• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan makanan mengandung 96 % bahan organik dan air, dan sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral, yang didalam bahan pangan tertinggal sebagai kadar abu, yaitu sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan makanan dibakar sempurna didalam suatu tungku (Sediaoetama 2010). Bahan mineral dapat berupa garam anorganik atau organik, atau gabungan dari keduanya seperti fosfoprotein dan logam yang digabung dengan enzim. Mineral dikelompokkan menjadi dua golongan, komponen mineral makro (garam utama) dan mineral mikro (sesepora). Komponen mineral makro mencakup kalium, natrium, kalsium, fosfat, magnesium, klorida, sulfat, dan bikarbonat. Mineral mikro mencakup Fe, Cu, I, Co, Mn, Zn. Unsur ini biasanya ditemukan dalam jumlah kurang dari 50 ppm di dalam tubuh (deMan 1997). Kandungan mineral di dalam setiap bahan makanan berbeda-beda bergantung kepada jenis dan kondisi hidupnya. Kandungan beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng

Mineral Hasil (mg/kg) Daging belut sawah segar Daging belut sawah goreng Kehilangan mineral Clarias gariepinus segar* Clarias gariepinus goreng* Kehilangan mineral Makro Ca 542,25 446,28 95,98 121,00 37,00 84,00 Mg 148,27 82,57 65,70 420,00 232,00 188,00 Na 2.745,69 347,96 2.397,73 - - - K 8.049,45 5.025,08 3.924,37 - - - Mikro Zn 99,79 81,41 18,37 22,00 14,00 8,00 Fe 75,09 38,17 36,92 12,20 8,00 4,20 Cu 1,92 2,30 0,38 - -

Keterangan: * Salawu et al. (2005)

Kandungan mineral yang diteliti pada belut sawah segar dan goreng adalah mineral makro yaitu Ca, Mg, Na, dan K, sedangkan mineral mikro adalah Zn, Fe, dan Cu. Kandungan mineral makro paling tinggi pada belut sawah dan goreng adalah Kalium, yang masing-masing 8.949,45 mg/kg dan 5.025,28 mg/kg.

Kandungan kalium tinggi di dalam bahan makanan karena mineral ini terdapat didalam jaringan otot dan setiap cairan intrasel (deMan 1997). Bersama natrium, kalium memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Kalium juga berfungsi sebagai katalisator dalam banyak reaksi biologis, terutama dalam metabolisme energi, pertumbuhan sel, dan sintesis glikogen dan protein (Almatsier 2006). Kalium mudah diserap oleh tubuh, diperkirakan 90 % dari yang dicerna akan diserap di dalam usus halus. Kalium mempunyai fungsi yang hampir sama dengan natrium dan terkadang saling mendukung dalam melakukan fungsinya di dalam tubuh sehingga kandungan natrium di dalam tubuh juga tinggi (Winarno 2008). Kandungan kalium yang tinggi pada belut dapat mencegah hipokalemia. Hipokalemia adalah gejala kekurangan kalium pada tubuh yang ditandai badan

yang lemah, kelelahan otot, tidak nafsu makan, dan muntah (Widjajanti dan Agustini 2005).

Kandungan natrium di dalam tubuh sekitar setengah dari kandungan kalium. Penyerapan natrium di dalam tubuh juga tinggi yaitu berkisar antara 95 % (Winarno 2008). Fungsi kalium dan natrium di dalam tubuh yang sangat besar dan daya serapnya yang tinggi di dalam pencernaan menyebabkan kandungannya di dalam tubuh juga tinggi. Kandungan natrium di dalam belut sawah segar berada di urutan kedua terbesar setelah kalium yaitu 2.745,69 mg/kg. Menurut Winarno (2008), kebutuhan kalium perhari adalah 2-6 gram perhari dan natrium 2,5-3 gram perhari. Berdasarkan kandungan kalium dan natrium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan kalium dan natrium tubuh, memerlukan 500 g sampai 1.000 g per hari belut untuk dikonsumsi.

Kandungan mineral makro lain yaitu kalsium yang terdapat pada belut sawah segar yaitu 542,25 mg/kg dan belut sawah goreng adalah 446,28 mg/kg. Kandungan mineral kalsium pada belut sawah segar lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan lele baik segar maupun goreng yang masing-masing bernilai 121 mg/kg dan 37 mg/kg. Menurut Salawu et al. (2005) kalsium pada lele setelah proses penggorengan turun sebesar 84,00 mg/kg dari jumlah kalsium awal, sedangkan pada penelitian ini belut setelah digoreng kehilangan 95,98 mg/kg dari jumlah kalsium awal. Menurut Osaki et al. (2003) minyak kelapa sawit

mengandung mineral kalsium di dalamnya. Dimungkinkan minyak goreng mempengaruhi kandungan kalsium pada makanan yang digoreng. Kalsium yang berada di dalam jaringan tubuh berperan dalam transmisi impuls saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim. Kebutuhan kalsium di dalam tubuh adalah 800-1.000 mg/hari, dan daya serapnya berkisar antara 10-40 % pada orang dewasa (Winarno 2008). Berdasarkan kandungan kalsium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan kalsium tubuh, memerlukan 1.000 g/hari belut untuk dikonsumsi. Kandungan kalsium dapat ditambah dengan memberikan asupan gizi dari makanan lain yang mengandung kalsium tinggi misalnya susu.

Kandungan mineral makro paling kecil yang diteliti adalah Mg yaitu 148,27 mg/kg pada belut sawah segar dan 82,57 mg/kg pada belut sawah goreng. Kandungan magnesium pada belut sawah lebih kecil dibandingkan dengan lele pada penelitian Salawu et al. (2005). Penurunan kandungan magnesium pada

belut dan lele setelah digoreng masing-masing adalah 65,70 mg/kg dan 188 mg/kg. Magnesium memegang peranan penting dalam lebih dari tiga ratus

jenis sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium bertindak di dalam reaksi biologis termasuk reaksi yang berkaitan dengan metabolisme energi, karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Peran magnesium di dalam cairan ekstraseluler yaitu dalam transmisi saraf, kontraksi otot, dan pembekuan darah. Kecukupan magnesium untuk orang dewasa yaitu 250-280 mg/hari, sedangkan daya serapnya di dalam tubuh 30-60 % (Almatsier 2006). Berdasarkan kandungan magnesium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan magnesium tubuh, memerlukan 1.000-1.500 g belut perhari untuk dikonsumsi.

Kandungan mineral mikro yang paling tinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah seng, dengan nilai masing-masing 99,79 mg/kg dan 81,41 mg/kg. Kandungan seng pada belut sawah lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan lele (Salawu et al. 2005). Penurunan kadar seng setelah penggorengan pada belut sawah lebih besar bila dibandingkan dengan lele yaitu 18,37 mg/kg pada belut sawah dan 8,00 mg/kg pada lele. Seng memiliki fungsi sebagai bagian dari enzim atau kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim, berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat (Almatsier 2006). Seng

dalam daging terikat kuat pada myofibril dan diduga mempengaruhi daya ikat air-

daging (deMan 1997). Kecukupan seng untuk orang dewasa adalah 5,5-12 mg/hari (Winarno 2008). Berdasarkan kandungan seng di dalam belut

segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan seng tubuh, memerlukan 100-170 g belut perhari untuk dikonsumsi. Seng ditemukan hampir diseluruh jaringan hewan. Seng lebih banyak terakumulasi di dalam tulang dibanding dalam hati yang merupakan organ utama penyimpan mineral mikro. Jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan epidermal dan sedikit dalam tulang, otot, darah, dan enzim (Arifin 2008).

Kandungan mineral mikro lain yang terdapat pada belut sawah segar dan goreng adalah besi (Fe), dengan nilai masing-masing adalah 75,09 mg/kg dan 38,17 mg/kg. Kandungan mineral besi pada belut sawah lebih besar dibandingkan dengan ikan lele pada penelitian Salawu et al. (2005). Pengurangan jumlah besi

pada belut sawah yaitu 36,92 mg/kg dan ikan lele yang digoreng yaitu 4,20 mg/kg. Kandungan besi dalam tubuh hewan bervariasi bergantung pada

status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies. Besi di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu perusakan sel darah merah, penyimpanan dalam tubuh, dan pencernaan (Arifin 2008). Besi memiliki beberapa fungsi esensial tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Kebutuhan tubuh akan besi adalah 10-26 mg/hari, sedangkan daya penyerapan besi oleh tubuh adalah 5-15 % (Almatsier 2006). Berdasarkan kandungan besi di dalam belut segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan besi tubuh, memerlukan 1.000 g belut perhari untuk dikonsumsi.

Kandungan mineral paling rendah pada belut sawah segar dan goreng yang diteliti adalah tembaga (Cu), dengan nilai masing-masing 1,92 mg/kg dan 2,30 mg/kg. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernafasan, sebagai kofaktor bagi enzim tirosinase, dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Winarno 2008) jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah 1,5-3 mg/hari, sedangkan daya serapnya 35-70 %. Berdasarkan kandungan tembaga di dalam belut segar

dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan tembaga tubuh, memerlukan 1.000 g belut perhari untuk dikonsumsi.

Kandungan mineral belut sawah setelah dilakukan proses penggorengan akan berubah. Ada mineral yang berkurang setelah penggorengan dan ada pula yang mengalami peningkatan. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium (Ca) 95,98 mg/kg, magnesium (Mg) 65,70 mg/kg,

natrium (Na) 2.397,73 mg/kg, kalium (K) 3.924,37 mg/kg, seng (Zn) 18,37 mg/kg, dan besi (Fe) 36,92 mg/kg. Mineral yang mengalami penurunan

paling tinggi setelah penggorengan adalah natrium. Natrium terutama terdapat dalam cairan ekstraseluler bersama-sama dengan klorida dan bikarbonat. Jika cairan di dalam daging hilang, maka unsur utama yang hilang adalah natrium (deMan 1997). Selama proses penggorengan, sebagian besar air akan menguap karena panas dan digantikan oleh minyak, sehingga mineral natrium juga sebagian menguap bersama air. Kalium, magnesium, dan kalsium berada di dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler bersama dengan natrium, sehingga kandungannya juga berkurang akibat pemanasan (deMan 1997). Mineral besi bersifat kurang stabil, dan mudah berubah menjadi ferro dan ferri (Arifin 2008). Perubahan ini kemungkinan akan mengurangi kandungan besi di dalam belut sawah setelah digoreng, selain faktor pemanasan yang juga merusak kandungan besi di dalam bahan makanan. Mineral seng juga mengalami penurunan kandungan setelah proses penggorengan, akan tetapi jumlahnya tidak terlalu tinggi bila dibandingkan mineral lain. Hal ini dimungkinkan karena seng lebih stabil terhadap panas dibandingkan mineral lain.

Mineral yang mengalami peningkatan kadar pada belut sawah setelah digoreng adalah tembaga yaitu sebesar 0,38 mg/kg. Peningkatan kandungan tembaga pada belut sawah goreng adalah sebesar 19,81 %. Hal ini dapat disebabkan oleh minyak yang digunakan mengandung sejumlah mineral tembaga yang dapat meningkatkan kandungan tembaga dalam belut goreng. Minyak yang berasal dari kelapa sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan Fe yang kadarnya masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,0157- 0,093 ppm. Sedangkan kadar Fe dan P belum dicantumkan dalam standar tersebut (Hasibuan et al. 2011).

5.1 Kesimpulan

Rendemen belut sawah (Monopterus albus) terdiri dari kepala, daging, kulit, dan jeroan. Rendemen daging belut sebesar 55,08 %. Proses penggorengan merubah komposisi gizi belut sawah. Komposisi gizi yang mengalami penurunan jumlah didalam daging belut sawah setelah penggorengan adalah kadar air sebesar 55,43 %, kadar protein 2,56 %, dan kadar karbohidrat 14,19 % sedangkan komposisi gizi yang mengalami kenaikan setelah penggorengan adalah kadar lemak sebesar 14,47 % dan kadar abu 2,56 %.

Asam amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah histidine, threonine, tyrosine, methionin, valin, phenilalanin, I-leucine, leucine, dan lysine sedangkan asam amino nonesensial adalah asam aspartat, asam glutamate, serin, glysin, arginin, dan alanin. Komposisi asam amino pada belut goreng secara keseluruhan mengalami penurunan. Asam amino esensial terbanyak adalah lisin dengan penurunan sebesar 2,22 g/100g. Asam amino nonesensial terbanyak adalah asam glutamat dengan penurunan sebesar 3,83 g/100g. Asam amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin yang jumlahnya masing-masing 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g.

Kandungan mineral yang diteliti pada belut sawah segar dan goreng adalah mineral makro yaitu Ca, Mg, Na, dan K, sedangkan mineral mikro adalah Zn, Fe, dan Cu. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium 95,98 mg/kg, magnesium 65,70 mg/kg, natrium 2.397,73 mg/kg, kalium 3.024,37 mg/kg, seng 18,37 mg/kg, dan besi 36,92 mg/kg. Mineral tembaga mengalami kenaikan sebesar 0,38 mg/kg.

5.2 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah penggunaan berbagai teknik pemasakan yang berbeda seperti pengukusan dan presto untuk mendapatkan teknik pemasakan yang paling efisien agar pemanfaatan gizi belut optimal saat dikonsumsi. Selain itu dapat digunakan suhu yang berbeda untuk mengetahui jumlah kandungan gizi yang rusak tiap kenaikan suhu tertentu.

Dokumen terkait