BAB III PROSEDUR HUKUM PEMANGGILAN NOTARIS OLEH
C. Prosedur Hukum Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik
Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 16 dinyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
(a). Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, (b). Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian Perkara untuk kepentingan penyidikan. (c). Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan. (d). Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memriksa tanda pengenal diri, (e). Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, (f). Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, (g). Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hbungannya dengan pemeriksaan perkara, (h). Mengadakan penghentian penyidikan, (i). Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, (j).mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana, (k) memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, (l). Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Kewenangan Polri melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu penyidik sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
2. melakukan tindakan pertamapada saat ditemoat kejadian perkara.
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memriksa tanda pengenal diri tersangka.
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
5. mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
6. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
7. mendatangkan orang ahli yang dibutuhkan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
8. mengadakan penghentian penyidikan
9. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan baru dapat dilakukan apabila suatu peristiwa diyakini sebagai suatu tindak pidana. Oleh karena itu, sebelum tindakan upaya paksa, maka terlebih dahulu ditentukan secara cermat data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan suatu penyelidikan.117
Pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral (menyeluruh dan merupakan satu kesatuan) dengan melihat aspek lahiriah, formal dan materil akta Notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai wewenang Notaris, di samping berpijak pada aturan
117 Gatot Tri Suryanta, Penyidikan Tindak Pidana Di Polsek Amarta, Tesis, Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, Progeam Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 46.
hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris. Juga perlu dipadukan dengan realitas praktik Notaris.
Dalam kaitan ini, menurut Meijers diperlukan adanya kesalahan besar (hardschuldrecht) untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan (wetenschappelijke arbeiders) seperti Notaris.118 Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang mempunyai pekerjaan membuat akta, tapi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya didasari atau dilengkapi berbagai ilmu pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang harus dikuasai secara terintegrasi oleh Notaris. Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti, dengan demikian Notaris harus mempunyai capital intellectual yang baik dalam menjalankan tugas jabatannya. Pemeriksaan terhadap Notaris kurang memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia Notaris, artinya mereka yang akan memeriksa Notaris harus dapat membuktikan kesalahan besar yang dilakukan Notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika (hukum) yang diperlukan dalam memeriksa Notaris, bukan logika kekuatan ataupun kekuasaan yang diperlukan dalam memeriksa Notaris.
Dalam pemeriksaan terhadap seorang Notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan tindak pidana diatur di dalam UUJN Pasal 66. Namun hal pemanggilan tersebut lebih rinci lagi diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007
118 Herlien Budiono, “Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 (Dilema Notaris diantara Negara Masyarakat, dan Pasar), “Renvoi No. 4.28. III, 3 September 2005, hlm. 37.
Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV mengenai Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris Pasal 14 yang mengatakan :
(1) Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Notaris.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.
Terhadap pemanggilan Notaris tersebut tidak semena-mena langsung ditanggapi oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan mempelajari terlebih dahulu pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang bersangkutan. Apabila dalam pemeriksaan ada ditemukan indikasi bahwa Notaris tersebut melakukan penyimpangan prosedur pembuatan akta dari Kode Etik maka MPD baru memberikan ijin ataupun persetujuan kepada kepolisian terhadap pemanggilan tersebut. Namun apabila dalam pemeriksaan Notaris tersebut MPD tidak menemukan adanya indikasi pelanggaran tindak pidana maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan terhadap pemanggilan tersebut. Persetujuan dari MPD akan diberikan melalui surat resmi atau secara tertulis.119
Dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa Majelis Pengawas Daerah akan memberikan persetujuan pemanggilan Notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan jabatan Notaris yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti :
1. Pemalsuan surat pada Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana penjara paling lama enam tahun. Notaris IG memalsukan surat tanda bukti setoran BPHTB. (Dalam proses penyidikan pihak kepolisian sampai sekarang ini)
2. Pemalsuan surat yang dilakukan pada akta otentik pada Pasal 264 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Notaris SS di Medan.
3. Pemberian keterangan palsu dalam suatu akta otentik pada Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Notaris TPS di Deli Serdang membuat keterangan palsu. (Dalam proses penyidikan pihak kepolisiab sampai sekarang ini)
4. Membuka rahasia pada Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Tahapan proses pemeriksaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni :120
120 Wawancara dengan Kompol. Gidion Arif Setyawan,SIK, Kasat Reskrim Poltabes Medan selaku penyidik di ruang kerjanya pada tanggal 4 Febuari 2010.
1. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebagai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, terdiri dari :
a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
c. Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan. Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHP) bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana.
d. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 12 (1) KUHP adalah :
1) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan melarikan diri;
2) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan
3) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana;
Jenis-jenis penahanan, yakni :
a. Penahanan Rumah Tahanan Negara; b. Penahanan Rumah;
c. Penahanan Kota;
e. Penggeledahan adalah tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana;
f. Penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian;
g. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih dahulu;
h. Pasal 30, Surat Keputusan Kapolri nomor 12 Tahun 2009 tentang proses penanganan perkara oleh penyidik dalam hal rencana penyidikan yang menyatakan sebelum melaksanakan kegiatan penyidikan, penyidik wajib menyiapkan administrasi penyidikan pada tahap awal meliputi: a. Pembuatan tata naskah, b. Rencana penyidikan. Pembuatan tata naskah sebagaimana dimaksud di atas sekurang-kurangnya meliputi: a. Laporan polisi, b. LHP
(Laporan Hasil Penyidikan) bila terjadi penyidikan, c. Surat perintah penyidikan, d. SPDP (Surat Permulaan Dimulai Penyidikan), e. Rencana penyidikan, f. Gambar skema pokok perkara, g. Matriks untuk daftar kronologis penindakan.
Penyiapan rencana penyidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi: a. Rencana kegiatan, b. Rencana kebutuhan, c. Target pencapaian kegiatan, d. Skala prioritas penindakan, f. Target penyelesaian perkara.
2. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak, terdiri dari;
a. Pemeriksaan adalah berupa pemeriksaan alat-alat bukti dipersidangan yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. b. Penuntutan adalah tindak Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwewenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di Sidang Pengadilan;
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan Notaris yang menimbulkan permasalahan hukum pidana harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris. Untuk kelancaran proses penyidikan atau pemeriksaan terhadap Notaris yang menjadi tersangka dan terdakwa, perlu kiranya polisi atau kejaksaan konsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Pengawas Notaris.
Sebelum memberikan persetujuan, maka Majelis Pengawas Notaris akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap Notaris tersebut dan bersamaan dengan itu Majelis Pengawas Notaris juga akan meminta keterangan dari Penyidik atau Penuntut Umum/Jaksa, mengapa sampai memanggil Notaris sebagai saksi/tersangka. Hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris inilah yang akan menentukan relevansinya atau tidaknya Notaris itu dipanggil oleh Polisi/penyidik atau Jaksa/Penuntut Umum untuk diperiksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa :
1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwewenang :
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
Dalam nota kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum yang terdiri dari 3 BAB dan 6 pasal, dimana Bab I
berisi tentang ketentuan umum berkaitan dengan tindakan hukum seseorang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Bab II berkaitan dengan pemanggilan Notaris berkaitan dengan pemeriksaan oleh penyidik kepada Notaris serta tata cara
penyitaan akta Notaris. Bab III berkaitan dengan pembinaan dan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme dari Notaris dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 Nota Kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengn Kepolisian Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa :121
1. Tindakan pemanggilan terhadap Notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik.
2. Pemanggilan Notaris dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari majelis pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
3. Surat pemanggilan harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status yang dipanggil (sebagai saksi atau tersangka), waktu dan tempat, serta pelaksanaannya tepat waktu.
4. Surat pemanggilan diberikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelumnya ataupun tenggang waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan tersebut sebagaimana yang tercapat dalam penerimaan untuk mempersiapkan bagi Notaris yang dipanggil guna mengumpulkan data- data/bahan-bahan yang diperlukan.
5. Dengan adanya surat pemanggilan yang sah menurut hukum, maka Notaris wajib untuk memenuhi panggilan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP. (Pasal 112 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik, dan jika tidak datang penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya).
6. Apabila Notaris yang dipanggil dengan alasan sah menurut hukum tidak dapat memenuhi panggilan penyidik, maka penyidik dapat datang ke kantor/tempat kediaman Notaris yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 113 KUHAP. (Pasal 113 KUHAP menyatakan bahwa, jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya).
Pasal 3 Nota Kesepakatan antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa dalam hal tindakan penyidik untuk
121 Nota kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No.Pol : B/1056/V/2006 dan Nomor : 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum.
melakukan pemeriksaan Notaris yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana khususnya yang berkenaan dengan akta-akta yang dibuat, mengacu kepada Pasal 7 ayat (1), Pasal 116 dan Pasal 117 KUHAP, Pasal 7 ayat (1) mengenai kewenangan penyidik menerima laporan dan pengaduan serta melakukan pemeriksaan, Pasal 115 dan 117 KUHAP tentang pemeriksaan saksi dan tersangka yang dilakukan penyidik tanpa melakukan tekanan. Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, dan petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia NO.MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986, antara lain sebagai berikut :
a. Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku pemegang protokol;
b. Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka pemeriksaan tidak perlu dilakukan penyumpahan kecuali cukup kuat alasan bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan disidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) KUHP;
c. Notaris berhak mengetahui kesaksian apa yang diperlukan oleh Penyidik dan/atau tentang sangkaan apa yang dituduhkan kepadanya;
d. Sedapat mungkin pemeriksaan dilakukan oleh penyidik kecuali terdapat alasan yang patut dan wajar, serta dapat dimengerti maka pemeriksaan dapat dilakukan oleh Penyidik Pembantu;
e. Pemeriksaan dilakukan ditempat dan waktu sebagaimana tersebut dalam surat panggilan atau ditempat dan waktu yang telah disepakati antara penyidik dan Notaris yang dipanggil sesuai dengan alasan yang sah menurut Undang-Undang. f. Notaris yang dipanggil sebagai saksi, wajib hadir dan memberi keterangan yang
diperlukan tentang apa yang dilihat, diketahui, didengar dan dialami dalam obyek pemeriksaan (peristiwanya) secara benar dengan mengingat sumpah jabatan dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris serta perundang-undangan lainnya.
g. Dalam kaitannya dengan sumpah Jabatan Notaris (Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e, dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris) Notaris dapat
meminta untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP atau dapat menolak memberikan keterangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 120 ayat (2) KUHP;
h. Hak ingkar/tolak Notaris dapat dilepaskan demi kepentingan hukum atau kepentingan umum yang lebih tinggi nilainya dari kepentingan pribadi yang berkaitan dengan isi akta ataupun berdasarkan adanya peraturan umum yang
memberikan pengecualian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris;
i. Notaris yang disangka melakukan tindakan pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, berhak mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP atau didampingi oleh pengurus INI berdasarkan surat penugaan;
j. Pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan tanpa adanya tekanan dan paksaan dari penyidik/petugas;
k. Dalam hal Notaris yang diperiksa sebagai tersangka dan tidak terbukti adanya unsur-unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) dalam waktu secepat-cepatnya setelah pemeriksaan baik saksi, tersangka maupun alat bukti dinyatakan selesai;
Notaris yang sudah dipanggil oleh penyidik dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam proses penyidikan berlangsung dan penanganannya berdasarkan Surat Keputusan Kapolri nomor 12 tahun 2009 Pasal 35 ayat (1), setiap penanganan perkara pidana pejabat yang mengeluarkan surat perintah penyidikan wajib menunjuk perwira pengawas penyidik dan membuat surat perintah pengawasan penyidikan. Ayat (2) menyatakan perwira pengawas penyidik merupakan atasan penyidik yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1).
Pasal 4 Nota kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa :
1. Tindakan Penyidik berupa penyitaan terhadap Akta Notaris dan/atau protokol yang ada dalam penyimpanan Notaris untuk membuktikan perkara pidananya dan/atau keterlibatan Notaris sebagai tersangka, maka Penyidik harus memperhatikan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris serta Petunjuk Mahkamah Agung RI No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986;
2. Tata cara yang ditempuh dalam penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. Penyidik mengajukan permohonan kepada Majelis Pengawas di tempat kedudukan Notaris yang bersangkutan berada;
b. Surat permohonan tersebut menjelaskan secara rinci relevansi dan urgensinya untuk membuka rahasia suatu minuta akta Notaris, demi kelancaran kepentingan proses penyidikan suatu perkara pidana;
c. Dalam mengajukan surat permohonan kepada Majelis Pengawas, Notaris yang bersangkutan wajib diberi tembusan, dengan demikian Notaris dapat memberikan pertimbangan keapda Majelis Pengawas, baik diminta maupun tidak;
d. Apabila terhadap persetujuan Maujelis Pengawas sebagaimana dimaksud Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan, maka penyidik diberikan foto kopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, setelah disahkan oleh Notaris yang bersangkutan sesuai dengan aslinya, dan dibuat Berita Acara Penyerahan.
e. Dalam hal diperlukan pemeriksaan laboratorium terhadap minuta akta dan/atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maka atas ijin Majelis Pengawas Daerah Notaris maka Penyidik dapat membawa bundel minuta akta tersebut ke Laboratorium Forensik (Labfor) yang telah ditentukan.
Dalam hal pemanggilan Notaris oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai saksi, penyidik Polri harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Penyidik akan menyurati terlebih dahulu Majelis Pengawas Notaris yang tembusannya diberikan kepada Notaris bersangkutan. Dalam surat pemanggilan tersebut penyidik harus mencantumkan alasan pemanggilan Notaris tersebut. Dalam tingkat penyidikan awal Notaris yang dipanggil pada umumnya statusnya masih sebagai saksi. Pemanggilan terhadap Notaris tersebut berkaitan dengan akta Notaris yang dibuatnya.122
Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik harus memerlukan ijin dari Majelis
Pengawas Notaris namun apabila tindak kejahatan Notaris tersebut tidak menyangkut jabatan maka kepolisian tidak perlu meminta ijin dari Majelis Pengawas Notaris.123
Apabila penyidik Polri yang berkompeten melakukan penyidikan terhadap Notaris yang dipanggil sebagai saksi tidak hadir di dalam proses pemeriksaan tersebut maka sikap Notaris dalam hal ini adalah mempertanyakan alasan ketidakhadiran Notaris dan mengusulkan untuk menunda proses pemeriksaan dirinya sebagai saksi oleh penyidik Polri. Namun sekarang ini penyidikan dilaksanakan sebuah tim yang beranggotakan 5 orang dan memiliki kewenangan yang sama dalam melakukan tugas pemeriksaan sebagai seorang penyidik. Jadi dalam hal ini kecil kemungkinan ketidakhadiran penyidik dalam proses pemeriksaan tersebut.
Sebagai penuntut umum kejaksaan tidak perlu lagi meminta ijin kepada Majelis Pengawas Notaris dalam hal pemanggilan seorang Notaris yang telah melakukan tindak pidana. Kejaksaan hanya menerima pelimpahan kasus dari kepolisian. Apabila berkas-berkas telah dilengkapi oleh polisi sebagai penyidik barulah kemudian berkas tersebut diberikan kepada pihak kejaksaan (berkas P 21). Dalam hal ini Notaris sebagai tersangka telah menjadi status tahanan kejaksaan. Namun apabila Notaris tersebut hanya sebagai saksi yang akan dimintai keterangannya oleh kejaksaan maka pihak kejaksaan akan meminta ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris.124
123 Hasil Wawancara dengan Notaris Erwin Purwantara pada tanggal 28 April 2010. 124 Hasil Wawancara dengan Notaris Lely Pulungan pada tanggal 5 Mei 2010.
Notaris adalah juga seorang pejabat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat umum sebagai saksi tidak sama dengan pemanggilan terhadap masyarakat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat memerlukan ijin maupun harus sepengetahuan atasan ataupun lembaga. Demikian juga pemanggilan terhadap Notaris sebagai seorang pejabat umum harus ada ijin dari Majelis Pengawas Notaris. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan di dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 Tahun 2004.125 Terhadap akta yang dibuatnya notaris wajib bertanggung jawab atas keotentikannya, namun demikian dalam pemeriksaan perkara pidana notaris tidak serta merta dapat dihadirkan dalam pemeriksaan, karena Pasal 66 UUJN memberi perlindungan kepada notaris sebagai pejabat umum. Tanpa adanya bukti awal yang kuat bahwa akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana atau