun pengambilan pasak bumi hingga sampai pada tingkat pancang. Gangguan gangguan yang terjadi pada suatu jenis yang ada di hutan baik itu biotik, abiotik ataupun antropogenik akan mempengaruhi keanekaragaman yang ada dan mempengaruhi kekayaan jenis dan kemerataan
jenis serta keberlangsungan vegetasi yang ada di hutan tersebut (Susilowati et al., 2019a).
Tabel 5. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat pancang
No Nama jenis Nama latin K
(ind/Ha) KR
(%) F FR
(%)
INP (%) 1 Meranti Bunga Shorea leprosula 1284 14,45 0,68 8,78 23,24 2 Hapinis Soletia elongata 884 9,95 0,63 8,11 18,06 3 Kandis Babi Garcinia dioica 758 8,53 0,68 8,78 17,31 4 Meranti Kuning Shorea multiflora 589 6,64 0,47 6,08 12,72 5 Rao-Rao Dracintomelon dao 442 4,98 0,42 5,41 10,38 6 Meranti Bosi Shorea spp 442 4,98 0,37 4,73 9,71 7 Ubahan Archidendron sp 421 4,74 0,37 4,73 9,47 8 Pasak Bumi Eurycoma longifolia 274 3,08 0,47 6,08 9,16 9 Baja-Baja Spatholobus littoralis 337 3,79 0,37 4,73 8,52 10 Modang Blumeodendron kurzii 316 3,55 0,32 4,05 7,61 126,18 Pada tingkat tiang ditemukan 35 jenis, diantara 35 jenis terdapat 10 jenis yang paling dominan berdasarkan nilai penting dari setiap jenis (Tabel 6). Jenis tersebut adalah meranti bunga hapinis, kandis babi, meranti bosi, rao-rao, meranti kuning, meranti udang, baja-baja, palangas dan modang. Sepuluh jenis yang dominan di tingkat ini memiliki nilai penting akumulatif sebesar 159,948 %, hal ini termasuk besar dikarenakan melebihi setengah dari total INP maksimum pada tingkat tiang yaitu 300 %.
Pada tingkat tiang, meranti bunga masih menjadi jenis yang paling mendominasi. Beberapa faktor seperti kemampuan adaptasi jenis sangat
semai ke tingkat pertumbuhan berikutnya yaitu pancang, tiang, dan selanjutnya hingga tumbuh menjadi pohon besar. Secara umum, jenis-jenis vegetasi pada tingkat sebelumnya yang mempunyai INP tertinggi akan tumbuh menjadi vegetasi pada tingkat setelahnya (Gunawan et al., 2011).
Tabel 6. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat tiang.
No Nama
jenis Nama latin K (ind/ha)
KR
(%) F FR
(%) D (m²/ha)
DR (%)
INP (%) 1 Meranti
Bunga Shorealeprosula 216 17,6
7 0,68 10,4
8 0,16 3,98 32,13 2 Hapinis Soletia elongata 105 8,62 0,53 8,06 0,16 3,94 20,62 3 Kandis
Babi Garcinia dioica 89 7,33 0,47 7,26 0,15 3,66 18,24 4 Meranti
Bosi Shorea spp 74 6,03 0,37 5,65 0,14 3,58 15,26 5 Rao-Rao Dracintomelon
dao 74 6,03 0,32 4,84 0,14 3,5 14,38
6 Meranti Kuning
Shorea
multiflora 58 4,74 0,37 5,65 0,13 3,28 13,67 7 Meranti
Udang
Shorea
acuminata 68 5,6 0,26 4,03 0,14 3,58 13,22 8 Baja-Baja Spatholobus
littoralis 42 3,45 0,37 5,65 0,1 2,46 11,55 9 Palangas Aporaso aurita 42 3,45 0,26 4,03 0,12 3,06 10,54 10 Modang Blumeodendron
kurzii 42 3,45 0,26 4,03 0,11 2,85 10,33
159,9
Pada tingkat pohon, ditemukan 36 jenis pada lokasi penelitian. Sepuluh jenis dominan tersebut diantaranya meranti bunga, hapinis, meranti kuning, kandis babi, rao-rao, meranti bosi, ubahan, baja-baja, meranti udang, dan barangan (Tabel 7). Sepuluh jenis dominan yang disajikan memiliki nilai penting akumulatif yang cukup besar yaitu 164,25% dari total INP maksimum tingkat pohon yaitu sebesar 300%. Nilai penting ini bahkan melebihi setengahnya. Hal ini menunjukkan bahwa sepuluh jenis tersebut merupakan tumbuhan yang dominan berperan penting dalam komunitas tumbuhan. Sepuluh jenis tersebut belum mencakup seluruh jenis yang ada di areal hutan yang diteliti, masih terdapat beberapa jenis yang diperoleh dan tidak semuanya memiliki nilai penting tinggi.
Berdasarkan dominansi jenis pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon terlihat bahwa meranti bunga menjadi jenis dominan pada semua tingkatan tersebut. Penguasaan lahan pada jenis ini di setiap tingkatan tetap konsisten.
Kerapatan yang dimiliki jenis ini adalah 49 individu/ha dengan kerapatan relatif
sebesar 14,92 dan frekuensi relatif yang dimiliki pada jenis ini yaitu 10,37, untuk dominansi relatif yang dimiliki yaitu 2,72. Hal ini membuktikan jenis meranti bunga menjadi jenis yang paling tinggi daya adaptasi dengan segala perubahan lingkungan sekitarnya. Jenis yang memiliki INP tinggi berarti spesies tersebut lebih menguasai wilayah khususnya dalam memanfaatkan sumberdaya atau lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan jenis yang memiliki INP rendah, berarti jenis tersebut kurang dapat beradaptasi, baik dari segi memanfaatkan unsur hara maupun menyesuaikan dengan iklim seperti cahaya, suhu, curah hujan dan angina (Siappa et al., 2016)
Tabel 7. Sepuluh jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat pohon.
No Nama
jenis Nama latin K (ind/ha)
KR
(%) F FR (%)
D (m²/ha)
DR (%)
INP (%) 1 Meranti
Bunga
Shorea
leprosula 49 14,92 0,74 10,37 0,05 2,72 28,01 2 Hapinis Soletia
elongate 42 12,9 0,63 8,89 0,05 2,4 24,19 3 Meranti
Kuning
Shorea
multiflora 25 7,66 0,53 7,41 0,05 2,74 17,81 4 Kandis
Babi
Garcinia
dioica 18 5,65 0,58 8,15 0,08 3,88 17,67 5 Rao-Rao Dracintomelon
dao 24 7,26 0,53 7,41 0,06 2,91 17,58 6 Meranti
Bosi Shorea spp 24 7,26 0,42 5,93 0,06 3 16,18 7 Ubahan archidendron
sp 12 3,63 0,37 5,19 0,05 2,61 11,42 8 Baja-Baja Spatholobus
littoralis 12 3,63 0,37 5,19 0,05 2,57 11,39 9 Meranti
Udang
shorea
acuminate 13 4,03 0,21 2,96 0,06 3,07 10,07 10 Barangan aporaso aurita 11 3,23 0,26 3,7 0,06 3 9,93
164,2 Pada tingkat tiang dan pohon, tidak ditemukan adanya pasak bumi. Menurut penelitian sebelumnya oleh Susilowati et al. (2019) pemanenan yang berlebihan pada tahap dewasa menyebabkan jenis ini menghilang pada tingkat tiang dan pohon di hutan Tor Siparapara. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Kartikawati (2014) di hutan lindung gunung Ambawang-Pemancingan, eksploitasi yang berlebihan dan waktu yang lama untuk berkecambah serta lambatnya pertumbuhan menyebabkan kelangkaan pasak bumi. Hal ini dapat terjadi karena banyak nya manfaat yang dihasilkan dari tumbuhan pasak bumi
khususnya sebagai obat-obatan. Menurut Zulfahmi et al. (2015) yang melakukan penelitian di zona Alaman Kuyang, Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio, rendahnya jumlah pasak bumi ukuran pancang dan tiang dikarenakan besarnya minat masyarakat terhadap pasak bumi yang berukuran besar karena semakin besar ukuran pasak bumi maka semakin tinggi pula nilai jualnya dan biasanya tanaman pasak bumi yang berdiameter besar dibuat produk berupa gelas tempat minum yang diharapan bahan aktif yang terkandung dalam kayu pasak bumi terekstrak dan bermanfaat untuk kesehatan.
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
Nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) d a a a e (Tabe 8) ditemukan pada tingkat pancang (3,218) dan terendah ditemukan pada tingkat pohon (3,050). Namun secara keseluruhan nilai indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkatan pertumbuhan tergolong tinggi (H >3). Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis ini juga berbanding lurus dengan jumlah jenis yang ada pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan Mawazin dan Subiakto (2013) yang mengatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas dipengaruhi oleh besarnya kerapatan jumlah batang/ha, banyaknya jumlah jenis dan tingkat penyebaran masing-masing jenis. Tingginya keanekaragaman jenis pada hutan alam Desa Papaso ini menggambarkan kompleksnya komunitas serta variasi jenis tumbuhan yang ada di hutan tersebut. Deviyanti (2010) mengatakan bahwa tingginya keanekaragaman menunjukan kompleksitas yang tinggi karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antar jenis yang tinggi.
Tabel 8. Indeks keanekaragaman jenis
No Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis Indeks Keanekaragam Jenis
1 Semai 41 3,172
2 Pancang 44 3,218
3 Tiang 35 3,209
4 Pohon 36 3,050
Indeks kemerataan jenis (E)
Nilai indeks kemerataan (Tabel 9) tertinggi pada lokasi penelitian dijumpai pada tingkat tiang (0,902) sedangkan indeks terendah dijumpai pada tingkat pancang (0,850). Indeks kemereataan jenis untuk seluruh tingkatan pertumbuhan tergolong tinggi (E> 0.6). Hal ini menunjukkan kestabilan keanekaragaman jenis
dalam komunitas dengan sebaran meratanya pada semua wilayah (Kuswandi et al., 2015)
Tabel 9. Indeks kemerataan jenis
No Tingkat Pertumbuhan Indeks Kemerataan Jenis
1 Semai 0,854
2 Pancang 0,850
3 Tiang 0,902
4 Pohon 0,851
Indeks kekayaan Jenis (R)
Indeks kekayaan jenis menunjukkan kekayaan jenis pada suatu komunitas.
Kekayaan jenis tertinggi (Tabel 10) dijumpai pada tingkat pancang (7,113) dan terendah pada tingkat tiang (6,242). Jenis yang ditemukan pada pancang lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal tersebut menyebabkan nilai indeks kekayaannya juga tinggi. Tingginya nilai kekayaan pada permudaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan maupun penebangan liar sehingga cahaya dapat tembus hingga lantai hutan yang mengakibatkan melimpahnya permudaan pada tingkat semai ataupun pancang (Haryadi, 2017).
Tabel 10. Indeks kekayaan jenis
No Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis Indeks Kekayaan Jenis
1 Semai 41 6,508
2 Pancang 44 7,113
3 Tiang 35 6,242
4 Pohon 36 6,348
Indeks kesamaan komunitas
Indeks kesamaan komunitas menggambarkan tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis penyusun tegakan dari dua komunitas yang dibandingkan.
Mawazing dan Subiakto (2013) mengatakan bahwa apabila nilai indeks kesamaan jenis semakin tinggi maka komposisi jenis tegakan yang menyusun akan semakin serupa. Dan sebaliknya semakin rendah nilai indeks kesamaan jenis yang ada maka komposisi jenis semakin berlainan. Nilai indeks kesamaan berkisar 0-100%.
Semakin tinggi nilai indeks kesamaan komunitas maka semakin tinggi pula tingkat kemiripan jenis antara dua komunitas yang dibandingkan (Odum, 1996).
Kusmana dan Istomo (1993) dalam Wahyu (2002) mengatakan dalam
relatif serupa jika memiliki nilai IS minimal 75 %. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat semua komunitas tingkat pertumbuhan relatif berbeda kecuali tiang-pohon (IS 82,76 %).
Perbedaan komunitas pada tingkat pertumbuhan yang relatif berbeda dapat terjadi dikarenakan faktor lingkungan seperti kelebaban, pH tanah ataupun suhu (Kusmana dan Susanti, 2017). Aktitas manusia ataupun bencana alam seperti kebakaran hutan juga dapat menyebabkan perubahan struktur tegakan dan komposisi jenis penyusun hutan khususnya dalam tingkatan pertumbuhan.
Sedangkan komunitas pada pada tingkat tiang-pohon dikatakan relatif sama dapat terjadi dikarenakan stabilnya komposisi penyusun tegakan yang berada pada tingkat tiang dan pohon sehingga komunitas diatara keduanya tidak jauh berbeda.
Tabel 11. Indeks kesamaan komunitas di lokasi penelitian
Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon
(%) (%) (%) (%)
Semai - 71,06 64,07 66,30
Pancang - - 68,67 69,55
Tiang - - - 82,76
Pohon - - - -
B. StrukturTegakan
Struktur Kerapatan individu
Kerapatan individu per hektar (N/Ha) dari beberapa tahapan pertumbuhan (Gambar 3) menunjukan bahwa tingkat semai memiliki jumlah individu tertinggi (61447 ind/ha). Sedangkan terendah dijumpai pada tingkat pohon (326 ind/ha).
Gambar 3. Struktur Kerapatan Individu/ha 61447
8884
1289 326
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000
Semai Pancang Tiang Pohon
Jumlah Inividu/Ha
Berdasarkan Gambar 3, kurva yang diperoleh memiliki bentuk f J terbalik. Bentuk kurva ini merupakan suatu bentuk umum ataupun normal yang terjadi di hutan hujan tropis. Istomo dan Dwisutomo (2016) mengartikan bentuk tersebut sebagai kurva eksponensial J terbalik, artinya semakin besar kelas diameternya maka semakin kecil kerapatannya. Ketersediaan tegakan pada hutan bertipe normal sangat tinggi sehingga dapat memperbaiki struktur dan komposisi hutan serta dapat menjamin kelangsungan tegakan di masa mendatang sehingga kehilangan pohon yang berdiameter besar di masa mendatang akibat kerusakan atau kematian akan tergantikan (Suwardi et al., 2013).
Pada areal kawasan hutan alam Desa Papaso berdasarkan informasi masyarakt pernah mengalami kerusakan akibat penebangan. Hal ini dapat memicu pertumbuhan permudaan yang dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur tegakan. Haryadi (2017) mengatakan tingginya jumlah vegetasi tahap anakan pada area hutan yang terdegradasi karena perubahan lingkungan yang terjadi akibat terbukanya tajuk yang berpengaruh terhadap masuknya cahaya matahari dan kurangnya dominasi dari tingkatan pertumbuhan pohon, sehingga anakan yang sangat membutuhkan cahaya matahari untuk pertumbuhannya
mendapat cukup cahaya dan tumbuh optimal. Kemudian Kusmana dan Susanti (2017) mengatakan jenis yang dominan pada suatu
tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain.
Semakin bertambahnya waktu, jenis tersebut mengalami persaingan, baik antara individu sejenis maupun beda jenis dalam mendapatkan sinar matahari yang cukup, mineral dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti hama dan penyakit.
Persaingan ini terus berlanjut dan terjadilah proses seleksi alam.
Struktur Horizontal
Secara keseluruhan struktur tegakan pohon adalah hubungan antara banyaknya pohon dengan kelas diameter (Wahyuni dan Mokodompit, 2016).
Struktur tegakan di lokasi penelitian dapat digambarkan dalam grafik sebaran diameter dengan interval 5 cm (Gambar 4). Jumlah pohon terbanyak terbanyak terdapat pada kelas diameter <10 cm (889 individu), kemudian terjadi penurunan pada kelas diameter 10-14,9 (61 individu.) Pada kelas diameter 15-19,9 terjadi
individu yang ditemukan mencapai 182 individu, pada kelas diameter 25-29,9 ditemukan 56 individu dan pada kelas diameter 30-34,9 individu ditemukan 10 individu.
Kurva sebaran setiap kelas diameter menunjukkan bentuk kurva J terbalik (menyerupai bentuk L). Hal ini menunjukkan bahwa populasi pohon yang berdiameter besar relatif menurun drastis seiring dengan pertumbuhan kelas diameter bentuk tersebut mengikuti sebaran umum pada hutan alam. Hal tersebut sesuai dengan Heriyanto dan Subiandono (2012) yang menyatakan bahwa pada umumnya grafik sebaran diameter pada hutan alam yang normal memiliki bentuk
a J e ba .
Hutan dengan pengaruh intensitas penebangan yang tinggi akan memberikan kondisi bagi pertumbuhan yang lebih besar dengan terbentuknya
ruang-ruang tumbuh (Saridan dan Soegiharto, 2012). Menurut Wardani dan Susilo (2017) faktor-faktor seperti pohon tumbang, bencana
alam (kebakaran, gempa bumi/longsor, serangan hama/ penyakit), dan lain-lain dapat memengaruhi permudaan alam. Adanya perubahan struktur tegakan tersebut dimungkinkan adanya perbedaan kemampuan pohon dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara/mineral dan air, serta sifat kompetisi.
Gambar 4. Struktur tegakan horizontal di lokasi penelitian
Beberapa jenis seperti damar, meranti ataupun kruing merupakan jenis pohon yang umumnya dicari oleh masyarakat sekitar, yang menyebabkan
889
61
171 182
56 10
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
<10 10-14,9 15-19,9 20-24,9 25-29,9 30-34,9
Jumlah Pohon
Kelas Diameter (cm)
keberadaannya sudah jarang ditemukan. Untuk pasak bumi, umumnya masyarakat lokal hanya memanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti obat malaria.
Sedangkan berdasarkan informasi masyarakat, pengambilan pasak bumi secara besar-besaran umumnya dilakukan oleh pendatang. Beberapa jenis seperti meranti udang, kandis babi, kompas ataupun meranti bunga kurang diminati oleh masyarakat sekitar, hal tersebut menyebabkan jenis ini menjadi dominan dilokasi menyebabkan pertumbuhan dan perkembang jenis jenis minoritas terhambat.
Struktur vertikal (Stratifikasi tajuk)
Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis- jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran) (Mulyasana, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan, secara keseluruhan di lokasi penelitian (Gambar 5) terdapat 3 stratum yaitu yaitu stratum B, stratum C, dan stratum A. Diantara hal tersebut stratum C yang termasuk pada kelas 4-20 meter memiliki jumlah terbanyak kemudian diikuti oleh stratum B dengan kelas 20-30 meter dan stratum A dengan kelas tinggi diatas 30 meter.
Keterangan : Stratum A = >30 m Stratum D = 1-4 m Stratum B = 20-30 m Stratum E = 0-1 m Stratum C = 4 20 m
Gambar 5. Struktur tegakan vertikal di lokasi penelitian.
Struktur vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipandu oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan
33
47
71 52
25 4
2
0 20 40 60 80 100
0 5 10 15 20 25 30
>30
Jumlah Individu Pohon
Tinggi Pohon (m)
Stratifikasi tajuk komunitas hutan di Hutan Alam Desa Papaso tersusun atas stratum yang lengkap mulai stratum A hingga E. Adanya persaingan mengakibatkan jenis tertentu akan lebih mendominasi sehingga dapat terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan. Untuk mencapai stratum A, hanya pohon yang berumur tua dari jenis pohon klimaks saja yang mampu, sehingga jumlah pohonnya sedikit dan muncul diskontinyu. Persaingan yang tinggi baik dari segi air, tanah ataupun dalam memperoleh cahaya serta waktu yang dibutuhkan cukup lama untuk mencapai stratum A menyebabkan hanya beberapa pohon saja yang dapat melewatinya. Kusmana dan Susanti (2015) mengatakan untuk mencapai stratum A, hanya pohon yang berumur tua dari jenis pohon klimaks saja yang mampu, sehingga jumlah pohonnya sedikit dan muncul diskontinyu.
Sedangkan stratum B dan C banyak ditempati oleh pohon-pohon muda, dimana untuk mencapai startum tersebut biasanya memerlukan waktu yang lebih pendek. Lapisan B dan C yang umumnya merupakan pohon banyak cabang serta memiliki tajuk yang kontinyu. tidak seragamnya tajuk-tajuk pohon (stratum) di kawasan Hutan Alam Desa Papaso, atau dengan kata lain di hutan ini terdapat perbedaan kelas umur dari setiap vegetasi. Hal ini disebabkan karena pada hutan hujan tropis, faktor lingkungan berfluktuasi. Seperti yang umum dijumpai pada tegakan hutan alam di hutan hujan tropis bahwa stratifikasi (pelapisan tajuk hutan) berkembang dengan baik sehingga hutan hujan tropis yang sempurna akan memiliki lima strata atau lapisan tajuk hutan, yaitu strata A, B, C, D dan E.
C. Status regenerasi
Kekayaan dan kelimpahan vegetasi hutan tergantung pada status potensial
regeneratif jenis yang menyusun tegakan hutan, dalam ruang dan waktu (Jones et al., 1994). Regenerasi hutan adalah suatu proses vital di mana pohon-
pohon tua ataupun mati dan akan digantikan oleh pohon-pohon muda selamanya (Malik dan Bhatt, 2016). Status regenerasi jenis pohon ditentukan berdasarkan kepadatan semai dan pancang. Rasio berbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduksi populasi dan menunjukkan arah masa depan (Odum, 1971). Struktur populasi yang ditandai oleh adanya jumlah semai, pancang, tiang dan pohon cukup menggambarkan perilaku regenerasi yang "baik (good)" Jumlah bibit dan anakan yang tidak memadai menunjukkan regenerasi