KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMANGGILAN NOTARIS OLEH PENYIDIK POLRI BERKAITAN DENGAN
DUGAAN PELANGGARAN HUKUM ATAS AKTA YANG DIBUATNYA
TESIS
Oleh
NUZUARLITA PERMATA SARI HARAHAP 087011146/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMANGGILAN NOTARIS OLEH PENYIDIK POLRI BERKAITAN DENGAN
DUGAAN PELANGGARAN HUKUM ATAS AKTA YANG DIBUATNYA
TESIS
Oleh
NUZUARLITA PERMATA SARI HARAHAP 087011146/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMANGGILAN
NOTARIS OLEH PENYIDIK POLRI BERKAITAN DENGAN DUGAAN PELANGGARAN HUKUM ATAS AKTA YANG DIBUATNYA
Nama Mahasiswa : Nuzuarlita Permata Sari Harahap
Nim : 087011146
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Ketua
Syahril Sofyan, SH, MKn Syafnil Gani, SH, M.Hum Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
ABSTRAK
Profesi Notaris sebagai suatu jabatan kepercayaan akhir-akhir ini menjadi perhatian masyarakat karena banyaknya Notaris yang mengalami proses pemanggilan oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggan akta yang dibuatnya. Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri mempunyai status yang berbeda-beda baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Notaris sebagai pejabat umum sekaligus pula sebagai sebuah profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Notaris seyogyanya berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat. Sebagai suatu jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi, Notaris mempunyai kewajiban untuk menjaga jabatan tersebut dengan sikap dan prilaku yang baik dan mulia.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder yang selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan metode deduktif. Uraian hasil analisa dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.
Pemanggilan terhadap Notaris yang dilaporkan telah melakukan tindak pidana harus terlebih dahulu memperoleh ijin tertulis dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang tentang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, kewenangan penyidikan yang dimiliki penyidik Polri merupakan upaya paksa harus dilakukan secara prosedural, profesional, proporsional, transparan, akuntabel dalam rangka keadilan dan kepastian hukum. Notaris dalam status saksi maupun tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ketidak berwenangan Notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan pensiun. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara. Kewenangan memberhentikan sementara Notaris dalam status terdakwa tersebut ada pada Majelis Pengawas Pusat Notaris. Pemberhentian sementara Notaris dalam status terdakwa adalah bertujuan untuk mempermudah dan memperlancar proses pemeriksaan di pengadilan. Terhadap Notaris yang dikenakan penahanan sementara maka Notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk dalam membuat akta.
ABSTRACT
Notary is a profession with a duties entrusted on position that currently is a public focused due to there are many Notaries engaged in a process of investigation
by Police referring with a violation presume over the deed they provide and produce, before Police, mostly Notary got differently status either as witness or as the suspect. Notary as a public official at once as a profession, his position play a very important role in assisting people having a law enforcement. In essentially, Notary hold the work in preventive domain where the law problem may emerge by an authentic deed he provides as the most perfect evidence on court. It shall be unimaginable for a Notary even engaged into the source of problems for the law due to the authentic deed he provided and the public judged their credibility. It is acknowledged that the position is with prestigious, honorable glorious and with high esteem, however, Notary has obliged to hold it in highly valuable in behave and conduct it with well mannered.
This study adopted a normative juridical research with analytical descriptive. The data has been analyzed according to the law theory in general view. It has been applied for the way to explain about the data obtained from other source. This Study completed in a descriptively approach and ever to analyze the problem emerged and later to take conclusion. The data analysis was conducted after collecting primary and secondary data(s) and further to make evaluation and analyze it qualitatively, upon the laws regulations discussed deductively. The result of analysis was described qualitatively by adopting own interpretation and legal logic and got newly description or support the set has been available in response to the problem and take conclusion.
In asking the Notary as reported for he has done a criminal act should got a written permits previously from the Regional Supervisor Board for Notaries, it is
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmaanir rahim
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadiran Allah SWT dan junjungan
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian Tesis ini dengan judul ‘KAJIAN
HUKUM TERHADAP PEMANGGILAN NOTARIS OLEH PENYIDIK POLRI
BERKAITAN DENGAN DUGAAN PELANGGARAN HUKUM ATAS AKTA
YANG DIBUATNYA”. Atas ijin-Nya jualah Tesis ini dapat tersusun, dan dapat
terselesaikan. Berkah Allah terasa amat lekat sejak saya memutuskan niat saya untuk
membuat dan mengajukan judul Tesis ini. Penulisan ini adalah merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara. Akan tetapi menurut penulis
Tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggung
jawabkan dalam hakikat kemanusiaan yang penuh keterbatasan, dan tidak lupa
senantiasa memohon saran dan kritik bagi upaya penyempurnaannya di waktu
mendatang.
Saya menyadari, bahwa penulisan Tesis ini dapat diselesaikan atas dukungan
dan bantuan dari tim pembimbing kami di dalam kesibukannya yang luar biasa tetapi
beliau beliau senantiasa bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan
hingga penyediaan beberapa referensi yang relefan telah beliau berikan. Semoga
Tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi seluruh ummat.
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan
terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H, Sp.A (K),
selaku Rektor Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Direktur Sekolah
Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatra Utara sekaligus
pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran yang membangun
kepada penulis Tesis ini.
4. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, dan Bapak Notaris Syafnil Gani,
SH, MHum, masing masing selaku pembimbing.
5. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum dan Dr. T. Keizerina Devi A, SH,
CN, MHum masing masing selaku penguji, yang telah banyak membantu penulis
dengan memberikan bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi
untuk kesempurnaan hingga terselesaikannya tesis ini. Atas segala bantuan
tersebut penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga Bapak/Ibu senantiasa
mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan Kasih-Nya dalam menjalani kehidupan
Ucapan Terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Mayjend TNI Purn. H. Chaeruddin
Harahap SIP. (Alm.) dan ibunda Hj. Tiny Kartini yang telah membesarkan dan
mendidik dengan memberi kasih sayang yang tulus dan semangat kepada penulis,
sehingga penulis menjadi kuat dan tabah dalam menghadapi dan menjalani
kehidupan yang penuh cobaan ini, juga kedua mertua yaitu ayahanda
H. Pramuhartono, SPd dan ibunda Hj. Kastarini yang telah memberikan
semangat dan kasih sayang semasahidupnya. Oleh karena itu penulis berdoa
semoga Allah SWT senantiasa mengampuni dosa dosanya dan menempatkan
almarhum Mayjend TNI Purn. H. Chairuddin Harahap SIP. di tempat yang
sebaik baiknya di sisi-Nya, dan ayahanda H. Pranuhartono, SPd, dan ibunda
Hj. Tiny Kartini dan Hj. Kastarini, senantiasa dalam lindungan-Nya dan diberi
kesehatan serta keselamatan, amin.
2. Suami penulis AKBP. Pol. Drs. Gatot Tri Suryanta, MSi dan putra putri
tercinta yaitu M. Raja, Aisyah, Syarifah, M. Akbar, dan M. Rizki (Alm) yang
senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT dan memberi semangat,
dukungan dengan kasih sayang penuh pengorbanan serta mendorong penulis
sehingga Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada ananda
M. Rizki (Alm) semoga ananda tenang dan mendapat tempat bagai seputih kapas
di sisi Allah SWT.
3. Ibu Ketua Bhayangkari Daerah Sulawesi Utara yang telah memberi dukungan
moril, ijin waktu dan kesempatan kepada saya dalam menempuh studi di Sekolah
4. Bapak Kapolda Sumatra Utara dan Bapak Kapoltabes Medan dan sekitarnya,
yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk penelitian tesis ini.
5. Ucapan terima kasih yang tulus saya berikan untuk seluruh anggota Bhayangkari
cabang Bolmong yang tercinta yang telah memberikan doa restunya hingga
selesainya tesis ini.
6. Saudara Saudari Penulis yang telah banyak memberi dukungan baik moril
maupun materiil, semoga Allah SWT memberi kesehatan, keselamatan, dan rizki
yang melimpah.
7. Bapak/ibu dosen dan rekan rekan mahasiswa seperjuangan serta seluruh staf
(Bu Fatimah, Kak Lisa, Kak Sari, Kak Afni, Kak Winda, Bang Aldi), pada
program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian tesis ini,
baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mampu penulis sebut satu
persatu.
Penulis sudah berusaha menulis tesis ini dengan sebaik baiknya, namun
sebagai manusia penulis menyadari adanya kekhilafan dan ketidaksempurnaan dalam
tesis. Oleh karena itu penulis berharap kiranya para pembaca dapat memberikan kritik
dan saran yang produktif.
Medan, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG KEWENANGAN, KEWAJIBAN DAN LARANGAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS ... 44
A. Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 44
1. Notaris Sebagai Pejabat Umum... 44
2. Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik ... 58
B. Kewajiban dan Larangan Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 69
1. Kewajiban Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 69
2. Larangan Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum... 72
BAB III PROSEDUR HUKUM PEMANGGILAN NOTARIS OLEH PENYIDIK POLRI... 74
A. Akta Notaris Sebagai Dasar Perbuatan Pidana... 74
2. Akta Notaris Sebagai Dasar Perbuatan Pidana ... 86
B. Pelanggaran Hukum yang Dapat Dilakukan Oleh Notaris Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya... 97
1. Penyelewengan Prosedural ... 97
2. Penyelewengan Pidana ... 97
C. Prosedur Hukum Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik Polri yang Diduga Melakukan Pelanggaran Hukum Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya... 98
BAB IV KEWENANGAN NOTARIS DALAM MENJALANKAN TUGAS JABATANNYA DENGAN STATUS SEBAGAI TERSANGKA ... 115
A. Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris Menurut UUJN ... 115
B. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum yang Dijatuhi Sanksi ... 124
C. Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan Dengan Status Sebagai Tersangka ... 138
D. Pemberhentian Sementara Notaris yang Menjadi Terdakwa Selama Proses Peradilan... 140
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 149
A. Kesimpulan ... 149
B. Saran... 151
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Data Notaris-PPAT yang Dilakukan Pemanggilan/Pemeriksaan
Sebagai Saksi atau Tersangka Periode Tahun 2008 s/d 2009 di DIT Reskrim Polda Sumut ... 94
Tabel 2. Data Notaris-PPAT yang Dilakukan Pemanggilan/Pemeriksaan
Sebagai Saksi atau Tersangka Periode Tahun 2008 s/d 2009 di DIT Reskrim Polda Sumut ... 95
Tabel 3. Data Notaris yang Dipanggil Tahun 2008... 95
ABSTRAK
Profesi Notaris sebagai suatu jabatan kepercayaan akhir-akhir ini menjadi perhatian masyarakat karena banyaknya Notaris yang mengalami proses pemanggilan oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggan akta yang dibuatnya. Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri mempunyai status yang berbeda-beda baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Notaris sebagai pejabat umum sekaligus pula sebagai sebuah profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Notaris seyogyanya berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat. Sebagai suatu jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi, Notaris mempunyai kewajiban untuk menjaga jabatan tersebut dengan sikap dan prilaku yang baik dan mulia.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder yang selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan metode deduktif. Uraian hasil analisa dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.
Pemanggilan terhadap Notaris yang dilaporkan telah melakukan tindak pidana harus terlebih dahulu memperoleh ijin tertulis dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang tentang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, kewenangan penyidikan yang dimiliki penyidik Polri merupakan upaya paksa harus dilakukan secara prosedural, profesional, proporsional, transparan, akuntabel dalam rangka keadilan dan kepastian hukum. Notaris dalam status saksi maupun tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ketidak berwenangan Notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan pensiun. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara. Kewenangan memberhentikan sementara Notaris dalam status terdakwa tersebut ada pada Majelis Pengawas Pusat Notaris. Pemberhentian sementara Notaris dalam status terdakwa adalah bertujuan untuk mempermudah dan memperlancar proses pemeriksaan di pengadilan. Terhadap Notaris yang dikenakan penahanan sementara maka Notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk dalam membuat akta.
ABSTRACT
Notary is a profession with a duties entrusted on position that currently is a public focused due to there are many Notaries engaged in a process of investigation
by Police referring with a violation presume over the deed they provide and produce, before Police, mostly Notary got differently status either as witness or as the suspect. Notary as a public official at once as a profession, his position play a very important role in assisting people having a law enforcement. In essentially, Notary hold the work in preventive domain where the law problem may emerge by an authentic deed he provides as the most perfect evidence on court. It shall be unimaginable for a Notary even engaged into the source of problems for the law due to the authentic deed he provided and the public judged their credibility. It is acknowledged that the position is with prestigious, honorable glorious and with high esteem, however, Notary has obliged to hold it in highly valuable in behave and conduct it with well mannered.
This study adopted a normative juridical research with analytical descriptive. The data has been analyzed according to the law theory in general view. It has been applied for the way to explain about the data obtained from other source. This Study completed in a descriptively approach and ever to analyze the problem emerged and later to take conclusion. The data analysis was conducted after collecting primary and secondary data(s) and further to make evaluation and analyze it qualitatively, upon the laws regulations discussed deductively. The result of analysis was described qualitatively by adopting own interpretation and legal logic and got newly description or support the set has been available in response to the problem and take conclusion.
In asking the Notary as reported for he has done a criminal act should got a written permits previously from the Regional Supervisor Board for Notaries, it is
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Notaris sebagai pejabat umum, sekaligus pula sebagai sebuah profesi,
posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi
masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif)
terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti
yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru
menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya
dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat.
Sejarah mencatat awal lahirnya profesi jabatan Notaris adalah profesi kaum
terpelajar dan kaum yang dekat dengan sumber kekuasaan.1 Para Notaris ketika itu
mendokumentasikan sejarah dan titah raja. Para Notaris juga menjadi orang dekat
Paus yang memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan. Bahkan pada abad
kegelapan (Dark Age 500 – 1000 setelah Masehi) dimana penguasa tidak bisa
memberikan jaminan kepastian hukum, para Notaris menjadi rujukan bagi
masyarakat yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak awal lahirnya profesi
1 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI), Editor : Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris
jabatan Notaris, termasuk jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan
bermartabat tinggi.2
Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004
yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri
dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin mempertegas posisi penting Notaris
sebagai pejabat umum yang memberikan kepastian hukum melalui akta otentik yang
dibuatnya.3 Landasan filosofis lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30
Tahun 2004 adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan keadilan. Melalui akta yang
dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
pengguna jasa Notaris.4 Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal
sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun Notaris
mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta
Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak
yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta
memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta Notaris dalam
menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas (unpartiality and
2 Ibid, hlm. 33.
3
Sutrisno, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Diktat Kuliah Magister Kenotariatan USU, Medan, 2007, hlm. 57.
4 H. Salim HS. & H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta,
Independency).5 Notaris merupakan pejabatan umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti otentik,
bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya.6
Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, Notaris menjalankan tugas negara, dan akta yang
dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara. Pejabat umum
adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah)
dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu,
karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.7 Meskipun Notaris adalah
pejabat umum/publik yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun
Notaris bukan pegawai pemerintah/negeri yang memperoleh gaji dari pemerintah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian tidak
berlaku terhadap Notaris. Notaris adalah pejabat umum/publik yang juga
melaksanakan kewibawaan pemerintah dibidang hukum tapi tidak memperoleh gaji
dari pemerintah. Namun Notaris bukanlah pejabat Tata Usaha Negara sehingga
Notaris tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 11a
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
5 Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007, hlm. 22.
6 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 64.
7 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita,
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan penegasan
kepada Notaris sebagai pejabat umum. Pasal 1868 tersebut menyatakan bahwa,
“Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-Undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat
dimana akta itu dibuat”. Namun demikian Notaris bukanlah satu-satunyaa pejabat
umum yang ditugasi oleh undang-undang dalam membuat akta otentik. Ada pejabat
umum lainnya yang ditunjuk undang-undang dalam membuat akta otentik tertentu
seperti pejabat kantor catatan sipil dalam membuat akta kelahiran, perkawinan dan
kematian, Pejabat kantor lelang negara dalam membuat akta lelang, Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik dibidang pertanahan Kepala Kantor
Urusan Agama dalam membuat akta nikah, talak dan rujuk dan lain sebagainya.
Namun secara umum dapat dikatakan Notaris adalah satu-satunya pejabat umum
yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang yang cukup besar dalam
membuat hampir seluruh akta otentik.
Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional
dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi kode
etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus ditaati.
Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang
memiliki unsur-unsur sebagai berikut :8
8 Liliana Tedjasaputro, Etika Profesi Notaris (dalam penegakan hukum pidana), BIGRAF
1. memiliki integeritas moral yang mantap
2. harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual)
3. sadar akan batas-batas kewenangannya
4. tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang
Di dalam Pasal 16 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor
30 Tahun 2004, Notaris diwajibkan bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak
dan menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Di samping itu Notaris sebagai pejabat umum harus peka, tanggap, mempunyai
ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap
fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul sehingga dengan begitu akan
menumbuhkan sikap keberanian dalam mengambil tindakan yang tepat. Keberanian
yang dimaksud disini adalah keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang
benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang
dibuatnya dan menolak dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan dengan
hukum, moral dan etika.9
Kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah juga merupakan
kepercayaan masyarakat terhadap akta yang dibuatnya, itulah sebabnya mengapa
jabatan Notaris sering pula disebut dengan jabatan kepercayaan. Kepercayaan
pemerintah sebagai instansi yang mengangkat dan memberhentikan Notaris sekaligus
pula kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris.
9 Wawan Setiawan, Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik, Media
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik harus
dapat mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya tersebut apabila ternyata
dikemudian hari timbul masalah dari akta otentik tersebut. Masalah yang timbul dari
akta yang dibuat oleh Notaris perlu dipertanyakan, apakah akibat kesalahan dari
Notaris tersebut atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan keterangan,
dokumen yang dibutuhkan secara jujur dan lengkap kepada Notaris.
Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal
dari para pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan memberikan keterangan
tidak jujur dan dokumen tidak lengkap (disembunyikan) oleh para pihak, maka akta
otentik yang dibuat Notaris tersebut mengandung cacat hukum, dan bila karena
keterangan para pihak yang tidak jujur atau menyembunyikan sesuatu dokumen
penting yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris, maka para pihak yang
melakukan perbuatan tersebut dapat saja dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain
yang merasa dirugikan dengan dibuatnya akta otentik tersebut. Pasal pidana yang
dapat digunakan untuk melakukan penuntutan pidana terhadap para pihak tersebut
adalah Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang
menyatakan “Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu
mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan
oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh
orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan
kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika
Notaris yang membuat akta otentik sebagaimana dimaksud di atas meskipun
ia tidak terlibat dalam pemalsuan keterangan dalam akta otentik tersebut dapat saja
dilakukan pemanggilan oleh pihak penyidik Polri dalam kapasitasnya sebagai saksi
dalam masalah tersebut.10 Bila dalam penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian
ternyata didapati bukti permulaan yang cukup atas keterlibatan Notaris dalam
memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik yang dibuatnya tersebut, maka
tidak tertutup kemungkinan Notaris tersebut dapat dijadikan sebagai tersangka. Bukti
permulaan yang cukup menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP tersebut antara lain :
1. Dengan sadar/sengaja memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik yang
dibuatnya sehingga menguntungkan dirinya dan/atau orang yang memasukkan
keterangan palsu itu ke dalam akta otentik tersebut serta merugikan pihak lain.
2. Karena kelalaian/kecerobohannya yang membuat masuknya keterangan palsu
tersebut ke dalam akta otentik yang dibuatnya.
Kedua poin tersebut di atas merupakan dasar perbuatan pidana yang
mengakibatkan seorang notaris dapat dipanggil oleh penyidik Polri yang
masing-masing berdiri sendiri dan bukan merupakan syarat kumulatif. Dengan sadar/sengaja
memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik merupakan suatu perbuatan pidana
yang disebut dengan dolus (kesengajaan), sedangkan karena kelalaian/
kecerobohannya yang membuat masuknya keterangan palsu dalam akta otentik
merupakan suatu perbuatan pidana yang disebut dengan culpa (kelalaian).
10 PAF Lamintang, Delik-delik Khusus (Kejahatan-kejahatan Membahayakan Kepercayaan
Namun dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan yang dilakukan
terhadap Notaris oleh pihak penyidik Polri harus memenuhi prosedur hukum yang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam memanggil dan memeriksa
Notaris selaku pejabat umum berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan
dalam jabatannya.
Prosedur hukum pemanggilan, pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri
maupun untuk kepentingan proses peradilan terdapat dalam Pasal 66 UUJN Nomor
30 Tahun 2004 ayat (1) dan (2). Pasal 66 ayat 1 UUJN menyatakan, “Untuk
kepentingan proses peradilan penyidik, penuntut umum atau hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :
a. Mengambil fotocopy minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan
akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
Pasal 66 ayat (2) UUJN menyatakan, “Pengambilan fotokopi minuta akta atau
surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara
penyerahan”.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UUJN tersebut
di atas diketahui bahwa setiap kali Notaris akan dipanggil oleh pihak penyidik Polri
Polri harus terlebih dahulu memperoleh ijin dari Majelis Pengawas Daerah tempat
dimana Notaris tersebut menjalankan tugas jabatannya.
Pasal 66 ayat (1) dan (2) UUJN nomor 30 tahun 2004 tersebut merupakan
dasar hukum yang harus dipenuhi oleh instansi berwenang manapun termasuk
penyidik Polri setiap kali melaksanakan pemanggilan atau melakukan pemeriksaan
terhadap Notaris dalam penyelidikan dan penyidikan hukum pidana. Penyidik Polri
yang melakukan pemanggilan langsung terhadap Notaris tanpa memperoleh ijin
terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah, merupakan suatu perbuatan/tindakan
yang bertentangan dengan Undang-Undang, karena tidak sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 66 ayat (1) UUJN
nomor 30 Tahun 2004.
Dalam lima tahun terakhir ini, fenomena Notaris memperoleh panggilan dari
penyidik Polri semakin sering terjadi di masyarakat. Pemanggilan Notaris oleh
penyidik Polri tersebut biasanya pada awal pemanggilan menempatkan Notaris
tersebut sebagai saksi atas sengketa para pihak yang aktanya dibuat oleh dan
dihadapan Notaris tersebut.11 Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri tersebut
setelah didahului oleh laporan salah satu pihak yang merasa dirugikan atas akta
tersebut ke pihak kepolisian. Notaris yang dipanggil oleh penyidik Polri sebagai saksi
tidak tertutup kemungkinan setelah dilakukan pemeriksaan oleh pihak Kepolisian
ditingkatkan status hukum pemeriksaannya menjadi tersangka. Peningkatan status
11 Nurman Rizal, Pemanggilan yang Menghantui Notaris, Media Notaris Edisi 11 Juli 2007,
pemeriksaan notaris dari saksi menjadi tersangka perlu memperoleh ijin tertulis dari
MPD, dimana penyidik Polri mengirimkan surat permohonan ijin tertulis kepada
MPD mengenai peningkatan status pemeriksaan dari notaris tersebut. Pasal-pasal
yang sering digunakan oleh penyidik Polri terhadap Notaris yang status hukum
pemeriksaannya telah menjadi tersangka adalah Pasal 55 sampai dengan
62 KUH Pidana tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, Pasal 263
sampai dengan Pasal 275 KUH Pidana tentang memasukkan keterangan palsu dalam
akta otentik atau menggunakan surat palsu yang mengakibatkan kerugian terhadap
pihak lain, Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 tentang penggelapan, Pasal 378 s/d
395 KUH Pidana tentang perbuatan curang. Notaris yang pernah dipanggil oleh pihak
penyidik Polri berkaitan dengan akta yang dibuatnya antara lain adalah AH, pasal
yang disangka pemalsuan surat/keterangan palsu, ER, Pasal 372 Jo Pasal 378 KUHP,
penggelapan dan penipuan, AP, Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat, NN, Pasal 263
KUHP, pemalasuan surat, MR, Pasal 263 Jo Pasal 315 KUHP, pemalsuan surat, PES,
Pasal 266 KUHP, pemalsuan surat, GM, Pasal 378 KUHP, penipuan dan EW Pasal
263 KUHP, pemalsuan surat.
Untuk membuktikan sangkaan yang ditujukan kepada Notaris dalam suatu
proses pemeriksaan hukum oleh penyidik Polri dibutuhkan bukti-bukti yang kuat
yang diperoleh melalui serangkaian penyidikan yang benar-benar objektif. Muara dari
pembuktian kesalahan/pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris dalam
Konsekwensi sebuah jabatan publik yang dilekatkan pada Notaris memang
sangat berat untuk dilaksanakan. Namun pada hakikatnya bila Notaris tetap
berpegang teguh pada rambu-rambu hukum yang berlaku, UUJN dan kode etik
Notaris, maka fenomena Notaris dipanggil pihak penyidik Polri yang sering terjadi di
masyarakat dalam lima tahun terakhir ini, seharusnya tidak terjadi lagi.
Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan
pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya membutuhkan penyelidikan dan
penyidikan yang lebih mendalam dan seksama dari pihak penyidik Polri. Apakah
benar pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh Notaris, atau para pihak yang
menandatangani akta tersebutlah yang melakukan pelanggaran hukum dengan
memberikan keterangan yang tidak jujur dan menyembunyikan dokumen yang
seharusnya diperlihatkan kepada Notaris. Pelanggaran hukum yang dilakukan Notaris
dapat bersifat administratif, tidak merupakan pelanggaran hukum pidana. Dalam hal
ini dibutuhkan pengetahuan hukum yang mendalam dan paradigma berfikir yang luas
untuk mengambil keputusan yang benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku
menetapkan bersalah tidaknya seorang Notaris dalam suatu pemeriksaan hukum
pidana.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian
Daerah Sumatera Utara dalam 3 tahun terakhir tahun 2005, 2006 dan 2007 maka
penyidikan yang telah dilakukan oleh Polri dalam rangka pemanggilan dan
pemeriksaan Notaris baik sebagai saksi maupun tersangka sesuai dengan jenis kasus
diantaranya menetapkan Notaris sebagai tersangka, dan 133 kasus lainnya
menetapkan Notaris sebagai saksi dalam pemanggilan dan pemeriksaan kasus
tersebut.12 Pada tahun 2008 ada 21 orang Notaris yang dipanggil penyidik Polri
dengan status hukum sebagai saksi kemudian pada tahun 2009 ada 5 orang Notaris
yang dipanggil sebagai saksi. Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri pada tahun
2008 tersebut diantaranya 4 orang Notaris menyangkut Pasal 263 KUHP, 5 orang
Notaris menyangkut Pasal 266 KUHP, 4 orang Notaris menyangkut Pasal 372
KUHP, kemudian Pasal 378 menyangkut kepada 6 orang Notaris dan Pasal 385
KUHP menyangkut kepada 2 orang Notaris. Tahun 2009, 2 orang Notaris
menyangkut Pasal 263, 1 orang Notaris menyangkut Pasal 266 dan 2 orang Notaris
menyangkut Pasal 378.13
Peristiwa pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri yang cukup banyak
tersebut jelas mencemarkan jabatan profesi Notaris yang selama ini dikenal sebagai
suatu jabatan yang bermartabat, luhur terhormat dan dipercaya. Kasus pemanggilan
dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri yang terjadi selama ini bila dikaji secara
lebih mendalam penyebabnya adalah :
1. Karena kelalaian/ kecerobohan yang bersumber dari minimnya pengetahuan
dibidang hukum kenotariatan yang dimiliki oleh Notaris tersebut.
12 Data Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara, tanggal 1
Oktober 2007 yang ditandatangani oleh Pelaksana Harian (LAKHAR) Direktur Reserse Kriminal Polda Sumut, Kombes Pol. Drs. Arsianto Darmawan, diperoleh pada tanggal 07 Agustus 2009
13 Data SAT I Pidum Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Polda Sumatera Utara
2. Kesengajaan melakukan pelanggaran hukum yang bersumber dari rendahnya
mentalitas dan moral serta etika yang dimiliki oleh Notaris tersebut dalam
melaksanakan tugas jabatannya.
Batas-batas kewenangan seorang Notaris dalam pembuatan akta diatur
di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, Kode Etik Notaris
dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sepanjang Notaris yang
bersangkutan mematuhi dan mentaati aturan-aturan yang terdapat dalam UUJN
maupun kode etik Notaris maka Notaris yang bersangkutan akan aman dari segala
tindakan atau perbuatan yang melawan hukum terutama bidang hukum pidana.
Apabila ketentuan pada UUJN dilanggar terutama dengan memasukkan keterangan
palsu ke dalam akta otentik, maka pada fase tersebut Notaris dapat dijadikan sebagai
tersangka. Fase berikutnya apabila akta yang dibuat Notaris tersebut nyata-nyata
karena kesalahannya atau kesengajaannya oleh karena kehendak jahat, maka pada
fase tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai terdakwa. Apabila
pengadilan melalui Majelis Hakim dapat membuktikan secara fakta hukum, Notaris
tersebut terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan maka pada fase itu Notaris
tersebut telah menjadi seorang terpidana melalui suatu keputusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sanksi-sanksi terhadap Notaris mengenai pelanggaran administratif dilakukan
oleh Dewan Kehormatan Notaris, dalam hal ini adalah Dewan Kehormatan Daerah
(Kabupaten/Kota), Dewan Kehormatan Wilayah (Propinsi) dan Dewan Kehormatan
ketentuan administratif adalah berupa teguran (lisan/tertulis) surat peringatan maupun
pemberhentian sementara (skorsing).
Dengan demikian diharapkan pada akhirnya proses pemanggilan,
penangkapan dan penahanan Notaris oleh penyidik Polri wajib mengindahkan
peraturan-peraturan yang berlaku terhadap prosedur dan tata cara tersebut diatas
diantaranya dengan mematuhi KUHAP, Nota kesepahaman antara penyidik Polri
dengan Notaris dan juga Pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan Notaris yang mewajibkan penyidik Polri memperoleh ijin terlebih dahulu dari
Majelis Pengawas Daerah Notaris untuk melakukan pemanggilan terhadap Notaris,
sehingga proses pemanggilan, penangkapan dan penahanan Notaris dapat berjalan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak semena-mena.
Dalam hal ini juga setiap laporan.pengaduan secara profesional, proporsional,
objektif, transparan dan akuntabel melalui penyelidikan dan penyidikan (Pasal 14
angka 1 Surat Keputusan Kapolri nomor 12 Tahun 2009).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum yang berlaku tentang kewenangan, kewajiban dan
larangan terhadap Notaris sebagai pejabat umum berdasarkan Undang-Undang
2. Bagaimana prosedur hukum yang berlaku terhadap pemanggilan Notaris oleh
penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang
dibuatnya ?
3. Bagaimana status hukum Notaris dari segi jabatan dan kewenangan, setelah
ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan, kewajiban dan larangan terhadap Notaris sebagai
pejabat umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang
kenotariatan yaitu UUJN Nomor 30 Tahun 2004 dan kode etik Notaris.
2. Untuk mengetahui prosedur hukum yang berlaku terhadap pemanggilan Notaris
oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang
dibuatnya.
3. Untuk mengetahui status hukum Notaris dari segi jabatan dan kewenangan,
setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan
untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum, yang dapat
hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya
yaitu mengenai pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan
pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat,
aparat pemerintah yang terkait dengan penanganan Notaris, aparat penegak
hukum yang berwenang secara hukum dalam melakukan pemanggilan dan
pemeriksaan terhadap para Notaris berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum
atas akta yang dibuatnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai, “Kajian Hukum Terhadap Pemanggilan Notaris
Oleh Penyidik Polri Berkaitan Dengan Dugaan Pelanggaran Hukum Atas Akta yang
Dibuatnya” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian
penelitian ini adalah asli adanya, dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan.
Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian
mengenai masalah Notaris, namun secara substansi pokok permasalahan yang
dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan
Notaris yang pernah dilakukan adalah :
1. Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu
2. Kajian Terhadap Penggunaan Hak Ingkar Notaris Dalam Pemberian Kesaksian
Pada Perkara Perdata dan Pidana oleh : Asep Sudrajat (017011005).
3. Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang mengandung sengketa (Studi di
Kota Medan) oleh Gloria Gita Putri Ginting (037011029).
4. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi
Perbuatan Pidana oleh : Agustining (087011001).
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Fungsi teori dalam penelitian ini
adalah untuk memberikan arahan/penunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala
yang diamati.15
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha
untuk memahami Notaris sebagai pejabat umum dan kaitannya dengan dugaan
pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya yang mengakibatkan terjadinya
pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri secara yuridis, artinya memahami objek
penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum
14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta, 1986, hlm. 6.
15 JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam UI Press,
sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan masalah Notaris, kewenangan, kewajiban dan larangan bagi Notaris maupun
prosedur hukum pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan
pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya dengan didasarkan kepada penelitian
lapangan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
tersebut.16
Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum kenotariatan,
hukum perjanjian dan hukum pidana, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan
eksternal bagi penelitian ini.17 Teori yang digunakan adalah teori keseimbangan dan
keadilan hukum. Keseimbangan dan keadilan hukum sebagai landasan yuridis
pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum kepada masyarakat yang
menggunakannya dalam pembuatan akta otentik sekaligus pula keseimbangan dan
keadilan hukum terhadap pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri
dalam kaitannya dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta otentik yang dibuatnya
sesuai prosedur hukum yang berlaku dalam pemanggilan dan pemeriksaan Notaris
sebagai Pejabat Umum oleh Penyidik Polri.18
16 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2006, hlm. 17.
17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. 18 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo
Apabila pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri tidak
mengindahkan prosedur hukum yang berlaku, maka dikhawatirkan akan terjadi
kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi
kesewenang-wenangan.19 Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan adanya
kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang.
Undang-undang tersebut antara lain meliputi Undang-Undang Jabatan Notaris
(UUJN) Nomor 30 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, kode etik Notaris, nota
kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris
Indonesia (INI) Nomor Polisi B/1056/V/2006, Nomor : 01/MOU/PP-INI/V/2006
tentang pembinaan dan peningkatan profesionalisme di bidang penegakan hukum,
dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas
jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum.20
Dalam menganalisis masalah pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri
berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya, yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut
19 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 102.
20 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
dibutuhkan pendekatan sistem (Approach system). Maksud menggunakan pendekatan
sistem adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum yang
berkaitan dengan tugas dan jabatan Notaris sebagai pejabat umum, dengan tujuan
untuk menghindarkan pandangan yang menyederhanakan masalah tugas dan jabatan
Notaris sebagai pejabat umum tersebut, sehingga menghasilkan pendapat yang
keliru.21
Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan
landasan, diatas mana dibangun tertib hukum.22 Berdasarkan teori sistem ini, dapat
dirumuskan bahwa sistem hukum kenotaariatan adalah kumpulan asas-asas hukum
yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jabatan profesi
Notaris itu dibangun. Dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum
kenotariatan merupakan suatu sistem hukum.23
Asas-asas hukum jabatan profesi Notaris harus bersumber daari Pancasila,
sebagai asas Idiil (Filosofis, UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan
undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut memiliki
tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.24
Lembaga notariat timbul karena dibutuhkan oleh pergaulan di masyarakat,
dimana hubungan hukum keperdataan dalam masyarakat membutuhkan alat bukti.
Kebutuhan masyarakat akan alat bukti dalam hubungan hukum keperdataan tersebut
21 Komar Anda Sasmita, Notaris Selayang Pandang, Alumni Bandung, 1999, hlm. 24. 22
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung, 1986, hlm. 14-16.
mendorong lahirnya lembaga notariat yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk
dimana perlu bila Undang-Undang mengharuskan atau masyarakat menghendakinya,
dapat membuat alat bukti tertulis guna dipergunakan sebagai alat bukti otentik dalam
hubungan hukum keperdataan tersebut. Nama Notaris berasal dari bahasa Romawi
yaitu “Notaris” (dalam arti (jamak Notari’i) yang artinya segolongan orang-orang
yang mengerjakan pekerjaan tulis-menulis seiring deengan perkembangan masyarakat
dalam hubungan hukum keperdataannya, lama-kelamaan arti Notari’i berubah dan
orang yang memiliki pekerjaan tulis menulis menjadi orang yang memiliki keahlian
mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat dalam pekerjaan mereka (sekarang
pekerjaan menulis cepat ini dikenal dengan istilah stenografi)”25 Pada abad III jaman
pemerintahan Ulpianus, diperkenalkan istilah “Tabelliones” disamping juga nama
notari’i, yang artinya juga orang-orang yang menjalankan pekerjaan tulis-menulis,
akan tetapi untuk kepentingan publik, yaitu membuat akta-akta, rekes-rekes, yang
tugasnya hampir sama dengan pekerjaan Notaris sekarang ini. Bedanya adalah pada
tabelliones tidak diangkat oleh kekuasaan umum, karena itu tabelliones bukan pejabat
umum, artinya ia bukan pejabat negara sehingga hasil akta yang dibuatnya tidak
otentik.26 Pada tahun 568 s/d 774 Masehi yaitu sewaktu Lango Barden berkuasa, para
tabelliones ini ada yang diangkat menjadi Notari’i dan dipekerjakan pada
konselerijen kerajaan, sehingga mereka merasa lebih terangkat derajatnya dan lebih
terhormat, apalagi ditambah dengan masyarakat yang lebih suka menggunakan jasa
Notari’i daripada tabelliones. Oleh karena itu banyak dari tabelliones yang tanpa
pengangkatan dari kerajaan mengangkat diri mereka sendiri menjadi Notari’i. Maka
terjadilah kerancuan yang mengakibatkan istilah “tabellio” kemudian diganti dengan
istilah “notarius”27. Dengan demikian ada 2 bentuk lembaga yaitu notarius dan
notari’i yang mana keduanya diangkat menjadi pegawai negeri. Akhirnya tabellionat
dan notariat (golongan yang diangkat) ini, bergabung menjadi suatu lembaga yang
dinamakan “collegium” Notarius yang bergabung menjadi collegium inilah yang
dianggap sebagai satu-satunya pejabat yang berhak membuat akta-akta baik di dalam
maupun di luar pengadilan, dan Notarius inilah yang memiliki tugas dan kewenangan
yang sama dengan Notaris sekarang, meskipun terdapat perbedaan yaitu akta-akta
yang dihasilkan oleh collegium ini tidak otentik dan tidak memiliki kekuatan
eksekutorial”.28
Di Indonesia, Notaris mulai masuk pada permulaan abad 17, dengan adanya
Oost Indische Compagnie, yaitu gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda
untuk perdagangan di Hindia Timur yang dikenal dengan nama VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) dengan gubernur jenderalnya yang bernama Jan Pieter
Zoon Coen, sekaligus pula mengangkat Melchior Kerchem sebagai Notaris pertama
di Jakarta (Batavia) pada tanggal 27 Agustus 1620.29 Sejak masuknya Notaris di
Indonesia sampai tahun 1822, diatur dengan dua reglement yaitu dari tahun 1625 dan
27 Ibid, hlm. 51
28 Ibid, hlm. 52.
tahun 1765. Pada tahun 1822 (Staatsblad Nomor II) dikeluarkan Instructie Voor de
Notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal.30
Pada tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda melakukan penyesuaian
peraturan mengenai jabatan Notaris di Indonesia dengan peraturan yang berlaku di
negeri Belanda, maka diundangkan peraturan jabatan Notaris (Notaris Reglement)
Staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan tanggal 26 Januari 1860 dan mulai
berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Juli 1860. Peraturan jabatan Notaris tersebut
terdiri dari 63 pasal yang merupakan kodifikasi (terjemahan secara utuh) dari Notaris
wet yang berlaku di negeri Belanda sedangkan Notaris wet yang berlaku di Belanda
merupakan kodifikasi dari Ventosewet yang berlaku bagi Notaris di Perancis.31
Upaya yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan
organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk membuat Undang-Undang yang
bersifat nasional mengenai peraturan jabatan Notaris dan mengajukannya ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggantikan peraturan Jabatan Notaris
peninggalan kolonial Belanda akhirnya membuahkan hasil setelah berjuang dan
menunggu selama lebih dari tiga dasawarsa. Rancangan Undang-undang Jabatan
Notaris yang diajukan oleh pemerintah bekerjasama dengan organisasi Ikatan Notaris
Indonesia (INI) akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
30 Ibid, hlm. 18.
31 Nico Winanto, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Contractor Documentation
Indonesia (DPR-RI) pada tanggal 14 September 2004.32 Undang-Undang Jabatan
Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tersebut mulai berlaku sejak tanggal diundangkan
yaitu tanggal 6 Oktober 2004 yang merupakan perwujudan unifikasi hukum
kenotariatan.
Ada tiga hal pokok berkaitan dengan pelaksanaan UUJN yaitu : pengawasan,
perlindungan dan organisasi Notaris.33 Dalam rangka pengawasan terhadap Notaris
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan Notaris, bahwa pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dengan
membentuk Majelis Pengawas Notaris, Majelis Pengawas Notaris anggotanya
berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi Notaris,
dan ahli/akademi dengan anggota masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang.
Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, menteri membentuk Majelis
Pengawas Notaris ditingkat pusat, propinsi (wilayah) dan tingkat kabupaten/kota
(daerah). Selama ini telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris
(MPP), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) di setiap propinsi, dan Majelis Pengawas
Daerah (MPD) di sebagian daerah Kabupaten/Kota. Dalam memberikan perlindungan
hukum kepada Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya,
MPW/MPD memiliki kewenangan menetapkan boleh tidaknya seorang Notaris
dipanggil oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta
32
Abdul Bari Azed, Undang-Undang Jabatan Notaris, Pembaharuan Bidang Kenotariatan, Media, Notariat, Edisi September – Oktober 2004, hlm. 6.
33 Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, http:/www.dephumham.go.id/
yang dibuatnya, karena adanya pengaduan pihak lain di kemudian hari yang merasa
dirugikan dengan dibuatnya akta tersebut. Prinsip kehati-hatian dalam menjalankan
tugas jabatan juga perlu dimiliki oleh Notaris dengan cara mengkopi segala
surat-surat yang berhubungan dengan dasar hukum pembuatan akta tersebut dan
menjahitkannya pada minuta akta tersebut. Dengan demikian Notaris telah
melakukan upaya perlindungan hukum terhadap dirinya sendiri bila ternyata
dikemudian hari akta yang dibuat Notaris tersebut menimbulkan permasalahan
hukum khususnya hukum pidana.
“Sekalipun keahlian seorang Notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksnakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang seorang Notaris yang Pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh dengan jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan”.34
Sejak lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, dunia
kenotariatan mengalami perkembangan hukum yang cukup signifikan dalam hal :35
1. Perluasan kewenangan Notaris yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam
Pasal 15 ayat (2) butir f dan g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan Notaris, yaitu kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan, kewenangan untuk membuat akta risalah lelang serta perluasan
wilayah kewenangan (yuridiksi), berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUJN Nomor
34
Liliana Tedjasaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm. 86.
35 Muhammad Affandi Nawawi, Notaris Sebagai Pejabat Umum Berdasarkan UUJN Nomor
30 Tahun 2004, yaitu Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh
wilayah Propinsi dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota.
2. Pelaksanaan sumpah jabatan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia berdasarkan Surat nomor : M.UM.01.06-139 tanggal 8
Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan melaksanakan Sumpah
Jabatan Notaris kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
3. Notaris dibolehkan menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan
perdata, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUJN Nomor 30 tahun
2004. Dengan kata lain dalam menjalankan jabatannya Notaris bisa secara
bersama-sama (lebih dari satu orang) dalam mendirikan suatu kantor notaris.
4. Masalah pengawasan Notaris, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 67 ayat (1)
UUJN Nomor 30 Tahun 2004 membentuk Majelis Pengawas Notaris.
5. Mengamanatkan agar Notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi Notaris
sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004. Sebagaimana
diketahui hingga saat ini hanya ada satu wadah notaris untuk berorganisasi
yaitu INI sebagai wadah tunggal notaris di Indonesia.
Pasal 2 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
meliputi bidang kenotariatan yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk dapat diangkat/dilantik menjadi seorang Notaris harus telah memenuhi
syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pasal 3 UUJN Nomor 30 Tahun 2004
yaitu :
1. Warga Negara Indonesia
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Berumur paling sedikit 27 (duapuluh tujuh) tahun
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan
6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu 12 (duabelas) bulan berturut-turut pada Kantor Notaris
atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi Notaris setelah lulus
Strata dua Kenotariatan, dan
7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.
Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut pada Pasal 3 UUJN
diatas maka sebelum menjalankan tugas jabatannya, Notaris harus terlebih dahulu
mengucapkan sumpah/janji menurut agama dan keyakinannya dihadapan Menteri
atau pejabat yang ditunjuk yaitu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal
Tahun 2004. Apabila jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal keputusan
peengangkatan Notaris tersebut terlewati, maka keputusan pengangkatan sebagai
Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri. Persyaratan pengambilan sumpah jabatan
Notaris tersebut telah semakin dinamis dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi (HAM) Nomor : M.UM.01.06-139 tanggal 8
Nopember 2004 yang intinya telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan
sumpah jabatan Notaris yang sebelumnya dilakukan dihadapan Ketua Pengadilan
Negeri atau dihadapan Kepala Daerah, sejak 8 Nopember 2004 sumpah jabatan
Notaris tersebut dilaksanakan dihadapan Kepala Kantor wilayah Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Setelah resmi menjalan tugas jabatan sebagai seorang
Notaris, pasca dilakukan pelaksanaan sumpah jabatan tersebut, maka Notaris juga
tidak terlepas dari kode etik jabatannya yaitu kode etik Notaris. Kode etik Notaris
adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia berdasarkan hasil kongres perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang
berlaku serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua
orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para
pejabat sementara Notaris, Notaris pengganti dan Notaris pengganti khusus.36
Di dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004 pengaturan tentang pemberhentian
Notaris dari jabatannya oleh Menteri diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14.
36 Kode Etik Notaris, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Hasil Kongres Bandung pada Tanggal 28
Pemberhentian tersebut dapat berupa pemberhentian sementara, dan pemberhentian
dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Pasal 8 UUJN Nomor 30
Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya
dengan hormat karena :
1. Meninggal dunia
2. Telah berumur 65 (enampuluh lima) tahun
3. Permintaan sendiri
4. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatannya sebagai Notaris secar terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau
5. Merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.
Di dalam Pasal 9 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris
diberhentikan sementara dari jabatannya karena :
1. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
2. Berada dibawah pengampuan
3. Melakukan perbuatan tercela
4. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
Pasal 12 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usulan dari