• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Vegetasi Dan Cadangan Karbon Tersimpan Pada Tegakan Hutan Di Kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komposisi Vegetasi Dan Cadangan Karbon Tersimpan Pada Tegakan Hutan Di Kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI VEGETASI

DAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA

TEGAKAN HUTAN DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN

KECAMATAN BATANG SERANGAN KABUPATEN LANGKAT

TESIS

OLEH :

ELING TUHONO

087030006

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KOMPOSISI VEGETASI

DAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA

TEGAKAN HUTAN DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN

KECAMATAN BATANG SERANGAN KABUPATEN LANGKAT

TESIS

OLEH :

ELING TUHONO

087030006

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

JUDUL TESIS : KOMPOSISI VEGETASI DAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN HUTAN DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN, KECAMATAN BATANG SERANGAN KABUPATEN LANGKAT

NAMA MAHASISWA : ELING TUHONO NOMOR POKOK :

087030006

PROGRAM STUDI : BIOLOGI

Mengetahui:

Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph. D Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Ketua

Anggota

Ketua

Program

Studi, Dekan,

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc Dr. Sutarman, M.Sc

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 26 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D Anggota : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

(5)

PERNYATAAN

Komposisi Vegetasi dan Cadangan Karbon Tersimpan Pada Tegakan Hutan di Kawasan Ekowisata Tangkahan

Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat

TESIS

Dengan ini saya meyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 26 Agustus 2010 Penulis,

(6)

ABSTRAK

Potensi karbon tersimpan pada kawasan ekowisata Tangkahan sangat tinggi mengingat kawasan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman vegetasi dan potensi jumlah karbon tersimpan pada lokasi Kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret – Juni 2010 dengan menggunakan metode jalur berpetak dan untuk peletakan peta sampling menggunakan metode sistematik sampling with random start. Diperoleh data tercatat 39 family dan 140 jenis yang tersebar dalam tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang dan semai. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk pertumbuhan pohon adalah Hopea sangal dari family Dipterocarpaceae

dengan nilai INP 30,05%, tiang Aglaia latifolia Miq dari family Meliaceae dengan nilai 11,70 %, pancang Adinandra sp dari family Theaceae dengan nilai 18,92 %, sedangkan semai Urophyllum griffithianum suku Rubiaceae dengan nilai 12,05 %.

Indeks keanekaragaman (H’) pada hutan Tangkahan termasuk dalam katagori tinggi dengan perincian untuk pertumbuhan pohon adalah 3,36 , tiang 3,95 , pancang 3,74 dan untuk semai 3,93. Indeks kemerataan pada hutan tangkahan termasuk katagori tinggi dengan perincian untuk pohon adalah 0,69 kemudian untuk tiang 0,76, pancang 0,78 dan untuk semai 0,76. Stratifikasi vegetasi di lokasi penelitian termasuk dalam stratum A, B, C, D dan E. Jumlah Cadangan Karbon pada lokasi penelitian sebesar 279,55 ton/ha atau jumlah keseluruhannya 4.934.132,2 ton.

(7)

ABSTRACT

Potential of carbon stored in ecotourism Tangkahan very high considering the area is part of a conservation area Gunung Leuser National Park. The goal of this research to know various kinds of vegetation and potency of total carbon which are saved in the location of ecotourism Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. This research was conducted in March – June 2010 by using box line method and sisthematic method with random start. The result of this research showed are 39 family and 140 species spread into the degree of growing tree, pole, sapling and seedling. The highest Important Value (IV) for growing tree is Hopea sangal from Dipterocarpaceae family has 30,05 %, pole of Aglaia latifolia Miq from Meliaceae family has 11,70%, sapling of Adinandra sp from Theaceae family has 18,92 %, while the seedling of Urophyllum griffithianum Rubiaceae family has 12.05%.

Diversity index (H') in forest Tangkahan included in the highest category, which has specify for tree is 3,36 and pole 3,95, sapling 3,74 and seedling 3,93. Evenness index Tangkahan on forests including the high category, which specify for tree is 0,69, pole 0,76, sapling 0,78 and seedling 0,76. Stratification of vegetation at study sites included in stratum A, B, C, D and E. Carbon Reserves in the research area of 279,55 tonnes / ha or a total of 4.934.132,2 tons.

 

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang merupakan tugas akhir dalam

menempuh Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini berjudul Komposisi Vegetasi Dan Cadangan Karbon Tersimpan Pada

Tegakan Hutan Di Kawasan Ekowisata Tangkahan, Kecamatan Batang Serangan,

Kabupaten Langkat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Sutarman, M. Sc selaku Dekan FMIPA Universitas Sumatera Utara

yang membimbing penulis menyelesaikan perkuliahan

2. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc selaku Ketua Program Studi Biologi

FMIPA Universitas Sumatera Utara yang membimbing dan memberikan

masukan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan

3. Prof. Ir. Zulkifli Nasution M. Sc, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing yang

telah membimbing penulis dalam penulisan dan penyempurnaan tesis

4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M. Si selaku pembimbing kedua yang membimbing

penulis dalam penyempurnaan tesis.

5. Dr. Budi Utomo, SP, MP dan Dr. Suci Rahayu, M. Si selaku penguji yang

(9)

6. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang telah

membantu memberikan izin lokasi penelitian.

7. Ketua Yayasan Hj. Rahmah Nasutian Perguruan Al-Azhar Medan yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi

8. Orangtuaku Kusman Al Wahidy dan Ibunda Soimah yang telah membimbing

dan membesarkan penulis serta tiada henti memanjatkan doa untuk penulis

dalam penyelesaian studi

9. Mertuaku Augustinus Harefa dan Elvina Yanthi Ritonga yang telah

memberikan dorongan dan doa untuk menyelesaikan studi.

10.Istriku tercinta Meilinda Suriani Harefa S.Pd, M.Si serta ananda tersayang

(Almh) Nur Salsabila Emil semoga Allah SWT menempatkannya pada Surga

Jannatun Na’im, Nabila Azzikra Emilia dan Sabrina Azzikra Emilia yang

dengan sabar memberi dorongan dan doa yang dipanjatkan kehadirat Allah

SWT serta mendampingi selama pendidikan demi keberhasilan penulis

11.Adinda Liyin, Lini, Tiyas, Arsy dan Chusnul serta ipar dan

keponakan-keponakan di Jakarta dan Nias yang telah mendorong dan mendoakan penulis

dalam penyelesaian studi

12.Chandra, Soimin, Mahya, Marzuki, Rieche dan Ivan yang telah membantu

penulis dilapangan serta rekan-rekan di Program Studi Biologi FMIPA tahun

2008 Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang telah

(10)

13.Rekan-rekan di Perguruan Al-Azhar Medan yang turut memotivasi penulis

dalam penyelesaian studi

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian

dalam tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala

kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang membangun dari

semua pihak.

Semoga karya ini bermanfaat bagi kehidupan manusia serta perkembangan

ilmu pengetahuan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga

dan bersyukur kepada Allah SWT atas rahmat yang telah di berikan-Nya.

Medan, 20 September 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

ELING TUHONO, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1977 anak ke pertama dari 6 (enam) bersaudara, putra dari Bapak Kusman AW dan Ibu Soimah. Pada tahun 2002 Penulis menikah dengan Meilinda Suriani Harefa S.Pd, M.Si dan dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang bernama (Almh) Nur Salsabila Emil, Nabila Azzikra Emilia dan Sabrina Azzikra Emilia, saat ini bertempat tinggal di Jl. Pintu Air IV GG Ternak No. 5E Medan.

Pendidikan SD Negeri 14 pagi Jakarta tamat tahun 1989, SMP Negeri 231 tamat tahun 1992, SMA Negeri 92 Jakarta tamat tahun 1995. Penulis menamatkan studi di Perguruan Tinggi Universitas Negeri Medan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Tahun 2000 dan tahun 2008 mengikuti S-2 pada Program Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.

Sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Perguran Al-Azhar Medan Yayasan Hj. Rahmah Nasutian

Medan, 20 September 2010

(12)
(13)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kekayaan Jenis Pohon ... 32

4.1.1. Dominansi ... 35

4.1.1.1. Dominansi Pohon ... 35

4.1.1.2. Dominansi Tiang ... 37

4.1.1.3. Dominansi Pancang ... 38

4.1.1.4. Dominansi Semai ... 39

4.1.1.5. Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman ... 40

4.1.1.6. Permudaan ... 44

4.1.1.7. Stratifikasi ... 47

4.2. Cadangan karbon di permukaan tanah ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 50

5.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1. Tingkat pertumbuhan vegetasi dalam kawasan ... 32

2. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi 10 jenis yang terbagi dalam tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang dan semai... 35

3. Indeks keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di hutan Tangkahan ... 41

4. Permudaan alami pada hutan Tangkahan ... 44

5. Stratifikasi pada masing-masing tegakan hutan ... 46

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Jalur penelitian di kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan

Batang Serangan Kabupaten Langkat ... 25

2. Tehnik pengukuran diameter ... 26

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Peta Kawasan Ekowisata Tangkahan... 58

2. Peta Plot Pengamatan Kawasan Ekowisata Tangkahan... 59

3. Disribusi suku pada pertumbuhan tingkat pohon kawasan hutan Tangkahan ... 60

4. Disribusi suku pada pertumbuhan tingkat tiang kawasan hutan Tangkahan ... 63

5. Disribusi suku pada pertumbuhan tingkat pancang kawasan hutan Tangkahan ... 68

6. Disribusi suku pada pertumbuhan tingkat semai kawasan hutan Tangkahan ... 72

7. Indeks Nilai Penting (INP) Pohon pada kawasan hutan Tangkahan ... 77

8. Indeks Nilai Penting (INP) tiang pada kawasan hutan Tangkahan .... 79

9. Indeks Nilai Penting (INP) pancang pada kawasan hutan Tangkahan 81 10. Indeks Nilai Penting (INP) semai pada kawasan hutan Tangkahan ... 83

11. Jumlah Kandungan Karbon Tersimpan pada Tegakan Pohon di Hutan Tangkahan ... 85

12. Jumlah Kandungan Karbon Tersimpan pada Pole di Hutan Tangkahan ... 89

13. Tally Sheet pengamatan pohon ... 95

14. Tally Sheet pengamatan tiang ... 99

15. Tally Sheet pengamatan pancang ... 105

(17)

ABSTRAK

Potensi karbon tersimpan pada kawasan ekowisata Tangkahan sangat tinggi mengingat kawasan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman vegetasi dan potensi jumlah karbon tersimpan pada lokasi Kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret – Juni 2010 dengan menggunakan metode jalur berpetak dan untuk peletakan peta sampling menggunakan metode sistematik sampling with random start. Diperoleh data tercatat 39 family dan 140 jenis yang tersebar dalam tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang dan semai. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk pertumbuhan pohon adalah Hopea sangal dari family Dipterocarpaceae

dengan nilai INP 30,05%, tiang Aglaia latifolia Miq dari family Meliaceae dengan nilai 11,70 %, pancang Adinandra sp dari family Theaceae dengan nilai 18,92 %, sedangkan semai Urophyllum griffithianum suku Rubiaceae dengan nilai 12,05 %.

Indeks keanekaragaman (H’) pada hutan Tangkahan termasuk dalam katagori tinggi dengan perincian untuk pertumbuhan pohon adalah 3,36 , tiang 3,95 , pancang 3,74 dan untuk semai 3,93. Indeks kemerataan pada hutan tangkahan termasuk katagori tinggi dengan perincian untuk pohon adalah 0,69 kemudian untuk tiang 0,76, pancang 0,78 dan untuk semai 0,76. Stratifikasi vegetasi di lokasi penelitian termasuk dalam stratum A, B, C, D dan E. Jumlah Cadangan Karbon pada lokasi penelitian sebesar 279,55 ton/ha atau jumlah keseluruhannya 4.934.132,2 ton.

(18)

ABSTRACT

Potential of carbon stored in ecotourism Tangkahan very high considering the area is part of a conservation area Gunung Leuser National Park. The goal of this research to know various kinds of vegetation and potency of total carbon which are saved in the location of ecotourism Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. This research was conducted in March – June 2010 by using box line method and sisthematic method with random start. The result of this research showed are 39 family and 140 species spread into the degree of growing tree, pole, sapling and seedling. The highest Important Value (IV) for growing tree is Hopea sangal from Dipterocarpaceae family has 30,05 %, pole of Aglaia latifolia Miq from Meliaceae family has 11,70%, sapling of Adinandra sp from Theaceae family has 18,92 %, while the seedling of Urophyllum griffithianum Rubiaceae family has 12.05%.

Diversity index (H') in forest Tangkahan included in the highest category, which has specify for tree is 3,36 and pole 3,95, sapling 3,74 and seedling 3,93. Evenness index Tangkahan on forests including the high category, which specify for tree is 0,69, pole 0,76, sapling 0,78 and seedling 0,76. Stratification of vegetation at study sites included in stratum A, B, C, D and E. Carbon Reserves in the research area of 279,55 tonnes / ha or a total of 4.934.132,2 tons.

 

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia telah menjadi negara penyumbang gas rumah kaca ke-16 terbesar di

dunia pada tahun 2003, yang menghasilkan rata-rata 347 juta ton karbon dioksida

ekuivalen (MtCO2e) setiap tahun. Jumlah tersebut adalah 1,34 % dari total emisi

dunia pada tahun 2003 (Baumert et al., 2005). Jika semua total emisi non carbon dioksida juga dihitung maka Indonesia menghasilkan 505 juta ton per tahun, dan

sudah berada di peringkat 15 penghasil emisi terbesar dunia sejak tahun 2001 bahkan

posisi Indonesia berada di 3 besar penghasil emisi dunia bila emisi dari tata guna dan

perubahan lahan serta kehutanan juga masuk hitungan. Total emisi dari deforestasi

dan kebakaran hutan adalah lima kali lipat emisi dari sektor non-kehutanan. Emisi

dari sektor energi dan industri relatif lebih kecil tetapi meningkat dengan sangat cepat

(Peace, 2007).

Bisnis di Indonesia akhir-akhir ini tidak hanya berorientasi pada nilai ekonomi

saja tetapi juga lebih berorientasi kepada kelestarian lingkungan melalui Mekanisma

Pembangunan Bersih, (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM), suatu program yang disepakati bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)

yang disertifikasi. Negara-negara maju/industri bersedia untuk membayar insentif

kepada negara-negara berkembang yang mempertahankan fungsi hutan sebagai

(20)

untuk meningkatkan devisa negara melalui peningkatan penanaman pepohonan pada

lahan-lahan pertanian dan lahan-lahan terdegradasi yang telah diterlantarkan (Hairiah

et al., 2006).

Penebangan kayu di hutan dapat menyebabkan pembebasan karbon yang telah

terisolasi selama ribuan tahun. Karena itu, perubahan fungsi hutan seperti yang

dilakukan sementara orang sekarang ini, akan mempercepat pelepasan karbon ke

atmosfer. Negara-negara berkembang dapat secara efektif mereduksi emisi dan

menurunkan pemanasan global. Mengurangi gas-gas rumah kaca dengan mekanisme

pembangunan bersih (CDM) melalui teknologi bersih, reforestrasi, dan aforestrasi

yang dilakukan oleh berbagai negara. Dengan kata lain, upaya mempertahankan

hutan pengikat karbon adalah usaha mencegah pemanasan global, yakni

negara-negara berkembang yang mempunyai hutan alam, seperti hutan tropis, akan terus

berkurang karena terus ditebang. Apabila hal ini terjadi, pencapaian target penurunan

emisi rumah kaca akan menjadi sulit dan bias, karena di satu pihak mengadakan

upaya perbaikan, sedangkan di pihak yang lain merusaknya (KM ITB, 2008).

Faktor utama yang dianggap sebagai penyebab pemanasan global adalah

peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, yaitu karbon dioksida

(CO2), methane (CH4), Nitrous Oksida (N2O), Hydro Fluoro Carbon (HFCs),

Perfluorocarbon (PFCs) dan Sulfur hexafluoride (SF6) (Kyoto Protokol, 1998).

Karbon dioksida (CO2) adalah GRK utama yang paling besar jumlahnya yang

dihasilkan oleh kegiatan manusia dengan laju emisi yang sangat besar, maka gas ini

(21)

perubahan iklim global. Upaya meningkatkan cadangan C di alam secara vegetatif

misalnya dengan memperbanyak penanaman pepohonan merupakan pelayanan

terhadap lingkungan yang diharapkan dapat mengurangi dampak rumah kaca. Dalam

pertumbuhannya, tanaman menyelenggarakan proses fotosintesis yang memerlukan

sinar matahari, CO2 dari udara, air dan hara dari dalam tanah. Dengan demikian

keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, dan hasilnya

berupa karbohidrat diakumulasi dalam biomassa tanaman (Riartha, 2009).

Kebutuhan oksigen terbesar di bumi dibutuhkan oleh manusia, hal ini

mengakibatkan manusia terpicu melakukan penelitian terhadap kemampuan

tumbuhan menampung karbon yang dikeluarkan manusia dan menggantinya dengan

oksigen. Hutan memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 dari udara dan kemudian

menyimpannya dalam tegakan hutan sehingga dapat mengurangi kadar CO2 di

atsmosfer. Potensi hutan dalam penyerapan karbon dapat diprediksi melalui studi

biomassa.

Potensi karbon tersimpan pada kawasan ekowisata Tangkahan sangat tinggi

mengingat kawasan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional

Gunung Leuser. Pada awal abad ke 20 (tahun 1900an) merupakan kawasan hutan

yang terdiri dari hutan lindung (natur reservaat) dan hutan produksi, dimana model ladang berpindah-pindah maupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kayu

bakar, berburu dan lainnya merupakan bahagian dari pemenuhan kebutuhan

(22)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah keanekaragaman vegetasi pada lokasi Kawasan Ekowisata

Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat ?

2. Berapakah jumlah carbon tersimpan tegakan hutan pada lokasi Kawasan

Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui keanekaragaman vegetasi pada lokasi Kawasan Ekowisata

Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat ?

2. Mengestimasi potensi jumlah carbon tersimpan tegakan hutan pada lokasi

Kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten

Langkat ?

1. 4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi bagi peneliti dan instansi terkait mengenai keadaan dan

kelimpahan vegetasi pada lokasi lokasi Kawasan Ekowisata Tangkahan

(23)

2. Sebagai informasi bagi peneliti dan instansi terkait tentang dugaan

cadangan karbon tersimpan pada pohon lokasi Kawasan Ekowisata

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) hutan merupakan masyarakat

tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan

lingkungan yang berbeda dengan keadaan lingkungan di luar hutan. Selanjutnya

didalam UU RI no 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah satu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak

dapat dipisahkan. Dilanjutkan pada pasal Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa hutan

mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi,

sedangkan pada ayat 2 dikatakan bahwa Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan

fungsi pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Stuktur dan komposisi hutan dapat diketahui dengan menghitung jumlah,

distribusi, frekuensi dan dominansi. Soerianegara dan Indrawan (1988) membedakan

masyarakat tumbuh-tumbuhan di dalam hutan sebagai berikut :

a. Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m.

b. Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm.

(25)

d. Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3

meter dari permukaan tanah.

2.2. Komposisi tegakan hutan

Dalam ekologi hutan satuan yang diselidiki adalah satuan tegakan yang

merupakan asosiasi konkrit, analisis vegetasi yang dapat digunakan untuk

mempelajari susunan dan bentuk vegetasi masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah :

1. Mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya.

2. Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu

jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali padang

rumput/alang-alang, dan vegetasi semak belukar (Soerianegara dan Indrawan, 1988).

Menurut Kusmana (1997) dan Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa untuk

keperluan deskripsi vegetasi ada 3 (tiga) parameter yang penting untuk dianalisis

yaitu frekuensi, kerapatan dan dominansi. Indeks Nilai Penting (INP) diperoleh

dengan menjumlahkan frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif.

Indeks keanekaragaman (H’) digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu

kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada

gangguan terhadap komponen-komponennya.

2.3. Pemanasan Global 

Pemanasan global dapat terjadi karena adanya efek rumah kaca. Gas rumah

kaca yang berada di atmosfer bumi dapat disamakan dengan tabir kaca pada pertanian

(26)

pendek masuk ke bumi dengan menembus tabir gas rumah kaca tersebut. Sebagian

panas diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke luar angkasa sebagai

radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke

luar angkasa menyentuh permukaan tabir dan terperangkap di dalam bumi. Seperti

proses dalam pertanian rumah kaca, sebagian panas akan ditahan di permukaan bumi

dan menghangatkan bumi. Tanpa efek rumah kaca ini maka suhu di permukaan bumi

akan lebih rendah dari yang ada sekarang sehingga tidak memungkinkan adanya

kehidupan (Sugiyono, 2006).

Pemanasan global menyebabkan permukaan air laut naik dengan konsekuensi

risiko tenggelamnya wilayah pantai, perubahan pola curah hujan dan iklim secara

regional maupun global dan berpotensi merubah sistem vegetasi dan pertanian.

Secara umum masalah pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kelestarian

kehidupan organisme dan menjadi isu lingkungan hidup global sejak tahun 1990 an

(Murdiyarso, 2003). Perhatian akan masalah pemanasan global sudah ada sejak tahun

1896. Pada waktu itu Arrhenius melakukan perhitungan dengan cermat dan

menyimpulkan bahwa kenaikan emisi CO2 di atmosfer sebanyak dua kali lipat akan

meningkatkan suhu permukaan bumi sebesar 4 – 60 C (Nordhaus, 1991).

Perhitungan tersebut tidak mendapat perhatian yang serius hingga pada awal

tahun 1980 setelah adanya bukti-bukti peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di

atmosfer. Houghton et.al., (2001) mengemukan bahwa sejak awal revolusi industri sampai tahun 1998, konsentrasi CO2di atmosfer bertambah sebesar 31%. Disamping

(27)

tahun 1861 – 2000 atau sebesar 0,610C selama periode tahun 1901 – 2000.

Pengamatan ini sudah mempertimbangkan adanya efek ketidakpastian tahunan.

Pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan merupakan penyebab utama

dari bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca ini (Sugiyono, 2006).

Permasalahan muncul ketika konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer

bertambah. Dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, maka akan semakin

banyak panas yang ditahan di permukaan bumi dan akan mengakibatkan suhu

permukaan bumi menjadi meningkat. Kondisi ini sering disebut pemanasan global.

Pemanasan global ini bila tidak ditanggulangi diperkirakan pada tahun 2100 akan

dapat meningkatkan suhu udara sebesar 1,40C- 5,80C relatif terhadap suhu udara pada

tahun 1990. Meningkatnya suhu udara ini akan dapat mengakibatkan adanya

perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini ditandai dengan terganggunya

ekosistem dan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat

menimbulkan naiknya permukaan air laut sebesar 9 - 88 cm pada tahun 2100

(Houghton et.al., 2001).

Pemanasan global perlu dicegah sebagai upaya dalam mengurangi tingkat

emisi gas rumah kaca secepat mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi

penggunaan bahan bakar fosil dan mencegah penggundulan hutan serta melakukan

reboisasi. Mengingat sangat perlunya dukungan secara global maka pada tahun 1992

di Rio de Janeiro, Brazil ditandatangani Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim

(28)

menstabilkan emisi CO2. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang

Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja

Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim dan Undang Undang No. 17

Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia perlu untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan

namum belum berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 (Sugiyono, 2006).

2.4. Efek Rumah Kaca

Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari

yang mencapai bumi mencapai 342 Watt/m2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut

direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi.

Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Watt/m2, sedangkan

atmosfer menyerap 67 Watt/m2. Atmosfer mempunyai beberapa lapis gas, termasuk

gas rumah kaca dan awan, yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi infra

merah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas

yang ada di permukaan bumi akan bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah

kaca. Untuk jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi yang masuk dan

yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu. Meskipun demikian untuk

memahami keseluruhan efek rumah kaca dan dampaknya terhadap cuaca di bumi,

tidak sesederhana seperti pada gambar tetapi perlu dipertimbangkan adanya umpak

(29)

2.5. Emisi Gas Rumah Kaca

Gas yang dikategorikan sebagai GRK adalah gas-gas yang yang berpengaruh,

baik secara langsung atau tidak langsung terhadap efek rumah kaca. Gas-gas itu

antara lain karbon dioksida (CO2), gas metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), karbon

monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx) dan sulfur dioksida (SO2). Konsentrasi

gas-gas ini dalam skala global secara kumulatif dipengaruhi langsung oleh aktivitas

manusia, walupun kebanyakan dari gas-gas tersebut terjadi secara alamiah

(Irmansyah, 2004).

Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis

gasnya. Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat

disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari

60% (Mimuroto and Koizumi, 2003).

Irmansyah (2004) menyatakan bahwa kegiatan konversi hutan dan pembukaan

lahan adalah kegiatan yang paling banyak menghasilkan emisi GRK khususnya CO2 .

Hal ini terjadi karena dalam proses perubahan lahan, banyak dilakukan pembakaran

biomassa (sisa-sisa pohon seperti cabang, ranting dan daun) dan pembakaran hutan.

Pembakaran inilah yang menghasilkan lebih dari sepertiga total emisi GRK dari

seluruh sektor. Pada sektor energi, sebagian besar emisi CO2 dihasilkan oleh

pembakaran bahan bakar fosil. Selain gas CO2, pembakaran bahan bakar fosil juga

menghasilkan gas N2O yang merupakan gas rumah kaca dengan potensi pemanasan

(30)

Beberapa Aktivitas kehutanan penghasil emisi gas rumah kaca, antara lain

perubahan tata guna lahan (deforestasi), pembakaran biomassa, dekomposisi dan

pembakaran padang rumput. Deforestasi adalah proses perubahan tata guna lahan dari

statusnya sebagai hutan ke status lain seperti lahan pertanian atau perkebunan.

Deforestasi bukanlah hal yang buruk,namun ketika laju deforestasi besar akan sangat

berpengaruh pada iklim global (Irmansyah, 2004).

2.6. Pembentukan Institusi

Pemanasan global mulai mendapat perhatian yang serius pada pertengahan

tahun 1980 sejak World Meteorological Organization (WMO) melakukan penelitian dan mengeluarkan scientific background tentang perubahan iklim global. WMO bersama-sama dengan United Nation Environment Programme (UNEP) membentuk

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan untuk

menanggulangi pemanasan global. PBB kemudian mengeluarkan resolusi tentang

penanggulangan pemanasan global untuk saat ini dan generasi mendatang. Resolusi

ini ditindak lanjuti dengan mengadakan World Summit di Rio de Janeiro tahun 1992. Hasil pertemuan World Summit adalah konvensi di bidang: biodiversitas, perubahan iklim dan agenda 21. Untuk selanjutnya konvensi untuk perubahan iklim disebut

United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Selanjutnya berdasarkan UNFCCC sepakat untuk mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang

(31)

negara. Beberapa hasil yang penting dari penyelenggaraan COP dapat dirangkumkan

sebagai berikut. COP 1 di Berlin pada tahun 1995 melahirkan mekanisme pendanaan

yang disebut Joint Implementation yang dapat dilakukan antar negara-negara maju dan Activities Implemented Jointly antara negara maju dengan negara berkembang. COP 2 di Genewa pada tahun 1996 tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti.

Baru pada COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 dikeluarkan Kyoto Protocol yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 5,2% dari level

tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012. Dalam protokol ini ada tiga mekanisme

pendanaan yang dapat digunakan yaitu: Joint Implementation, Clean Development Mechanism dan Emission Trading. COP 9 yang diadakan di Milan, Italia membahas lebih lanjut prosedur pengajuan CDM. COP 12 yang baru saja diadakan pada tahun

2006 di Nairobi, Kenya membahas pendanaan spesial dalam rangka menanggulangi

pemanasan global (Sugiyono, 2006).

2.7. Karbon Tersimpan

Pohon-pohon menjadi organisme dominan di hutan tropis, bentuk kehidupan

pohon berpengaruh pada fisiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan

dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda dengan daerah lain mengingat

terdapat ciri-ciri tertentu dan kebiasaan bercabang, dedaunan, buah-buahan dan

sistem akar yang jarang dan tidak pernah dijumpai di bagian bumi lain (Longman dan

(32)

Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan

dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alami dengan

keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan

gudang penyimpan C tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan

pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan

akan merosot. Jumlah C tersimpan antar lahan tersebut berbeda-beda, tergantung

pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara

pengelolaannya. Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari

yang paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan, hingga

paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Pengukuran secara

kuantitatif C tersimpan dalam berbagai macam penggunaan lahan perlu dilakukan.

Untuk itu diperlukan metoda pengukuran standard yang baku dan telah dipergunakan

secara luas, agar hasilnya dapat dibandingkan antar lahan dan antar lokasi (Hairiah

dan Rahayu, 2007).

Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua

arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO2

ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60

Pg*) karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan

sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan (Lasco, 2002). Alih guna

lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2 dengan jumlah sebesar

(33)

bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat

ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan

meningkat sekitar 1,70C - 4,50C (Houghton et al., 2001).

Dampak perubahan iklim yang kita rasakan saat ini dapat dikurangi dengan

cara meningkatkan penyerapan karbon dan/atau menurunkan emisi karbon (Lasco,

2002). Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan

cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan

deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan

gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b)

meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c)

mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara

langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau

aktivitas panas bumi (Lasco, 2002).

Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas

permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon

lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup

(batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan

tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting,

bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah

permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan

bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu

(34)

cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu demikian jika kita perhitungkan

dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan organik tanah

melalui erosi (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Pada ekosistem daratan, C tersimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu: .

a. Biomasa: masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

b. Nekromasa: masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan

tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terlapuk.

c. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi

bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm (Hairiah dan

Rahayu 2007).

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat

dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: .

a. Biomasa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan

selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan

persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang.

(35)

Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian

tanaman (melibatkan perusakan).

c. Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan

harus diukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat.

d. Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah (Hairiah dan Rahayu 2007).

2. Karbon di dalam tanah, meliputi:

a. Biomasa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan

biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm),

sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang

lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan

diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa

pohon yang didasarkan pada diameter batang.

b. Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh

organisma tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan

(36)

Mengukur Karbon Tersimpan

Mengukur jumlah C tersimpan di hutan dan lahan pertanian cukup mudah dan

dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dari waktu ke waktu. Ada 3 tahap

pengukuran yaitu:

1. Mengukur biomasa semua tanaman dan nekromasa yang ada pada suatu lahan

2. Mengukur konsentrasi C tanaman di laboratorium

3. Menghitung kandungan C yang disimpan pada suatu lahan Pengukuran dapat

dilakukan tanpa melibatkan perusakan (misalnya menebang pohon), tetapi bisa

pula harus merusak tanaman, terutama pada tanaman semusim dan perdu (Hairiah

dan Rahayu 2007).

Menurut Chapman (1976), secara garis besar metode pendugaan biomassa di

atas permukaan tanah dapat dikelompokan ke dalam dua golongan, yaitu:

1. Metoda Pemanenan

a. Metode pemanenan individu tanaman

Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan yang

cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis yang sedikit. Nilai total

biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa

seluruh individu dalam suatu unit area contoh.

(37)

Metode ini mengharuskan memanen semua individu tumbuhan dalam suatu

unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa didapat dengan

mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu

unit area tertentu.

c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar

rata-rata

Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam.

Dengan metode ini pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata

diameternya dan ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan

menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan

jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari

semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar

dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari

semua pohon contoh.

2. Metode Pendugaan Tidak Langsung

a. Metode hubungan allometrik

Dalam metode ini beberapa pohon contoh dengan diameter yang mewakili

kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan ditebang dan ditimbang

beratnya. Berdasarkan berat berbagai organ dari contoh, maka dibuat persamaan

allometrik antara berat suatu organ dengan dimensi pohon (tinggi dan diameter).

(38)

suatu unit area diduga beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan

menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit areal tertentu.

b. Crop meter

Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan

elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakan

dipermukaan tanah pada suatu jarak tertentu kemudian biomassa

tumbuhan-tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dapat dipantau dengan

memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan pada alat tersebut.

Model Allometrik Pendugaan Biomassa

Hubungan allometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas

yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas, yang dalam hal ini diwakili oleh

karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya adalah hubungan antara volume

pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon. Dalam hubungan

ini, volume pohon atau biomassa pohon merupakan peubah tak bebas yang besar

nilainya diduga oleh diameter dan tinggi total pohon, yang disebut sebagai peubah

bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan allometrik.

Persamaan allometrik dapat disusun dengan cara pengambilan contoh dengan

melakukan penebangan dan perunjukan dari berbagai sumber pustaka yang

mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan. Persamaan tersebut biasanya

menggunakan diameter pohon yang diukur setinggi dada (Dbh) yang diukur 1,3 m

(39)

berdasarkan diameter D mempunyai sebuah bentuk polinomial : W = a + bD + cD2 +

dD3 atau mengikuti fungsi : W = aDb. Setelah persamaan allometrik disusun, hanya

diperlukan mengukur Dbh (atau parameter lain yang digunakan sebagai dasar

persamaan) untuk menaksir biomassa satu pohon. Penaksiran biomassa total untuk

seluruh pohon dalam transek ukur dapat dikonversi menjadi biomassa dalam satuan

ton per hektar (Hairiah et al., 2001).

Pilihan persamaan model allometrik untuk tujuan penaksiran biomassa harus

berdasarkan persamaan yang telah diketahui. Model yang telah banyak digunakan

secara luas adalah berdasarkan hukum allometrik pertumbuhan : loge Y = a + b logeX,

dimana Y adalah berat biomassa dan X adalah peubah penduga hasil pengukuran

seperti diameter pangkal atau diameter yang diukur setinggi dada (Dbh) dengan berat,

volume atau riap. Selain itu penaksiran dapat dilakukan dengan memasukan

pengukuran diameter dan tinggi pohon ke dalam persamaan : loge Y = a + b loge

(d2h). Setelah persamaan dibangun, dapat dilakukan perhitungan berat biomassa

dengan menggunakan berbagai dimensi pohon yang diperlukan dari tegakan yang ada

(40)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Deskripsi Area 3.1.1. Letak dan Luas

Hutan Tangkahan merupakan salah satu kawasan Taman Nasional Gunung

Leuser dengan luas areal 17.650 ha yang secara administratif terletak di desa

Tangkahan, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, secara geografis

terletak pada kordinat 03o40’41’’ Lintang Utara, 98o04’28,2” Bujur Timur,

terletak pada ketinggian 150-800 m dpl. Bagian utara berbatasan dengan Sei

Lepan, bagian Selatan berbatasan dengan Sei Glugur, bagian Timur berbatasan

dengan perkebunan kelapa sawit dan bagian Barat berbatasan dengan Provinsi

Nangroe Aceh Darussalam (BTNGL, 2005).

3.1.2. Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya memiliki topografi

relative bergelombang sampai dengan curam dengan kemiringan 15-30% dan

sebagian datar.

3.1.3. Curah Hujan dan Iklim

Berdasarkan informasi dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG)

(41)

mm pertahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, dengan melihat

perbandingan antara bulan kering (dengan curah hujan kurang dari 60 mm) dan

bulan basah (curah hujan lebih dari 100 mm) kawasan Tangkahan bertipe iklim

B.

3.1.4. Vegetasi

Struktur vegetasi di sekitar areal penelitian didominasi oleh family

Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Sapindaceae, Burseraceae, Leguminoceae, dan

Anacardiaceae (Susilo, 2004).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian untuk pengambilan sampel dilakukan di Kawasan Taman

Nasional Gunung Leuser Resort Tangkahan Kabupaten Langkat, kemudian sampel

dianalisis di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan selama 3

bulan sejak bulan Maret – Juni 2010.

3.3. Alat dan Bahan

Alat dan bahan penelitian yang digunakan adalah : GPS Garmin 76CSx, alat

tulis, kantong plastik, pita ukur diameter, meteran, klinometer, parang, terpal, tali,

karung, alkohol, kamera dan specimen tanaman (batang, cabang, daun, bunga atau

(42)

3.4. Pengumpulan Data

A. Jenis data

Data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengukuran yang dilakukan langsung di

lapangan oleh peneliti. Data tersebut merupakan data pohon yaitu diameter yang

diukur setinggi dada (dbh) dan tinggi pohon. GPS digunakan untuk menentukan

lokasi penelitian dan jalur penelitian.

Data sekunder yang digunakan yaitu berupa data iklim, aksesibilitas dan

data-data dari instansi terkait mengenai pengelolaan kawasan hutan lindung.

B. Cara pengambilan data

Tehnik pengambilan data adalah dengan menggunakan metode jalur berpetak

dan untuk peletakan petak sampling menggunakan metode Sistematik Sampling With Random Start dimana petak contoh awal diletakkan secara acak berdasarkan tingkat kerapatan populasi pohon. Jalur penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) dibuat dari tepi

sungai menuju ke dalam hutan yang berada di dalam kawasan yaitu Sungai Batang,

Sungai Buluh, dan Sungai Gambir hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh

Soerianegara dan Indrawan (1988) bahwa pengambilan plot dibuat dari tepi sungai

menuju kawasan hutan sehingga memotong garis-garis topografi agar perubahan

(43)

Jumlah petak pengamatan dalam jalur ditentukan dengan menggunakan kurva

lengkung species dimana penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan

jumlah jenis lebih dari 10% sehingga jumlah minimal petak-petak sampling kecil

yang diperlukan hasilnya mewakili tegakan. (Soerianegara dan Indrawan, 1988).

setiap jalur pengamatan didapatkan sebanyak 8, 9 dan 11 plot sehingga seluruhnya

berjumlah 30 plot pengamatan dengan luas 12.000 m2. Wyatt-smith (1959) dalam

Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa petak sebesar 1,5 acre (0,6 ha)

saja sudah cukup untuk mewakili kebanyakan hutan tropika.

Plot yang digunakan pada setiap penelitian dibuat dengan ukuran 20 m x 20 m

untuk pengamatan pohon, 10 m x 10 m untuk pengamatan tiang, 5 m x 5 m untuk

pengamatan pancang dan 2 m x 2 m untuk semai dengan jarak antara plot yang satu

dengan plot berikutnya sebesar 50 m.

20 m 20 m

Gambar 1. Jalur penelitian di kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat

5 m 2m

10 m

5 m 10 m 2m

(44)

Pengambilan data dilakukan dengan cara :

1. Untuk pohon, tiang dan pancang mengukur diameter batang pohon, setinggi dada orang 

dewasa (dbh = diameter at breast height = 1,3 m dari permukaan tanah).  

 

   

       

           

 

(45)

2. Spesimen dari seluruh individu yang ditagging, dikoleksi dan diberi label

gantung setelah lebih dahulu mencatat ciri-ciri morfologinya. Kemudian

dilakukan pengawetan spesimen yaitu spesimen disusun dan dibungkus dengan

kertas koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi alkohol 70%.

Udara dalam kantong plastik dikeluarkan dan kantong plastik ditutup dengan

lakban. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan.

3. Untuk mengukur tinggi pohon dilakukan dengan menggunakan klinometer.

Di Laboratorium

Setelah pengamatan di lapangan berakhir, spesimen tumbuhan yang telah

dikoleksi dibawa ke laboratorium dibuka kembali dan kertas korannya diganti dengan

kertas koran yang baru. Kemudian disusun kembali untuk dikeringkan dalam oven

pengering dengan temperatur ± 60OC selama 48 jam. Spesimen yang telah benar

benar kering dibuat herbarium dan diidentifikasi dengan menggunakan buku

identifikasi antara lain:

1. Flora (Steenis, C.G.J.V, 1987).

2. Malayan Wild Flowers Monocotyledons ( Henderson, 1954). 3. Malayan Wild Flowers Dicotyledon (Henderson, 1959).

(46)

7. Latihan Mengenal Pohon Hutan: Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis (Sutarno

dan Soedarsono, 1997).

8. Malesian Seed Plants Volume 1 . Spot-Characters An Aid for Identification of Families and Genera (Balgooy, 1998).

Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah

Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan tanah dilakukan dengan

pengukuran biomassa pohon dengan metode non-destruktif (tanpa pengrusakan). Data yang akan digunakan adalah data pohon dan tiang.

3.5. Analisis Data A. Analisis Vegetasi

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), analisis vegetasi dapat dapat

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

1. Kerapatan

a. Kerapatan Jenis

(47)

a. Frekwensi suatu jenis

F = Jumlah sub petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh sub petak contoh

b. Frekwensi relatif suatu jenis FR

FR = 100%

4. Untuk mengetahui jenis yang dominan maka dihitung Indeks Nilai Penting (INP),

dengan rumus :

INP = KR + FR + DR

5. Indeks Keanekaragaman Shannon (Indriyanto, 2006)

H’ = - Σρi ln ρi

ρ i = Ratio jumlah species dengan jumlah total individu dari seluruh spesies

(48)

Dengan menggunakan rumus Pielou Evennes Indices (Ludwig & Reynolds, 1998),

H maks = Indeks keragaman maksimum, sebesar Ln S S = Jumlah genus/jenis

7. Stratifikasi

Stratifikasi tegakan hutan dianalisis berdasarkan Indriyanto (2006) dengan

kriteria sebagai berikut :

1. Stratum A : Tinggi tegakan ≥ 30 m

2. Stratum B : Tinggi tegakan 20-30 m

3. Stratum C : Tinggi tegakan 4-20 m

4. Stratum D : Tinggi tegakan 1-4 m

5. Stratum E : Tinggi tegakan 0-1 m

B. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah

Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan terlebih dahulu diduga jumlah

biomassa vegetasi. Pendugaan biomassa vegetasi ini menggunakan persamaan

allometrik :

BK=0,11ρD2.62 (Kettering, 2001)

keterangan :

BK = Biomassa pohon (kg)

D = Diameter setinggi dada (cm)

(49)

Berat jenis kayu (ρ) diperoleh dari Wood Density Database

(Worldagroforestry, 2010), Global wood density database (Zanne et.al., 2009) dan

Woody Density Phase 1 (National Carbon Accounting System, 2009), sedangkan untuk identifikasi species selain identifikasi di laboratorium dibantu dengan

menggunakan software Agroforestree Database South- East Asia Version 2.0.5128

yang dikembangkan oleh World Agroforesty Centre.

Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa untuk melakukan estimasi

jumlah C tersimpan dalam bahan organik adalah 46%, oleh karena itu estimasi jumlah

C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

C tersimpan per hektare = Biomassa (kg ha-1) x 0.46

Untuk mendapatkan data karbon tersimpan di dalam kawasan maka hasil akhir karbon tersimpan dalam tiap hektar dikalikan dengan luas kawasan yaitu :

(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kekayaan Jenis Pohon

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan pada kawasan

Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat, tercatat 39

suku dan 140 jenis yang keseluruhannya terbagi dalam 4 tingkat pertumbuhan mulai

dari semai, pancang, tiang dan pohon. Nilai tertinggi dimiliki oleh semai yaitu 31

suku 70 jenis dan terendah adalah pohon dengan 23 suku 48 jenis, hal ini terlihat

seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat pertumbuhan vegetasi dalam kawasan

No Jenis Vegetasi Suku Jenis

1 Pohon 23 48

2 Tiang 29 64

3 Pancang 29 55

4 Semai 31 70

Pada Tabel 1. terlihat bahwa tingkat pertumbuhan pohon didapatkan sebanyak

23 suku terdiri dari 48 species. Suku Dipterocarpaceae paling banyak dijumpai di

kawasan ini sebanyak 7 jenis, Myrtaceae 6 jenis, Apocynaceae 3 jenis, Meliaceae 3

jenis dan jenis lainnya tersebar dalam 17 suku (Lampiran 3).

Tiang terdapat 29 suku yang mencakup 64 species dan yang paling banyak di

jumpai pada kawasan ini adalah Dipterocarpaceae sebanyak 8 jenis, Meliaceae

(51)

Euphorbiaceae 3 jenis, Leguminoceae 3 jenis, Moraceae 3 jenis, Myrtaceae 3 jenis,

Sterculiaceae 3 jenis, Theaceae 3 jenis dan lainnya yang tersebar dalam 17 suku

(Lampiran 4).

Pada pancang ditemukan 29 suku yang tersebar dalam 55 species, yang paling

banyak dijumpai adalah Euphobiaceae dengan 5 jenis, Myrtaceae5 jenis, Rubiaceae

5 jenis, Anacardiaceae 3 jenis, Araliaceae 3 jenis, Lauraceae 3 jenis, Moraceae 3

jenis, Theaceae 3 jenis, sedangkan yang lainnya tersebar dalam 19 suku (Lampiran 5).

Tingkat pertumbuhan semai ditemukan 31 suku dengan 70 species, yang

paling sering dijumpai adalah Euphorbiaceae 7 jenis, Myrtaceae6 jenis, Rubiaceae 6

jenis, Lauraceae 4 jenis, Anacardiaceae 3 jenis, Araliaceae 3 jenis, Magnoliaceae 3

jenis, Moraceae 3 jenis, Theaceae 3 jenis, dan jenis lainnya yang tersebar dalam 23

suku (Lampiran 6).

Jika dibandingkan dengan vegetasi Gunung Sinabung maka vegetasi yang

terdapat pada kawasan ekowisata tangkahan relatif lebih rendah, berdasarkan

penelitian Widhiastuti dan Aththorick (2007), vegetasi berbentuk pohon di hutan

Sinabung diperoleh sebanyak 85 jenis yang termasuk dalam 33 suku dan vegetasi

penutup lantai hutan ditemukan 180 jenis yang termasuk dalam 55 suku.

Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya faktor fisiografis, yaitu

keadaan-keadaan yang secara tidak langsung mempengaruhi vegetasi hutan melalui

efeknya terhadap faktor-faktor berpengaruh langsung, termasuk di dalamnya adalah

keadaan yang menentukan bentuk dan struktur dari permukaan tanah. Menurut

(52)

ketinggian tempat, dan faktor kelerengan, efek faktor-faktor fisiografis terlihat dari

perbedaan-perbedaan vegetasi hutan pada lereng-lereng atas dengan lereng-lereng

yang lebih rendah.

Ketinggian tempat sangat mempengaruhi iklim, terutama curah hujan dan

suhu udara. Curah hujan berkorelasi positif dengan ketinggian, sedangkan suhu udara

berkorelasi negatif. Wilayah pegunungan yang memiliki curah hujan lebih tinggi

dengan suhu lebih rendah, kecepatan penguraian bahan organik dan pelapukan

mineral berjalan lambat. Sebaliknya di dataran rendah penguraian bahan organik dan

pelapukan mineral berlangsung cepat. Karena itu di daerah pegunungan keadaan

tanahnya relatif lebih subur, kaya bahan organik dan unsur hara jika dibandingkan

dengan tanah di dataran rendah (Djayadiningrat 1990).

Menurut Rochidayat dan Sukowi (1979) dalam Sulistyono (1995) tinggi tempat berpengaruh terhadap suhu udara dan intensitas cahaya. Suhu dan intensitas

cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh. Keadaan ini

disebabkan karena berkurangnya penyerapan (absorbsi) dari udara. Berkurangnya suhu dan intensitas cahaya dapat menghambat pertumbuhan karena proses

fotosintesis terganggu. Pengaruh tinggi tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat

tidak langsung, artinya perbedaan ketinggian tempat akan mempengaruhi keadaan

lingkungan tempat tumbuh pohon terhadap suhu, kelembaban, oksigen di udara, dan

keadaan tanah. Meskipun pengaruhnya tidak langsung, tetapi kemampuan untuk

(53)

4.1.1. Dominansi

Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai

untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) species-species dalam

suatu komunitas tumbuhan. Species yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu

komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi (Indriyanto,

2006). INP tertinggi untuk 10 (sepuluh) jenis tanaman yang mendominasi didalam

hutan Tangkahan terlihat dalam Tabel 2 yang terbagi dalam tingkat pertumbuhan

pohon, tiang, pancang dan semai.

Tabel 2. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi 10 jenis yang terbagi dalam tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang dan semai.

Tingkat

pertumbuhan No. Jenis Nama Lokal Suku INP (%)

1 Hopea sangal Cengal, gagil Dipterocarpaceae 30,05

2 Pometia pinnata Kasai daun besar/kecil Sapindaceae 19,65

3 Aglaia latifolia Miq Langsatan Meliaceae 18,11

4 Aghatis alba Damar raja, kisi, salo Araucariaceae 16,46

5 Diospyros lanceifolia melilin, kayu arang, Ebenaceae 13,15

6 Eurya nitida - Theaceae 12,46

7 Eugenia conglomerata - Myrtaceae 12,15

8 Vatica maingayi resak daun merah Dipterocarpaceae 10,80

9 Hopea dryobalanoides bayang gunong Dipterocarpaceae 8,76

Pohon

10 Eugenia nigricans - Myrtaceae 8,01

1 Aglaia latifolia Miq. langsat lotung,

langsatan

Meliaceae 13,73

2 Eurya nitida Ki padjar, Kisireum Theaceae 11,70

3 Aporosa frutescens Kalumanjat, Rambai Euphorbiaceae 11,31

4 Ervatamia dichotoma - Apocynaceae 10,69

5 Nephelium eriopetalum Rambutan kabung, Sapindaceae 9,54

6 Aglaia argantea pasak, bayur Meliaceae 9,19

7 Macaranga triloba mahang tekukur Euphorbiaceae 9,15

Tiang

(54)

Sambungan Tabel 2 …

Tingkat

pertumbuhan No. Jenis Nama Lokal Suku INP (%)

9 Hopea dryobalanoides bayang gunong Dipterocarpaceae 8,26

10 Cinnamomum sp medang huru, Lauraceae 8,20

1 Adinandra sp tiup-tiup Theaceae 18,92

2 Hopea sangal Cengal, gagil Dipterocarpaceae 17,93

3 Flacourtia sp Rukam Flacourtiaceae 17,72

4 Ficus sp Beringin Moraceae 15,47

5 Cinnamomum cassia kayu manis cina, Lauraceae 14,48

6 Trema virgata Menarong Ulmaceae 14,10

7 Ardisia lurida Lampeni Badak Myrsinaceae 11,46

8 Shorea sp Meranti dipterocarpaceae 10,22

9 Semecarpus sp rengas, ligas Anacardiaceae 9,46

Pancang

10 Styrax paralleneurum Kemenyan Styracaceae 8,24

1 Urophyllum griffithianum Perdu Rubiaceae 12,05

2 Ardisia lurida Lampeni Badak Myrsinaceae 9,79

3 Trema virgata Menarong Ulmaceae 8,07

4 Rhinorea hirtella - Violaceae 7,53

5 Aglaia sp pacar cina Meliaceae 6,92

6 Eugenia grandis Kelat jambu Myrtaceae 6,92

7 Eugenia sp Jambu hutan Myrtaceae 6,92

8 Pometia pinnata Matoa sapindaceae 6,92

9 Cinnamomum cassia Kayu manis cina Lauraceae 5,77

Semai

10 Canarium sp Kenari, kedondong Burseraceae 4,61

4.1.1.1. Dominansi Pohon

Indeks nilai penting (INP) untuk pohon seperti Tabel 2 diatas menunjukkan

bahwa pada tingkat pohon didominasi oleh cengal/ Hopea sangal (INP= 30,05%)

(55)

Berdasarkan nilai INP diatas yang memiliki lebih dari 15% maka vegetasi

yang berada didalam lokasi penelitian dapat berperan dalam suatu ekosistem. Hal ini

didukung oleh pendapat Sutisna (1981) yang menyatakan suatu jenis tumbuhan dapat

berperan jika INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, untuk tingkat

tiang dan pohon 15%.

Menurut Nevada (2007), besarnya nilai INP suatu jenis memperlihatkan

peranan suatu jenis dalam komunitas. Suatu jenis yang memiliki nilai INP lebih besar

dibandingkan dengan jenis lainnya menandakan bahwa suatu jenis pada komunitas

tersebut dikatakan mendominasi atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut.

Hal ini disebabkan jenis tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik

serta mempunyai daya tahan hidup yang baik pula jika dibandingkan dengan jenis

lain yang ada dalam komunitas tersebut.

Hopea sangal yang termasuk kedalam suku Dipterocarpaceae merupakan jenis pohon yang memiliki nilai kerapatan tinggi di dalam lokasi penelitian hal ini

sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ashton (1982) dalam Purwaningsih (2004) menyatakan bahwa Dipterocarpaceae di kawasan Indonesia mencapai 62% (238

jenis) dari jumlah jenis yang terdapat di kawasan Malesia (386 jenis). Hal ini

menunjukkan bahwa Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk pertumbuhan

dipterocarp, terutama di Indonesia bagian barat terdapat 4 marga yang

(56)

terdapat di Malesia), Vatica (65 jenis, 55 jenis di Malesia), Hopea (102 jenis, 84 jenis

di Malesia), dan Shorea (194 jenis, 163 jenis di Malesia).

4.1.1.2. Dominansi Tiang

Permudaan pada tingkat tiang meliputi pohon-pohon yang berdiameter batang

≥ 10 cm hingga < 35 cm. Dominasi tertinggi untuk 10 jenis pohon pada tingkatan ini

Dapat dilihat pada Tabel 2. Dalam tabel diatas terlihat bahwa langsatan/ Aglaia latifolia Miq dari suku Meliaceae mendominasi dengan nilai 13,73%, kemudian diikuti oleh ki padjar/ Eurya nitida dari suku Theaceae ( INP = 11,70), Kalumanjat/

Aporosa frutescens dari suku Euphorbiaceae ( INP = 11,31), Ervatamia dichotoma

dari suku Apocynaceae ( INP = 10,69) dan jenis lainnya < 15 % (Lampiran 8).

Berdasarkan INP diatas yang nilainya < 15%, maka dapat disimpulkan bahwa

untuk tingkat tiang tidak ada satu jenis yang mendominasi di dalam hutan Tangkahan.

Hal ini didukung oleh pendapat Sutisna (1981) yang menyatakan bahwa untuk tingkat

tiang suatu jenis tumbuhan dapat dinyatakan berperan didalam komunitas apabila

memiliki nilai INP > 15%.

4.1.1.3. Dominansi Pancang

Pancang adalah permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih sampai

pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm. Pada hutan Tangkahan 10 (sepuluh)

(57)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa tiup-tiup/ Adinandra sp mempunyai

indeks nilai penting paling tinggi sebesar 18,92 %, kemudian diikuti oleh cengal/

Hopea sangal (INP = 17,93%), rukam/ Flacourtia sp (INP = 17,72%), beringin/ Ficus sp (INP=15,47%), kayu manis cina/ Cinnamomum cassia (INP = 14,48%), Menarong/

Trema virgata (INP= 14,10%), Lampeni badak/ Ardisia lurida (INP= 11,46%), meranti/ Shorea sp (INP = 10,22%) dan species lainnya kurang dari 10% (Lampiran 9)

Tiup-tiup/ Adinandra sp memiliki nilai INP tertinggi jika dibandingkan dengan jenis lainnya, hal ini menunjukkan bahwa jenis ini lebih mendominasi jika

dibandingkan dengan species lainnya. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Corners

(1997) bahwa Adinandra sp paling banyak dijumpai pada hutan sekunder di Malaysia, bahkan dalam beberapa tempat menyerupai belukar karena species ini

paling mendominasi. Selanjutnya menurut Burkill (1993) jenis tersebut memiliki

kayu yang dianggap kurang bermanfaat karena seperti pohon kecil dan umumnya

digunakan sebagai kayu bakar.

4.1.1.4. Dominansi Semai

Semai adalah permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. Pada hutan

Tangkahan 10 (sepuluh) jenis semai yang mempunyai nilai INP tertinggi dapat dilihat

pada Tabel 2, dalam tabel tersebut diketahui bahwa perdu/ Urophyllum griffithianum

dari suku Rubiaaceae mempunyai indeks nilai penting paling tinggi sebesar 12,05 %,

(58)

8,07%), Rhinorea hirtella (INP = 7,53%), pacar cina/ Aglaia sp (INP= 6,92%), Kelat

jambu/ Eugenia grandis (INP= 6,92 %), Jambu hutan/ Eugenia sp (INP = 6,92%), matoa/ Pometia pinnata (INP = 6,92%), kayu manis cina/ Cinnamomum cassia

(5,77%), kenari/ Canarium sp (INP = 5,61%). Pada tingkat semai Urophyllum griffithianum merupakan jenis yang memiliki INP > 10% sedangkan jenis lainnya

memiliki INP < 10 %, hal ini menunjukkan bahwa jenis ini yang paling mendominasi

diantara jenis lainnya (Lampiran 10).

Balgooy (1998) mengemukakan bahwa, di daerah paleotropik Urophyllum

tumbuh di hutan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan. Selanjutnya Lubis

(2008) menyatakan bahwa persebaran Rubiaceae di Taman Wisata Alam Deleng

Lancuk Kabupaten Karo Sumatera Utara di temukan sebanyak 15 suku dengan 22

jenis.

4.1.1.5. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan

Komposisi vegetasi pada suatu tipe hutan sangat penting diketahui, komposisi

dimaksud meliputi vegetasi pada lapisan tajuk di bagian atas (pohon) dan vegetasi

pada lapisan bawah (lantai hutan). Tingginya tingkat keanekaragaman hayati

(biodiversity) di hutan tropis merupakan satu kekayaan tersendiri yang tidak ternilai

harganya. Hutan tropis dengan kondisi vegetasi yang masih baik merupakan

laboratorium hidup yang menyimpan berbagai rahasia alam yang masih perlu

(59)

perlu dilakukan demi pemenuhan kebutuhan hidup di masa depan dan pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi (Sidiyasa, 2006).

Tingkat keanekaragaman hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu

komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin

tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore, 1990). Berkaitan dengan

hutan Tangkahan, keanekaragaman vegetasinya cukup tinggi. Secara umum, kondisi

pada setiap tingkatan pertumbuhan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di hutan Tangkahan

No Indeks Semai Pancang Tiang Pohon

Keanekaragaman (H’) 3,93 3,74 3,95 3,36

Kemerataan (E) 0,76 0,78 0,76 0,69

Dari Tabel 3 terlihat bahwa Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi di miliki

tiang dengan nilai 3,95 dilanjutkan Semai sebanyak 3,93 kemudian pancang dengan

nilai 3,74 dan yang paling rendah adalah pohon dengan nilai 3,37. Hal tersebut

menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian termasuk dalam

kategori tinggi karena memiliki nilai H’ lebih dari 3 hal ini sesuai dengan pendapat

Mason (1980), yang menyatakan jika nilai Indeks Keanekaragaman lebih kecil dari 1

berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis

sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi. Hal ini berarti

Gambar

Gambar 1. Jalur penelitian di kawasan Ekowisata Tangkahan Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat
Gambar 2. Tehnik pengukuran diameter (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Tabel 1. Tingkat pertumbuhan vegetasi dalam kawasan
Tabel 2. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi 10 jenis yang terbagi dalam tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang dan semai
+6

Referensi

Dokumen terkait

Jika Rangkaian dan penyambungan anda benar, maka akan muncul tulisan seperti dibawah ini, jika masih ada error silahkan cek kondisi IC Mikro dan penyambungannya sudah betul belum..

Dengan menggunakan bantuan sofware SPSS, maka diperoleh nilai signifikansi uji multikolinearitas untuk semua variabel penelitian yang dapat dilihat pada tabel

1) Fase eksplorasi, memfokuskan pada pengambilan keputusan klien seperti visi dan tujuan bisnis aplikasi yang dirumuskan dan diatur kembali. 2) Fase perencanaan,

Hal ini disebabkan karena Windows 2000 Server dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang dapat memudahkan pekerjaan administrator jaringan, contoh fasilitas tersebut antara lain

“Community Building ini dimaksudkan untuk membangun hubungan antara pelanggan agar memberikan informasi atau saran, dan untuk menciptakan suatu hubungan

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran bagaimana persepsi pelanggan Flexi Trendy mengenai bauran pemasaran yang diterapkan oleh

)alam KS (ang )iberikan guru untuk men(usun tabel )alam KS (ang )iberikan guru untuk men(usun tabel )istribusi .rekuensi )ata berkelom%ok ber)asarkan )istribusi .rekuensi

Sampel pada penelitian ini ialah 46 perusahaan real estate dan property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2016 yang diambil dengan mengunakan