BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1.3. Komposisi Penduduk
4.1.3.1. Komposisi penduduk berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel I
Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Keterangan Jumlah Persentase
1 Laki-laki 7.755 50,41 %
2 Perempuan 7.630 49,59 %
Jumlah 15.385 100 %
Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008
Dari data pada tabel I di atas dapat diketahui bahwa komposisi penduduk di Kelurahan Kota Matsum IV memiliki jumlah penduduk sebanyak 15.385 jiwa, berdasarkan jenis kelamin jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7.755 jiwa dengan persentase sebesar 50,41 %, sedangkan jumlah jenis kelamin perempuan sebanyak 7.630 jiwa dengan persentase sebesar 49,59 %. Ini berarti antara jumlah laki-laki dan perempuan bisa dikatakan sebanding, walaupun jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar dari pada jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan.
4.1.3.2.Komposisi penduduk berdasarkan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam setiap diri manusia, karena tingkat pendidikan sangat berkaitan erat dengan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Tingkat pendidikan yang tinggi pada umumnya akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Tabel II
Komposisi Penduduk berdasarkan Pendidikan
No Keterangan Jumlah Persentase 1 Belum Sekolah 2.236 18,52 % 2 Tidak Tamat 553 4,57 % 3 SD 2.163 17.90 % 4 SLTP 3.087 25,55 % 5 SMU 3.142 26,02 % 6 D1 s/d D3 846 7,00 % 7 S1 s/d S3 52 0,44 % Jumlah 12.079 100 %
Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008
Dari data pada tabel II di atas dapat diketahui bahwa komposisi penduduk berdasarkan pendidikan di Kelurahan Kota Matsum IV berjumlah 12.079 jiwa. Dengan jumlah pendidikan terbanyak yaitu penduduk yang berpendidikan SMU sebesar 3.142 jiwa dengan persentase berjumlah 26,02 %, kemudian disusul oleh penduduk yang berpendidikan SLTP sebesar 3.087 jiwa dengan persentase berjumlah 25,55 %, selanjutnya jumlah penduduk yang masih belum bersekolah sebesar 2.236 jiwa dengan persentase 18,52 %, kemudian disusul oleh penduduk yang
berpendidikan SD sebesar 2.163 jiwa dengan persentase sebesar 17,90 %, kemudian penduduk yang berpendidikan D1 s/d D3 sebesar 846 jiwa dengan persentase sebesar 7,00 %, selanjutnya penduduk yang tidak berhasil menamatkan sekolah sebesar 553 jiwa dengan persentase sebesar 4,57 %, dan terakhir yang merupakan jumlah paling terkecil yaitu penduduk dengan pendidikan S1 sd/ S3 sebesar 52 jiwa dengan persentase terkecil yaitu 0,44 %.
4.1.3.3. Komposisi penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian adalah merupakan sumber utama pendapatan dari setiap manusia untuk tetap dapat bertahan hidup. Tingkat pekerjaan menengah ke bawah pada umumnya hanya akan memperoleh pendapatan yang menengah ke bawah pula. Terdapat berbagai macam mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah Kota Matsum IV ini yaitu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel III
Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
No Keterangan Jumlah Persentase
1 PNS 547 6,44 % 2 Pedagang 6.527 76,87 % 3 Penjahit 1.120 13,19 % 4 Tukang Batu 4 0.05 % 5 Dokter 49 0,58 % 6 Supir 175 2,06 % 7 Penarik Becak 24 0,28 % 8 TNI / Polri 45 0,53 % Jumlah 8.491 100 %
Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008
Dari data pada tabel III di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kota Matsum IV yang memiliki Mata Pencaharian yang terbesar jumlahnya adalah penduduk yang berprofesi sebagai Pedagang dengan jumlah 6.527 jiwa dengan persentase sebesar 76,87 %, selanjutnya mata pencaharian kedua terbanyak adalah penduduk yang berprofesi sebagai Penjahit sebanyak 1.120 jiwa dengan persentase sebesar 13,19 %, kemudian penduduk yang berprofesi sebagai PNS sebanyak 547 jiwa dengan persentase sebesar 6,44 %, selanjutnya penduduk yang berprofesi sebagai Supir sebanyak 175 jiwa dengan persentase sebesar 2,06 %, kemudian penduduk yang penduduk yang berprofesi sebagai Dokter sebanyak 49 jiwa dengan persentase 0,58 jiwa, penduduk yang berprofesi sebagai TNI / POLRI sebesar 45 jiwa dengan persentase sebesar 0,53 %, dan jumlah terakhir dan yang paling kecil adalah penduduk yang berprofesi sebagai Tukang Batu sebanyak 4 jiwa dengan persentase sebesar 0,05 %.
4.1.3.4.Komposisi penduduk berdasarkan Suku bangsa
Indonesia memiliki keragaman Suku Bangsa yang terbentang dari Sabang sampai ke Marauke, dimana setiap suku bangsa menetap di setiap daerah yang ada di wilayah Indonesia. Ini dapat terlihat dari suku bangsa yang tinggal di suatu wilayah atau kawasan seperti di Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area. Berbagai macam suku bangsa yang menetap di wilayah Kota Matsum IV dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel IV
Komposisi Penduduk berdasarkan Suku Bangsa
No Keterangan Jumlah Persentase
1 Minang 8.665 56,32 % 2 Mandailing 1.011 6,57 % 3 Jawa 2.099 13,65 % 4 Melayu 1.603 10,41 % 5 Lainnya 2007 13,05 % Jumlah 15.385 100 % Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008
Dari data pada tabel IV di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Kota Matsum IV adalah masyarakat yang heterogen dengan beragam suku bangsa diantaranya Minang, Mandailing, Jawa, Melayu dan lain-lain.
Dari data di atas diketahui bahwa suku Minangkabau adalah suku yang paling dominan di wilayah Kota Matsum IV ini dengan jumlah sebanyak 8.665 jiwa dengan persentase sebesar 56,32 %, sedangkan penduduk dengan suku bangsa terbesar kedua adalah suku Jawa sebanyak 2.099 jiwa dengan persentase sebesar 13,65 %, kemudian disusul oleh suku Melayu sebanyak 1.603 jiwa dengan persentase sebesar 10,41 %, dan suku Mandailing sebanyak 1.011 jiwa dengan persentase sebesar 6,57 %, dan yang terakhir adalah suku-suku lainnya yang berjumlah 2007 jiwa dengan persentase sebesar 13,05 %.
4.1.4. Sarana dan Prasarana
Sarana merupakan hal yang amat penting bagi pencapaian tujuan. Bagaimana baiknya suatu rencana tanpa didukung oleh adanya sarana dan prasarana, maka tujuan dari perencanaan itu akan sulit tercapai. Untuk mendukung tugas pelayanan terhadap masyarakat, maka di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area tersedia berbagai macam sarana dan prasarana, seperti sarana di bidang peribadatan, pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dan sarana ekonomi. Untuk lebih jelas lagi berikut akan dipaparkan mengenai sarana-sarana tersebut.
4.1.4.1. Sarana Ekonomi
Sarana Ekonomi merupakan alat masyarakat untuk mencari kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar penduduk kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area hidup dengan berdagang baik kios kelontong maupun warung makan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada keterangan pada tabel di bawah ini.
Tabel V Sarana Ekonomi
No Keterangan Jumlah Persentase
1 Warung Makan 10 20,40 % 2 Kios Kelontong 20 40,82 % 3 Industri Kerajinan 15 30,62 % 4 Percetakan / Sablon 1 2.04 % 5 Bengkel 3 6,12 % Jumlah 49 100 %
Dari data pada tabel V di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Kota Matsum IV memiliki berbagai macam sarana ekonomi seperti warung makan, kios kelontong, industri kerajinan, percetakan / sablon dan Bengkel.
Sarana Ekonomi yang paling banyak yang ada di wilayah Kota Matsum IV adalah sarana Kios Kelontong sebanyak 20 unit dengan persentase sebesar 40,82 %, kemudian sarana kedua terbanyak adalah sarana Industri Kerajinan sebanyak 15 unit dengan persentase sebesar 30,62 %, sarana ketiga terbanyak adalah sarana Warung Makan sebanyak 10 unit dengan persentase sebesar 20,40 %, kemudian sarana ekonomi Bengkel sebanyak 3 unit dengan persentase sebesar 6,12 %, dan yang terakhir adalah sarana ekonomi Percetakan / Sablon sebanyak 1 unit dengan persentase sebesar 2,04 %.
4.1.4.2. Prasarana berbentuk Organisasi Sosial Ekonomi masyarakat Minangkabau Masyarakat Minang terutama di Lingkungan Kota Matsum IV memiliki beberapa Organisasi Sosial Ekonomi Kemasyarakatan khusus untuk masyarakat Minang yang sifatnya sosial dan ekonomi masyarakat. Anggota-anggotanya adalah seluruh warga minang yang berminat menjadi anggota dan juga para pengusaha dibidang kewiraswastaan seperti konveksi, pedagang maupun pemilik usaha rumah makan Minang.
Perkumpulan-perkumpulan masyarakat Minang yang mendirikan pusat finansial untuk menunjang kegiatan usaha mereka seperti GEMPPAR (Gerakan Masyarakat Padang Pariaman) dan ada pula perkumpulan yang bernama GEBU (Gerakan Seribu) yang membantu mengelola keuangan masyarakat. Gebu berawal
dari masyarakat Minang yang berinisiatif mengumpulkan dan menggalang dana dari anggota masyarakat Minang berjumlah Rp.1000,- per hari per orang sehingga disebut namanya dengan gerakan seribu rupiah masyarakat Minang. Dari sinilah terbentuk simpan pinjam dan Bank Gebu Minang. Ada lagi Kelompok Koperasi Syariah Bersama Kota Medan, dimana mereka memberikan pinjaman-pinjaman kepada para anggotanya yang ingin menambah dan mengembangkan usaha dengan bunga dan syarat-syarat yang ringan.
Ada pula perkumpulan atau organisasi lain yang dibentuk berdasarkan ikatan keluarga seperti ikatan keluarga Panyalai (suku Panyalai), Keluarga Ulakan Tapakih Kataping (nama kampung halaman), Banu Ampu (nama kampung halaman) atau ikatan Keluarga Guci Sandi Mulia (suku Guci), namun kesemua organisasi ini tidak mampu memajukan usaha karena dibentuk bukan untuk tujuan bisnis.
4.1.5. Sejarah Kedatangan Masyarakat Minangkabau ke Kota Medan
Semuanya bermula pada akhir abad ke-19 yang mana Kota Medan sudah mulai mengalami perkembangan di berbagai bidang. Perkebunan-perkebunan dalam skala besar, industri pertanian disertai dengan lancarnya jalur komunikasi membuat kota Medan menarik tumbuhnya lembaga-lembaga perdagangan dan kegiatan-kegiatan dalam berbagai macam ragam jasa. Dengan alasan tersebut para migran mulai berdatangan dari luar Kota Medan termasuk di dalamnya perantau Minangkabau.
Suku bangsa Minangkabau dikenal sebagai bangsa perantau. Pada saat itu mereka sudah menempati sebagian besar pelosok tanah air, bahkan ada yang tinggal dan menetap di luar negara kesatuan Indonesia. Masyarakat Minangkabau dapat dijumpai di berbagai daerah baik daerah yang dapat diukur secara administrasi besar, sedang maupun kecil, ataupun dapat dijumpai di kota-kota besar maupun kota-kota kecil.
Kedatangan orang Minangkabau ini adalah untuk berdagang, namun pada saat itu perdagangan dilakukan antar perkebunan saja, sebagian kecil ada juga yang menetap di kota Medan, disana mereka juga bergerak dalam bidang perdagangan.
Kota Medan merupakan salah satu daerah tujuan perantau masyarakat Minangkabau. Besarnya migrasi orang Minangkabau ke kota Medan pada tahun permulaan tidak pernah didata secara pasti. Namun data sensus pada tahun 1930 menyatakan bahwa angka migrasi orang Minangkabau adalah sebanyak 5.408 jiwa di
kota Medan dan 50 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1980 perantau minangkabau menunjukkan kenaikan dengan jumlah 141.507 jiwa.
Kedatangan orang Minangkabau ke Kota Medan ini pada awal tahun ke tahun jumlahnya tidak tetap karena dipengaruhi oleh keadaan atau situasi politik pada saat itu baik di daerah rantau ataupun di kampung halaman. Misalnya pada masa perang dunia II dan perang kemerdekaan RI, kebanyakan para perantau kembali ke kampungnya. Pada saat terjadi pemberontakan PRRI jumlah perantau ke kota Medan kembali meningkat. Data statistik menunjukkan bahwa angka rata-rata kenaikan perantau Minangkabau sejalan dengan kenaikan rata-rata penduduk kota Medan secara keseluruhan.
Pada masa kemerdekaan okupasi perantau Minangkabau di kota Medan masih dalam bidang perdagangan mengalami perkembangan dan semakin beragam. Perdagangan dilakukan bukan hanya antar perkebunan saja tetapi mereka sudah mulai merambat di kota-kota. Ada yang berdagang di emper-emper toko sebagai pedagang kaki lima dan ada pula yang telah memiliki toko sendiri dan menjadi pengecer.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mochtar Naim diperoleh data bahwa sekitar 80 % atau lebih dari keseluruhan pedagang pengecer di pusat pasar adalah masyarakat Minangkabau dan beberapa lainnya juga mendominasi seperti usaha penjahitan yang dikuasai rata-rata oleh orang Minangkabau, selain itu juga masyarakat Minangkabau banyak yang membuka usaha warung makan Padang mulai dari restoran besar hingga pedagang nasi pinggir jalan.
Proses penyesuaian diri orang Minangkabau lebih mudah dari pada etnis lainnya. Biasanya mereka menumpang dan bekerja dengan membantu usaha saudara
dan teman-teman sekampung yang lebih dahulu datang. Selain itu mereka juga sering melakukan perkumpulan untuk menanggulangi masalah atau musibah serta acara keagamaan dan lainnya. Kecendrungan masyarakat minangkabau lebih menyukai hidup berkelompok dan biasanya mereka memilih tinggal di dekat pusat pasar dan pusat kota.
Gambaran okupasional perantau Minangkabau umumnya terbagi tiga strata ekonomi yaitu strata ekonomi bawah, menengah, dan atas. Status ekonomi ini dapat dilihat dari tipe rumah dan daerah tempat tinggal yang mereka huni. Misalnya daerah Kota Matsum yang kebanyakan dihuni oleh suku Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima, pedagang rumah makan dan penjahit. Sedangkan kelas menengah ke atas lebih banyak memilih tinggal di daerah elit seperti Medan Baru dan daerah-daerah elit lainnya.
4.1.6. Kebudayaan Minangkabau
Menurut legenda Minangkabau yang diberitakan dalam tambo, nama Minangkabau berasal dari peristiwa adu kerbau. Dalam legenda diceritakan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Minangkabau kepada anak cucunya, yaitu pada saat menghadapi tentara Jawa yaitu dengan mengadakan adu kerbau. Jika kerbau Jawa yang menang maka rakyat Minang akan tunduk pada mereka, tetapi jika kerbau Jawa yang kalah maka mereka harus meninggalkan daerah Minangkabau.
Orang Minangkabau biasanya dikenal dengan ciri-ciri sosial yaitu : 1. Taat beragama Islam
2. Berpegang teguh kepada Sistem Kekeluargaan berdasarkan jenis keturunan ibu (matrilinial).
3. Suka merantau.
Mahyuddin (2002:11) menjelaskan menurut tambo adat alam Minangkabau, tempat tinggal pertama dari suku bangsa Minangkabau adalah Pariangan Padang Panjang yang terletak di Lereng Gunung Merapi. Oleh karena perkembangan penduduk yang semakin padat, yang tidak mungkin bagi mereka untuk memperluas tanah pertanian, maka sebagian mereka mulai mencari tempat tinggal yang baru, yang memungkinkan mereka dapat hidup. Mereka mulai berpindah ke lereng-lereng dan lembah Gunung Singgalang dan Sago.
Jalur perhubungan pada saat itu sangat sulit, maka terjadilah perpisahan antara rombongan dengan rombongan lain secara fisik dan rohaniah. Keadaan inilah yang menimbulkan kesatuan geografis, politis, sosial baru yang dinamakan demgan luhak.
Ada tiga luhak yang melilit Gunung Merapi yang disebut dengan Luhak Nan Tigo. Luhak Nan Tigo ini juga dikenal sebagai wilayah inti Minangkabau yang disebut daerah darek. Selain dari Luhak Nan Tigo itu wilayah Minangkabau disebut dengan daerah rantau.
Luhak berasal dari kata luak, luak dapat berarti kurang atau sumur kecil. Dari arti kata luak ini, menunjukkan daerah luhak merupakan daerah yang bergunung-gunung. Di Luhak Nan Tigo inilah nenek moyang masyarakat Minangkabau berkembang dan mulai turut serta membentuk adat dan limbago atau lembaga. Dari luhak nan tigo inilah bermulanya ekspansi ke daerah-daerah di sekitarnya. Hasil dari ekspansi ini menghasilkan daerah rantau. Oleh karena itu daerah rantau adalah daerah yang terletak di sekitar daerah inti. Dengan kata lain daerah rantau juga merupakan daerah pinggiran atau pesisir.
Mahyuddin (2002:11) menjelaskan, Luhak Nan Tigo yang menjadi inti alam Minangkabau merupakan perwujudan dari tiga luhak yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Luhak Tanah Datar terletak di lereng dan lembah kaki gunung merapi, Singgalang dan Tandikat. Luhak tanah datar adalah Luhak Nan Tuo atau luhak tertua, yang terletak disekitar daerah Batu Sangkar. Luhak Agam terletak sekitar Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Luhak Agam juga sering disebut dengan luhak nan tangah atau luhak yang tengah. Luhak ini terletak di sekitar daerah Bukuittinggi. Luhak lima puluh koto disebut juga dengan luhak nan mudo atau luhak yang termuda. Luhak ini terletak di sekitar daerah Payakumbuh. Dapat dilihat bahwa ketiga luhak ini terletak di kaki-kaki gunung, dipunggung jajaran
pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari ujung Utara pulau Sumatera sampai ujung Selatan dengan ketinggian rata-rata 1000-3000 m di atas permukaan laut.
Dari ketiga luhak ini berhulu beberapa sungai yang mengalir dan bermuara di pantai Timur dan pantai Barat Sumatera. Dari Luhak Lima Puluh Koto berhulu Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Sinamar atau Sungai Indragiri. Dari Luhak Tanah Datar berhulu Sungai Kiantan dan Sungai Batanghari. Semua sungai ini bermuara ke pantai Timur. Sedangkan ke Pantai Barat mengalir Sungai Batang Masang dan Batang Antokan dari luhak Agam.
Wilayah Luhak Nan Tigo terletak di daerah yang relatif cukup subur mengakibatkan sebagian besar masyarakatnya bergerak dalam lapangan pertanian untuk memenuhi kehidupannya. Selain menanam padi sebagai makanan utama, sampai pada awal abad ke-19 hasil utama Luhak Nan Tigo adalah kopi dan lada. Hasil bumi tersebut diperdagangkan oleh saudagar-saudagar Minangkabau. Rute perdagangan mereka adalah pantai Timur. Hal ini bisa berkembang karena tersedia sarana transportasi sungai yang memudahkan gerak perpindahan.
Daerah rantau terletak di sekeliling Luhak Nan Tigo, karena Luhak Nan Tigo terletak di daratan tinggi di bagian tengah pulau Sumatera, serta dipengaruhi oleh kondisi alam seperti tersedianya sarana transportasi aliran sungai. Daerah rantau mengandung dua makna, pertama daerah baru yang dibuka oleh masyarakat Minangkabau dari tiga luhak yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan kepentingan ekonomi. Kedua, daerah yang pernah menjadi bawahan Kerajaan Pagaruyung.
4.1.7. Sistem Kekerabatan
Koentjaraningrat (1992:132) menjelaskan, tiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat secara biologis dapat menyebut kerabat semua orang sesamanya yang mempunyai hubungan “darah” atau genes melalui ibu maupun ayahnya. Dipandang secara biologis, artinya dipandang dari sudut hubungan genes saja, jumlah kerabat dari seseorang individu itu amat besar. Dalam kenyataan tidak ada orang yang dapat mengetahui, semua orang sesamanya yang secara biologis merupakan kaum kerabatnya. Dengan demikian prinsip keturunan itu juga mempunyai fungsi sebagai prinsip untuk menentukan keanggotaan dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang bersifat lineal misalnya pada masyarakat Minangkabau.
Sistem istilah kekerabatan itu mempunyai sangkut paut yang erat dengan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Batas hubungan kekerabatan seringkali juga amat berbeda dengan batas pengetahuan tentang kerabat dan dengan batas pergaulan kekerabatan. Hubungan kekerabatan menghubungkan sejumlah kerabat yang bersama-sama memegang suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak disini misalnya hak untuk menempati suatu kedudukan, sedangkan kewajiban yaitu dengan melakukan aktivitas produktif bersama.
4.2. Interpretasi Data
4.2.1. Sejarah Munculnya Rumah Makan Minang
Sejarah munculnya rumah makan Minang yang secara tradisional lebih dikenal dengan sebutan “lapau”. Pada mulanya rumah makan minang ini bukanlah berbentuk usaha dalam pengertian untung dan rugi saja. Di desa-desa yang jarak antara satu dengan lainnya cukup jauh kita sering melihat adanya “lapau” nasi atau rumah makan Minang. Begitu juga di pinggir jalan yang kemungkinan besar para pejalan kaki atau pengemudi membutuhkan istirahat dan makan.
“Lapau” atau kedai nasi didirikan dengan dua segi pelayanan. Orang-orang yang menyinggahi kedai nasi boleh minta nasi dengan lauk-pauknya bila membutuhkan makan, atau juga sekedar beristirahat di “lapau” atau di kedai nasi itu, dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Bila kebetulan kemalaman, para pengunjung rumah makan ini bisa dengan gratis bermalam di rumah makan tersebut. Karena itu lapau nasi menyediakan sebagian ruangannya untuk tempat tidur, yang dikenal dengan balai-balai atau bangku-bangku yang mampu memuat belasan orang.
Dari kenyataan ini dapat kita ambil suatu pengertian bahwa lapau tidak hanya menjual nasi untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga memberikan pertolongan bagi orang yang membutuhkannya. Bagi penduduk desa atau kawasan mana “lapau” itu berdiri, lapau nasi juga dijadikan tempat berbincang-bincang sambil minum kopi di sore hari. Berbagai pembicaraan dan percakapan dapat pula dilakukan di “lapau”. Dalam keadaan demikian “lapau” dapat pula menjadi pusat informasi di desa.
“Lapau” atau rumah makan sebagai pusat informasi, selain karena tempatnya yang strategis, sekarang dilengkapi pula oleh media massa seperti surat kabar atau selebaran-selebaran iklan. Dengan demikian bahan pembicaraan dan informasi semakin meluas.
Disegi lain, “lapau” juga merupakan usaha keluarga yang menjadi sampingan atau juga bahkan menjadi pekerjaan utama antara suami dan istri. Jika antara suami dan istri yang ada di desa turun ke sawah, maka dengan demikian usaha lapau juga bisa dikelola oleh anggota keluarga sendiri. Dan dalam perkembangannya rumah makan minang tetap saja mengambil karyawan dari kalangan keluarga sendiri, orang sesuku atau sedaerah.
Dalam perkembangan berikutnya, lapau nasi yang menyediakan tempat tidur bagi pengunjung selain di desa-desa yang melayani pedagang keliling, kini berkembang pula di pinggir jalan raya antar daerah antar propinsi misalnya rute Padang-Medan. Selain itu juga biasanya tersedia tempat sembahyang dan WC yang dilengkapi dengan air bersih.
4.2.2. Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan Minang
Kekeluargaan adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah, keluarga, salah satu hal yang pertama kali harus diperhatikan mengenai kekeluargaan ialah bahwa ini merupakan suatu sistem hubungan-hubungan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Radchiffe Brown di dalam buku Mittchell, 1984 mengatakan bahwa satu dugaan dapat dibuat apabila kita berbicara tentang
sistem-sistem kekeluargaan, yaitu bahwa ada hubungan yang saling ketergantungan dan kompleks antara anggota-anggotanya.
Karakteristik sistem kekeluargaan yang dapat kita lihat pada pengelolaan Rumah Makan Minang yang ada di wilayah Kota Matsum IV adalah bahwa anggota keluarga memiliki keterlibatan khusus dalam suatu usaha rumah makan, seperti ada yang merekrut suami atau istri, anak dan keponakan, tetapi ada juga yang merekrut pekerja dari luar keluarga, selain itu masyarakat Minang juga memiliki sikap saling mengangkat, gotong royong diantara pemilik dengan pekerjanya, hal ini merupakan ciri “Komunalisme” masyarakat Minang yang terletak pada kuatnya ikatan kekerabatan ataupun kesukuan, dimana pada pengelolaan rumah makan Minang mereka biasanya merekrut pekerja dari kampung halaman sendiri atau seasal